Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 September 2023

BU- ULLY

Saya Punya Hak Untuk Tidak Menjawab

Begitu kata Bu-Ully saat para wartawan mendatangi tempat dimana ia menjalani hidupnya sebagai pendidik. Tapi entahlah sebagai buruh saya tak merasakan apapun tentangnya. Bahkan aura sebagai pendidik pun aur-auran. Lalu kemana ruh gurunya. Tanya seekor anak Rusa yang pernah mencium kaki lelaki saat induknya terjerat tali. Mungkin hilang untuk sesaat saat ia dihipnotis dengan lembaran-lembaran sombong bernimina. Kalian tahu nomina itu fiksi loh. Jika kalian mau berpikir, nomina hanya diciptakan untuk menominakan perkara-perkara yang sukar untuk di bilang. Mengapa era dulu, emas menjadi alat tukar transaksi, baru itu Fakta.

"Kenapa berani menghilangkan perasaanya," seekor anak rusa bertanya pada induknya.

"Hanya Bu-Ully yang bisa menjawab," jawab Induknya.

"Semua orang berhak menjawab."

"Itu hanya ada di dunia dongeng, camkan itu.

Induknya menceritakan bagaimana Bu-Ully sempat membuat kakinya terjerat. Perasaan putus asa segera merayap cepat. Bersukur anaknya mau mempertaruhkan nyawanya untuk menolong dirinya. Kalau tidak, ia akan terjerat dan tewas di makan hewan liar lainnya.

Jumat, 12 Mei 2023

Frans Chu-Eng

Frans Chu-Eng adalah salah satu murid SMU Negeri Harapan, Jakarta. Hoby naik kuda delman, umur 17 tahun, sedang mondar-mandir tak karuan di tepi jalan sendirian mirip Tom yang kesel sama Jery. Bentar-bentar ia ngliat jam di hape yang nada deringnya ayam betina sedang berkokok. Sudah jam 06: 45 tapi ia belum juga dapat menyetop bus ataupun angkot yang lewat di depannya. Ia  mondar –mandir  kaya mandor nungguin gajian dari bos yang pelit.

Frans bukan berangkat kesiangan tapi sengaja nungguin ke tiga sahabat karibnya yang biasa naik bus atau angkutan umum bareng-bareng. Frans sudah sampai di halte jam 6 pagi. Rambutnya sudah klimis mirip para pejabat bermobil mewah. Tas cangklongnya mirip tukang kridit  tahun 70-an. Frans anti dengan minyak rambut modern yang bermerk. Sebelum berangkat ke sekolah rambut tebalnya ia olesi dengan air dari bonggol pisang yang ia kumpulkan semalam. Frans ingin hidup dengan cara-cara yang alami. Kebiasaan ini sering mendapat tegoran dari teman-temannya, tapi frans menganggap teguran itu sebagai bahan ujian. Frans mungkin salah asuh mengenai konsep Go Green.

Bukan hanya panik karena merasa akan telat sampai sekolah,  Frans ternyata pagi ini begitu tidak beruntung. Sejak dari jam 6 pagi ia nungguin ke tiga sahabat yang begitu lucu-lucu dan sedikit norak. Tahu-tahu ketiga sahabatnya lewat di depannya dengan nebeng motor temannya masing-masing. Frans jadi pusing sendirian kaya gangsing mau kalah. Ke tiga sahabatnya bukannya pasang wajah melas tapi malah meledeknya dengan dada-dada alas artis Hollywood. Lalu menjulurkan lidahnya masing-masing. Frans yang mau marah kembali senyum. Daya imajinasinya langsung keluar ke tiganya mirip sepupunya serigala yang kelaparan.

Ketiga sahabatnya yang bernama Baim, Bama, dan Mona sudah berlalu dari harapannya. Frans masih suka tak peda kalau naik angkot atau bus sendirian. Baginya kaya sapi hendak di sembelih di idul Adha. Pernah Frans di pelototin gadis di depannya. Frans langsung ciut nyalinya. Kaya bocah SD kehilangan duit Gopean. Bahkan Frans pernah nyasar jauh dari sekolahan karena bengong naik bus sendirian.  

Berapa kali angkutan umum, atau bus langganannya ia cuekin. Frans tak habis pikir kenapa ke tiga sahabatnya itu pergi meninggalkan dirinya sendirian. Frans merasa bersalah karena menggagap mereka bertiga sudah mulai bosan dengan dirinya. Frans meras ada yang salah dengan penampilannya, ia memelototi dari ujung sepatu hingga mengusap-usap rambutnya sendiri. “Jangan-jangan karena minyak rambut gue nie...”. ucap   Frans lirih.  

Hape di sakunya bergetar, sementara jarum jam menunjukkan jam 7 kurang 10 menit.  
  “ Sory Frans gue duluan ya..., lue belum mandi ya..., kok tampangya kucel banget. Mandi sana pake kembang 7 rupa. Terus pake tanah jangan lupa. Hati-hati jangan sampai salah pilih tanah, ntar ada kembang pasirnya. He-he-he.” 

Laptopku Sayang Laptopku Melayang

Jari-jemari ku sudah gape untuk memencet keyped pada handphone yang terlampau tidak masa kini. Keyped terasa begitu keras. Hingga perlu di tekan agak keras. Bila ingin memencet satu persatu huruf yang di inginkan.

Sudah lebih dari 10 orang temenku yang sudah ku kirim SMS dengan nada yang sama. Hanya nama dan julukan yang berbeda.

Assalamualikum. Mohon maaf Budi. Saya hendak menjual laptop. Saya lagi kepepet. Harganya murah Cuma 2 juta. Harga Aslinya 4 Juta. Kondisinya masih bagus. Terimakasih. 

Begitu salah satu nada SMS-nya.

Aku menunggu sejenak. Apakah ada respon yang membuat pikiranku agak tenang. Karena sudah hampir 3 bulan cicilan motor SupraX-ku belum kunjung di cicil. Beberapa penagih sudah beberapa kali menyambangi kos-kosanku yang masih berlantai plur alias tanpa keramik. Masalah lain adalah ibuku di kampung sedang membutuhkan bantuan. Profesiku sebagai tenaga pengajar pada sebuah lembaga yang bergerak dalam Bimbingan belajar. Pas-pasan saja. Pas dibutuhkan tidak ada.

Beberapa penagih secara bergantian yang datang kekosanku kemarin. Sudah memberikan intonasi “mengancam” akan “membawa” motorku yang putih merah warnanya. Bila motorku di sita maka langkah kakiku akan terasa pincang jalannya. Karena setiap hari aku gunakan untuk mengajar.

Makanya malam ini. Sambil terus menunggu respon dari teman-teman. Aku sengaja pulang lebih telat di banding teman-teman lain sesama pengajar. Di lembaga bimbingan belajar dengan nama Iltizam. Di tempat inilah aku sekarang terpekur sendirian menatap kursi-kursi kosong, di tinggalkan murid-murid beberapa jam yang lalu. Suasana riang dan ceria beberapa jam yang lalu, berganti dengan kesunyian yang membosankan. Di tambah tidak lagi tidak ada kawan yang bisa di ajak bincang-bincang. Semuanya sudah pada pulang, meneruskan aktivitasnya masing-masing.

Aku duduk sendiri diatas kursi-kursi tempat biasa anak-anak mendengar dan menyimak para kakak-kakak yang sedang memberikan pelajarannya. Sengaja aku matikan lampu ruangan. Sehingga ruangan tampak remang-remang. Hanya ada sinar dari lampu dari ruangan sebelah yang dibiarkan terus menyala sampai pagi. Aku yang memegang kunci sendiri, memungkinkanku bisa lama-lama duduk berdiam diri diantara kursi-kursi itu.

Lebih dari lima menit aku tunggu respon dari teman-teman yang sudah aku SMS. Tapi nada penerima pesan dari handphone tidak masa kini tak besuara sama sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam kurang 15 menit. Menunggu adalah pekerjaan yang membutuhkan energi kesabaran.

Pikiranku sudah mulai buntu. Kepada siapa lagi aku harus minta bantuan. Pikiranku mulai tersentak. Beberapa wali murid yang cukup dekat denganku, mungkin bisa membantu. Aku berharap beberapa dari ibu-ibu yang aku SMS dapat tersentuh dan tergerak hatinya. Mau berempati dengan kesulitan yang kuhadapi. Jari jemari mulai mengatur ulang isi SMS yang hendak ku kirim. Tinggal ganti nama dan sedikit penambahan.

Selasa, 20 September 2022

Raksasa Kerdil dari Lorong-Lorong Kota

Bagian Satu


Ia datang dalam kegelapan di wajahnya seolah habis beradu dengan panas. Tetapi bukan itu, ia hadir karena mengganggap segala yang ada pada jangkauannya, itu buruk sekali. Ia mengupas segala perbendaharaan kata hanya untuk menghabisi lawan bicaranya. Kalau mau jujur, mungkin isi kepalanya hanya dipenuhi oleh persona tidak non grata. Ia mewakili pikiran yang melintas bukan pada ukuran tertentu.

Ia mendengus setiap kejadian tidak sesuai pikirannya, mencoba sekuat tenaga agar ide itu lenyap atau dilenyapkan. Lalu ia tangkap kemudian hari sebagai cara untuk menaikkan kekuatan agar dapat membuat kentut paling bau di lorong-lorong tempat ia tinggal. Mustahil kalau yang ia lakukan dapat gagal, karena gagal adalah bukti bahwa ia pernah mencoba bukan tanpa persiapan. Ia bersembunyi di balik evaluasi yang garing dan melenyapkan perbedaan dengan traktiran makan sepanjang ia memimpin. Itu buruk sekali (setidaknya bagi saya).

Bila ada pikiran yang melintas dan ia suka, bukan keluar dari orang yang ia suka. Maka ia akan menangkap dengan caranya sendiri. Sebaiknya ia akan tetap bertahan sementara ide itu terus berkembang. Ia hanya membersihan kotoran hidung, tanpa pernah memperhatikan apa-apa yang sudah tumbuh bersama kotorannya itu.

Satu pagi ia tertawa. Lalu mengeluarkan bau bacin ke lorong tetangganya. Harusnya sesama penghuni lorong, ia tak perlu mengupas jenis bawang-bawangan tanpa pernah membagi aromanya, jika ia terlalu pelit. Lelahnya membuatnya orang di sekitar ikut berpeluh, padahal ia sendirinya yang membuat kelalahan tanpa jeda.

"Kalian manusia brengsek, tak tahu apa-apa. Sejago apapun kalau kalian tak bersitifikat, tak ada gunanya." Ia bergumam atau mendengus. Ia selalu memadukan antara insting pemburu dan kekolotoan para manusia purba.

"Capai, kalau berurusan dengan dia, tak ada habisnya," seloroh peminum kopi yang sedang mengunyah ketan goreng.

" Ia perlu dikikis, paling tidak di palu sehingga keluar reptil nakal yang selalu bersembunyi dibalik kepalanya."

"Bikin perkara saja." 

Senin, 28 Maret 2022

DUNG TANG

Kau tahu masa itu sungguh tak ingin nenek lalui lagi. Masa yang membuat nenek tak lagi bisa tidur nyenyak. Kalaupun bisa tidur mimpi-mimpi kerap menjadi lebih nyata dari sebelum-belumnya. Ia seperti mata pedang yang akan menebas siapa yang tak bisa mencegah mimpi buruk. Entah sampai kapan nenek bisa melupakan yang mencekam itu. Bahkan kakekmu itu juga sering menutup pintu rumah ketika suara kodok masih asik bernyanyi. Kakemu menjadi lebih pendiam ketika senja sudah mulai melebarkan sayapnya. Ia membetulkan letak pandangan dan menajamkan pendengaran pada tahap yang melelahkan. Ia tak berguling ke kiri atau ke kanan ketika orang-orang mendengkur dan menyerahkan semua keselamatan pada selimut malam.

Hari itu tiba, siang yang tenang berubah menjadi kegaduhan bercampur kepanikan. Pesawat-pesawat tempur Jepang itu telah menyita sebagian hidup nenek. Padahal sebelumnya raksasa berkulit putih itu sering membiarkan kami untuk merekayasa hidup kami, meski mereka juga tak sama dengan tentara Jepang. Mungkin mereka sedang tak lagi punya uang saku sekedar untuk pergi berjalan-jalan, atau ransuman telah menyita akal sehatnya.

Kami beragam usia bersembunyi dalam lubang-lubang yang kami gali sendiri, masih menutupi kepala mereka dengan daun pisang, semak, bahkan tampah lebar untuk menjemur lada-lada beralih fungsi. Setelah sirene (Dung Tang) dari pesawat hilang, kami mendapati bumbu-bumbu dapur tiba-tiba raib, bahan pokok sebagian lenyap, dan meninggalkan beras-beras berkutu.

Betapa bodohnya kami-kami ini, termasuk nenek. Kau tak perlu mengikuti jejak kami semua. Kau bisa mengubah sendiri nasibmu. Karena pesawat tempur itu kini banyak parkir dan jarang terbang. Sebagiannya bahkan mejeng di museum.

Rabu, 16 Maret 2022

Lemari Kayu Hitam Beraroma Kecoa______1

Ia berhenti mengunyah, berjalan ke dapur, menuangkan air dari kerpis dingin musim kemarau. Ia menenggak dalam lima tegukan. Urat tuanya mengimbangi agar tidak tersedak dan sisa-sisanya masuk kedalam paru-paru. Lalu berakhir gundukan tanah dan sepapan kayu nisan. Ia mengusah ari yang mengalir ke lehernya, ujung kain sibuk mengelap sana-sini. Tanpa melihat pada tempat yang dituju, ia mengambil tusuk yang berbahan lidi kelapa.

Dalam beberapa ayunan, ia sudah duduk di dekat cucunya yang masih hitam putih. Ia mengatakan dengan sadar atau tidak,hanya sebuah senyuman lain: maksudnya tersenyum pada mahluk lain selain cucunya sendiri. Cucunya sendiri masih duduk manis ditempat yang sama, hingga pada cerita yang membuatnya terpaku.

"Lalu," tanya cucunya.

"Nenek itu, memasak "cucunya" sendiri yang telah di belah menjadi beberapa bagian. Seolah daging olahan yang siap dimasak dalam beberapa bagian menu sesuai selera. Sorenya sang Ibu yang kelaparan membuka lemari kayu beraroma kecoa, mengambil nampan penuh daging goreng yang membangkitkan selera makannya." tutur sang nenek.

"Si nenek jahat itu tidak ketahuan, atau ditangkap polisi."

"Kita pada zaman yang serba buram,orang-orang sibuk dengan dunianya sendiri, nenek saja lupa bagaimana cerita begitu masuk kedalam kepala nenek, lalu sulit sekali hilan, mungkin sampai nenek tiada, menempel pada ingatan terakhir."

Selasa, 18 Januari 2022

Seorang Guru Yang Berjalan Tanpa Atap

Tidak lagi menikmati, keseharian karena tak tega menanggalkan baju kebesaran dari rumah pengalaman. Lagi juga tak pernah merasakan tumpukan uang dalam jumlah yang besar, lalu apa yang dicarinya. Mencoba pada tahap menjadi BOS juga tak bisa, ia lahir dari pengalaman seorang prajurit, bukan dari seorang jendral. Mungkin ini hanya alasan yang berulang-ulang, sampai ia lupa pada kekesalan atas ego yang lebih besar.

Ia sedang berhadapan dengan seorang beruang betina yang sedang buas-buasnya, karena dihadapannya ada mahluk yang mungkin dianggapnya tak mengerti apa-apa. Pengalamannya juga tak seberapa, hingga beruang betina itu mudah untuk mencakarnya atau bahkan mencabik-cabiknya hingga si Guru tak lagi bercuap-cuap soal pengalaman yang tak seberapa itu.

Si Guru kembali ke kantor setelah menerima kekalahannya yang berulang terus. Menghadapi beruang betina tidak lagi sebuah dulu, kini ia harus mawas diri atas usianya terus beranjak senja. Bahkan si Guru juga mulai tak lagi mengenali diri, apakah ia layak menjadi Guru yang penuh kompeten, apakah Sastra telah menyedotnya hingga palung hati, pikirannya kini terlampau gelap untuk keluar dari ruang yang biasa ia lakukan setiap pagi.

Si Guru mulai menghitung tentang perkembangan masa depannya. Apakah ia mau melakukan kudeta atas dirinya sendiri, seperti yang ia lukukan dulu pada sekolah-sekolah yang digelutinya. Kuda-kudanya kini tak lagi kokoh untuk menantang pikirannya sendiri. Apalagi kudeta merangkak tak lagi cocok baginya. Ia hanya seorang guru, yang mencoba terus mengkudeta mimpi-mimpinya.

Guru, itu lupa dan kembali menafikan kekurangannya, mencoba bertahan istilahnya. Apa boleh buat, jika ia lemah, ada sastra yang menguatkan. Jika itupun tak berhasil, ia akan kembali pada sabda-sabda langit yang tak membuatnya kecewa.

Tokoh kita memang, ada duanya, bukan tiada duanya. Label sering memelantingkan kedalam prasasti kejengkelan atas nama GURU, yang sering dibilang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, bisakah dibalik pernyataan agar lebih aristokrasi.

Jumat, 24 September 2021

Kata Nenek

Sudah beberapa jam Febri dibawa Kelong. Berita ini tentu saja menggemparkan seluruh penduduk gang rapingun. Kami yang sedang duduk-duduk di beranda Mushola selepas mengaji merasa kecut. Aura Mushola yang semestinya memberikan ketenangan seakan mengungkung kami dalam ketakutan. Apakah nanti menjadi prasasti sebagai anak yang paling banyak diusili oleh dedemit.

Menurut para sesepuh di desa kami, kaum dedemit yang terorganisir itu akan "menyerang" atau "menangkap" anak-anak yang tidak patuh orang tua, klayaban sendirian, dan suka terbengong-bengong. Konon mereka handal dalam hal merongrong wibawa manusia, apalagi anak-anak.

Nenek memiliki pengetahuan yang cukup luas terhadap dunia perdemitan,ia seorang yang kata-katanya didengar oleh keluarga. Ia punya ingatan lengket tentang para kompeni yang mendera pada anak cucunya. Setidaknya pada Supri, cucu yang pernah diteror oleh ular besar penunggu pohon besar.

Menurut Nenek derivasi pada dunia dedemit terpecah-pecah dalam tataran yang sering kali tidak masuk akal. Supri sering memprotesnya, tetapi ketakutan menjadi perisai atas ketidaksukaan pada dunia rekaan sang nenek. Ia seringkali menerka-nerka apa isi kepala sang nenek, apakah otaknya dipenuhi dengan konspirasi-konspirasi untuk menjaga para cucunya.

Ia memperkenalkan sosok Cepet sebagai lelaki serba hitam yang seringkali muncul dari balik rerimbunan pohon bambu. Bambu wulung menjadi hunian paling nyaman bagi para kumpulan Cepet beserta sanak familinya. Cepet seringkali menjelma menjadi sosok yang dikenali oleh orang-orang terdekat. Kemunculannya bersamaan dengan tenggelamnya matahari. Begitu kata nenek, sebagai awal pembicaraan serius di tengah malam. Ketika membukakan pintu untuk Supri yang pulang malam.

"Nek, Febri dibawa Kelong," Ucap Supri ketika mengunyah nasi dingin dengan campuran lauk yang tampak menggigil.

"Ternyata mereka tak juga kapok."

Lalu nenek bercerita panjang lebar. Ia menebak kalau Febri sudah dibawa berkeliling menuju tempat-tempat yang semestinya buruk pada dunia nyata. Tampak indah bila sedang membersamainya. Mungkin Febri akan ditemukan pada tempat-tempat yang tak terduga.

Sebelum tidur, Supri dikenalkan kembali pada dunia rekaan nenek. Sumbernya pun sulit untuk ditelusuri. Dugaan sementara menurut para teman-temannya, nenek pernah dikejar oleh serdadu Jepang sampai terbirit-birit masuk lereng dan bukit-bukit berhantu. Lalu pulang dengan segudang pengalaman yang meneror. Sesaat sebelum tidur, ia bercerita tentang dunia Jewilwa yang muncul pada siang bolong ketika anak-anak keras kepala tak pulang ke rumah. Ia tidak bercerita secara lengkap asal muasal Jewilwa itu. Jenis berikutnya ada sosok yang sering disebut dengan Nggerem, mahluk penganggu pada anak yang malas gosok gigi dan kabur saat tidur siang.

Pagi hari Supri terbangun mendengar jeritan ayam hutan yang dipelihara oleh kakeknya. Ia kadang melengkapi dunia rekaan nenek menjadi terlihat nyata dan bisa ditelusuri dari masa yang lampau. Apakah mungkin?

Ia melangkah untuk memulai hari bersama dunia rekaan sang nenek.

Senin, 02 November 2020

Pengelana dan Pedagang

Malam yang larut tak menghentikan langkahnya untuk meneruskan perjalanan panjang dan tak berujung. Endorfin yang dilepaskan beberapa jam lalu telah berubah lelehan keringat asin dan berbau. Cahaya malam membuatnya urung tuk hentikan langkah barang sejenak, meski mata telah memerah. Lampu-lampu rumah telah padam sejak ia memasuki perbatasan desa. Kini ia hanya berteman jalan-jalan sunyi dan menggigil.

Kopi hitam tanpa gula, ia mungkin hanya memakai perasan gula tebu yang dimamahnya sendiri. Meski bercampur liur ia tetap mencengkram tangkai gelas di bawah tatapan jijik pengunjung kedai. Ia menanti-nanti adegan perkelahian yang sering muncul di kedai-kedai, warung-warung, atau penginapan. Yang dirasakan adalah tatapan mereka yang membuatanya jengah untuk beberap saat. Lalu pergi mencari ketenangan.

Sisa ampas kopi yang masih enggan berguguran dari celah gigi,  telah lama membentuk ceruk lemak keras. Seperti lemak dari pembuangan yang bisa kalian jumpai jika rajin membuka tutup pipa pembuangan dari paralon rumah.

Berjalan sendiri di bawah gigitan musim dingin seperti bergelut dengan jengkel melihat anaknya yang sulit diatur. Bisa karena miskin pendekatan atau jiwanya memang pemarah. Langkahnya telah meringkus semua otot-otot kaki hingga terasa linu bukan kepalang. Ia menelan ludahnya sendiri berkali-kali untuk menghangatkan perutnya yang mulai keroncongan.

Ia merogoh saku depan celananya. Mengeluarkan semua yang ada. Tinggal beberapa keping uang logam yang mungkin menyelematkan dari mati kelaparan.

Seorang pedagang terkantuk-kantuk di depan barang dagangannya yang membisu. Kepalanya mengangguk-angguk sendiri seperti ada yang mengendalikan. Jika ingin terjengkang ke belakang, ia lekas merentangkan tangan agar punggungnya tak mencium tanah yang membeku.

Ia berhenti di depan pedagang itu dan membiarkannya tetap mengagguk-angguk tanpa ingin menganggunya. Ia lebih mementingkan perutnya yang lapar dari pada memberi jeda pada pedagang itu dari lelapnya tidur yang jika raja melihatnya akan iri, bagaimana resepnya ya?

Bunyi perutnya yang berkali-kali, makin lama makin keras. Ia telah lama menahannya, menyenggol bahu pedagang adalah cara terakhir agar ia terbebas dari lapar yang berlapis-lapis. Kopi hitam yang telah di minum sehari yang lalu adalah pertahanan terbaik agar lambungnya tetap aman tanpa makian. Bisa terhuyung-huyung masuk ke desa yang baru. 

Ia mengguncangkan bahu pedagang itu agak keras, rasa segan pada orang yang sedang tidur ia kubur dalam-dalam. Rasa laparnya makin menjadi-jadi. Orang lapar bisa melakukan hal-hal buruk yang bisa merubah suasana. Ini penyakit yang hampir semua orang pernah merasakannya.

Tubuh pedagang itu tumbang, punggungnya sejajar dengan tanah. Ia malah mendengkur keras setelah kepalanya membentur tanah. Kini ia rata dengan tanah. Tapi masih di atas tanah. Ia menikmati betul. Bahkan uang yang ada digenggamannya jatuh berhamburan. Bibirnya malah senyum simpul, seolah semuanya akan baik-baik saja.

“Bang bangun bang, perut saya lapar sekali!,” ujar pengelana itu.

Dengkurannya makin mengeras, seperti deruman sapi kekenyangan. Hanya saja ia tak gayem seperti hewan penghasil susu itu. Mulutnya makin terbuka, gigi seri depannya tampak menghitam atau pelita di depannya yang membuatnya tampak gelap.

Ia memanggilnya kembali. Berkali-kali. Pedagang itu tersenyum kembali. Terdengar keluhan dan makian dari mulut pedagang itu. Ia bersyukur kerena dirinya tak dimaki-maki, meski jantungnya berdegup lebih kendang.

Ia mulai melolong di depan telinga pedagang itu dengan lolongan yang panjang dan berliur. Bahkan tubuh dan kepalanya mulai menduplikat hewan pencari kesempatan itu. Pengelana itu mengeluh panjang, hembusan nafasnya mencibir. Perutnya makin melilit, seperti iklan obat sesak nafas.

Ia mulai menggonggong sebagai cara lain membangungkan pedagang yang tidur seperti menelan puluhan obat tidur yang didapatnya secara murah. Lidahnya ikut menjulur manakala gonggongannya kurang maksimal. Bahkan pada titik tertentu ia bernafas layaknya anjing sungguhan. Siapa tahu terbangun?

Sampai fajar merekah ia terus melakukan berbagai macam akrobat dari lintas profesi. Ketika cahaya mulai tinggi, pedagang itu terbangun dengan menguap selebar kuda nil, dan mendapati si pengelana itu tak berkutik, hilang nafas, sambil memegangi perutnya yang menonjol.

Selasa, 17 Maret 2020

NAIK SETINGGI TELINGA

1

Udara masih berkaldu bubuk mesiu. Mengawang-awang mencari residu yang tersisa. Sisa-sisa mencekam masih mengembun. Mereka sudah ramai membicarakan tentang kemerdekaaan. Setidaknya tak mereka temui bendera setengah tiang.

Orang-orang masih mencari sisa-sisa akal yang terbengkalai akibat bom, martir, atu peluru tajam. Hal-hal terasa seperti merendam kedua kaki dalam jamban lama. Bau busuk serta aroma terapi.

Kalian menyangka peperangan menghasilkan kemenangan nyata. Ia hanya ilusi, sekedar mencari popularitas kekuasaan atau oligarki yang tertahan seperti kentut tiga hari belum BAB. Bila kemenangan hanya merebut sebagian hati orang, menyenangkan, menyuapi, bahkan mengelus-elusnya setiap menjelang tidur.

Mungkin kita hanya perlu menaikkan tangan setinggi telinga, agar kewajaran  akan nampak sebagai kemenangan. Pahlawan hadir melengkapi kenyataan pahit. Mereka menganggap realita sebagai kemenangan yang tertunda. Mungkin saja tidak, kemenangan hanya ada kalau orang-orang yang tegar untuk mengalah.

Prajurit yang bersitatap dengan kawan seperjuangan akan mengatakan MERDEKA!, sambil tangannya naik setinggi telinga. Ia bukti kuat atas pengorbanan yang telah lama ia idam-idamkan. Agar tak ada lagi bendera setengah yang terkibar-kibar. Karena nampak bosan mengibarkan bendera kuning pada setiap gang demi gang.

Aku curiga kita hidup tak pernah menaikkan tangan setinggi telinga. Kita terlalu abai dengan banyak hal.Nyawa dianggap remah-remah roti. Hingga kehormatan nampak seperti kenclengan yang mesti dicicil bil perlu.

Kamis, 20 Desember 2012

Surat


2 Minggu Jelang Milad Nabi Muhammad Saw.
Assalamu’alaikum, Apa Kabar saudariku yang tenang dalam penghambaan-Nya, yang tak bergosip, tak ”terbuka” dalam seminar, dalam Ta’lim, sudut-sudut diary PinK, dan seterusnya. Semuanya kamu simpan dalam sanubari yang dalam, kamu tidak ingin Tuhan cemburu bila kamu sesumbar, atau Jumawa bak Antasena dalam perang Bratayuda. Kamu mungkin mengucap sumpah setia seperti Gajah Mada dalam sumpah Palapanya. Untuk tak berkoar-koar dalam membangun castil pribadi. 

Satu sisi kamu mungkin ingin seperti Cinderrela yang kehilangan sepatu kacanya, lalu kamu berharap akan bertemu lelaki tampan bak Nabi Yusup As yang memakaikan sepatu kacanya di telapak kaki mu yang timpang karena hanya sebelah yang memakainya. Itu normal dan wajar saja, setelah di evaluasi secara jujur lewat dialog hati dengan Kalam-Nya dan juga Sabda Nabi Muhammad saw penghulu zaman. Aku yakin kamu ingin sepeti Cinderela berjubah Khumaira. Julukan paling romantis yang diberikan Nabi Muhammad kepada Aisyah istrinya. 

Kamis, 06 Desember 2012

Semut Hitam

Seekor Semut hitam bergerilnya sedang mencari makanan yang cukup untuk bertahan di musim dingin. sudah lama semut hitam legam itu mengitari hamparan tanah kering yang laus...semua semut yang lain sedang menunggu kedatangannya. di tangannyalah harapan akan keberlangsungan hidup akan terus terjadi...

Di tengah perjalannya, semut itupun beristirahat di bawah dedauanan kering berserakan. sambil mengintai mangsa yang kebetulan lewat atau mampir di dekatnya.

Beberapa saat kemudian, semut di kejutkan dengan suara langkah-langkah beraturan menyentuh dedaunan kering yang berserakan.

Kepala semut ia palingkan kepada sumber suara, detik demi detik semut lalui dengan tegang...

Di hadapannya melintas seekor laron yang sudah kehilangan sayapnya. terlihat oleh semut itu hampir kehabisan tenaga. mungkin dari semalam ia berjalan setelah kehilangan sayap karena terbang dari gua menuju alam dunia.

Semut tak ingin ketinggalan kesempatan buruannya. segera ia pasang kudah-kuda, dan mulai mengejar buruannya. tak perlu butuh tenaga yang ekstra untuk mengejar laron yang setengah pingsang. semut hitam itu pun tanpa merasa bersalah langsung menerkan tubuh laron itu dengan mulutnya yang tajam. awalnya laron itu berusaha melawan dan memberikan perlawanan. tetapi rupanya tenaga semut lebih perkasa. apalagi cengkraman mulutnya terasa menyakitkan dan seperti ada racun yang di suntikkan ke tubuhnya.

Semut hitam mulai menarik-narik tubuh laron itu, untuk di bawa ke sarangnya. kini semut pulang ke sarangnya dengan hati yang bangga. sementara laron itu terus meronta-ronta memberi perlawanan. tapi rupanya sia-sia, tubuhnya makin lama makin lemas. kedua matanya lama kelamaan mulai redup. laron kehilangan obsesinya. ia tewas di tangan semut hitam yang gagah penuh ambisi.