Sabtu, 01 Maret 2025

27. Cinta Itu Purba

"Kenapa penyesalan muncul belakangan, kenapa tak diberitahu saja sejak awal."

"Rasa tak perlu mengikat, apalagi dikenang. Ia hanya akan menggerogoti komitmen yang sudah ada. Banyak orang yang tak menikah lagi setelah pasangannya meninggal karena mereka melepas ikatan rasa, lalu mengubah menjadi keihlasan yang tiada tara. Lebih baik menyesal dari pada tidak berani mengungkapkan sama sekali."

Aku agak ragu menerima penjelasan ibu barusan. Ia mengubah posisi duduknya.

"Orang dilahirkan dalam keadaan yang tak tahu apa-apa. Orang terdekatnya yang mengajarkan segala sesuatunya. Kita tak tahu apa-apa setelah tahu ternyata ada apa-apa. Penyesalan itu muncul itu hadir karena kita tak tahu apa-apa, hanya sebentar menerka-nerka. Tapi, menerka-nerka adalah sinyal utama agar tak menyesal kemudian."

"Wajarkah?"

"Beni, cinta itu sangat purba. Pertengkaran berujung kematian oleh mahluk pertama manusia salah satu bukti bahwa rasa suka atau cinta bisa menyebabkan pertimbangan akal menjadi terkikis, oleh birahi semata. Mata dan hati bisa saling tertipu atau menipu satu sama lain."

Ibu berdiri dan mengelus lembut rambutku. Ia keluar dari kamar dan menutup pintu pelan-pelan. Tiga jam aku mengurung diri di kamar. Lambungku mulai berontak.

0 Comments:

Posting Komentar