Lebaran menjadi tonggak penting dari sebuah perjalanan. Dimana gengsi bisa dilempar dimakan anjing kelaparan. Elang melihat pemuda tampan tengah menggendong beras menjuang tinggi tanpa peduli tatapan gadis-gadis centil yang tengah mabuk perasaan. Dari mana datangangnya kekuatan itu, Elang tersenyum ketika disampingnya ada seorang nenek yang tengah mengunyah sirih sambil memegangi ujung pemuda itu dan mengarahkan pada tempat duduk yang dituju. Pemuda berwajah keras nan tampan mengipas-ngipang badannya yang berkeringat. Laut jawa tengah membuatnya lebih rupawan dari pada punggawa istana yang tubuhnya tak anti bakteri. Sediki-sedikit ke salon untuk meremajakan kulitnya.
Ia mengeluarkan secarik kertas lusuh dari kantong celana yang tak lagi berbau kanji. Padangannya menerawang menatap ombak tenang. Tak muncul barang seekor lumba-lumba merah muda atau biru yang sedang berpesta mangsa terkepung. “Laut seperti ini hidup, penumpangnya selalu murung, bertemu keluarga yang tak merindukan,” ucap Elang sambil menuliskannya pada bait pertama puisinya. Pensil dari tukang kayu kemarin membuatnya kesulitan membuat mengatur ukuran huruf yang diinginkan. Ia menyelipkan diantara duan telinga. Angin laut bersahabat tak sudi melempar pensil tukang Makita, warnya mungkin membuatnya jengah untuk tak disentuh.
Perumpaaan seperti apa yang membuat Elang bebas melangkah, kata-katanya tak lagi dibungkam oleh penguasa yang tak ngerti tentang satire, jika tak mengerti paling tidak memahami metaphora dari para demonstram seperti dirinya. Hingga yang keluar bukan perintah yang mengancam sekaligus peluru-peluru yang bisa saja menyasar tenggorakan.
“Kau punya perumpaaan yang bagus untuk hidup ini,” tanya Elangpada pemuda tampan yang bahunya tengah tersender lunglai nenek yang terkantuh-kantuk.
“Aku tak punya macam perumpaan itu Pak Cik,” ungkapnya.
“Sekarang kau sudah di Laut Jawa, tak perlu kau cakap macam orang Malasyia.” Tutur Elang.
“Macam ikan Pari ya Pak Cik?”
“Terserah kau sajalah.”
“Hidup ini tak perlu perupamaan apa, cihh tai kucing. Penguasa-penguasa di dunia ini seringkali menganggap dirinya bisa mengendalikan hidup semua orang. Termasuk hal-hal kecil yang tak perlu mereka pusingkan. Anggap saja aku sekarang berhadapan dengan seorang penyair, karena aku ingin mengataka bahwa; kita tak perlu merunduk tunduk pada cara pandang seseorang terhadap apa yang kita yakini. Sikap, pemikiran, itu lahir dari pengalaman serta pergulatan panjang yang membuat kita semakin kokoh. Bukan pada pergulatan mentah yang menghasilkan sikap selalu curiga dan tak bisa mencoba untuk mendengarkan, konon Hitler saja bisa tercerabut kegagahannya bersama lawan jenis, di sudut sempit bungker anti bom. Ketakutannya telah membunuhnya dengan tak etis, sebagaimana ia selalu tampil sebagai orang yang tak tersentuh,” ucap nenek setengah ngantuk.
“Apakah ia sedang mabuk laut,” tanya Elang pada pemuda tampan yang lengan kekarnya sedikit basah oleh air liur atau keringat sanga nenek.
“Maaf Pak Cik, kami ingin istirahat. Bisakah kau memberi kesempatan pada kami.” Tutur pemuda tampan itu.
“Ini masih terik, apakah kalian bercanda.”
“Pak Cik yang perlu mengatur suhu tubuh. Lihat orang-orang sekitar, tubuh mereka terbalut jaket musim dingin, tetapi mereka begitu nyenyak tidur meski terik membakar. Orang-orang yang selalu bertanya; “nggak gerah pakai jaket terus, atau kamu lagi sakit ya, kok jaketnya nggak dilepas.” Semua aku kembalikan pada Pak Cik.”
Waktu ia hendak ke Yogya, tetapi ia harus melewati jalur tak biasa. Jalur-jalur yang tak mudah diendus oleh serdadu-serdadu yang anjing pelacaknya mulai tak akurat. Hidungnya terlalu banyak mencium asap rokok dan kopi asli yang membuat seseorang bisa terjaga selama berjam-jam. Ia masih bisa merasakan seluruh tubuhnya di mata air, mengguyurnya dengan air hangat-hangat kuku. Ia merasa diawasi oleh sekumpulan bidadari yang tengah mengawasi para bidadari lain agar tertinggal selendangnya. Kesalahan klise yang tak boleh terulang, sejarah mencatat akan ada kejadian lain yaitu jatuh cinta para bidadari, tanpa perlu meninggalkan jejak apapun. Mata air akan mengalir bersama para ketua desa yang selalu mencoba bersabar menolak permintaan warga agar menyodet mata air ke seluruh penjuru desa tanpa perlu bersusah payah mendatanginya.
Ketua desa perlu mempertimbangkan permintaan warganya. Betul bahwa mata air adalah bentuk kearifan lokal yang perlu dijaga sampai anak cucu. Tetapi seorang warga desa yang rela naik bus umum sambil membawa ember-ember berisi air bersih, kain baju cucian, jaraknya mungkin bisa membuat baju kalian kering setelah diguyur hujan lebat. Apakah pembaca tahu perumpamaan yang tepat untuk hal ini?
Elang terlonjak kaget. Menoleh ke arah nenek yang menatap lekat wajahnya. “Soal itu tak perlu perumpamaan yang berlapis-lapis. Kadang kesederhanaan adalah hal terbaik dari segala perumpamaan yang baru saja kau tanyakan. Ungkapan hatimu mudah terdengar hingga tak lagi menjadi rahasia yang kau jaga seumur hidup. Sekali waktu kau mungkin perlu membaca novel Balada Si Roy, atau sketsanya Pak Kayam agar suara hatimu rapat tersimpan. Aku hanya tinggal bertanya pada angin, angin topan, angin puyuh, bahkan angin-angin selalu memberikan jawaban. Tidakkah kau berpikir?”
Iangatan lain seakan ikut terbangun diantara banyak lintasan. Bagaimana tidak, di saat tubuh terasa terpanggang dan telapak kaki serasa terbakar, salah satu matanya dihujani sepatu bersol besi hasil impor luar negeri. Ia mengerang di tengah serdadu yang begitu gagah menentang senjata. Tetapi hatinya tercelupi sepasukan iblis yang doyan sambel ijo daging bebek muda. Mereka merengsek menghalau orang-orang yang berteriak ditengah jalan besar, jalan utama. Letusan yang menggema itu mengerang melejit ke angkasa, ia masih sorak-sorai, tetapi ketika melesat pada kerumunan tiba ia menangis dan ingin mengerem tetapi lajunya terlalu cepat, bahkan residu yang ada didalamnya tak mempan mengendalikan lesatan peluru itu.
Ia mengaduh tetapi hanya ia yang mendengar, ia tertinggal barisan bukan ditinggal. Mereka dipaksa mundur dalam radius yang ksatria. Dibanding mereka yang berseragam penguasa yang tegar mempertontonkan sikap jumawa tak ayal. Salah satu dari mereka menendangnya begitu santai, seakan tubuhnya seonggok sampah tak guna. Sesampahnya sampah masih berguna diantara mereka pencari kejujuran yang hidungnya berakrab-akrab dengan segala macam kebusakan. Lucunya, mereka jenis kaum yang tak tersentuh oleh segala jenis virus. Ia mengerang, tetapi hanya ia sendiri yang mendengar. Matanya telah gelap, sebagaima ia menyukai kegelapan, karena terang selalu menghianatinya. Ia berjalan terhuyung-huyung menghindari sepakan, terjangan, juga makian. Ia mencari jejak digital, tak satupun dari mereka berada dalam jarak dekat. Mereka berlari untuk menyusun strategi, ataukah mengembalikan cerita pada kacamata para penguasa. Yang didapatkan ketika Elang berhasil menghindari kerumunan orang-orang berseragam itu, tubuhnya terasa lebih ringan, gelap sebentar, tiba-tiba tubuhnya bergetar pandangannya yang tajam berubah bisu dan buram, ada ngilu yang dalam. Rupanya ia telah berkenalan dengan barang yang pernah di jahit oleh Nabi Daud. Tetapi utusan Allah ini tak pernah menghianati barang sejengkalpun tentang kemampuan yang maha dahsyat. Elang meraba matanya masih berada ditempatnya, tetapi ngilu yang dalam itu membuatnya pingsan dalam rentang kebisingan dan teriakan tak henti dari orang-orang yang menginginkan kebebasan kemanusiaan. Ia terbangun dan mendapati tubuhnya berada diselokan berbau tai. Wajahnya pun berlumuran paceran yang menyengat. Rasa gatal segera menjalari selangkangan, ungtungnya celana dalam tak terlepas dari pinggangnya yang seukuran kambing gule muda. Lidahnya mengecap rasa asin dari air liur yang diteguknya setengah paksa. Ia berdiri melangkahi orang-orang yang berselimut paceran hitam pekat. Ia ingin teriak memanggil orang-orang itu agar lekas bangun, karena azan maghrib telah menggema ke saentero jagat. Ia ingin memastikan siapa tahu diantara mereka ada yang tak ingin ketinggalan jamaah sholat, ia pernah mendengar dari para kyai yang memberi petatah-petitih selepasa subuh; “sholatlah tepat waktu” yang terdengar adalah tangisannya sendiri melihat orang-orang yang dikenali tidur berbantal air selokan dan berselimut paceran.
“Hei!, kalian semua bangun. Apa kalian tak ingin cerita yang baik di ujung kehidupan. Apa kalian tak rindu bercengkram dengan si bungsu yang merengek minta jajan bakso ketika bertemu kalian di ujung kelelahan. Bangun pengecut!, bangun!, serigala-serigala itu sedang merokok dan minum kopi di warung-warung kejujuran. Sebentar lagi mereka datang membawa pasukan harimau dan singa yang mengembik.” Elang melenguh panjang, lalu tubuhnya tumbang menghantam paceran. Nafasnya memburu, serigala benar-benar datang dan mulai mengendusi teman-temannya yang begitu pelit bersuara.
Bau kopi membuyarkan lintasan yang lara di masa lampau. Nenek terkekeh di depan Elang meninggalkan pemuda tampan yang mendengkur keras di bawah panas yang membakar. Nenek bilang serigala-serigala itu sekarang banyak bersuara burung-burung poksei yang kadang hinggap di atas daun singkong. Melompat kesana kemari tanpa memperdulikan buluyang yang makin rontok. Lalu ia terjatuh karena tak bisa lagi terbang. Ia menyeruduk ke segala penjuru karena tak punya sayap lagi, lalu suatu pagi ditemukan diatas panggangan seorang chef yang sedang menaburinya dengan garam bergaya menggelikan. Tak perlu memahami segala perumpamaan yang ada pada sebuah rezim. Serigala-serigala itu sekarang sekarang terkena gudig stadium empat. Berbagai salep telah dibelinya dari luar negeri. Harganya mahal, tetapi tidak ada tanda-tanda kunjung sembuh. Mereka lalu mulai bekerjasa dengan para tikus untuk mencabuti kutu-kutu yang menempel pada bulu mereka. “Aku tak ingin mengucapkan hal itu” ungkapnya. Lalu ia melanjutkan; seseorang telah merancang sebuah permainan yan mengorbankan banyak pion dan mengurbankan beberapa menteri. Jika jalan tak mulus Raja akan memaksa seluruh pasukan agar ia bisa berjalan bebas di atas altar merah mewah.
“Di agama nenek, apakah ada Nabi Khidir yang mayshur itu?” tanya Elang sambil menyeruput kopi pahit getir. Campuran apakah yang dipakai, terasa seperti perasan kunyit yanh hanya digeprek tanpa proses parut.
“Ia gurunya Nabi Musa, guru-gurunya dari segala kehidupan.” Jawab sang nenek.
“Apakah ia masih hidup,”
“Aku tak berani menjawab, dulu nenek sering kabur membantu seorang kakek yang kesulitan mendorong gerobak pada jalanan menanjak. Sementara sang Kyai malah memberiku jenang sebagai hadiahnya. Kupikir kupingku yang akan memanas karena jewerannya, tetapi kyai itu begitu memahami tak hanya berteori. Kok malah ngelantur. Apakah nanti pembaca akan mudah mengeluh karena ceritamu seperti dongengan nenek sambil nyirih menunggu senja turun.”
“Aku tak peduli, itu bukan urusanku. Bagaimana nenek ada di atas kapal yang menyiksa ini.”
“Ini perjalanan yang menyenangkan, aku bisa bertemu dengan pangeran kegelapan, putri matahari. Nama-nama mereka harum semerbak. Tak ubahnya hujan yang merengkuh kemarau agar tak terlampau sedih. Manusia semestinya tak terlalu berharap pada kenyataan pahit. Ia malah mendatangkan keajaiban membelakan mata. Dari yang pahit ada manis melebihi rasa manis yang pernah kalian rasakan. Ada manis yang berasa pahit, pahitnya mengalahkan rasa pahit dari brantawali yang kalian paksa kunyah. He…, maaf. Semestinya kau tak perlu mendengarkan perkataan tak berguna macam ini. kenyangkanlah, hingga kalian tak lagi merasa ingin lapar. Apapun itu, nenek merasa cukup dengan yang ada, ini terdengar klise, mau apalagi kita hanya mengulang-ngulang tetapi selalu lupa.” Ia meludah sembarangan ke atas baskom samudra, apa yang ia lakuka tidak artinya. Mungkin ludahnya akan jadi kudapan ikan-ikan teri yang lambungnya tak kuat menampung sebanyak tiga piring.
Rasa ngilu masih membaluri sekujur tubuhnya, pilu duka menjadi santapan isi kepala. Elangtersenyum barang sejenak, hiburan gratis disediakan oleh alam. Di sampingnya nenek itu tak berhenti bicara mengungkapka apa saja. Nenek yang tahu betul kapan harus bicara dan berhenti bicara juga untuk siapa. Kupingnya merasa dininabobokan oleh dongeng-dongeng masa kecilnya.
Seekor kucing belang coklat datang menggigit ikan yang terbungkus Koran. Ia mengambil ikannya dan meninggalkan Koran lecek untuk Lukman, kucing itu menoleh sebentar; “Bertahanlah nak, hidup ini terlalu singkat untuk disesali” Elangingin bangkit, setelah merasa ajeg. Suara barusan lebih mirip nenek, apakah Elang mulai kehilangan pembanding. Suara hatinya mulai tak jeli untuk membedakan peristiwa dan situasi. Matanya mengerucut jika tidak ingin dibilang sipit. Namanya tertera jelas pada sobekan Koran yang ditinggalkan take tis oleh si kucing belang cokat tanpa menoleh kebelakang barang sekali.
Kalimat-kalimat dalam sobekan Koran itu membuat kepalanya berdenyut-denyut. Ia menelan beberapa butir paramex, obat sakit kepala. Hanya sesaat kepala yang digodam kembali pening. Koran itu bilang; “seorang istri dari penyair buron tengah dipanggil oleh yang berwajib. Ditanya ini itu, soal-soal yang tak ada jawaban. Perihal yang mustahil diterangkan, dan segala tetek bengek kemunafikan. Tak ada satupun yang bisa dicerna oleh isi kepalanya. Ia ingin menembus tempurung kepala para serdadu, yang ada suara-suara nenek yang makin berceloteh riang, makin tak terkendali.
Bagaimana fotograper membidik objek dengan jeli, seorang anak kecil masih terlalu kecil untuk dibilang anak menatap ibunya yang kedua tangannya diborgol oleh serdadu yang tiap ditatap olehnya menyeringai, atau tepatnya ogah-ogahan menangkap seseorang yang hanya menjadi akibat dari peristiwa yang menyulut perpecahan di mana-mana. Ia melihat dengan kepalanya yang masih kecil mengintip ibunya keluar dari rumah, sementara ia hanya bersembunyi dari balik punggung neneknya.
Nenek merebut Koran itu dari tangan Elang, ia terkekeh seperti tokoh antogonis pada sandiwara radio Misteri Gunung Berapi, tentu saja setelah lolongan Srigala yang tak berganti suaranya. “Kau akan mendapati zaman yang membuat orang-orang tampak semakin keras untuk mendapati secuil keadilan dari lumbung yang telah dikuasai berbagai jenis Tikus,” cecar Nenek. Ia meludahi mangkok kecil yang tampak menggenang merah.
“Sama sekali tak ada kemerdekaan buat orang sepertiku Nek, begitu nyaman hidup nenek. Semua seolah-olah berjalan lebih lambat di mata nenek.” “Mungkin mereka harus membaca cerita tentang Anjing Rimba yang menjadi biru,” kata nenek sambil terkekeh lagi. Lalu tatapan tajam milik ia hujamkan kepada Elang.
“Bagaimana pendapatmu?” tanya nenek.
“Aku belum membaca cerita itu?”
Nenek mengeluarkan dari tasnya sebuah buku tipis, tak bersampul, berkertas coklat. Ia memberikan kepada Elang. Tatapannya yang menaklukkan membuat Elang pasrah untuk menerimanya. Ia mulai membukanya lalu terhenti sejenak pada kisah yang baru saja judulnya diberitahukan oleh nenek. Sebuah buku cerita tua yang sejenak teralihkan dari Koran yang membuat pusing kepala. Nenek di sampingnya manggut-manggut melihat murid barunya mulai sibuk untuk membaca kata demi kata dan seterunya.
Elang menghentikan sejenak apa yang baru saja dikagumi oleh nenek. “Dasar pembaca malas, baru saja kau buka satu halaman sudah kau merasa cukup itulah kenapa bangsa kita mudah kena tipu daya,” sumbar nenek, matanya meredup melihat samudra luas.
“Aku membutuhkan penjelasan atas semua ini,” ungkap Elang.
“Nenek bukan Tuhan yang Maha Tahu, kau sendiri yang harus cari sendiri jawabannya. Tak mesti semua pertanyaan yang kau gelisahkan mendapatkan penyelesaian pada saat yang sama.”
“Aku mulai mengandalkan pengandaian dari nenek.”
Nenek tertawa dan berhenti pada saat yang bersamaan. “ Nenek bukan ahli nujum, kau tahu sejak Nabi Muhammad lahir, Iblis dan para dedengkotnya tak bisa menguping berita langit, jadi jangan berharap lebih pada manusia, apalagi pada nenek yang kau tak tahu masa lalu nenek.”
“Apa perlu mengetahui masa lalu seseorang untuk memperoleh satu jawaban. Amat dengki, jika mengetahui aib masa lalu lalu orang-orang meninggalkan satu persatu.”
“Nenek tak suka cara menjawabmu, terlalu didaktik, kau perlu belajar banyak tentang kebijaksanaan. Bila kau teruskan caramu itu kau akan banyak kehilangan rasa, kawan, dan pengalaman.”
“Kematian membebaskan kita dari segela tuduhan yang membuatmu sesak dada, pada saat yang sama kebenaran akan muncul terang benderang. Itu tak bisa mereka nafikan, meski mereka berusaha keras untuk menyumpal dengan berbagai tahta, atau tak jarang wanita yang memikat. Yang kau takutkan akan menjadi semacam kesanggupan menahan kerasnya hantaman mereka. Satu persatu pilar-pilar yang mereka susun, akan menimpa mereka sendiri. Jika mereka masih kokoh, umur mereka akan terus berkurang dan kematian terus mengintai pada jarak tombak mematikan. Dan itu tak bisa mereka sangkal, jadi tenanglah anak muda. Panjang umur perjuangan.”
“Begitukah Nek?”
“Ya, kau tak perlu menegaskan apaun pada dunia, karena yang kau perjuangkan akan terus terkenang dan banyak bahu baru yang terus meremajakan setiap perjuangan. Kau perlu menengok tulisan dari para jiwa tulus juru damai negeri ini, guru pendidik bagi orang-orang yang gemar sholat. Mereka bukan Nabi, mereka yang membenarkan apa yang diajarkan oleh Nabinya. Guru pendidik itu bilang; “teruslah berjuang, hingga perjuanganmu lelah diujung kain kafan. Teruslah berjalan, hingga berlarimu berhenti pada titik kebahagian yang tak bisa dirasakan oleh musuh-musuhmu. Teruslah berteriak, hingga kata-kata tak lagi mucul dari balik pita suara. Teruslah menulis, hingga kertas tak lagi menampung tinta sejarah.” Hingga cita-citamu tak lagi berhenti dipersimpangan, lalu menguap berganti generasi ke genarasi. Itu pun tak perlu kau risaukan. Meski ragamu lenyap oleh kawanan burung pelatuk yang memuntahkan peluru pecundang dan penghianat bagi bangsanya sendiri. Kaupun tak perlu mencari tahu tentang TKW sepertiku yang hinggap di atas geladak kapal yang mampu mendidihkan ubun-ubun bayi. Ada banyak alasan kenapa seseorang perlu sejenak hilang dari kerumunan orang-orang terdekat, agar mereka mampu membedakan tentang kehangatan bertetangga dan saling menjaga. Dermaga sudah makin jelas, mungkin ketika cucuku benar-benar bangun, akan kuceritakan tentang seseorang yang menakjubkan. Kau tahu, cucuku hanya mendapati dirinya tidur dalam mimpi, ia sama sekali tak bisa bermimpi. Seluruh pekerjaannya telah menyita sebagian masa mudanya, sungguh kasihan?”
“Setidaknya cucu nenek memiliki rasa merdeka,”
“Tetapi kau telah memperjuangkan “kemerdekaan” bagi mereka yang tak sempat berteriak atau suaranya tertahan dalam pilu dan lara?”
Elang berkemas, peluit panjang agaknya bisa disebut sangkakala, setidaknya mirip begitu. Bila Malaikat peniup sangkakala, benar-benar manusia tak bisa lagi melakukan banyak hal. Mereka siap-siap berkemas menerima segala resiko yang pernah dilakukan didunia fana. Elang menatapi senja yang makin hangat, ia seperti ingin menjadi matahari yang tampak berwibawa dengan segala keanggunan, tanggung jawab, tak pernah mangkir dan lain-lain.