Minggu, 28 April 2019

Jatuh dan bangkit lagi

Terperosok. Kata yang mungkin tepat untuk memulai pembicaraan ini. Kata bijak ramai digaungkan oleh para ahli bijak negeri ini. Kalau kalian jatuh sekali, bangkitnya harus berulang kali.Karena kita tidak tahu kaki mana yang masih kuat untuk keluar dari lobang kesalahan.

Menara yang tinggi, kokoh dan gagah adalah hasil riset berulang-ulang hingga bisa kalian nikmati sambil terkagum-kagum. Mungkin para pembuatnya tak henti untuk terus bangkit dari kesalahan dan kelelahan membangun tiap jengkal embrio menara.

Lautan kesalahan yang kita lakukan, selalu ada celah untuk bangkit dan berenang meninggalkan buih-buih ketakutan untuk beralih menuju perbaikan.

Rasa

Rasa pergi dengan hati yang nelangsa. Akal sehatnya yang selama ini mampu mengembalikan kebodohannya tiba-tiba redup di hadapan paras wajah yang menawan. Kepribadiannya kabur manakala mata hatinya tertutupi oleh sesuatu yang menipu. Paras menawan bukan satu-satunya keindahan yang abadi.

Akhlak adalah simbol peradaban. Ia mampu merekatkan perasaan yang telah lama hilang. Yaitu rasa cinta kepada sang khalik. Nuraninya tak mau merasakan tanah, air, api, dan udara menolaknya dengan penolakan yang mengerikan. Rasa mampu membaca situasi mengerikan itu.

Semua manusia memiliki rasa. Pengalaman hidupnya lah yang mampu mewarnai rasa. Ada yang kalah karena membabi buta memberikan rasa dengan gratis kepada duniawi tanpa memikirkan setelah kematian.

Rasa itu mampu menahan kepada yang bukan haknya. Meski kesempatan itu ada, tetapi ia tekan rasa hingga muncul rasa Ihsan yang telah lama digelutinya.

Memaafkan

Si buta terus mengejek bahkan dengan ejekan yang paling menyakitkan. Tapi Nabi Muhammad Saw tetap menghadirkan kelembutan di hadapannya. Tutur katanya sopan dan perangainya baik. Tetapi si buta tetap saja menghinanya.
Lalu di ujung waktu. Si buta sakit dan tak hadir di pasar. Sang Nabi yang selalu menyuapinya di saat beliau hadir menjadi heran, kemana si pemakai itu.
Kabarnya sakit. Lalu Nabi menjenguknya. Nabi sudah memaafkan pada pertama kali orang itu menghinanya. Karena kelembutan mampu mengalahkan sisi egoisnya.
Bahkan si buta sampai menangis tersedu-sedu mendengar orang yang telah di hinanya adalah orang yang kerap kali berbuat baik kepadanya. Satu hal yang cukup sulit untuk dilakukan.

Nurani

Nurani mampu membisikan kebenaran, meski si empu telah berlumuran dosa.
Ia selalu hadir untuk memberikan jalan yang terbaik dalam kehidupan manusia.
Ia mampu menggapai apa yang tidak bisa di raih oleh kemampuan fisik sekalipun.
Nurani mampu meleburkan kekacauan hingga menjadi satu pijakan kuat kebenaran.

Bahkan orang yang redup nuraninya mampu menghadirkan nurani di ujung kematiannya, meski terlambat. Seperti yang di alami oleh Firaun.
Yang beruntung adalah mampu memunculkan nurani di saat fisik prima meski kejahatan memenuhi persendiannya. Karena pintu tobat terbuka lebar, selebar-lebarnya.
Nurani bukan Nuraini adalah titik suci di atas ke sucian. Hingga mampu menerangi yang gelap, melembutkan yang bebal, meluruskan yang bengkok, hingga tercipta satu prinsip kuat.

Sabtu, 27 April 2019

Lembut

Perangai yang diperoleh dari pengalaman hidup bertahun-tahun. Lembut dan keras adalah dua sisi yang tak bisa dipisahkan satu sama lain.
Abu bakar Ra adalah mahluk paling lembut di permukaan bumi. Tetapi bisa menjadi sangat keras bila kemungkaran ada di depan matanya.
Umar bin Khattab bisa menjadi sangat lembut bila kebenaran menyentuh sisi hati yang paling dalam. Padahal dia adalah orang yang paling keras dan tegas.
Jadi lembut adalah satu sikap, dan keras adalah pelengkap untuk sisi yang lembut.

Silaturahmi

Mempererat tali yang telah kusut agar bisa lurus kembali. Setelah sekian tahun tak bersua dalam momen yang langka.
Silaturahmi adalah sebaik-sebaiknya kegiatan. Bila kalian mampu menjalankan dengan perasaan ikhlas dan tangan terbuka.

Memperpanjang usia dan keberkahan setiap rezeki yang makin langka untuk dijalankan. Di tengah pusara gelap gulita, gegap gempita, Hingar bingar duniawi.
Ia menebalkan persaudaraan yang telah lama mati suri akibat jarak yang sulit untuk ditempuh dan dilaksanakan, kecuali dengan besarnya pengorbanan.
Sekali-kali jangan pernah meremehkan kegiatan silaturahmi yang dahsyat. Nabi Muhammad Saw adalah pelopor sejati sebuah silaturahmi.

Gerak

Memungkinkan manusia untuk terus menyusun kekuatan.
Kekuatan untuk bergerak secara dinamis dan berkesinambungan, agar tubuh sehat dan segar.
Bergerak adalah tanda sehatnya jiwa dan akal yang menghujam kebenaran.
Gerak adalah langkah awal untuk berlaku sopan santun terhadap tubuh kita sendiri.
Akar gerak adalah bunyi dari setiap derak nafas hingga gerak menjadi efek yang tepat untuk menghasilkan energi.

Lelap

Kata tepat untuk mewakili setiap kelelahan adalah terlelap dalam tidur panjang yang nyaman
Dalam dan sangat dalam, agar rotasi kelelahan berganti dengan kesegaran di pagi hari
Suara-suara gaduh di luar sana tak mengganggu prosesi tidur yang panjang. Semuanya untuk menebus rasa penat di siang hari

Lelap mengantarkan manusia untuk terus tumbuh dalam tiap detakan jantung
Lelap juga membuat saraf-saraf tubuh menjadi rileks dan nyaman
Lelap permulaan dari sebuah perjalanan panjang dari istirahatnya seorang mahluk

Padi

Petani tangguh berangkat pagi
Menyusuri pematang sawah
Cangkul menggelayut di atas pundaknya
Caping menempel di atas kepalanya
Tangan kanan membawa bekal dalam rantang bersusun
Matanya sigap mengawasi sekitar

Petani tangguh mulai mencangkul
Menggulingkan tanah
Mengaduk-aduk aduk merata
Lalu sebarkan benih merata
Agar tumbuh bibit padi yang tangguh

Rabu, 24 April 2019

Pujangga

Menyisir peradaban
Dengan tinta kelembutan
Menyibak kebenaran
Dengan tinta kebenaran

Berjalan tertatih
Hanya untuk setitik sebuah prinsip
Agar kedamaian terasa nikmat
Keamanan mendera setiap inci insan

Pelita tak pernah redup
Tak pernah lekang termakan zaman
Zaman keemasan
Pujangga sang peniti zaman
Agar zaman tak lekang dimakan zaman

MALAM

Temannya kegelapan
Jejak para bintang mengangkasa
Embun dingin di pagi hari
Jejak musafir ada pada tiap gerakan

Malam menjadi evaluasi
Jejak pagi, siang, dan sore
Merekam semua unsur gerakan
Teratur, tertib, dan tanpa hianat

Malam selimut pekat
Jejak pencari suaka
Selimut bulan
Tak pernah jengah memandang malam

Musafir penggenggam malam
Pejalan tangguh
Tak pernah mengeluh
Jati diri setiap insan
Pencinta malam

Hijab

Perisai yang tangguh
Mulia karena jati diri
Bukan penghamba duniawi
Selalu mencari kebenaran

Untuk "negeri" yang abadi
Tanah yang diberkahi
Ikatan yang mulia
Sedekah adalah utama

Hijab
Pelindung
Perisai
Benteng
Semua untuk kebenaran

Pencari Tajil

Langkah terseok kaki terperosok
Pandangan kabur tertutup debu
Jalanan lumpur dan terjal
Awan hitam menggantung
Hujan turun dengan lebat

Lapar dahaga
Siang terasa panjang
Malam mencekam
Hiruk pikuk berkelebat
Sembunyi sebagai satu jalan

Mencari perlindungan
Mencari kemenangan
Agar yang terseok dapat berdiri tegak
Kabur menjadi jelas
Hitam menjadi putih

Kelaparan kehausan menjadi nikmat
Bila ujungnya kemenangan
Malam ceria
Hiruk pikuk pencari tajil
Agar buka puasa terasa tak sembunyi

Minggu, 14 April 2019

Pertempuran

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan

Lima menit kemudian, semua tawanan di buka topengnya. Aku terpana melihat leher mereka yang di hiasi Tato burung Gagak dan Rajawali. Aku melihat tawanan itu sampai yang terakhir. Mataku terbelakak melihat tawanan paling ujung, aku seperti mengenalinya. Kakiku cepat menghampiri orang yang ku kenal di masa lampau. Reaksiku membuat Polisi Saryo heran.

“ Marko ada apa.”

Aku tak menjawabnya. Setelah sampai di sana. Amarahku makin meluap. Tawanan paling ujung itu ternyata Arkon alias Narman. Teman dari masa lampau sekaligus musuh dalam selimut. Wajah Narman terlihat kacau. Aku tak bisa lagi menahan marah. “ Dasar Bajingan!.” Narman segera ku tonjok. Tetapi kulit Narman seperti badak yang keras dan kasar. Mukanya seperti di lapisi besi lunak hingga ketika ku pukul tak ada bekas lebamnya. Ilmu apa lagi yang ia punya.

“ Ha..., kasihan kau Marko.” Tawanya mengejek.

“ Marko hentikan.” Polisi Saryo menghentikan pukulanku berikutnya.

Menjemput Cinta

BAB
Empat Puluh Sembilan

Pick Up yang kami tumpangi keluar dari gerbang pintu penjara. Pick Up berjalan pelan menembus lautan manusia. Entah dari mana kabar kalau di dalam penjara Purbalingga ada Kastil indah itu rupanya telah bocor, beritanya sampai ke pelosok-pelosok kampung. Semua tukang becak, andong, penggali kubur, karyawan pabrik, pedagang asongan dan keliling, pedagang es, Ibu-Ibu Rumah Tangga, Lansia, Anak-Anak, Pelajar, Mahasiswa yang sedang pulang kampung, Pejabat, Guru, Petani, Supir, Wartawan, dan semua orang dari berbagai kelas dan profesi tumpah ruah memadati jalan-jalan. Mereka ingin sekali masuk ke dalam kastil.

Titik keramaian ada di Alun-Alun Purbalingga. Musium untuk sejenak sepi dari pengunjung. Manusia itu ingin segera mungkin dapat masuk melihat Kastil di tengah padang safana luas. Saat ini meraka masih tertahan di luar penjara sambil terus penasaran. Lautan manusia itu hingga di tertibkan dengan rentetan peluru yang di tembakan ke atas. Sontak mereka yang jarang mendengar bunyi letusan peluru. Pelan-pelan mundur kebelakang membentuk barisan seperti upacara senin pagi. Sopir Pick Up pun kewalahan menghadapai lautan manusaia itu, hingga ia beteriak lewat micrphone untuk meminta bantuan. Beberapa menit kemudian sepuluh pasukan bersenjta meneritbkan lautan manusia itu agar bisa di lewati oleh Pick Up yang sedang kami tumpangi. Tak ketinggalan dari beberapa wartawan mengambil gambir kami yang sedang duduk di belakang. Kilatan cahaya berpendar-pendar menyilaukan. Kamera yang di pakai oleh wartawan itu seperti ada antena parabola berukuran kecil.

Mobil Pick Up terus membelah. Semua mata memandangi kami berdua. Bahkan diantara mereka ada yang mengenali kami berdua. Mereka melambaikan tangan. Aku dan Nara membalasanya. Ada kebanggaan di wajahnya. Bahkan beberpa detik kemudian aku dan Nara di kejutkan oleh suara keras yang kompak menggelegar dari lautan manusia itu. “ Hidup Nara Marko!.” Berkali-kali entah apa maksudnya. Aku sampai merinding mendengarnya. Mungkin Nara merasakannya. Pick Up berjalan lancar setelah melewati jembatan Kali Klawing, gegap gempita mulai memudar. Aku tak menyangka masyarakat Purbalingga dan sekitarnya begitu antusis menyambut kami berdua. Aku dan Nara di anggap telah membuka rahasia penjara Pubalingga.

Sampai di rumah Nara, semuanya sedang berkumpul. Mereka sangat terkejut melihat kedatangan kami berdua yang di antar dengan menggunakan mobil Pick Up keren. Para tetangga Nara heboh, dan sebagian malah ke takutan. Mungkin trauma masa lalu ketika para tentara jepang membawa anak lelakinya dengan Pick Up untuk kerja Rodi. Ku peluk Ibuku dan Ibu Mertua. Tiky dan Wiro terlihat senang sampai menitikkan air mata. Nara terlihat memeluk ibunya sampai berkali-kali. Lalu pecahlah adegan rindu, cemas, bercampur takut kehilangan menjadi sebuah isak tangis yang menyesakkan dada. Supir yang juga seorang parjurit pilihan ikut meneteskan air mata. Para warga satu persatu mulai mendatangi rumah Nara.

Tak lama kemudian Prajurit pilihan yang di tugaskan menjadi supir kami minta pamit. Aku dan Nara mengucapkan banyak terimakasih. Ini kado terindah yang akan menjadi kenang-kenangan seumur hidup. Ibuku, dan Ibu Mertua tak lupa menyalami prajurit itu, di susul dengan Tiky dan Wiro yang masih setengah tidak percaya dengan apa yang sedang di lihatnya. Wiro sendiri mungkin sedang terkagum-kagum dengan senjata yang di bawa oleh prajurit itu.

Deru mesin mobil Pick Up segera membelah kebahagiaan atas kedatangan Aku dan Nara kembali ke desa Kaligondang dengan selamat. Menjemput cinta berupa orang-orang yang kita cintai. Tahun awal pernikhan kami di lalui di bawah senapan dan peluru. Keluargaku mungkin mengira kami tak akan kembali ke Desa dengan selamat. Yang tidak tahu permasalahan akan mengira kalau Aku dan Nara telah di culik. Maka ketika Aku dan Nara kembali dengan selamat Kami tidak di culik tetapi kami memang sudah menjadi bagian dari rahasia besar yang terjadi di Kota kecil Purbalingga. Aku dan Nara dapat bernafas sejenak sebelum menjemput siklus pagi yang cerah.

Esok paginya terdengar kabar dari radio kalau kereta bawah tanah akan di jadikan alat transportasi bagi masyarakat di Purbalingga dan juga para penduduk keturunan Cina dan Belanda, entah dalam waktu dekat atau beberapa tahun kedepannya. Sementara Kastil dalam beberapa bulan kedepan menurut siaran radio akan di gunakan sebagai tempat musium bersejarah. Kini Purbalingga menjadi lebih indah sarat dengan musium peradaban bawah tanah, kereta, dan kastil yang menjulang.

Selesai mendengarkan berita pagi, Aku, Nara dan Qaeser menikmati Jalan pagi di sebuah perkampungan yang sangat tenang. Penduduk ramah dan sopan. Sepanjang jalan hamparan sawah terbentang luas dan di batasi oleh gunung-gunung yang indah. Hutan pinus kelihatan kecil di sana. Kami berdua meneteskan air mata. Ada bahagia juga kelegaan yang luar biasa setelah melalui semua ini. Menjadi bagian dari sebuah operasi prajurit adalah beban sendiri bagi aku dan Nara.

Aku dan Nara kembali hidup Normal. Pagi yang berbahaya sudah kami lalui dengan darah dan keringat. Kami berdua kembali Menatap pagi dengan senang. Mengisi rongga dada dengan udara pagi yang sejuk. Hidup itu seperti sekolah: mencatat, mengulang dan memahami. Aku menyadari kalau semua kejadian ini hanyalah episode dari tiap bab dalam buku kehidupan. Karena ketika membuka mata di pagi buta, maka setiap manusia akan di sambut dengan sejuta peristiwa. Baik peristiwa baik atau buruk. Semua manusia pasti mengalaminya.


TAMAT 



Deplu 21 Juli 2013


Penulis akan mengedit tiap babnya dalam rentang waktu yang berbeda. Mohon maaf kepada pengunjung apabila ada kesalahan ketik dan masih bertele-tele novel ini. Tujuan memposting ini adalah untuk merekam jejak novel agar tidak hilang. Insyaallah penulis bisa menyelesaikan perbaikan hingga novel ini "enak" dibaca.

Pertempuran

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan

Aku dan Nara berpandangan senang. Kami berdua bersyukur dapat melalui semua ini dengan selamat. Kami berpelukan layaknya ABG ketika baru nikah.

Tak lama kemudian sebagian pasukan elit turun kebawah. Memeriksa keadaan. Dalam hitungan jam, para aparat kepolisian begitu terpukul dan kaget. Khususnya Polisi yang tak percaya kalau di dalam kastil bawah tanah ada penyimpanan narkoba dalam jumlah fantastis. Mereka shock di tempat yang seharusnya menjadi benteng perbaikan mental malah menjadi sarang nomor wahid penghacuran moral dan peradaban.

Polisi Saryo dan para prajurit elit menyalami kami berdua. Ada raut simpati yang mereka tunjukan kepada kami berdua. Mereka mengucapkan banyak terimkasih. Aku dan Nara naik ketas dengan tangga darurat yang di sediakan. Sampai diatas aku dan Nara kagum pada bangunan ini. Selain padang safanan yang maha indah, di kota kecil seperti ini ada kastil yang maha indah tetapi beraura menyeramkan.

Polisi Saryo sudah mendekat kepada kami berdua. Ia tersenyum kerja kerasnya menghasil temuan yang heboh. Ia menyalami kami berdua sekali lagi. Kali ini genggamannya lebih erat.

Pertempuran

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan

Aku mengusap-usap lubang kotak itu, tetapi tidak ada respon. Aku kehilangan ide. Ku lihat Nara yang sedang meneliti di temani dengan Polisi Saryo dan Seorang Sniper.

“ Na, coba kau kesini sebentar. Ada sesutu di sini.” Nara menghampiriku di susul dengan Polisi Saryo dan Seorang Sniper. Sebagian pasukan yang ikut berjaga-jaga di belakang.

“ Aku menemukan lubang kotak ini, Na!.” Aku berteriak senang.

Ku lihat Nara diam sesaat. Wajahnya yang ikut terkena bias cahaya senter menyiratkan kalau ia sedang berpikir. Mimik dan gerak-geriknya kini memang berbeda setelah keluar dari penjara, sebenarnya apa yang dilakukan selama di penjara sana.

Nara kelihatan ingin menyerah. Sejenak ia seperti teringat sesuatu. Buru-buru ia mengeluarkan kotak itu dari tas cangklongnya yang di beri dari Polisi saryo. Nara mengamati kotak tersebut dengan cermat.

“ Apa yang akan kau lakukan dengan kotak itu.” Tanyaku penasaran.

“ Entahlah, sepertinya aku...”. Tiba-tiba Nara semangat.

“ Betapa bodohnya aku.” Nara memukul jidatnya sendiri.

“ Kau menemukan sesuatu.” Tanya Polisi Saryo, diikuti Seorang Sniper.

“ Sepertinya iya.” Nara kemudian mengambil kotak tersebut dan menempelkan bagian bawahnya ke lubang yang ada di dinding tersebut.

“ Lihat kotak ini pas sekali dengan lubang persegi empat ini.” Nara begitu senang. Tetapi kemudian tak terjadi apa-apa. Kotak itu menyisakan sebagian dan menonjol ke luar.

Jumat, 12 April 2019

Hari Yang Aneh

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan


Polisi Saryo hendak merangkak menuju ke titik persembunyian Sniper. Desingan peluru terus berseliweran di atas kami. Dalam waktu yang singkat Polisi Saryo sudah sampai di belakang Sniper. Tembakan perlindungan mulai di letuskan.

“ Marko kau merangkak ke Nara. Dia butuh perlindunganmu!.” Perintah Polisi Saryo.

“ Baik!.”

Sekuat tenaga ku merangkak ke arah Nara. Jaraknya memang dekat, tetapi di bawah desingan peluru jarak sedekat itu terasa jauh. Ku lihat Nara merundukkan kepala lebih dalam, manakala sebuah rentetan peluru berdesingan di atas kepala. Gundukan tanah ini benar-benar pertahanan yang bagus. Sampai di sana ku tepuk bahu Nara. Tidak ku jumpai wajah tegang seperti ku lihat ketika di kejar oleh laki-laki bertopeng sepulang dari pasar. Mungkin dia merasa sudah lebih siap, Ia tersenyum melihat kedatanganku.

“ Apa kabar Mas!.” Teriak Nara sambil tersenyum.

“ Baik.” Aku menggelengkan kepala, melihat Nara. Dalam situsai begini ia masih bisa bercanda. Mungkin tekanan di penjara selama 4 tahun membuatnya semakin terbiasa dengan situasi mencekam seperti ini.

“ Mas bisa merobohkan dua orang yang sedang menembaki kita itu!.” Tantang Nara.

“ Tidak tahu, kita coba saja!.”

Hari Yang Aneh

BAB
Empat Puluh Delapan


Menjelang Fajar. Mesin pick Up di matikan. Kami turun dari mobil tua itu. Polisi Saryo meneropong keadaan sekitar. Alat canggih itu bisa melihat di kegelapan. Sesaat alisnya mengkerut. Dari penjelasannya kalau Pasukan elit yang di tempatkan sebelumnya untuk menjaga kastil dari serangan musuh kini terkapar di beberapa titik. Kemungkinan besar mereka adalah anak buah Polisi Marno. Rupanya seorang sniper yang datang jauh-jauh dari Jayapura sudah menembak mereka semua. Syukurlah Polisi Saryo tidak lewat jalan utama, dia memotong jalan lewat bukit-bukit rahasia. Aku merasakan kalau aku akan melewati sebuah pagi yang berbahaya bersama Nara.

“Kalian harus berhati-hati. Dan maafkan saya sudah melibatkan urusan negara ini pada kalian. Kastil ini kembali di jaga ketat, mereka belum kapok temannya terkapar peluru. Kalian harus hati-hati.”

Aku mengangguk bersama dengan Nara.

“Bukan waktunya untuk minta maaf, lebaran masih jauh. Inilah takdir kami yang kini sedang ku hadapi.”

Polisi Saryo tersenyum. Polisi Saryo yang kini sudah naik pangkat. Lebih menyukai dengan panggilan Polisi Saryo, tak masalah menurutku itu lebih membumi.

Minggu, 07 April 2019

Datang dan Pergi

BAB
Empat Puluh Tujuh


Semua manusia yang menghuni mayapada ini tidak bisa terlepas dari himpitan masalah. Masalah kecil sampai yang besar begitu mudahnya hinggap pada kehidupan manusia. Kepergiannya juga tak bisa di pertahankan barang 1 menit saja. Masalah hidup seakan menguap bila sudah terpecahkan. Maka sungguh benar kesulitan itu akan tergantikan dengan kemudahan yang datang begitu cepat.

Cobaan itu datang kembali. Aku dan Nara di jemput pagi buta oleh sekelompok pasukan yang bersenjata lengkap. Mereka adalah anak buah Polisi Saryo. Tak ku dengar Mobil Pick Up yang biasa di gunakan mereka ketika menjemputku dan Nara di rumah. Setelah berpamitan dengan Ibu Mertua dan titip Qaiser. Aku dan Nara bergegas mengikuti langkah mereka yang tidak terdengar. Satu sisi tentara bisa jadi monster pembunuh bila salah langkah dan salah komando. Di sisi lain bisa menjadi pahlawan kebajikan seperti yang ku lihat pada gerak langkahnya. Aku bisa menyimpulkan ketika penyerbuan ke ruang bawah tanah. Sampai di pinggir jalan raya, mobil pick sudah menunggu, tepat di bawah pohon Jambu Monyet yang rindang berdekatan dengan Gardu Pos.

PUTU WIJAYA

Bagian 2


Namun hanya pengarang yang sudah mahir dengan realisme belaka mampu melakukan akrobatika semacam itu. Demikianlah Putu Wijaya. Novelnya Bila Malam Bertambah Malam (yang ditulisnya pada usia 19 tahun, namun baru terbit 1971, dan kelak dijadikannya pula naskah drama) adalah kisah tentang keluarga bangsawan Bali dengan alur yang lurus dan penokohan yang kokoh serta latar belakang yang gamblang. Ketegangan yang terbina dengan baik sepanjang kisah menyembunyikan solusi tak terduga di bagian akhir. Adapun Pabrik (ditulis 1967, terbit 1975) adalah realisme dengan sturuktur yang longgar, dan kelonggaran inilah yang membuat semua peserta konflik menampilkan diri bergantian dengan kejutan masing-masing. Seperti mengejek sikap berpihak yang biasa diamalkan kaum sastrawan kita, Putu mengungkai sisi gelap kaum buruh seraya menelanjangi kaum majikan. Dengan gaya pencitraan yang patah-patah, staccato, justru berhasil menjaga kelancaran cerita.

Naskah drama Putu Wijaya, yang mendasari pentas teaternya, bersitumpu pada situasi dramatik murni, di mana bahasa selalu tak memadai sebagai alat percakapan. Seakan terbangun oleh Improvisasi, naskah drama Putu adalah tarik-menarik antara lisan dan tulisan. Kalimat-kalimat tak berujung pangkal dalam Dag-Dig-Dug (1974) adalah tanda kepikunan suami istri berusia lanjut dengan segenap kesulitan mereka berkomunikasi dengan sekeliling maupun riwayat mereka sendiri. Tokoh-tokoh dalam Aduh (1973) yang hanya disebut "salah seorang", "salah satu" atau "entah siapa" juga menguar tanpa tujuan, hanya supaya peristiwa terselenggara di pentas. Anu (1974) mempermainkan tokoh-tokohnya sendiri, yang pada dasarnya tak mampu menyatakan diri, dengan kata "anu" di sepanjang naskah untuk menyampaikan apa yang terungkapkan. Adapun Edan (1976) adalah penghadap-hadapan dua kelompok yang tak tahu apa yang sesungguhnya mereka kerjakan.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

Pak Tua Penjaga Bengkel

BAB
Empat Puluh Enam
Lanjutan


Aku tak bisa berpikir lama-lama karena Nara sudah dalam keadaan yang membahayakan. Dia terpojok di antara lumpur-lumpur sawah. Aku berlari kearahnya dan menerkam tubuh orang itu kuat-kuat. Keberanianku muncul bila sudah terpojok begini. Ku tonjok mukanya, tetapi ia tidak bergeming, mungkin pukulanku terlalu lemah atau dianya yang sudah terlatih. Ia malah mencengkram leherku kuat-kuat, aku tak berkutik, nafasku sesak. Sorot matanya merah bernafsu ingin membunuhku. Ku lihat Tato yang sama bergambar burung Rajawali yang pernah ku lihat ketika berkelahi dengan salah seorang maling. Mungkinkan orang yang sama. Dalam sesak nafas yang berat ku lihat orang yang satunya lagi sudah kembali berdiri. Ku lirik Nara sibuk mencari-cari sesuatu. Apa yang sedang ia lakukan.

Pandanganku mulai berkunang-kunang. Tiba-tiba dengan cepat tangan kanan Nara menghantan kepala orang yang sedang mencengkram leherku dengan batu di tangan kanannya, darah segar meluncur dari keningnya. Cengkaramnya mulai lunak dan aku membebaskan diri dari tangan kekarnya. Orang itu ingin bangkit kembali, tetapi Nara sudah menendang orang itu kebelakang. Syukurlah Nara masih waras tak menghantam kembali dengan batu di tangannya. Temannya kaget melihatnya tersungkur kebelakang. Ia terkapar, sementara darah mengucur dari keningnya. Nafasnya tersengak-sengal. Ia tak lagi memegang pentungan. Mungkin terlempar dan hanyut di sungai kecil.

Pak Tua Penjaga Bengkel

BAB
Empat Puluh Enam

Bengkel sepeda tampak sepi. Aku ngeri melihat tampang penjaga yang pernah menyembelih kucing itu ketika ku pulang kerja. Aku memperhatikan ban depan, aku senang tidak kurang angin. Hujan atau tidak aku selalu membawa payung. Aku tidak ingin melihat istriku Nara basah kuyup.

Seorang penjaga menjajari laju sepeda, wajahnya tampak tegang.

“Mas Marko bisa kau kayuh sepeda lebih cepat lagi!.” Seorang penjaga memberi intruksi.”

“ Ada apa Pak!.” Aku cemas.

“ Lihat di belakangmu!.”

Aku dan Nara menengok kebelakang 3 detik. Gerombolan orang berjumlah 6 orang tengah membuntuti kami. Mereka semua bertopeng. Jaraknya masih 15 meter. Mereka membawa pentungan yang terselip punggung lewat kaos dalamnya. Ku kayuh sepeda secepat-cepatnya melewati jembatan kali klawing. Aku beradu cepat dengan mereka, aku heran kemana Para Polisi yang biasa jaga di perampatan. Toko-toko rata sepi tak di buka. Skenario apalagi yang akan kuhadapi. Hal mengerikan apalagi yang harus aku dan Nara hadapi.

Jumat, 05 April 2019

Sang Penjaga

BAB
Empat Puluh Lima


Sejak ayam jantan berkokok, aku dan Nara sudah bangun pagi buta. Menggelar sajadah untuk sujud panjang-panjang. Agar awal pagi bisa di lalui dengan lancar. Mungkin para anak buah penjaga kastil yang pernah melihat Alm. Anis berkomunikasi dengan Nara bisa menyebabkan Nara celaka. Atau setidaknya ada gejala kearah sana, begitulah kesimpulan awal yang berani ku terka-terka.

Selesai Sholat Shubuh, aku biasa mengantarkan Nara berdagang dengan sepeda Onta. Keluar dari gang rumah, orang-orang yang dikirim oleh Polisi Saryo sudah tiba di desa Kaligondang. Aku tahu ketika Nara membisikkan ke telingaku tentang orang-orang misterius itu. Nara hafal betul satu-persatu penduduk Desa Kaligondang. Kalaupun tak hafal nama, dia akan mengenali wajahnya.

Sepanjang perjalanan menuju kepasar. Dua orang bersepeda mengikuti kami berdua. Sepedanya terlalu bagus untuk ukuran seorang petani. Aku dan Nara memutuskan untuk bicara dengan mereka. Rupanya Polisi Saryo benar-benar melakukan apa yang di ucapkan.

Kamis, 04 April 2019

Svetlana Alexievich

“ Ini cara saya melihat dunia, melalui suara –suara individual yang berbunya secara bersamaan,” katanya.

Di dalam wawancara dengan Dalkey Archive Press, Alexievich mengungkapkan bisa menghabiskan tiga hingga sepuluh tahun untuk melakukan penelitian sebelum menulis novel. Keahlian sebagai wartawan amat berguna untuk mewancara dan malakukan investigasi sebagai bahan tulisan.

Pada 1983, ia menamatkan novel pertamanya berjudul The Unwomanly Face Of War. Novel itu mengupas kisah satu perempuan Soviet yang terlibat langsung dalam perang dunia II. Meraka berusia 15 hingga 30 tahun dan tidak gentar berada di garis depan peperangan sebagai serdadu, pengemudi tank, bahkan pilot pesawat tempur. Akan tetapi, jasa-jasa para perempuan itu dilupakan begitu perang usai.

“ Kaum laki-laki seenaknya mengubur pengorbanan yang telah dilakukan para perempuan ini,” ujar Alexievich.

Menurut Alexievich, seusai perang, hidup para perempuan itu semakin rumit. Di masa damai, para perempuan harus merahasiakan keterlibatan mereka dalam peperangan agar para lelaki mau menikahi mereka. Ketidakadilan penulisan sejaran inilah yang membuat Alexievich terdorong untuk menceritakan kembali sejarah dari mulut orang-orang yang mengalaminya.

TAK DISUKAI 

Masyarakat Soviet tidak menyukainya. Alexievich dianggap memutarbalikkan fakta dengan menulis bahwa keberhasilan Soviet di Perang Dunia II adalah akibat kontribusi perempuan. Ia dinilai sebagai penulis disiden (yang tidak sepakat dengan pendapat seseorang atau kelompok) dan penentang ideology komuisme.

Anggapan ini tidak membuat Alexievich ketar-ketir dan tetap aktif menulis. Pada 1991, The Boys of Zinc terbit dengan premis pertikaian Timur dan Barat untuk suatu hal yang sia-sia. Judul tersebut diambil dari peti jenazah seng yang membawa pulang jenazah para serdadu muda yang tewas di pertempuran itu.

Presiden Alexander Lukashenko naik pita dan menuduh Alexievich menghina ideology komunis dan militer Soviet. Hidup Alexievich pun mulai diwarnai tuntutan hokum dari pemerintah Belarus. Dua buku menyusul terbit pada 1993 dan 1997,yaitu Enchanted With Dead tentang orang-orang yang bunuh diri akibat runtuhnya Soviet,dan Voice From Chernobyl yang menyuarakan derita para korban bencana ledakan nuklir.

Sejak saat itu, Alexievich dianggap sebagai musuh pemerintah. Kehidupan pribadinya disadap dan diikuti para agen. Ia juga dilarang tampil di acara-acara public. Tahun 2000, International Cities Of Refuge Network menawarkan suaka politik kepada Alexievich sehingga ia pindah ke Paris, Prancis.

Setelah itu, ia berpindah-pindah ke Jerman dan Swedia. Beasiswa penulis menjadi penunjang hidupnya. Pada 2011 meskipun masih ada tekanan dari rezim pemerintahan baru, Alexievich kembali ke Belarus dan terus menulis. Novel terbarunya, Second-hand Time, terbit pada 2013.

Kegigihannya bertahun-tahun untuk menyuarkan mereka yang terbungkam suaranya mengantarkannya pada Nobel Sastra 2015.

“Ini cara saya melihat dunia, melalui suara-suara individual yang berbunyi bersamaan.”

• Karya:
o The Unwomanly Face Of War (1985)
o The Last Witnesses (1985)
o The Boys Of Zinc (1991)
o Enchanted With Death (1994)
o Voices from Chernobyl (1997)
• Penghargaan:
o Nobel Sastra (2015)
o Prix Medicis Essai (2013)
o Peace Prize of The German Book Trade (2013)
o Ryszard kapuciski Award for Litarary Reportage (2011)
o Oxfam Novib/PEN Awar (2007)
o National Book Critic Circle Award (2005)
o HerderPrize (1999)
o Friedrich-Ebert-Stiftung-Preis (1998)
o Leipziger Book Prize on European Understanding (1998)
o Andrei Snyavasky (1997)
o Tuchholsky-Preis (1996)

Penulis: Laraswati Ariadne Anwar
Sumber : Kompas, selasa, 13 Oktober 2015

Selasa, 02 April 2019

NARA: Menemui Polisi Saryo

BAB
Empat Puluh Empat
Lanjutan

Aku menghirup nafas setengah dalam.

“ Langsung saja Pak Saryo, waktu peristiwa penyergapan dulu ada seorang gadis yang bersama Nara, bapak masih ingat.”

Polisi Saryo terdiam sejenak.

“ Oh yang selalu berada di belakang Nara itu, aku ingat sekarang. Kalau tidak salah namanya Alm. Anis kan.”

“ Iya betul Pak?"

“ Terus.”

“ Ketika Anis tertembak, dalam sakaratul mautnya ia memberikan sebuah kertas. Dalam kertas tersebut Anis menceritakan sebuah penemuan yang...” Nara tak meneruskan ceritanya.”

Menemui Polisi Saryo

BAB
Empat Puluh Empat 


Nara terlihat anggun dan bersahaja. Sejak peristiwa di penjara dan ruang bawah tanah yang menyimpang sejuta misteri. Nara memutuskan untuk berkerudung. Alasannya karena sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Swt. Kegiataan berdagang pun masih terus di lakukan setiap pagi. Aku mendukungnya, karena itu adalah perintah dari Allah. Begitu guru ngaji mengajarkan kepadaku saol berkerudung yang wajib bagi wanit muslimah.

Sorenya aku dan Nara memutuskan untuk mengantarkan surat Anis kepada Polisi Saryo untuk di jadikan alat bukti untuk menyelidiki tentang kebenaran berita di balik kastil dalam penjara Purbalingga itu, surat itu bagai beban berat yang harus di simpan dengan baik.

Sebelum keberangkatan aku terkejut mendengar cerita dari Nara kalau Kang Dirman pernah menyatakan cinta kepadanya. Tetapi Nara menolaknya dengan alasan sudah ada yang melamar. Kata Nara Kang Dirman jatuh cinta ketika Nara memberi makan pada Kudanya. Tetepi penolakan Nara tak membuat Kang Dirman membalasnya dengan kejahatan seperti yang di lakukan oleh Farah padaku. Di pernikahan kami berdua saja kang Dirman sudah menggandeng Istrinya. Sikapnya yang ramah dan baik itu tak juga berubah sampai sekarang.

Sebuah Pengakuan

BAB
Empat Puluh Tiga 


Aku mulai menjauhi Musholla. Aku berteman dengan seorang laki-laki yang ku kira baik, tetapi aku malah kehilangan kehormatanku.

Aku menangis, sedih, dan marah. Lalu aku mencoba membunuhnya pada suatu malam. Tetapi aku hanya berhasil menancapkan pisau beracun itu pada pahanya. Aku puas. Tetapi mala petaka itu baru saja menghampiriku. Ternyata lelaki itu anak bupati. Dengan memfitnahku di depan bapaknya akhirnya aku di jebloskan ke penjara dengan tuduhan pembunuhan berencana lengkap dengan saksi yang telah di sumpel mulutnya dengan duit.

Di penjara aku sengaja menghindar dari kamu, padahal aku sudah tiga tahun di pernjara. Tetapi takdir Tuhan berkata lain. Kamu menemukanku. Lalu kamu menolongku dari sipir bejat itu, padahal sipir itu adalah pelanggannku yang ingin menikmati tubuhku ini. Tetapi aku tidak protes karena aku sudah mulai muak dengan diriku sendiri.

Sebuah Pengakuan

BAB
Empat Puluh Tiga


Kebahagian kami tak terlukiskan setelah Nara melahirkan anak yang pertamanya. Nara mengalami kontraksi setelah mengunjungi makam Anis dan Hasan si sipir pendiam. Keduanya di makamkan berdekatan di komplek makam pahlawan. Keduanya tercatat sebagai orang yang telah menyelamatkan situs yang bersejarah. Kami pun bertemu kembali dengan Polisi Saryo. Dia begitu rendah hati mengunjungi rumah kami dengan sepeda motornya sendirian tanpa pengawal.

Sekarang Polisi Saryo mendapatkan kepercayaan lebih dari atasan soal keamanan di Kota Purbalinnga. Sinar pagi belum muncul dari peraduan, tetapi Polisi Saryo sudah bertandang kerumah kami. Semua keluarga merasakan keteduhan dari tatapan bayi yang mungil itu. Tiky dan Wiro tak henti-hentinya berebutan untuk menggendong. Ibuku dan Ibu mertua terlihat jelas pancaran kebahagiaan seperti lukisan pelangi.

Beberapa jam kemudian ruangan kamar yang di huni oleh bayi mungil kami kembali tenang. Semuanya kembali beraktivitas masing-masing. Wiro dan Tiky kembali ke rumah, Ibuku menyuruh Wiro dan Tiky untuk memberi makan pada ayam-ayam peliharaannya. Ibuku sedang memasak untuk makan siang nanti. Sedang Ibu Baroroh terlihat sibuk untuk siap menumbuk padi dalam lumpang kayu.