Tampilkan postingan dengan label Petualangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Petualangan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 Juli 2025

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 11
Roti Vatrushka 
Elang melangkah kedua kakinya lecet-lecet, ada darah yang sudah mengering di area pelipis. Nafasnya ngos-ngosan. "Cepat!" kata seorang pemuda yang melilitkan kepalanya dengan kain coklat. "Tunggu!" kata Elang, menghentikan langkah-langkah sibuk antara kuda-kuda pendek, kekar, dan jangkung, dan juga onggokan tubuh yang sudah tidak bisa berbicara lagi.

"Kau ragu?" katanya, giginya putih. Tak ada bekas nikotin, bisiknya dalam palung hati yang terdalam. Ini bertolak belakang dengan Elang, jika kalian ingin mendengar, meskinya kalian sudah tahu, siapa Elang ini. Keseharian sebelum sampai di sini, hanya keseharian yang sama sekali tak mencolok; makan di warung lalu bayarnya sampai bulan depan. Keliling sebagai tukang cukur, joki pemancing, kernet bus, dan kadang-kadang sebagai tukang vermak baju dan seterusnya. Ia tidak berijazah, tetapi isi pikirannya sering merepotkan para penduduk istana. Yang kerjaannya semakin hari semakin memusingkan kepala. Mungkin karena pikiran ini terlalu picik dan mental blok, tetapi hilang sejenak seperti menjelang sumpah pemuda. Bahkan medium cetak, eropa sebagai caranya sendiri untuk bertumbuh.

"kau bisa membaca ini, yang kunginkan bukan hanya nyiyir tetapi sebuah kapasitas sebagai orang Indonesia." Tanya Elang.

Sebuah koran yang diambil dari pembungkus Roti Vatrushka yang terbungkus buru-buru. Dan ia duduk sambil menyeruput teh hijau yang dihidangkan oleh salah seorang rekan perjalan pulang. "Inilah perjalanan yang paling sakra mengantarkan mayat sejumlah pejuang dan harus di antarkan kepada orang-orang yang kita cintai," katanya.

"Kau kelihatan sekali sedang berbohong, dalam agamamu berbohong adalah penghianatan." kata Elang

"aku sedang berbicara dengan 'mayat' yang lain." jawabnya.

Keduanya tertawa. Mereka melanjutkan perjalanan.

Rabu, 16 Juli 2025

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 10
Escape From Personality

Perutku mules tiada tertahan, sementara suamiku entah dimana. Apakah serdadu-serdadu yang telah dikirim penguasa berhasil meringkusnya?, tidak ia lelaki yang pandai dan cermat membaca situasi, tak mudah untuk menangkapnya. Atau jangan-jangan ia tengah meringkuk bersama hewan-hewan pengerat yang jorok, kudisan, dan kelaparan.

Aku memanggil ibu yang tengah memasak. Ia berlari sambil mengelap keningnya yang telah lama keriput. Cengkaramannya tangannya masih sekokoh dulu, meski ditingkahi dengan helaia nafas dan cepat-cepat gemetar.

Ibuku memapah ke rumah tetangga yang memiliki becak. Sambil menahan kontraksi yang menyakitkan dan guncangan jalan yang tak pernah diperhatikan oleh para penguasa, kecuali jelang masa-masa pencalonan. Realita sangat menyebalkan. Aku bisa apa dengan kondisi seperti ini, aku tak cukup kuat dan kata-kataku seringkali sumbang dan tak jelas arahnya. Penguasa itu benar-benar memiliki kemampuan untuk menyetop otakku agar tak berpikir di luar kendalinya.

Sampai di rumah bidan, suamiku benar-benar tak datang. Bahkan sampai malam ketika bayi dalam kandunganku sudah tak sabar bertemu dengan bapaknya. Orang yang sedang dalam masa paceklik dicari oleh penguasanya sendiri, gara-gara dituduh memimpin demonstrasi para buruh.

“Pembukaan Sembilan, mana suamimu,” tanya bidan sambil terus mengintip bagian kewanitaanku.

“Ia sedang ada urusan penting,” jawabku sekenanya. Sakit ini seperti mau membunuhku.

“Semua laki-laki memang sama, mau enaknya dong, giliran ‘begini’ mereka tak ada dengan seribu alasan.”

Ketika intruksi dorong, ambil nafas, dan seterusnya. Seseorang menggengam erat tanganku. Rasa sakit yang luar biasa ini telah menguarangi mawasku terhadap kehadiran suamiku sendiri. Bibirnya pucat dan mata kanannya bengkak, ada noda darah disana. Tapi nanti saja kutanyakan, keselamatan bayiku lebih utama. Maaf ya…

Ia mengelus dahi dan rambutku. Tak ada kata-kata yang terucap dari mulutnya. Ia yang terbiasa membaca puisi ternyata gagu menghadapi istrinya yang tengah berjuang melahirkan buah cintanya. Rasanya cukup meski tak ada kata-kata penyemangat yang kelur mulutnya.

Detik-detik yang menegangkan itu terbayar lunas oleh seonggok daging yang terasa ringan keluar dari alat kelaminku. Suara tangis lembut dan manja menandakan aku telah menjadi ibu, sementara Lukman, suamiku yang kini telah jadi ayah sekaligus buron penguasanya sendiri.

Mungkin kalian lebih tertarik pada kisah suamiku dari pada kisahku yang melahirkan. Peristiwa kelahiran mungkin terlalu biasa untuk diceritakan. Ini semacam intermezo dari kisah suamiku yang akhir-akhir ini kurasakan akan terjadi sesuatu yang menyakitkan.

Untuk sejenak dalam posisi yang menurut kalian tidak menguntungkan. Sekali lagi aku mohon kerendahan hati kalian untuk mendengarkan kalimat-kalimat sederhana, dari seorang ibu rumah tangga yang suaminya kini pontang-panting lari menghindari dari serdadu pemerintah. Tangkap hidup atau mati adalah slogan yang pernah ku dengar dari orang-orang yang pernah menonton film-film wajib.

Suamiku adalah guru yang paling jujur dalam menerima penindasan dari para penguasa, negerinya sendiri. Penguasa ketika beretorika atau berpidato seakan ia malaikat yang suci kejahatan. Bahkan mereka mungkin tak pernah sujud secara mendalam seperti para malaikat, meski ia tak berdosa. Sujud-sujud para penguasa seringkali pupus kedamaian ketika sepuluh langkah dari masjid.

Bagi yang mengalami pengejaran atau buron sepanjang waktu, hal itu menjadi petaka yang membuat kalian bisa saja gantung diri di tali jemuran. Suamiku menolak patah, ia ingin menunjukkan kalau raganya sekuat gatot kaca. Otot kawat balung besi. Meski mungkin suatu saat akan kehilangan nyawanya. Dan ia akan meninggalkanku sendirian bertahan dalam status janda. Status yang tidak mudah di negeri timur ini.

Lihat tindakan para penguasa itu kawan. Di saat rakyat mengantri beras dengan kaki-kaki borok tanpa perban, para penguasa itu sedang nyaman menghisap cerutu ditemani segelas kopi impor yang mendunia. Mereka tak peduli dengan keadaan rakyatnya, meski seringkali pidatonya mengatasnamakan kesengsaraan rakyat dan bla-bla-bla. Meski bajunya yang aduhai tak bisa menutupi pidatonya yang tak bertenaga.

Kawan sejatinya kini meringkuk di penjara, tanpa proses seperti biasanya. Mereka bak kadal yang enak untuk santapan ular kobra pagi hari. Aku heran sendiri kenapa suamiku masih bebas melenggang kangkung menghindari para serdadu. Mereka melakukan penyemaran beranek ragam bentuk dan profesinya. Elang seperti mendapati mereka satu-persatu. Tapi sampai kapan Elang bisa membaca situasi, aksennya yang cadel mudah sekali untuk dikenali. Kuharap ia akan baik-baik saja selama jauh dari pelukanku.

Yang berani justru harus menjadi buron atau meringkuk di penjara bersama para tikus-tikus ganas yang siap membuat kalian jadi pecundang bila tak kuat-kuat pendirian. Menurut kawan baik Lukman, sekolah terbaik adalah penjara. Para penguhuni bisa menjadi lebih baik atau buruk. Bahkan menurut kabar, seorang ulama jauh dari negeri kita yang wafat di tiang gantungan telah meninggalkan warisan berupa puluhan jilid tentang semangat perjuangan dan ketaatan kepada Tuhan.

Suamiku akan meninggkan warisan apa, ia tak bersekolah tinggi. Putus sekolah karena masalah klasik rakyat jelata. Ia harus berbagi bangku sekolah dengan adik-adiknya. Tak pilih jenis pekarjaan, yang penting bisa menghasilkan uang dan operasional keluarga bisa berjalan. Ia akan mewariskan kebaranian dan semangat pantang menyerah, yang akan dikenang oleh anak cucunya. Mungkin hanya kumpulan syair juga tak apa, meninggalkan harta bisa menjadi petaka yang bisa mengancam jiwa. Tapi ilmu akan menaungi benak dan raga kita.

Aku tak pandai merangkai kata seperti yang kalian harapkan. Setidaknya cara ini bisa mengurasi depresi akut atas suamiku yang kini jarang pulang. Makan dan minum di mana. Mungkin sekarang sedang meringkuk di mushola milik orang-orang muslim. Meski ia sendiri tak sembahyang. Sebelum ia pergi menjauh dari para serdadu ia pernah mengingatkanku agar tak salah menilai orang-orang muslim. Mereka orang-orang yang baik, katanya.

Aku berdoa agar ia cepat-cepat menemukan teman perjalanan yang berani dan satu pemikiran dengannya. Hingga suamiku bisa tertawa renyah. Ia tak bisa tertawa pada saat para penguasa mencoba menghibur rakyatnya dengan mengetes nama-nama ikan, menghadiahkan dengan sebuah sepeda, atau sekaranjang jagung kering yang bisa bertahan selama satu bulan. Jika Lukman cepat menemukan sahabat baru yang sejalan dengan idealismenya. Ia dapat bertahan dalam mental prima, meski kepungan bahaya telah lama mengancamnya.

Kopi yang kusajikan di pagi ini telah lama dingin. Bahkan telah tercebur satu ekor lalat. Kuambil lalat itu dengan sendok, lalu pelan-pelan mulai kuminum seteguk demi seteguk. Lambungnya terguyur pahitnya kopi, dan kedua mata mulai hujan.

Sore yang teduh ini membuatku tenang. Ada burung prenjak yang mengoceh sambil menikmati ulat-ulat yang bergelantungan pada banyak ranting dan daun. Kulihat kakinya yang teramat ramping memudahkan burung berpindah dari dahan satu ke dahan lainnya.

Burung itu terbang ketika melintas di bawahnya. Ia meninggalkan pohon kopi pada saat hewan penerima ilham itu hinggap di atas bunga kopi yang putih. Dengungannya hampir tak terdengar, mungkin karena ia sendirian. Tak banyak membawa teman seperti biasanya. Aku iri dengannya, ia diberi ilham oleh Tuhan pemilik semesta ini. kata-kata itu kudengar dari salah seorang tetangga yang gemar ke masjid dan memberikan petuah bijak selepas subuh.

Kutuju rumah diujung desa, kalian pikir itu jauh. Kami hanya menyebutnya ujung desa agar orang-orang dari luar desa ini tak ingin kesana. Seperti ingin menyembunyikan rumah yang kini sudah lapuk, jompo, dan bila angin berkecepatan sedang mungkin bisa merobohkannya.

Ingin kuketuk rumah berbilik bambu yang aroma rayap tersebar di mana-mana. Sebuah suara sudah mendahuluiku. Berulangkali kuingin menghindari rumah yang satu ini, pada saat yang sama kedua kaki ini seperti diarahkan penyihir untuk melangkah ke rumah ini.

“Baumu sudah tercium dari jarak 25 meter, ada apa kau kesini.”

“Melihatmu.”

“Aku tak ingin bercakap-cakap dengan pembohong, ayo pulang!”

“Sebentar lagi aku akan jadi janda, apa kau tak merasa kasihan.”

“Kau tak pandai bersandiwara, sekarang pulanglah.”

Perempuan paroh baya itu menutup pintu setelah mendorongku agak kasar. Pengucilan dari orang-orang terdegkatnya membuatnya menjadi kacau. Ia bahkan menyumpahi dengan serapah kotor menyebutku binatang ternak dan seterusnya.

“Mas Elang belum pulang beberapa hari ini Mbok, apa dia pernah kesini?”

Pintu itu dibuka dan membawa bakulan berisi pisang emas yang masih mengkel. Ia memandangku lekat-lekat seperti dukun beranak.

“Anak itu memang bandel, sudah kubilang jangan pernah ikut demo-demo, dicap ini itu, bahkan ibunya sendiri tak tembus juga kata-katanya.”

Ia masuk kedalam dan keluar lagi, tangan kanannya sudah merapalkan sirih dan kemenyan. Mulutnya mengunyah dengan kasar, mengecap, menghela, pada detik yang tak diduga ia menyemprotkan sirihnya berkali-kali secara mengagumkan.

Kuseret wadah kinang, mengambil satu persatu bahan yang dibutuhkan. Lalu pelan-pelan kuisi daun sirih hijau itu dengan aneka rupa; tembakau, cengkih, wuwur, kemenyan, kapur, daging jambe, dan beberapa bahan misterius yang ketika kutanyakan pada si mbok hanya gerutuan yang kudapat.

Pada saat mentalku kuat mengadapi hal-hal yang tak terduga, kunjungan ke rumah si mbok adalah hal yang paling kuhindari. Tapi, di saat genting seperti rumah si mbok bagai dokter jiwa yang patut kukunjungi.

Si mbok bercerita tentang perpindahan dari perahu ke perahu lain untuk menemukan suaminya yang hilang pasca huru hara di kota. Para serdadu itu katanya, menjalankan tugas hanya dari yang didapatkan dari kantong celana para tahanan. Kebetulan nama suaminya ada pada kertas kumal itu, hanya kebetulan. Soalnya suamiku habis belanja barang dagangan pada salah seorang pemilik, dan ia berhutang di hari itu.

“Aku tak mengira kau mengalami nasib yang sama, kau harus kuat agar anak-anak tak meninggalkanmu. Kau tahu itu sangat menyakitkan. Darah dagingku telah membuatku lebih gila, mungkin hanya kematianku membuat mereka tak menganggap ibunya sebagai perempuan dengan ganguan kejiwaan.”

Senja mengakhiri pembicaraan kami. Aku tak mencari solusi, hanya berbagi beban. Si Mbok menutup dengan mata curiga, peristiwa pencidukan tengah malam pada masa lampau membuatnya tak benar-benar percaya pada siapapun, tak terkecuali denganku, mantunya sendiri.

Kuludahkan ke sisi-sisi pematang sawah, warna sirihnya yang pekat tampak seperti darah dari luka sayat. Kuberhenti sejenak memandangi sepasukan orang-orang sawah yang gagah berdiri. Mereka adalah tembok terakhir dari sebuah ukuran bernama keegoisan. Di saat para petani sedang terlelap diatas amben, mereka tampak kokoh berdiri menghalau kawanan bul-bul yang militan dan Spartan.

Kurindukan pundak suami begeng menyisakan tonjolan tulang dan bau panili. Suaranya yang tak lazim membuatnya gampang untung dikenali dari jauh. Ia seperti siulan burung kematian yang menguik-nguik pada siang bolong. Berada di puncak pohon yang tinggi, seolah-olah ia pemberi kabar yang tahu tentang sebuah perasaan.

Di tempat lain yang jauh.

Elang tergesa-gesa mencari telpon pinggiran. Ia ingin menelpon istrinya yang jauh tertinggal langkahnya. Lukman menunggu sumber suara yang banyak dirindukan pada malam-malam panjang, sendiri di negeri sendiri. Setelah menunggu beberapa saat, wajahnya cerah. Beberapa kali ia mengelus rambut ikalanya. Sudah sepekan rambutnya tak terbilas sampo.

“Bagaimana kabarmu.”

“Sehat, kau sendiri apa tak kangen rumah.”

“Kangen sekali, tapi serdadu itu langkahnya semakin dekat, daya penciumannya semakin tajam.”

“Sekarang kau dimana, suaramu terdengar kecil.”

“Sudut terpencil kota Jakarta, mungkin aku akan pergi lama.”

“Bagaimana dengan mahluk penghisap darah, apakah lebih ramah.”

“Nyamuk disini lebih parah dibanding di kampung. Amat rakus dan tak mempan obat nyamuk bakar, sopel, ataupun semprotan peptisida. Baginya obat-obat itu seperti tembok rapuh yang mudah diterjang.”

“Serdadu-serdadu sekarang lebih berani, kadang seharian berdiri seharian meyamar sebagai pedagang Es Legen, tak ada pedagang yang bisa tegak berdiri selama itu, sebenarnya kau melakukan apa kok hingga penguasa begitu membecimu.”

“Aku hanya membentak dan menghardik ketika mulut tepat didepan megapon, mereka bersumbu pendek dan sedikit-sedikit angkat senjata, tak diskusi-diskusi hangat seperti yang tertera pada tulisan para cerdik pandai. Mereka gagap menerjemahkan antara sikap hukum dan hukum itu sendiri. Hawa nafsu telah melelehkan akal budi pekertinya.”

“Omonganmu tak terdengar lagi seperti pendeta, kamu mirip guru agama di mushola.”

Terdengar suara tawa dari ujung telepon istrinya. Marsi mengucek matanya dalam-dalam.

“Titip anak-anak, dan kamu sehat-sehat ya.”

Komunikasi terputus, hanya dengungan yang terdengar ditelinga Marsi. Ia meletakan gagang telponnya. Menggangguk pada tetangga yang memandangnya seperti musafir tersesat. Senyumnya teralalu dalam dan rahangnya telah termakan usia. Ia satu-satunya orang yang memiliki telpon rumah yang bisa sesibuk wartel, apalagi jelang lebaran.

“Telepon dari suamimu, Si?”

“Iya Juragan.”

“Bilang sama suamimu, jadi orang jangan sok, ini negeri siluman, pendekar paling saktipun bakal goyah menghadapi, apalagi suamimu yang kerempeng, modal puisi doang, maaf tapi ya, begitulah.”

“Terimakasih, mari juragan?”

Marsi mengelap pipinya cepat-cepat. Tak ingin air matanya jatuh mencium bumi. Cukup matanya saja yang sedih. Bumi tempat berpijak tak perlu ikut-ikutan.

Aku seperti merasakan hembusan suamiku. Nafasnya belum terjamah kopi hitam pagi hari. Aku ingin menanyakan apakah ia sudah sarapan pagi, dan meminum kopi barang seteguk dua teguk. Mungkin ia sengaja mematikannya, atau di sana sedang ada pemadaman listrik. Yang palig ingin kukonfirmasi ulang, apakah ia rajin-rajin untuk menggunakan obat tetes pada mata kirinya yang terus memerah sampai sekarang.

Aku mungkin jenis perempuan yang keberaniannya belum sekaliber pahlawan-pahlawan itu, tetapi setidaknya kuberanikan diri untuk menghadapi wajahku ketika bercermin mematut diri. Meski gila menurut sebagian orang adalah karunia, aku tak lekas-lekas mengikuti jejaknya. Aku cukup kuat untuk hal selanjutnya yang lebih buruk, mungkin hanya pada pukulan pertama. Pukulan berikutnya aku bisa terjengkang, terperosok, dan tersandung pada statusku beserta anak-anaku nantinya.

Sampai di rumah, Ibu sedang mendengarkan lagu-lagu dangdut. Kepalanya ditengklengkan ke kiri dan kanan. Badannya bergoyang lemah, meski musik yang didengarnya gegap gempita. Ia mengecilkan suara radionya. Musik dangdut itu terdengar berbisik. Ibu memandangiku cemas.

“Dimana suamimu!”

“Di Jakarta, sampai kapan ia akan pulang aku tak pernah tahu.”

“Oalah gusti pangampurane?”

Selasa, 15 Juli 2025

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 9
Naga Itu...

Pintu berkayu anti rayap terbuka selebar tangan dewasa. Sebelumnya Elang mengetuk pintu rumah tiga kali, dengan buku-buku jari, sebuah pintu kayu yang kutaksir terbuat dari serat kayu tahan rayap. Kutunggu beberapa saat, mungkin mereka masih terlelap di sisa pagi yang belum menghangat. Kucing penunggu rumah juga masih tidur-tidur ayam diatas keset menatapku malas.

Sebuah langkah kaki terdengar, jantungku berdenyut keras. Kumenoleh kebelakang siapa tahu anak buah jendral itu berhasil mengendus keberadaanku dengan anjing pelacak yang akan menggonggong membangunkan orang di pagi hari. Membuat kocar-kacir para pedagang keliling, dan memucatkan orang yang pernah terciduk dipinggir jalan karena tak membawa SIM.

Aku menahan nafas, siapa yang akan membukakan pintu untuk pertama kalinya. Kuharap bukan ayah ibunya, atau adik-adiknya. Gagang pintu diputar cepat setelah penghuni rumah mengintip dari balik gorden rumah dan mengenali wajahku.

“Elang,” katanya pelan.

“Kau punya makanan,” jawabku lebih pelan.

“Masuklah,” katanya. Ia menyela beberapa helai rambut yang menggantung di depan matanya. Mengintip keluar rumah melalui gorden yang ia sibakkan sedikit. Pedagang lontong sayur yang tertangkap oleh kedua matanya. Berhenti di depan rumahnya meski ia tak memesan.

Elang duduk di sofa panjang coklat, pikirannya kabur entah kemana. Untung ia masih menyimpan alamat rumah yang sekarang ia lihat, kalau tidak ia akan luntang lantug mengukur jalanan seharian. Ada banyak foto yang tertancap di dinding, Elang menatap satu persatu, nyaris tak ada yang dikenalinya. Kecuali foto wanita yang bermata sipit dengan hidung sedang dan rambut ikal panjang sebahu. Elang berkenalan dengan wanita di foto itu setahun setelah demonstrasi yang mendebarkan.

Elang cepat-cepat beralih pandangannya kepada sepiring nasi, sambel kecap dan telur goreng yang membuat perutnya tak lagi merintih-rintih sepanjang malam. Ia merasa darahnya yang telah membeku puluhan jam kembali hangat, sendii-sendi yang tiba-tiba linu seperti terserang rematik kembali bisa bergerak dengan leluasa. Sepanjang malam ia meringkus di kakus bambu yang dibawahnya ikan gurame seperti ingin mengajaknya berbicara. Hanya saja ia tidak menjadi gila karena bercakap-cakap dengan raja ikan air tawar.

Sarapan pagi yang nikmat itu di akhiri dengan tegukan air dari bibir gelas keramik yang kau ulurkan dengan wajah cerah. Gelas itu bergambar naga yang sedang terbang di atas awan dengan mulut berapi. Kaki-kakinya yang kuat dan tajam itu mengangkat seorang putri bermahkota tandur kerbau.

“Seandaianya Naga itu ada, aku ingin juga dicengkram olehnya dan dibawa entah kemana, menjadi santapan anak-anaknya juga tak sesal, dari pada menjadi ekperimen para prajurit yang menganggapku sebagai orang membawa penyakit bagi negeri ini,” ucap Elang

“Sakit itu akan lenyap manakala kita menutup mata untuk waktu yang lama. Bagaimana kabar keluargamu?”

“Semoga sehat, sekarang kau berkacamata,” jawab Elang, ia mengalihkan perhatiannya pada fota yang tergantung di dinding.

“Sebuah kebutuhan.” Jawab wanita itu, sambil tersenyum manis.

“Aku iri kepadamu, orasi dimana-mana tetap nyenyak tidur di rumah sendiri.”

“Siapa bilang, saat ini hanya aku yang tahu, sekarang rencanamu kemana,” Tanya wanita itu sambil menyeruput teh jumput yang masih mengepulkan asap.

“Kau bertanya tetapi tentu saja kau tahu jawabannya.”

Elang pamit kepada pemilik rambut ikal sebahu, ia mungkin tak menganggu anggota keluarga yang lain terbangun disela-sela rasa kantuk. Ia harus pergi lagi dan pergi agar para prajurit yang mengemban tugas tak dapat mengendusnya dalam waktu cepat, pekerjaan mengulur waktu bukan sesuatu yang mudah dilakukan.

Ia tidak ingin budinya berubah menjadi air yang mendinginkan semangat melakoni drama sebagai pesakitan bagi para penguasa. Ia ingin mengetuk pintu itu lagi, sebuah pintu yang telah mengobarkan api semangat di tengah pelarian yang tak berujung. Akan datang saatnya nanti pintu itu ia ketuk lagi dalam kondisi yang berbeda bukan sebagai buronan di tengah kakap yang berdansa di pagi hari sambil barbeque di halaman rumah bersama tikud-tikus gendut berkepala botak.

Elang merapatkan jaketnya yang telah berumur panjang hadiah dari kawan sesama demonstran. Ia merasa agak terlindungi dari cibiran, sebab ada logo negara asing menempel di jaket jin belel beraroma rupa-rupa. Tetapi penguasa itu apakah mau mempertimbangkan ketika melihat Elangberjaket berlogo negara asing, apakah mereka segan lalu mengundurkan penangkapannya dalam tempo lama. Setidaknya ada jatuh tempo sebelum para penguasa betul-betul membuatnya tak bisa kemana-mana.

Menjelang dini hari Elang mengikuti langkah-langkah orang gila menuju tempat persembunyiannya, sampai di tempat tujuan segala aroma menyeruak ke segala penjura. Elangtidur di atas bangku panjang licin yang beraroma kemenyan beratap langit, ia tersenyum manakala memejamkan matanya, tubuhnya yang ringkih di sapu oleh angin dari semak-semak tinggi yang menjadi benteng sebuah rumah kosong yang amburadul seperti terkena rudal.

Elang tak memperdulikan segala tingkah polah tawa yang berderai-derai dari sudut ruangan gelap dan beberapa benda jatuh. Orang-orang gila itu sudah terlelap dalam dengkuran panjang yang kasar. Ia menganggap derai tawa sebagai sebuah sambutan selamat datang baginya yang telah menjadi penghuni baru dan membuat suasana lebih hangat.

Jumat, 07 Februari 2025

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 8
Mengintip Indrustri Perusahaan Politik lewat Mata Elang 

Ini panas yang kesekian. Kerongkongan telah menyeduh air liur berliter-liter, hingga yang ia telan hanya kekeringan bersamaan dengan ngilu berkali-kali. Badannya legam, hanya saja mungkin putih hatinya. Siapa tahu. Tidak ada yang tahu hati seseorang. Ia mengipas-ngipas wajahnya. Berada ditengah geladak kapal sungguh mengharukan bersama para pahlawan devisa yang amat bersahaja. Senyumnya selalu tulus, sebuah etika yang sama sekali tak bisa diambil. Tetapi bisa diamalkan.

Lebaran menjadi tonggak penting dari sebuah perjalanan. Dimana gengsi bisa dilempar dimakan anjing kelaparan. Elang melihat pemuda tampan tengah menggendong beras menjuang tinggi tanpa peduli tatapan gadis-gadis centil yang tengah mabuk perasaan. Dari mana datangangnya kekuatan itu, Elang tersenyum ketika disampingnya ada seorang nenek yang tengah mengunyah sirih sambil memegangi ujung pemuda itu dan mengarahkan pada tempat duduk yang dituju. Pemuda berwajah keras nan tampan mengipas-ngipang badannya yang berkeringat. Laut jawa tengah membuatnya lebih rupawan dari pada punggawa istana yang tubuhnya tak anti bakteri. Sediki-sedikit ke salon untuk meremajakan kulitnya.

Ia mengeluarkan secarik kertas lusuh dari kantong celana yang tak lagi berbau kanji. Padangannya menerawang menatap ombak tenang. Tak muncul barang seekor lumba-lumba merah muda atau biru yang sedang berpesta mangsa terkepung. “Laut seperti ini hidup, penumpangnya selalu murung, bertemu keluarga yang tak merindukan,” ucap Elang sambil menuliskannya pada bait pertama puisinya. Pensil dari tukang kayu kemarin membuatnya kesulitan membuat mengatur ukuran huruf yang diinginkan. Ia menyelipkan diantara duan telinga. Angin laut bersahabat tak sudi melempar pensil tukang Makita, warnya mungkin membuatnya jengah untuk tak disentuh.

Perumpaaan seperti apa yang membuat Elang bebas melangkah, kata-katanya tak lagi dibungkam oleh penguasa yang tak ngerti tentang satire, jika tak mengerti paling tidak memahami metaphora dari para demonstram seperti dirinya. Hingga yang keluar bukan perintah yang mengancam sekaligus peluru-peluru yang bisa saja menyasar tenggorakan.

“Kau punya perumpaaan yang bagus untuk hidup ini,” tanya Elangpada pemuda tampan yang bahunya tengah tersender lunglai nenek yang terkantuh-kantuk.

“Aku tak punya macam perumpaan itu Pak Cik,” ungkapnya.

“Sekarang kau sudah di Laut Jawa, tak perlu kau cakap macam orang Malasyia.” Tutur Elang.

“Macam ikan Pari ya Pak Cik?”

“Terserah kau sajalah.”

“Hidup ini tak perlu perupamaan apa, cihh tai kucing. Penguasa-penguasa di dunia ini seringkali menganggap dirinya bisa mengendalikan hidup semua orang. Termasuk hal-hal kecil yang tak perlu mereka pusingkan. Anggap saja aku sekarang berhadapan dengan seorang penyair, karena aku ingin mengataka bahwa; kita tak perlu merunduk tunduk pada cara pandang seseorang terhadap apa yang kita yakini. Sikap, pemikiran, itu lahir dari pengalaman serta pergulatan panjang yang membuat kita semakin kokoh. Bukan pada pergulatan mentah yang menghasilkan sikap selalu curiga dan tak bisa mencoba untuk mendengarkan, konon Hitler saja bisa tercerabut kegagahannya bersama lawan jenis, di sudut sempit bungker anti bom. Ketakutannya telah membunuhnya dengan tak etis, sebagaimana ia selalu tampil sebagai orang yang tak tersentuh,” ucap nenek setengah ngantuk.

“Apakah ia sedang mabuk laut,” tanya Elang pada pemuda tampan yang lengan kekarnya sedikit basah oleh air liur atau keringat sanga nenek.

“Maaf Pak Cik, kami ingin istirahat. Bisakah kau memberi kesempatan pada kami.” Tutur pemuda tampan itu.

“Ini masih terik, apakah kalian bercanda.”

“Pak Cik yang perlu mengatur suhu tubuh. Lihat orang-orang sekitar, tubuh mereka terbalut jaket musim dingin, tetapi mereka begitu nyenyak tidur meski terik membakar. Orang-orang yang selalu bertanya; “nggak gerah pakai jaket terus, atau kamu lagi sakit ya, kok jaketnya nggak dilepas.” Semua aku kembalikan pada Pak Cik.”

Waktu ia hendak ke Yogya, tetapi ia harus melewati jalur tak biasa. Jalur-jalur yang tak mudah diendus oleh serdadu-serdadu yang anjing pelacaknya mulai tak akurat. Hidungnya terlalu banyak mencium asap rokok dan kopi asli yang membuat seseorang bisa terjaga selama berjam-jam. Ia masih bisa merasakan seluruh tubuhnya di mata air, mengguyurnya dengan air hangat-hangat kuku. Ia merasa diawasi oleh sekumpulan bidadari yang tengah mengawasi para bidadari lain agar tertinggal selendangnya. Kesalahan klise yang tak boleh terulang, sejarah mencatat akan ada kejadian lain yaitu jatuh cinta para bidadari, tanpa perlu meninggalkan jejak apapun. Mata air akan mengalir bersama para ketua desa yang selalu mencoba bersabar menolak permintaan warga agar menyodet mata air ke seluruh penjuru desa tanpa perlu bersusah payah mendatanginya.

Ketua desa perlu mempertimbangkan permintaan warganya. Betul bahwa mata air adalah bentuk kearifan lokal yang perlu dijaga sampai anak cucu. Tetapi seorang warga desa yang rela naik bus umum sambil membawa ember-ember berisi air bersih, kain baju cucian, jaraknya mungkin bisa membuat baju kalian kering setelah diguyur hujan lebat. Apakah pembaca tahu perumpamaan yang tepat untuk hal ini?

Elang terlonjak kaget. Menoleh ke arah nenek yang menatap lekat wajahnya. “Soal itu tak perlu perumpamaan yang berlapis-lapis. Kadang kesederhanaan adalah hal terbaik dari segala perumpamaan yang baru saja kau tanyakan. Ungkapan hatimu mudah terdengar hingga tak lagi menjadi rahasia yang kau jaga seumur hidup. Sekali waktu kau mungkin perlu membaca novel Balada Si Roy, atau sketsanya Pak Kayam agar suara hatimu rapat tersimpan. Aku hanya tinggal bertanya pada angin, angin topan, angin puyuh, bahkan angin-angin selalu memberikan jawaban. Tidakkah kau berpikir?”

Iangatan lain seakan ikut terbangun diantara banyak lintasan. Bagaimana tidak, di saat tubuh terasa terpanggang dan telapak kaki serasa terbakar, salah satu matanya dihujani sepatu bersol besi hasil impor luar negeri. Ia mengerang di tengah serdadu yang begitu gagah menentang senjata. Tetapi hatinya tercelupi sepasukan iblis yang doyan sambel ijo daging bebek muda. Mereka merengsek menghalau orang-orang yang berteriak ditengah jalan besar, jalan utama. Letusan yang menggema itu mengerang melejit ke angkasa, ia masih sorak-sorai, tetapi ketika melesat pada kerumunan tiba ia menangis dan ingin mengerem tetapi lajunya terlalu cepat, bahkan residu yang ada didalamnya tak mempan mengendalikan lesatan peluru itu.

Ia mengaduh tetapi hanya ia yang mendengar, ia tertinggal barisan bukan ditinggal. Mereka dipaksa mundur dalam radius yang ksatria. Dibanding mereka yang berseragam penguasa yang tegar mempertontonkan sikap jumawa tak ayal. Salah satu dari mereka menendangnya begitu santai, seakan tubuhnya seonggok sampah tak guna. Sesampahnya sampah masih berguna diantara mereka pencari kejujuran yang hidungnya berakrab-akrab dengan segala macam kebusakan. Lucunya, mereka jenis kaum yang tak tersentuh oleh segala jenis virus. Ia mengerang, tetapi hanya ia sendiri yang mendengar. Matanya telah gelap, sebagaima ia menyukai kegelapan, karena terang selalu menghianatinya. Ia berjalan terhuyung-huyung menghindari sepakan, terjangan, juga makian. Ia mencari jejak digital, tak satupun dari mereka berada dalam jarak dekat. Mereka berlari untuk menyusun strategi, ataukah mengembalikan cerita pada kacamata para penguasa. Yang didapatkan ketika Elang berhasil menghindari kerumunan orang-orang berseragam itu, tubuhnya terasa lebih ringan, gelap sebentar, tiba-tiba tubuhnya bergetar pandangannya yang tajam berubah bisu dan buram, ada ngilu yang dalam. Rupanya ia telah berkenalan dengan barang yang pernah di jahit oleh Nabi Daud. Tetapi utusan Allah ini tak pernah menghianati barang sejengkalpun tentang kemampuan yang maha dahsyat. Elang meraba matanya masih berada ditempatnya, tetapi ngilu yang dalam itu membuatnya pingsan dalam rentang kebisingan dan teriakan tak henti dari orang-orang yang menginginkan kebebasan kemanusiaan. Ia terbangun dan mendapati tubuhnya berada diselokan berbau tai. Wajahnya pun berlumuran paceran yang menyengat. Rasa gatal segera menjalari selangkangan, ungtungnya celana dalam tak terlepas dari pinggangnya yang seukuran kambing gule muda. Lidahnya mengecap rasa asin dari air liur yang diteguknya setengah paksa. Ia berdiri melangkahi orang-orang yang berselimut paceran hitam pekat. Ia ingin teriak memanggil orang-orang itu agar lekas bangun, karena azan maghrib telah menggema ke saentero jagat. Ia ingin memastikan siapa tahu diantara mereka ada yang tak ingin ketinggalan jamaah sholat, ia pernah mendengar dari para kyai yang memberi petatah-petitih selepasa subuh; “sholatlah tepat waktu” yang terdengar adalah tangisannya sendiri melihat orang-orang yang dikenali tidur berbantal air selokan dan berselimut paceran.

“Hei!, kalian semua bangun. Apa kalian tak ingin cerita yang baik di ujung kehidupan. Apa kalian tak rindu bercengkram dengan si bungsu yang merengek minta jajan bakso ketika bertemu kalian di ujung kelelahan. Bangun pengecut!, bangun!, serigala-serigala itu sedang merokok dan minum kopi di warung-warung kejujuran. Sebentar lagi mereka datang membawa pasukan harimau dan singa yang mengembik.” Elang melenguh panjang, lalu tubuhnya tumbang menghantam paceran. Nafasnya memburu, serigala benar-benar datang dan mulai mengendusi teman-temannya yang begitu pelit bersuara.

Bau kopi membuyarkan lintasan yang lara di masa lampau. Nenek terkekeh di depan Elang meninggalkan pemuda tampan yang mendengkur keras di bawah panas yang membakar. Nenek bilang serigala-serigala itu sekarang banyak bersuara burung-burung poksei yang kadang hinggap di atas daun singkong. Melompat kesana kemari tanpa memperdulikan buluyang yang makin rontok. Lalu ia terjatuh karena tak bisa lagi terbang. Ia menyeruduk ke segala penjuru karena tak punya sayap lagi, lalu suatu pagi ditemukan diatas panggangan seorang chef yang sedang menaburinya dengan garam bergaya menggelikan. Tak perlu memahami segala perumpamaan yang ada pada sebuah rezim. Serigala-serigala itu sekarang sekarang terkena gudig stadium empat. Berbagai salep telah dibelinya dari luar negeri. Harganya mahal, tetapi tidak ada tanda-tanda kunjung sembuh. Mereka lalu mulai bekerjasa dengan para tikus untuk mencabuti kutu-kutu yang menempel pada bulu mereka. “Aku tak ingin mengucapkan hal itu” ungkapnya. Lalu ia melanjutkan; seseorang telah merancang sebuah permainan yan mengorbankan banyak pion dan mengurbankan beberapa menteri. Jika jalan tak mulus Raja akan memaksa seluruh pasukan agar ia bisa berjalan bebas di atas altar merah mewah.

“Di agama nenek, apakah ada Nabi Khidir yang mayshur itu?” tanya Elang sambil menyeruput kopi pahit getir. Campuran apakah yang dipakai, terasa seperti perasan kunyit yanh hanya digeprek tanpa proses parut.

“Ia gurunya Nabi Musa, guru-gurunya dari segala kehidupan.” Jawab sang nenek.

“Apakah ia masih hidup,”

“Aku tak berani menjawab, dulu nenek sering kabur membantu seorang kakek yang kesulitan mendorong gerobak pada jalanan menanjak. Sementara sang Kyai malah memberiku jenang sebagai hadiahnya. Kupikir kupingku yang akan memanas karena jewerannya, tetapi kyai itu begitu memahami tak hanya berteori. Kok malah ngelantur. Apakah nanti pembaca akan mudah mengeluh karena ceritamu seperti dongengan nenek sambil nyirih menunggu senja turun.”

“Aku tak peduli, itu bukan urusanku. Bagaimana nenek ada di atas kapal yang menyiksa ini.”

“Ini perjalanan yang menyenangkan, aku bisa bertemu dengan pangeran kegelapan, putri matahari. Nama-nama mereka harum semerbak. Tak ubahnya hujan yang merengkuh kemarau agar tak terlampau sedih. Manusia semestinya tak terlalu berharap pada kenyataan pahit. Ia malah mendatangkan keajaiban membelakan mata. Dari yang pahit ada manis melebihi rasa manis yang pernah kalian rasakan. Ada manis yang berasa pahit, pahitnya mengalahkan rasa pahit dari brantawali yang kalian paksa kunyah. He…, maaf. Semestinya kau tak perlu mendengarkan perkataan tak berguna macam ini. kenyangkanlah, hingga kalian tak lagi merasa ingin lapar. Apapun itu, nenek merasa cukup dengan yang ada, ini terdengar klise, mau apalagi kita hanya mengulang-ngulang tetapi selalu lupa.” Ia meludah sembarangan ke atas baskom samudra, apa yang ia lakuka tidak artinya. Mungkin ludahnya akan jadi kudapan ikan-ikan teri yang lambungnya tak kuat menampung sebanyak tiga piring.

Rasa ngilu masih membaluri sekujur tubuhnya, pilu duka menjadi santapan isi kepala. Elangtersenyum barang sejenak, hiburan gratis disediakan oleh alam. Di sampingnya nenek itu tak berhenti bicara mengungkapka apa saja. Nenek yang tahu betul kapan harus bicara dan berhenti bicara juga untuk siapa. Kupingnya merasa dininabobokan oleh dongeng-dongeng masa kecilnya.

Seekor kucing belang coklat datang menggigit ikan yang terbungkus Koran. Ia mengambil ikannya dan meninggalkan Koran lecek untuk Lukman, kucing itu menoleh sebentar; “Bertahanlah nak, hidup ini terlalu singkat untuk disesali” Elangingin bangkit, setelah merasa ajeg. Suara barusan lebih mirip nenek, apakah Elang mulai kehilangan pembanding. Suara hatinya mulai tak jeli untuk membedakan peristiwa dan situasi. Matanya mengerucut jika tidak ingin dibilang sipit. Namanya tertera jelas pada sobekan Koran yang ditinggalkan take tis oleh si kucing belang cokat tanpa menoleh kebelakang barang sekali.

Kalimat-kalimat dalam sobekan Koran itu membuat kepalanya berdenyut-denyut. Ia menelan beberapa butir paramex, obat sakit kepala. Hanya sesaat kepala yang digodam kembali pening. Koran itu bilang; “seorang istri dari penyair buron tengah dipanggil oleh yang berwajib. Ditanya ini itu, soal-soal yang tak ada jawaban. Perihal yang mustahil diterangkan, dan segala tetek bengek kemunafikan. Tak ada satupun yang bisa dicerna oleh isi kepalanya. Ia ingin menembus tempurung kepala para serdadu, yang ada suara-suara nenek yang makin berceloteh riang, makin tak terkendali.

Bagaimana fotograper membidik objek dengan jeli, seorang anak kecil masih terlalu kecil untuk dibilang anak menatap ibunya yang kedua tangannya diborgol oleh serdadu yang tiap ditatap olehnya menyeringai, atau tepatnya ogah-ogahan menangkap seseorang yang hanya menjadi akibat dari peristiwa yang menyulut perpecahan di mana-mana. Ia melihat dengan kepalanya yang masih kecil mengintip ibunya keluar dari rumah, sementara ia hanya bersembunyi dari balik punggung neneknya.

Nenek merebut Koran itu dari tangan Elang, ia terkekeh seperti tokoh antogonis pada sandiwara radio Misteri Gunung Berapi, tentu saja setelah lolongan Srigala yang tak berganti suaranya. “Kau akan mendapati zaman yang membuat orang-orang tampak semakin keras untuk mendapati secuil keadilan dari lumbung yang telah dikuasai berbagai jenis Tikus,” cecar Nenek. Ia meludahi mangkok kecil yang tampak menggenang merah.

“Sama sekali tak ada kemerdekaan buat orang sepertiku Nek, begitu nyaman hidup nenek. Semua seolah-olah berjalan lebih lambat di mata nenek.” “Mungkin mereka harus membaca cerita tentang Anjing Rimba yang menjadi biru,” kata nenek sambil terkekeh lagi. Lalu tatapan tajam milik ia hujamkan kepada Elang.

“Bagaimana pendapatmu?” tanya nenek.

“Aku belum membaca cerita itu?”

Nenek mengeluarkan dari tasnya sebuah buku tipis, tak bersampul, berkertas coklat. Ia memberikan kepada Elang. Tatapannya yang menaklukkan membuat Elang pasrah untuk menerimanya. Ia mulai membukanya lalu terhenti sejenak pada kisah yang baru saja judulnya diberitahukan oleh nenek. Sebuah buku cerita tua yang sejenak teralihkan dari Koran yang membuat pusing kepala. Nenek di sampingnya manggut-manggut melihat murid barunya mulai sibuk untuk membaca kata demi kata dan seterunya.

Elang menghentikan sejenak apa yang baru saja dikagumi oleh nenek. “Dasar pembaca malas, baru saja kau buka satu halaman sudah kau merasa cukup itulah kenapa bangsa kita mudah kena tipu daya,” sumbar nenek, matanya meredup melihat samudra luas.

“Aku membutuhkan penjelasan atas semua ini,” ungkap Elang.

“Nenek bukan Tuhan yang Maha Tahu, kau sendiri yang harus cari sendiri jawabannya. Tak mesti semua pertanyaan yang kau gelisahkan mendapatkan penyelesaian pada saat yang sama.”

“Aku mulai mengandalkan pengandaian dari nenek.”

Nenek tertawa dan berhenti pada saat yang bersamaan. “ Nenek bukan ahli nujum, kau tahu sejak Nabi Muhammad lahir, Iblis dan para dedengkotnya tak bisa menguping berita langit, jadi jangan berharap lebih pada manusia, apalagi pada nenek yang kau tak tahu masa lalu nenek.”

“Apa perlu mengetahui masa lalu seseorang untuk memperoleh satu jawaban. Amat dengki, jika mengetahui aib masa lalu lalu orang-orang meninggalkan satu persatu.”

“Nenek tak suka cara menjawabmu, terlalu didaktik, kau perlu belajar banyak tentang kebijaksanaan. Bila kau teruskan caramu itu kau akan banyak kehilangan rasa, kawan, dan pengalaman.”

“Kematian membebaskan kita dari segela tuduhan yang membuatmu sesak dada, pada saat yang sama kebenaran akan muncul terang benderang. Itu tak bisa mereka nafikan, meski mereka berusaha keras untuk menyumpal dengan berbagai tahta, atau tak jarang wanita yang memikat. Yang kau takutkan akan menjadi semacam kesanggupan menahan kerasnya hantaman mereka. Satu persatu pilar-pilar yang mereka susun, akan menimpa mereka sendiri. Jika mereka masih kokoh, umur mereka akan terus berkurang dan kematian terus mengintai pada jarak tombak mematikan. Dan itu tak bisa mereka sangkal, jadi tenanglah anak muda. Panjang umur perjuangan.”

“Begitukah Nek?”

“Ya, kau tak perlu menegaskan apaun pada dunia, karena yang kau perjuangkan akan terus terkenang dan banyak bahu baru yang terus meremajakan setiap perjuangan. Kau perlu menengok tulisan dari para jiwa tulus juru damai negeri ini, guru pendidik bagi orang-orang yang gemar sholat. Mereka bukan Nabi, mereka yang membenarkan apa yang diajarkan oleh Nabinya. Guru pendidik itu bilang; “teruslah berjuang, hingga perjuanganmu lelah diujung kain kafan. Teruslah berjalan, hingga berlarimu berhenti pada titik kebahagian yang tak bisa dirasakan oleh musuh-musuhmu. Teruslah berteriak, hingga kata-kata tak lagi mucul dari balik pita suara. Teruslah menulis, hingga kertas tak lagi menampung tinta sejarah.” Hingga cita-citamu tak lagi berhenti dipersimpangan, lalu menguap berganti generasi ke genarasi. Itu pun tak perlu kau risaukan. Meski ragamu lenyap oleh kawanan burung pelatuk yang memuntahkan peluru pecundang dan penghianat bagi bangsanya sendiri. Kaupun tak perlu mencari tahu tentang TKW sepertiku yang hinggap di atas geladak kapal yang mampu mendidihkan ubun-ubun bayi. Ada banyak alasan kenapa seseorang perlu sejenak hilang dari kerumunan orang-orang terdekat, agar mereka mampu membedakan tentang kehangatan bertetangga dan saling menjaga. Dermaga sudah makin jelas, mungkin ketika cucuku benar-benar bangun, akan kuceritakan tentang seseorang yang menakjubkan. Kau tahu, cucuku hanya mendapati dirinya tidur dalam mimpi, ia sama sekali tak bisa bermimpi. Seluruh pekerjaannya telah menyita sebagian masa mudanya, sungguh kasihan?”

“Setidaknya cucu nenek memiliki rasa merdeka,”

“Tetapi kau telah memperjuangkan “kemerdekaan” bagi mereka yang tak sempat berteriak atau suaranya tertahan dalam pilu dan lara?”

Elang berkemas, peluit panjang agaknya bisa disebut sangkakala, setidaknya mirip begitu. Bila Malaikat peniup sangkakala, benar-benar manusia tak bisa lagi melakukan banyak hal. Mereka siap-siap berkemas menerima segala resiko yang pernah dilakukan didunia fana. Elang menatapi senja yang makin hangat, ia seperti ingin menjadi matahari yang tampak berwibawa dengan segala keanggunan, tanggung jawab, tak pernah mangkir dan lain-lain.

Kamis, 06 Februari 2025

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 7
Kapal Di Buat Untuk Menghajar Gelombang

Ia hanya lelaki ceking, suaranya tidak jelas, tetapi kalian begitu repot-repot mengirim berbagai jenis telik sandi untuk meringkusnya. Membungkam kata-katanya. Kalian sendiri yang menggembar-gemborkan agar demokrasi dijunjung sampai ke langit, tetapi suara keras dari akar rumput kalian pangkas sampai habis. Menyisakan satu duka sampai ke anak cucu. Kehadiran kalian tidak membawa pesan apapun. Bahkan nyalak binantang lebih kusukai dari pada pidato kalian yang disusun mendadak oleh ajudan yang bangun terkantuk-kantuk, setalah kalian repotkan seharian.

Ia pernah tergopoh-gopoh mengetuk pintu rumah di pagi yang buta. Wajahnya cemas tetapi matanya ia teguhkan maksimal. Aku mafhum ia dalam pelarian, menghindari serdadu yang mondar-mandir main kucing-kucingan. Tetapi ia bukan sembarang kucing, ia jenis kucing hutan (bob cat) yang memiliki telinga tajam. Kalian akan sulit meringkusnya, mungkin sampai ketika lebaran gajahpun kalian tak sanggup menangkapnya, apalagi menjebloskan ke penjara. Kalain hanya bisa mengurungnya dalam sel sempit penuh tikus got dan muntahan kucing. Tetapi tidak bisa mengurung isi kepalanya yang berkobar-kobar melawan ide kalian yang tak memihak kepada rakyat kecil. Gagasan yang kalian tawarkan seringkali mentah dan mementahkan persepsi sederhana dari sebuah kesejahteraan jasmani dan olahraga.

Pagi itu, kusuguhkan sepiring nasi dengan lauk telor dadar yang tampak gosong, sebab aku tidak bermimpi apa-apa semalam. Karena kalian membuatku lelah sepanjang siang berteriak menentang kata-kata kalian. Ucapan kalian sungguh keterlalun membuat bulu kudukku cepat-cepat meremang. Aku jadi sangsi apakah kalian betul-betul manusia, atau jangan-jangan kalian mahluk jadi-jadian yang seringkali berubah seenak perut. Sikap kalian sulit ditebak dari hari ke hari. Kusarankan kalian agar membaca karya Pak Mahbub Djunaidi. Bila kalian berat atau enggan menghabiskan seluruh halaman, maka bacalah barang lima sampai sepuluh halaman. Jika masih berat, maka renungkanlah testimoni dari para pengarang tentang buku itu.

Ia menandaskan seluruh nasi dan telor dalam waktu yang mengagumkan. Sudah berapa harikah ia tak mandi, rambutnya semakin menggibal. Bau badannya masih sama, tetapi lebih sangit dari yang pernah kucium. Juga apakah makanan terakhir yang sudah menyambangi lambungnya yang mungkin makin menciut akhir-akhir ini.

Mata kirinya yang memerah permanen melototiku. Ia celingak-celinguk mirip monyet kena tulup. Aku ingin tertawa, tapi urung kulakukan. Akan jadi dosa besar menertawai seorang pejuang yang kebebasannya makin dipangkas tiap detik. Padahal kata-katanya sama sekali tak berbahaya, setiap kata yang meluncur adalah pengingat bagi kalian yang seringkali amnesia selepas duduk di kursi yang mampu menyembunyikan setiap penyakit, sebut saja ambeyen. Ia ingin membebaskan makna dari kata-kata yang seringkali kalian pidatokan dengan urutan yang melelahkan. Bila kalian tak kunjung paham, ia sebenarnya ia ingin membebaskan kata dari segala keterbatasn makna. Karena pidato kalian sering hilang di ujung kalimat. Telinga-telinga di luar sana membutuhkan suara yang jelas, bukan dengungan tak karuan.

Kuputuskan untuk lenyap dari hadapannya. Hinggap di dapur dan menyiapkan segelas teh hangat di mug bening bergagang. Ia tersenyum lalu menenggak habis hingga jakunnya naik turun. Lehernya mengkilat kehitam-hitaman.

Sudah berapa lama ia berjalan melawan matahari yang sudah sekian jam menyetrikanya. Ia masih memakai topi yang pernah kuberikan ketika pertama kali bertemu dalam riuh rendah dan teriakan para demonstran. Ketika itu ia masih menggenggam secarik kertas lusuh yang tiba-tiba diremasnya kuat-kuat, lalu melemparkannya ke arahku ketika gas air mata memorak-morandakan seluruh barisan. Aku menangkapnya sambil terpejam, gas air mata itu sangat menyebalkan. Mereka menganggap kami musuh nyata yang mesti dimusnahkan dari bumi pertiwi. Ada ketidakpedulian manakala genangan darah memerahkan sepatu mereka, mungkin dianggap sebagai pencuci dari dosa yang mereka lakukan sebelumnya. Semacam penebusan kesalahan, bila salah satu dari kami benar-benar tertangkap dengan bidikan yang tepat.

Ia pamit karena tak fasih berbasa-basi. Ia bilang tak ingin merepotkan siapapun. Ia membunkukkan badan melepas topi sebentar lalu pergi dengan tergesa-gesa. “Hati-hatinya ya mba,” bisiknya sebelum ia menutup pintu rumahku.

Aku tolak ketika ia ingin mencuci piring dan gelasnya. “Mba bisa kena loh, banyak sidik jariku di piring dan gelas,” ucapnya pelan. Sisa dari ruangan yang tengah ia gulirkan adalah kesenyapan yang membuatku tercengang. Seperti apakah pikirannya dan sebesar apakah kelapangan dadanya. Apakah ia bisa merasakan setiap detak jantung para serdadu. Hingga ia kerap kali berjalan dengan kecepatan berlari. Akupun memancangkan sebuah tekad: tak ingin ia menganggapku sebagi tikus. Jenis hewan itu sering membuatku gusar akhir-akhir ini, ditambah jam tidurku terganggu oleh tukang ronda yang semakin rajin memukuli tiang listrik setiap dua jam sebelum subuh.

Selama ia sarapan, aku hanya mendengarkan perkataannya. Mungkin semacam gerundelan yang kupikir bisa menghibur selama pelariannya. “Mba, rumahku digeledah, buku-buku kesayanganku dibakar. Bahkan buku hadiah dari mba juga ikut terbakar. Bahkan istriku juga dibawa kodim untuk dimintai keterangan. Senang sekali mereka meminta keterangan, padahal untuk administrasi saja mereka masih kacau. Mereka telah menggunting setiap jengkal langkah yang kutempuh. Kalau dihitung-hitung perjuangan ini untuk meringankan tugas mereka. Kenapa mereka begitu sensitif ya mba?” tanyanya. Aku hanya menjawab sepatah dua patah kata. Bagi orang seperti Elang, suaranya jelas lebih jernih dan menggetarakan. Kalian pasti takut dengan kata-katanya yang mampu membangkitkan rasa takut yang telah kalian coba kubur hidup-hidup. Entah kapan lagi aku bisa mendengar suaramu yang kuat dan kokoh.

Jarang sekali ia menerima uluran dari tanganku. Ia kerap menolak apapaun dariku. Kali ini ia menerima dengan kikuk. Ada gurat malu disana yang coba ia sembunyikan. Kali ini ia tak bisa menyembunyikan apapun dariku. Gerak-geriknya seperti pasukan yang mengalami kekalahan pada pertempuran pertama. Atau ia sedang memainkan peran, sebagaimana ia sering berkeliling untuk menerjemahkan gagasanya lewat pentas kemana-mana.

Dua pekan yang lalu kulihat di televisi namamu disebut oleh pembawa berita yang berparas aduhai. Menuruturkan secara ringan, ia hanya memindahkan ulang dari tulisan pada kata-kata lancar tanpa beban apapun. Bahkan sesekali pembawa berita itu mengibaskan rambutnya yang sebahu tanpa peduli akan keruwetan yang ia sebabkan barusan.

Serdadu yang bertabur emblem itu memaki-maki dirimu dan mengabaikan prokes yang sepatutnya dijalankan semestinya. Serdadu terus saja marah-marah. Berbagai macam alasan ia ungkapkan. Alasan yang sering diulang-ulang dalam tiap kesempatan akan mempertegas kesalahannya. Bagi seorang sepertimu Rok, pertanyaan yang bodoh adalah pertanyaan yang diutarakan. Tampaknya perjuanganmu akan meletihkan, tidak hanya pada dirimu tapi akan menyulitkan oaring-orang seperti kami.

Serdadu belum beremblem bintang bahkan memukul meja liputan. Suasana mendadak hening. Pembawa acara yang aduhaipun ikut pucat pasi mendengar orang yang ditakuti sedang muntab. Pembawa berita itu tak berani mengibaskan rambut berkali-kali. Ia terdiam sambil menatapi jemari tangan yang kukunya dicat warna-warni.

Sebuah pemandangan masgul, pemerintahan sampeyan rupanya menghakimi hakim yang memperoleh senjata lebih mudah, dari pada hakim-hakim yang lain. Aku tak habis pikir kenapa mereka begitu lincah untuk mengumpulkan segala respek yang tak tahu ukuran dan kualitas. Kemana sekarang sahabatku yang asik masyuk mencatat sekaligus berteriak kesetanan ketika kedua kakinya berdiri di panggung. Apalagi dalam keadaan berkostum jalanan, kamu bagaikan singa terluka yang ingin mengaum untuk terakhir kalinya.

Pagi itu, aku ingin mengingatnya terus. Mungkin perlu kuulang tentang sepiring nasi dan telor dadar telah menjadi api. Keringatmu mungkin sekarang lebih mengucur dibanding perjalanan sebelumnya. Kerongkonganmu tak mudah untuk haus seperti perjalanan pertamamu. Kuharap kau bisa menakar segala jenis pertarungan yang sebentar lagi akan kau hadapi. Meski tanganmu kosong, di pinggangmu tak terselip revolver apalagi belati pendek senjata mematikan jarak pendek. Kau punya mata tajam yang bisa membuat frustasi dan kalah sebelum tanganmu terborgol besi dingin stainlees.

Kabarnya kau tahu, teman-temanmu ada yang kembali dengan utuh. Mungkin mereka ada yang sedikit berbeda dari penampilan sebelumnya. Mungkin salah satu teriakannya telah menghancurkan gendang telinganya. Bisa saja salah satu dari mereka mengungkapkan sebuah rahasia karena siksaan yang begitu memayahkan mental mereka. Aku penasaran, apa yang akan kau jawab nantinya. Apakah kau akan membalas seperti biasa; Lawan.

Ini memang membosankan, tetapi pembaca sekalian. Perjalanan menjadi buron idealnya harus dibekali dengan hal-hal yang menakjubkan. Tetapi temanku, hanya membawa kekuatan dari dalam. Yang bisa menghempaskan segala pernik kesombongan yang tengah menghantui seluruh kota. Tak ada pahlawan manusia kelelawar yang datang dengan baju besi dan mudah bergerak, selincah monyet kelaparan. Yang ada hanyalah seremonial tiap pagi yang dipertontonkan setiap waktu, dari orang-orang yang menggadaikan idealismenya begitu murah, atau pandanganku yang masih kabur melihat segala sesuatu melalui kacamata renang. Bukan teropong milik james bon, alis jaga masjid sama kebon. Pandangan mereka bisa menembus batin, hasil dari jiwa yang terlatih menaklukkan segala kesenangan duniawi.

Pemegang tampuk kemimpinan segera menjelma dan mengambil alih tugas dari para centeng penjaga kebun. Tak hanya itu mereka juga mengambil segala jenis buah, meski buah itu memiliki rasa pahit tiada kira. Tak terkira mengambilnya. Meski masih muda buah itu tetap dipetik, mereka beralasan terbawa buah masak. Pandanganya telah kabur, mungkin mereka perlu obat tetes mata. Mungkin yang berbahan dasar madu agar segala ciloh menetes deras meraba seluruh pipi yang tak pernah disetrika matahari.

Satu waktu kuajukan nama Elang sebagai seorang sastrawan kepada salah satu penguasa di negeri tercinta. Pikir-pikir tindakan ini untuk meringankan beban istrinya, meski tak perlu ada yang diringankan.

Seluruh syarat kucukupkan agar keluarga Elang mendapatkan satu imbalan, atas nama perjuangan dan persahabatan. Mungkin ia agak kesal dengan yang kulakukan. Paling tidak ia akan mengirimkan berlembar-lembar puisi yang akan memenuhi kotak pos di depan rumah. Tetapi itu bagus setidaknya aku bisa menuliskan rekam jejaknya, entah sampai di mana ia dapat memberi jarak pada serdadu yang tak pernah berhenti mengejarnya. Atau ia sedang menikmati secangkir kopi di warung pinggir jalan dan bercengkrama dengan orang-orang disekitarnya yang ia kira sebagai pengunjung biasa. Yang kudapatkan ketika permintaanku dibalas oleh surat dari penguasa. Ada banyak nama yang mendapatkan tunjangan di hari tua, tetapi nama Elang justru menjadi bulan-bulanan dari pihak penyelenggara. Mungkin ia bukan bagian dari sastrawan negara. Menyusul pertanyaan kemudian adalah apakah sastrwan bukan bagian dari kepentingan negara. Lalu yang ada hanyalah kalimat; sastrawan tidak berbahaya, tetapi dibenci oleh penguasa. Inilah bagian yang kuanggap sebagai perlakuan yang berbeda.

Setelah engkau renggut masa depan anak dan istri, sekarang kau mulai mempendek jarak perjalanannya. Membatasai perkataan dan teriakannya. Sebabnya ia kemudian menjadi pelarian pontang-panting mempertahankan idealismenya. Sampai kapan ia akan berstatus sebagai buron, ketika anak-anaknya dewasa apakah ia bisa menghadiri pengambilan raport tiap semester, berdiri tegak ketika anaknya lulus sebagai anak bangsa. Aku tak habis pikir, kenapa semua ini bisa terjadi. Keadilan memang tidak dikolong langit tanpa seseorang melakukan apapun. Ia akan hadir bersamaan dengan keadilan lain yang kalian anggap sebagai kesengsaraan. Tuhan tak pernah tidur barang sekejapun, camkan itu baik-baik, soalnya kalian sering lupa jika sudah menikamti gulali dan silap memandangi kapal yang tertambat di dermaga.

Rabu, 05 Februari 2025

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 6

Cara Menghilangkan Perbedaan adalah Melenyapkan Tanpa Jejak 

Ini kesikian kali Elang melarikan diri dari kejaran serdadu yang bermata garang dan berhidung tajam. Berita tentang para koruptor yang disebut sebagai penyintas membuatnya tampak uring-uringan. Seolah ingin bersembunyi di balik tumpukan uang yang dijeratnya susah payah. Bila terus memikirkannya, mungkin Elang akan kehilangan selera hidup. Mau panjang atau pendek. KKN purwarupa prodak lama, tetapi ia masih efektif untuk mengubah wajah kalian jadi oren. Hanya senyum kalian seperti srigala yang berhasil menjebak musang dari buang hajat ditepi kali kumuh, pikirnya.

Ia keluar dari pondok tua milik orang yang telah berbaik hati mendermakan waktu dan tempatnya. Di depannya embun-embun menari riang menyambut pagi yang dinging. Bukit-bukit di kejauhan tumpah tindih dengan gugusan awan halimun.

Duduk mencangkung di bawah hangatnya mentari. Sinarnya bagus untuk kulit sekaligus menghalau virus yang sekarang melanda negeri ini.

“Negara kita memang butuh sekolah lagi,” ucap pemilik pondok.

“Meraka seperti perempuan datang bulan, cepat marah dan sensitif.”

“Aku malu pada orang-orang seperti Hoegeng, para penggali sumur lubang buaya, dan yang tersembunyikan. Mereka seharusnya dapat bintang pahlawan dan layak mendapatkan santunan setiap bulan. Di bawah tatapan sangar senjata teracung mereka tetap menggali dan menggali. Kehidupannya berhenti pada cara mereka mengeruk sampah dan ditarik kereka sederhana. Sejarah seringkali mengulangi kesalahan yang sama. Ketulusan mereka menjadi penyebab sebuah keadilan seringkali salah sasaran.”

“Sementara aku malu pada diri sendiri,” ucap ELang.

“Kau tak perlu mengenalku, tetapi aku mengenalmu dengan baik, ketenaranmu sebagai buron telah menyulitkan para birokrat untuk tidur siang. Mereka terpaksa menelan puluhan obat tidur untuk mengistirahatkan sebagai anggota tubuhhnya, sebagain lain tetap memberontak menuntuk keadilan.” Pemilik pondok berpamitan meninggalkan sepiring pisang goreng dan segelas kopi hitam. Elang menatapi punggung yang mulai bungkuk, ia penasaran pada ‘malaikat’ yang telah repot-repot melawan kantuk menghidangkan makanan lezat di pagi hari.

Apakah cukup hanya dengan rasa penasaran. Kebaikan hatinya membuat sejenak melupakan pelariannya yang melelahkan. Ia mendengar sekelebat bahwa pemilik pondok itu seorang dosen yang mengajar para professor atau bahkan menguji para profesor.

Tadi malam sebelum tidur Elang mengenang perbincangan yang menggetarkan pikirannya. Bagaimana tidak, menurut pemilik pondok, “deklarasi PBB 1992 tentang Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa menegaskan bahwa kejahatan kemanusiaan itu sifatnya berkelanjutan, atau tidak mengenal kedaluwarsa. Artinya kasus itu akan terus dibuka selama belum diungkap, dan pelakunya belum diusut dan dipidanakan.” Aku hanya membacanya ulang, agar kau tak terlalu risau dengan aneka penyudutanmu yang menyesakkan. Kata; lawan yang kau gaungkan membuatku malu atas pencapaianku selama ini. Semua seperti tak artinya. Aku terlalu pengecut untuk sekedar membunyikan gendang, agar mereka terjaga.”

Elang menulis sesuatu diatas kertas kerja pemilik pondok. Lalu melangkah keluar mencangklong tas slempangnya. Udara masih terlalu dingin, meski matahari sudah mulai menghangatkan kulit. Ia tidak melibatkan siapapun dalam pelariannya. Membolehkan tinggal sementara adalah cara mereka beterimakasih atas perjuangannya. Mungkin.

Titip Anak dan Istri
Salam Demokrasi

Ia meletakan pensil diatas kertas. 

Sekelompok perempuan pemetik daun teh begitu akrab dengan kegiatannya. Menarikan jari untuk mengelus dan memetik daun teh dengan kejelian seorang pianis yang lembut menekan tuts nada secara simultan. Tak peduli dengan matahari yang mulai memanaskan ubun-ubun.

Untuk siapa mereka berjuang. Begitu slogan yang menempel pada bak truk pengangkut kopra. Ia pun tidur di atas kopra dan menyerahkan sepenuhnya pada supir truk yang akan membawanya pada tempat-tempat yang terduga.

Pandangannya jatuh pada jilatan matahari yang membasuh keheningan diri sendiri. Di kanan kiri batang-batang pohon besar beserta cabangnya menari indah melakukan gerakan pantomime yang tersusun secara rumit. Mereka sedang berdoa pada seorang yang jauh dan berlari sendirian agar jaraknya bernafas setidaknya lebih lama. Ia tersenyum pada diri sendiri. Menemani udara pagi yang masuk pada sela-sela gigi yang makin jarang tersikap dengan baik. Ingatannya teruji pada perjuangan teman-teman yang lebih dulu kena ringkus dan mungkin sekarang sedang menerima ‘sarapan’ yang tidak hanya mengenyangkan tetapi juga mengurangi ingatan pada masa kanak-kanak.

Ia hanya membayangkan pada negeri yang indah ini, andai lepas dari taring-taring tirani yang selalu bersembunyi pada senyuman, lipatan baju tersetrika, harum semerbak minya wangi impor, dan kaos kutang yang tak pernah kuning barang sedikit. Ia hanya mengecap-ngecap lidahnya sendiri yang gamang untuk menyatakan bahwa negeri ini sedang dilanda wabah tirani, busung kepercayaan, dan miskin administrasi. Kacau balau yang terkonsep pada mata pelajaran sekolah, meski pakai pembuka halaman, pelantang suara, mereka tetap saja gegabah untuk memastikan sesuatu yang benar-benar benar. Modul tirani hanya perpindahan rezim agar tampak santun dan berwibawa di mata dunia internasional. Lalu menganggap pertumpahan darah adalah hal wajar bagi sebuah perjuangan, apakah perjuangan mesti disandingkan dengan darah yang mesti dikucurkan.

Di warung kopi pinggir jalan. Suasana hangat seketika berubah beku. Radio itu memancarkan suara yang menghilangkan kerinduan untuk pulang kampung. Jejak harus diperlebar, agar perjuangan bisa dilanjutkan dengan waktu yang semakin menipis. Bulu kuduk meremang meski hanya langkah anak kambing yang menginjak ranting kering. Ini sudah keterlalua, tetapi perjalanan harus ditempuh meski tak berujung. Yang paling mengerikan perjalanan itu mesti pupus ditengah pelarian. Borgol itu akan membuat ngilu atau senapan panjang yang melukai tiap rusuk demi rusuk.

Kali ini ia benar-benar merasakan kecemasan di atas rata-rata. Radio mini menguarkan suara rezim hitam pekat arang. Suara itu mulai bercerita meski kecil seperti hantu tetapi tetap terdengar. Suaranya seperti sang Jendral yang telah pernah marah-marah di televisi. Penyiar mengatakan hanya mirip. “Aku ditangkap bersama tujuh teman lainnya, di sekap dalam rumah yang seluruh dinding ruangnya telah dilapisi oleh kawat-kawat kuat. Di sudut dapur yang cukup luas juga di sekap seorang ibu beserta anak-anaknya. Ketika malam kami terbangun karena mendengar teriakan dari para tahanan yang disiksa begitu rupa. Kami hanya menebak-nebak saja, saking keras lolongan itu membuat anak-anak kecil yang juga tersekap bangun sambil mengucek-ngucek kedua matanya. Ia kira ayah minta tolong untuk dibukaka pintu. Seorang dari pimpinan kami juga ikut ditangkap dan ia menawarkan diri untuk jadi tumbal asal anak buahnya tak disentuh barang sedikitpun. Lalu ia membuka baju, kami terkesima melihat sekujur tubuhnya penuh bekas luka. Seorang serdadu yang melihatnya disiksa bercerita padaku; pemimpin kamu kuat sekali ketika distrum pun hanya menggigil, bahkan ketika pukulan ekor buaya berkali-kali menerpa tubuhnya. Ia tak bergeming, mengaduhpun tidak. Tak ada kesenangan bagi kami, ketika menyiksa para tahanan tak terdengar lolongan minta ampun, kesakitan, dan beraduh-aduh sampai berbuih.”

Penyiar radio brengsek itu terus saja memintanya bercerita. Ini soal kemanusiaan atau kebutuhan rating semata. Tragedi kemanusiaan dijadikan tontonan yang bisa mendatangkan banyak uang. “Matikan radio itu” kata Elang. Dan ia mulai menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara. Asapnya membentuk timbangan yang didekatnya ada orang yang kedua matanya ditutup.

“Kau kenal Bung dengan orang itu barusan,” tanya Pak Supir yang tengah sibuk mengunyah gemblong.

“Aku tak mengenalnya, aku hanya membenci ceritanya. Ia mungkin sedang menjual ceritanya untuk hal-hal buruk atau semacamnya. Aku tak ingin dia dijebak dalam ruang dengung yang menggema memantul-mantulkan ketidakpercayaan pada kebenaran yang tengah digaungkan oleh kaum miskin papa.” Papar Elang.

“Ia hanya bercerita, mungkin tak ada yang terganggu ketika mendengar cerita. Bahkan orang gilapun menyukai orang bercerita, semacam rehatlah. Kau setuju Bung.”

“Tak tahulah, tapi mungkin agak memaksakan. Orang itu mengatakan agar orang tua kita harus menjadi pemberani. Kalau ayah kalian pergi dan teman-temanmu bertanya kenapa ayahmu selalu berjalan tergesa-gesa, dan selalu blingsatan ketika langkah serdadu itu masih belum terdengar. Ya karena ayahku seorang pemberani. Kalau ibu kalian dan teman-temanmu bertanya tentang ibumu yang menutupi sebagian wajah dengan jarit lusuh padahal langkah serdadu itu masih berhenti di warung rokok. Ya karena ibuku pandai bersandiwara dengan tangisan pilu meluluh lantakan persendian hingga mengira ada pencuri yang masuk ke rumah. Dan membuat tetanggamu terjaga dari tidur nyenyak barang sejenak.” Tutur Elang.

Keneknya hanya diam. Ia tak berhenti untuk mengunyah kuaci. Bungkus-bungkusnya berserakan di depannya. Elang menatap ke bawah kaki kenek itu. Tak dipakainya sepatu serdadu seperti yang maklum ditemuinya ketika tak di sangka tak di nanya seorang pedagang escendol begitu rapi jali lupa bagaimana mestinya berbaur. Ia juga khawatir karena membuka pembicaraan terlalu banyak. Seorang pelarian tak semestinya berbicara terlalu banyak, tuturnya hampir tak terdengar. Apakah menjadi penting jika harus baku hantam soal menyembunyikan identitas atau blak-blakan saja.

“Langit masih menjadi atap, angin masih menjadi dinding, aku tak khawatir untuk sendirian. Terimakasih untuk tumpangannya.”

Mungkin hanya perasaan saja, apakah hembusan angin juga memberi tahu serdadu itu tentang perjalanan Elang. Mungkin pembaca tahu?

Elang berjalan menyelurusi rel kereta api. Sayup-sayup terdengar lenguhan lemah, tepatnya rintihan. Bulu kuduknya merinding, apakah ada yang tenang di alam sana. Ini saat-saat yang membuat bimbang. Semua mungkin merasakan jika sedang dalam kesendirian, melewati masa-masa sulit. Perutnya tiba-tiba merasa mual. Mungkin ia teringat dengan para koruptor yang punya lebel baru para koruptor: penyintas?

Bagi Elang ini perjalanan yang terasa menyebalkan. Penulis cerita ini mungkin agak berlebihan, atau ia sedang terkantuk-kantuk setelah bekerja seharian, sebuah alasan yang amat klise. Ia berhenti pada rumah penginapan yang sepi, teramat sepi. Mungkin pengunjungnya sudah terlelap memeluk bantal.

Ia menyapa penjaga penginapan yang terkantuk-kantuk. Televisi hitam putih sedang menyiarkan laporan khusus edisi khusus. Presiden yang punya senyuman bagus itu sedang memimpin klompen capir, satu edisi yang bagus pada zamannya. Tetapi tidak bagi sebagian lain, ada orang-orang yang tak sabar untuk menonton film malam. Mungkin Rhoma Irama, Barry Prima, atau Jackie Chan sebagai bintang film yang telah lama ditunggu-tunggu.

“Ini koncinya,” jawab penjaga sambil mengerjapkan matanya.

“Ada pintu lain nggak, selain pintu-pintu kamar.”

“Kau bisa bisa lewat jendela.” Tuturnya lirih.

Elang membeli sebuah Topi di pasar malam. Ia memilih warna gelap dengan ujung yang lebar. Tak puas ia juga membeli Topi Koboi seharga nanas muda yang banyak di pesan sebagai rujakan. Ia langsung memakainya, mungkin karena merasa merinding malam ketika melihat serdadu yang sedang membeli cimol. Tak tanggung-tanggung serdadu itu memborong seluruh cimol yang ada. Penjual terlihat gembira, tetapi ia harus sabar melayani berbagai macam pertanyaan.

Sambil menikmati semangkuk bakso, Elang menguping pembicaraan serdadu dan penjual cimol itu.

“Kau kenal orang ini,” tanya serdadu. Tangan kanannya menyodorkan sebuah foto.

“Tidak tahu Pak,” jawabnya.

“Kalau kau ketemu, Cimolmu akan laris manis,” Tuturnya. Ia menyelipkan foto itu ke saku belakang. Lengan yang kekar itu membawa sekantung penuh cimol. Ia berhenti sejenak, melihat ke arah penjual cimol yang sibuk berkemas. Tanpa basa-basi Serdadu itu memberikan Cimol kepada pengemis yang sedang duduk melamun. Pengemis itu memandang kaku dan mulai menikmati cimol yang tak bisa ia makan sendiri. Ia melambai kepada handai tolan yang tengah memandanginya sambil menelan air liur.

Elang lekas menghabiskan satu mangkuk bakso tanpa penjiwaan bahkan komentar konyol tentang daging atau kuahnya. Malamnya yang larut adalah perhentian yang abadi tentang nafas dan rasa lelah. Elang merapatkan jaketnya, angina malam seringkali menjadi kambing hitam atas kelemahan yang direkayasa banyak orang. Langkahnya tak goyah meratapi jalanan. Tak peduli pada persangkaan orang, sekarang adalah waktu yang nyata untuk merenungkan semua hal.

Jalan atau berhenti. Dua-duanya adalah perjalanan informasi tentang kebendaan yang akan mengungkung kreatifitas terdalam atau mungkin paling sakral. Para penguasa itu seringkali lebih buruk dari pada keledai; ia binatang yang menjadi simbol agar kesalahan tak lagi berulang. Mungkin saja telinganya berguna untuk mendengar, tetapi seringkali bisikan kanan kiri menggoyahkan apa yang sudah diintuisikan sejak lama. Mungkin sejak lama, sejak pencalonannya menjadi orang dengan banyak kepala. Sehingga kepalanya sendiri sering pening berdenyut-denyut, meski obat penenang telah melampuai tenggorokannya sejak lampu kamar dimatikan.

Elang tersenyum manakala sandal jepitnya menginjak Tai Anjing yang sering kali berak tak sopan. Jenis binatang ini perlu belajar etika pada seekor kucing. Kawan lamanya. Atau mungkin ada rasa cemburu berlebihan pada binatang ini, hingga ia merasa tak perlu mengajari apapun pada Anjing. Meski salah satu “bangsanya” telah didapuk menjadi penghuni surga.

“Siapa,” tanya istrinya bersuara malas.

“Ini aku Elang,” ungkapnya sambil celingukan menatap gelap. Meski ia menyukai kelam, tetapi mereka tak jujur ketika benderang menghampiri. “Apakah kamu hantu, suamiku sedang ditempat yang jauh. Itu bukan suara suamiku. Jangan ganggu aku,” tuturnya. “Ini aku ELang,” tuturnya sekali lagi. Dadaku mengembang penuh. Kutengok anakku yang terlelap tidur. Suara yang kedua itu telah membangungkan suara keraguan. Keyakinan itu menguap kuat. Kumatikan lampu kamar dan pelan-pelan kubuka jendela kamar perlahan-lahan. Sebuah kepala muncul dari bawah, ia menatapku dengan cara yang sama. Bau keringatnya juga belum berubah bahkan lebih asam.

“Sekarang aku boleh masuk,” tanya Elang.

“Ini rumahmu tak ada yang melarang,” jawabku gemetar, lelehan air mata begitu saja keluar tanpa aba-aba. Rasa tak lagi hangat. Ia dingin, apakah ini perpisahan yang akan menyulitkan. Tentu saja tidak, bila kalian mengizinkan. Aku jenis perempuan yang tidak begitu berani menghadapi kenyataan, mungki karena anakku masih kecil. Atau bayangan orang-orang yang telah berada di bawah tanah mengikis keberanian perlahan-lahan. Apakah itu salah, mungkin peguasa itu merasa akan aman di bawah tanah nantinya. Tak ada lagi riswah, yang ada hanyalah kemampuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan.

“Kau tahu aku ini aktor, kukeluarkan suara sesuka hati. Mau dari perut, rongga dada, leher, atau ubun-ubun,” jawab ELang.

“Panggungmu telah dirampas,” jawabku pelan.

Aku melihatnya masuk, mungkin beberapa hari ia tak sabun dan pencuci rambut. Aku pernah mencium aroma pekerja aspal yang baru berhenti ketika senja. Aroma tubuhnya sama dengan aroma suamiku, asem bercampur tengik. Tetapi ia lelaki yang tengik plus bajingan. Itu hanya terjadi pasa film-film pendekar. Aku pernah menonton film kependakaran itu dalam dekapan suami yang masih beraroma bayi.

Kunyalakan lilin setelah ia memberikan korek gas. Aku tahu ia tersenyum, giginya lebih putih ketika dalam kegelapan. Syukurlah ia masih satu suku denganku. Sehingga masalah gigi tak jadi soal yang menakutkan, ini hanyalah masalah sudut pandang.

“Selama ini kau kemana, kukira kau sudah di Jakarta,” bisikku ditelinganya.

“Maaf, aku masih di sekitar sini. Aku ingin melihat lomba agustusan, kau keberatan.” Bisiknya pelan, suaranya terasa hangat ditelingaku. Ia memang benar suamiku.

Mungkin hanya alasannya saja, aku tak ingin mendebatnya. Ia sudah pulang tak perlu mengintrograsi dengan ragam pertanyaan. Kata orang bijak; salah satu penyebab suami tak betah di rumah. Tangannya yang ringkih itu tengah mengelus-elus anaknya. Tak jelas menggumam apa pada anak yang tak sempat di lihatnya pada pertama kali. Aku tak ingin mencegahnya untuk sekedar cuci tangan. Ini masa di mana orang-orang harus “terlihat” bersih dari segala aspek. Tujuannya agar suaranya lebih jelas dan mudah menarik masa.

“Masih ada makanan,” tanya Elang.

“Sebentar kusiapkan.”

Ia tak dapat melihatku meneteskan mata, tepatnya mengucurkan air mata. Jika kalian menganggapku berlebihan, mungkin kalian harus belajar untuk bersimpati. Suami kalian dalam keadaan baik-baik saja, tak dikejar-kejar penguasa, bahkan bisa berdekatan sekaligus bersenda gurau secara akrab. Baru satu kali tarikan nafas ia sudah mendendangkan sebuah lagu pengantar tidur yang sudah lama kudengar. Baik sebelum atau sesudah aku tertidur. Kuharap ini akan berlanjut sampai tua renta, setidaknya ini doa dari istri dari suami yang jadi buron sekarang.

Menjelang Subuh bayi itu menangis. Elang terjaga, memijit tengkuknya. Ia tertidur di dekat anakya. Tak jauh dari jangkaunnya sepiring nasi dengan lauk telur dadar berisi cabe dan bawang merah telah lama membisu. Ia bangkit menyantap makanan itu pelan-pelan. Ia tak ingin membangunkan siapapun karena suara kecapan yang terus menerus.

Istrinya tidur sambil memeluk bantal dan membiarkan bayinya tidur dengan nyaman. Bayi yang nyenyak seringkali menggemaskan. Ia ingin mengelus kulitnya, tetapi tangannya terlalalu kotor dan berdebu. Sendok yang digunakan sama dinginnya dengan nasi yang tengah dikunyah.

Elang menyambar handuk yang dijemur diatas pintu kamar. Ia menciumnya berungkali dan beberapa kali mengecap kagum pada daya ciumnya yang masih berfungsi dengan baik.

Aku terbangun mendengar air yang ditumpah-tumpahkan secara tak teratur. Awalnya aku kaget, kukira ada hantu yang sedang mandi terlalu pagi. Pikiranku agak tenang setelah ingatan jangka pendek mengkonfirmasi ulang tentang kepulanga suamiku. Kekagetanku agak konyol, kesendirianku akhir-akhir ini menyulitkanku untuk mengingat sesuatu secara permanen.

Mentari pagi masih sehangat kuku. Anak-anak sudah berlarian kesana kemari memutuskan untuk mengikuti upacara HUT kemerdekaan RI yang ke-51. Mereka sudah berseragam merah putih, sepatu hitam berkaos kaki putih, dan topi merah lengkap dengan logo nasionalisme.

Melalui lubang kunci Elang menelan ludah berkali-kali. Matanya memerah melihat orang-orang dewasa dibantu anak-anak memasang bendera menyembut 17 Agustusan. Momen sakral yang tak bisa terlewatkan. Pengerakan bendera merah putih sekaligus penurunan bendera pada waktu yang telah disepakati. Sang saka merah putih itu akan disimpan di tempat terbaik untuk kemudian akan dikerek kembali pada tahun-tahun mendatang.

Dikeja-kejar penguasa rasanya nano-nano. Puluhan hari Elang berteman dengan atap-atap malam. Pandangannya serasa tak tepat sasaran. Yang terdengar dari lubang kunci itu hanyalah deru tawa anak-anak dan orang-orang dewasa yang sedang mempersiapkan beragam jenis lomba. Semuanya tampak larut dalam kegembiraan. Mungkin taka dan hari esok baginnya. Kesilapan seringkali menghabiskan seluruh kemewahan pada saat yang sama.

Yang terlihat dari mereka adalah suara yang jelas, mengambang, atau salah satu dari mereka adalah penyamar yang sedang menjalankan tugusnya dari pengusa tanpa sepatu biasanya. Salah satu dari mereka betul-betul mungkin meyamar memakaki kostum pendekar.

Seorang bisa mengatakan bawa ayah hanya menitipkan rezekinya masing-masing pada anaknya. Rezeki anak sudah ada masing sesua dengan keindahan hati yang memilikinya. Bahwa penjara adalah satu-satunya tempat terbaik untuk menjungkalka semua kesombongan yang telah bercokol pada sarangnya masing-masing.

Sudah puluhan malam hanya menatap gelap yang ditingkahi bau nafas tikus-tikus tanah. Bagaimana detak jantungnya sendiri dirasakan begitu teratur dan indah. Ketika langkah serdadu bercelana pendek berbaju petani mencari Elang yang tengah melipat tubuh seumpama trenggiling. Elang abai dengan bau bacin yang menyergap seluruh pernafasannya. Kotak kayu telah memenjarakan sejenak dalam pelariannya menyambut Agustusan. Meski retak seluruh badannya, ia menyeringai ketika melihat serdadu berbaju petani itu tengah memaki tak karuan. Ilmu menyamar dan bersembunyi membuatnya berjarak dengan para serdadu.

Sekarang gelak tawa dari anak-anak remaja yang sedang bergumul dengan pohon pinang hitam yang licin. Melalui lubang kunci wujud dan wajah yang sulit tergambar ketika didalam petika ikan asin kini terlihat lebih jernih. Bahkan wajah para jendral yang marah-marah pada dirinya pun kalah ceria dan tampan. Wajah para jendral itu tak menyisakan lagi wajah kanak-kanak. Sama sekali tak berbekas. Yang terlihat kerutan tegas yang diperoleh dari ketegasan-ketegasan sebelum ia dilantik dan disumpah pada perkara kemanusiaan. Jendral yang marah-marah di televisi baru menyadari betapi licinnya belut meski sudah di atas tanah coklat.

Meski sudah sampai di rumahnya sendiri. Tak ada tanda-tanda pintu rumahnya dibuka. Elang tinggal sendiri di rumah menemani putrinya yang masih terelap meski matahari tak tak lagi terasa hangat. Ia bergegas ke kamar manakala saah satu anak remaja berhasi membetot ember besar. “Kamu lapar ya, sebentar ayah akan buatkan sesuatu untuk perutmu yang keroncongan,” tutur Elang jenaka pada bayinya yang tampak tak peduli dengan bujukannya. Mungkin susu lezat yang lebih penting dari bujuk rayu omong kosong.

Ia kembali dari dapur dengan botol susu yang sesekali dikocok dengan tangan kiri. Lalu meneteskan air susu itu ke punggung tangannya.

Elang mengangguk tiga kali memastikan semuanya aga berjalan normal.

“Ini susunya, minum dan tumbuhlah menjadi besar. Seorang yang pemberani. Tak pengecut menggendong tangan dibelakang. Seorang yang teguh melawan ombak meski hanya riaknya saja,” tutur Elang sambil menepuk pelan kaki anaknya.

Istrinya pulang menenteng payung. Hujan tak terdengar menjerit diatas genteng. Wajahnya terlalu serius di hari di mana orang-orang sedangmerayakan 17 agustus secara sadar.

“Kau tak keluarkan pagi tadi,” ucap istri Elang.

“Tidak, aku hanya mengintip anak-anak lomba dari lubang kunci, kenapa.”

“Meraka ada di semua sudut jalan, apakah kau tak takut.”

“Tentu saja aku takut, tetapi akalku mampu mentralisir itu semua.”

“Aku takut, anakmu tak sempat melihatmu ketika besar nanti.”

Elang menyelesaikan suapan terakhir. Ia mengelap mulutnya dari serbet kotak-kotak yang dibeli istrinya beberapa hari menjelang kepulangannya. Masih ada sisa bau baru yang sempat terhidu. Sayur sawi putih dengan ikan asin sebagai penggugah seleranya, tak ada kudapan ataupun makanan penutup. Yang ada segeles teh yang masih berasap pada gelas belang bertangkai.

Bayinya menggeliat mencari sensasi, mungkin ia perlu peregangan. Ia akan terus tumbuh menyongsong sekelumit cerita tentang hidup yang makin menua, makin jelas letak sebuah kesalahan. Manusia seringkali lebih berbahaya dari gejolak alam paling menyeramkan sekalipun.

“Aku takut…, suatu saat mesti ada akhirnya. Tak terkecuali sebuah pelarian. Mungkin semakin hari semakin banyak mata yang mengawasimu,” ucap istrinya.

“Justru pertanyaanmu membuatku semakin genah untuk melakukan hal ini; bersuara melawan rezim pembungkam, kugunakan semua perangkat yang nantinya bisa membebaskan, setidaknya bisa dikenang sebagai orang yang pernah melawan. Bila nanti aku ditahan maka ada kebanggan di sana, sebab penjara tak bisa melemahkan apa-apa. Jika nanti aku disel maka ada keromantisan di sana, sebab bui tak bisa mengucurkan apa-apa. Kau aka tahu nanti bahwa hidup sehari-hari yang sudah dijalani puluhan tahun oleh orang-orang yang selalu menajamkan mata pisaunya adalah penjara yang paling nyata.”

“Bagaimana aku menceritakan ini semua pada anak-anak nanti?”

“Ceritakanlah setelah semuanya terang, agar anak-anak kita bisa bersikap. Setidaknya untuk mereka sendiri. Jalan mereka haruslah diperpanjang sampai anak-anak kita tahu betul bagaimana menjaga semangat bapaknya yang pemberani. Apakah kau menyesal?”

“Kenapa perjuangan selalu menuntut tumbal pengorbanan. Maksud mereka apa. Apakah sekedar memperlihatkan taring mereka yang sengaja dipanjangkan. Apakah mereka ingin menunjukkan baju pulkadot baru beraroma kanji?”

Negeri ini semakin sendu oleh tingkah polah badut yang tak pernah merias wajahnya. Apalagi untuk meletakan setengah bulatan bola merah pada hidung mereka yang selalu mancung setelah berhasil menggunting dalam lipatan. Menyulap angka-angka menjadi lebih seimbang dari grafik yang sulit dimengerti kaum intelektul sekalipun.

Menjelang senja Elang keluar dari rumah. Ia menoleh sebentar pada jendela kamar. Istrinya menyibak sepotong penutup kamar. Elang terhenti sejenak, mata istrinya memerah. Mata yang dimiliki oleh orang-orang yang sedang emosional. Tetapi untuk apa, ia sedang menimang bayi yang selalu terlelap menjelang senja sampai tengah malam. Setelanya ia akan bergadang sampai kokok ayam berteriak memanggil manusia agar bangun.

Ketika azan maghrib berkumandang, langkah Elang  sudah semakin jauh dari rumah. Bau tubuh istri belum hilang dari ingatannya. Apalagi mulut bayi anaknya yang berbau mulia. Satu ciri bahwa bayi itu masih terlindungi dari dosa-dosa sampai ia terbebani oleh tanggung jawabnya sendiri. Bisa mengecam yang terlihat buruk dan bisa mencecap semua jenis kebaikan.

Elang berhenti di emperan mushola. Ia melanjutkan pelariannya setelah sang imam mushola menyelesaikan zikir setelah sholat. Menghitung puluhan sandal jepit, bakyak, slop, dan sandal aroma terapi.

Di depan mushola terdapat sebuah gazebo. Ia meluruskan kedua kakinya, sejak tadi terasa kaku. Patung kayu saja banyak mengalami perubahan yang terkadang menggunakan per untuk melenturkan beberapa titik agar bisa semakin cakap menilai siapa yang benar dan salah. Memang terlalu klise tetapi kehidupan ini menyajikan beragam kisah yang menuntu pembaca agar pandai-pandai memilih suatu bacaan. Agar berguna di masa depan.

“Orang baik di saat yang baik, itu sudah biasa. Tetapi orang baik di saat tidak baik, itu baru luar biasa. Maka jamaah yang di muliakan Allah, pilihan selalu di tangan kalian.” Tutur kyai yang sedang memberi santapan rohani kepada jamaah selepas maghrib. Penggalan kalimat yang berhasil mengusik rebahan Lukman. Ia duduk dan mulai menyimak kembali apa yang akan diucapkan oleh kyai itu. "Manusia itu tak perlu sombong, jika dia seorang ayah maka dia sedang “numpang” makan pada anak-anaknya. Karena sejatinya rezeki yang paling banyak “milik” anak-anak yang sedang dititipkan. Jika dia seorang Ibu yang melahirkan, maka berilah tempat bagi seorang ayah agar memiliki juga surga di telapak kaki ayah.” Elang tersenyum mendengar kyai itu menuturkan petuah kalimat demi kalimat.

Malam menunaikan tugasnya. Elang tertidur di Gazebo, dengkuran sampai terdengar sampai ke ruang marbot. Satu sebelumnya ia makan malam bersama sejumlah jamaah dan para marbot, hingga sulit beranjak. Segala jenis kudapan ia paksa telan serta habiskan. Suasana sejenak hangat, tak ada satupun dari mereka yang mengorek apa keyakinannya. Elang pun menikmati betul suguhan dari orang-orang tulus.

Ia ingin mengatakan pada para serdadu itu bahwa meraka tak bisa mencegat makanannya agar tak melewati kerongkongan. Mereka salah, kesalahan ada pada mereka, terlalu sensitife, praduga bersalah, tangkap dulu baru intograsi. Mereka melayani semua jenis permintaan yang tak masuk akal, melacurkan janji setia dan menjual harga diri secara grosir. Pedang pora menjadi lebih tumpul lebih awal, perang juga belum mulai tetapi mata pedangnya telah mengikis secara simultan.

Serdadu itu terus saja memenuhi permintaan tugasnya. Janji yang mulia; hanya menjalanka kewajiban. Mungkin mereka lebih logis dari pada orang awan (sipil) dengan mengataka; “istri dan anaknya sedang menunggu di rumah”, sebagian dari mereka mempertaruhkan nyawa agar nyawa-nyawa lain masih kembali setelah tidur malam panjang. Tuhan masih memberikan waktu agar manusia itu lekas-lekas kembali. Tidak hanya fisik tetapi juga mental. Serdadu itu mungkin perlu rehat atas semua yang telah terjadi. Atau jangan-jangan mereka perlu teman sekadar diskusi setelah hari yang berat. Siapa tahu jarinya semakin gemetar ketika ingin membidik sasaran dari darah yang sama. Cepat-cepat menyadari kesalahan lalu kembali pada sang pencipta.

Elang terbangun tengah malam ketika bentol-bentol sebesar kedelai hitam menerpa kulitnya. Nyamuk-nyamuk itu tak perlu etika untuk menjalankan tugasnya sebagai dasar agar kita memliki ruang yang lebih luas. Ruang etika dizaman sekarang semakin mahal, manusia adalah mahluk paling buas di antara singa paling abg sekalian alam. Ia mencari warung yang masih buka, sekadar untuk membeli obat nyamuk bakar dan sebungkus dua bungkus kuaci. Ia kembali tidur dan mengabaikan tatapan nanar serdadu yang ditempat lain sedang melangkah mengukur jalanan. Tak bosankah ia menderu dan mendesak segala keberanian untuk meringkus lelaki ringkih bersuara burung nuri, berbetis kurus, dan bermata tak berpengharapan. Tak relakah mereka membiarkannya melenggang kankung di pematang sawah seharian, biarkan.