Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 Maret 2025

SUMUR AJAIB

Episode 2
Orang-orang dewasa sudah mengkilat tubuhnya, seperti digosok minyak setengah liter. Mereka baru selesai nawu (nguras) sumur. Mungkin setahun sekali, nenek baru meminta bantuan orang-orang dewasa untuk turun ke dalam sumur. Entah apa isinya. Mungkin semua benda ada disana. Kecuali nyawa seseorang. Lumpur semakin banyak. Ketika hujan semuanya bisa masuk ke dalam sumur, sekiling sumur belum di pondasi. Hanya pohon teh-tehan, pohon kuburan, yang menjadi bentang terakhir ketika air hujan masuk.

Nenek tersenyum.

Tentu saja kau masih ingat, jika memang isi kepalamu tak pernah digodam oleh hal-hal buruk, seperti ciu atau semacamnya. Atau mabok lem. Maka kau dulu bisa menemukan hal-hal ajaib yang kau bisa lihat setelah mereka sampai di atas. Kau terperanjat juga jijangkrakan, lompat-lompat di udara. Ini semacam kisah pelipur lara, setelah nenek mangkat ketika Aliyah kelas satu.

Setelah dua jam menguras isi sumur, keajaiban mulai muncur. Dari balik ember besar yang ditimba melalui tali besar yang dililitkan pada sebatang bambu yang kedua sisinya dikonsep bisa dijadikan putaran bambu itu. Dua ekor lele hitam menggelepar setelah tubuhnya menggelepar diatas tanah. Ini mungkin lele yang paling hitam yang pernah kau lihat. Lalu cucunya meronta-ronta, merajuk agar lele itu dijadikan lauk makan siang. Kau terlihat cerah, manakala lele itu tergeletak tak berdaya dengan bau bumbu yang menggiurkan dan sekepal nasi dingin sisa tadi malam.

Tak hanya itu, dedaunan busuk banyak bertumpuk membuat kami tertipu, Biyung kira mereka adalah ikan-ikan hitam lainnya, yang bisa dijadikan lauk untuk para penimba.

Ada batang-batang pohon yang terpangkas lalu hanyut ke dalam sumur. Yah, kau tahu bibir sumur hanya dipagari pohon dan bilah-bilah bambu yang dianyam.

Kau ingat, waktu itu ular gadung melilih di tali ember sambil menjulurkan lidahnya. Mungkin ia terbebas dari gelapnya sumur. Tanpa ampun, kepalanya digada oleh salah satu penimba yang sigap mengambil bilah bambu yang entah dari mana.

Nenek mau minum,nanti kita teruskan.

(((

Satu hari sumur itu marah dan menghantui mimpi-mimpi neneku sepanjang malam. Ia banyak menghela nafas dan mendehem panjang, dan menggerutukan gigi-giginya berkali-kali.

"Nek!" ia berkali-kali di panggil agar bisa memuka matanya. Cucunya takut ketika melihat bola mata nenek sudah terlampau dalam dan seperti dijahit.

Nenek bangun sejam kemudian dan menatap cucunya yang lelah menungguinya bangun. Ia mengelus rambutnya yang cepat sekali beruban di masa kecilnya.

Ia merenung.

"Kenapa Nek." Tanya cucunya setelah lama merenung.

"Sumur kita dikencingi Ki Dalang, tidak sehari atau dua hari. Tetapi banyak waktu Ki Dalang tetap bandel melakukannya.

"Dari mana nenek tahu."

"Mimpi, sumur itu ajaib bisa bicara."

Minggu, 23 Maret 2025

ZAMAN BURAM

Episode 1
Ia berhenti mengunyah, berjalan ke dapur, menuangkan air dari kerpis dingin musim kemarau. Ia menenggak dalam tiga tegukan besar. Urat tuanya mengimbangi agar tidak tersedak dan sisa-sisanya masuk kedalam paru-paru. Lalu berakhir gundukan tanah dan sepapan kayu nisan. Ia mengusah sisa tumpahan air yang mengalir ke lehernya, ujung kain sibuk mengelap sana-sini. Tanpa melihat pada tempat yang dituju, ia mengambil tusuk yang berbahan lidi kelapa.

Dalam beberapa ayunan, ia sudah duduk di dekat cucunya yang masih hitam putih. Ia mengatakan dengan sadar atau tidak. Cucunya yang sudah duduk mencangkung di pinggir amben. Nenek memperlihatkan senyuman lain. "Kenapa Nek, kok senyum-senyum sendiri."

"Nenek merasa waktu begitu cepat berlalu."

"Bukanya itu biasa terjadi."

"Akan datang satu masa, dimana waktu layaknya air mangalir."

Cucunya sendiri masih duduk manis ditempat yang sama. Menanti lisannya bertutur. Ia penasaran pada cerita nenek yang menggantung. Kemarin geman azan maghrib menyudahi pembicaraan mereka.

Sang sang Nenek mulai batuk kecil tiga kali setengah. Yang setengahnya itu dihitung keempat, suara batuknya terlampau kecil. Bahu cucunya direngkuh pelan. Lorong-lorong waktu membekap isi kepala cucunya, hingga terjeda pada satu hal.

"Lalu?" tanya cucunya.

"Nenek itu, memasak "cucunya" sendiri yang telah di belah menjadi beberapa bagian. Seolah daging olahan yang siap dimasak dalam beberapa bagian menu sesuai selera. Sorenya sang Ibu yang kelaparan membuka lemari kayu beraroma kecoa, mengambil nampan penuh daging goreng yang membangkitkan selera makannya." tutur sang nenek.

"Si nenek jahat itu tidak ketahuan, atau ditangkap polisi."

"Kita pada zaman yang serba buram,orang-orang sibuk dengan dunianya sendiri, nenek saja lupa bagaimana cerita begitu masuk kedalam kepala nenek, lalu sulit sekali hilan, mungkin sampai nenek tiada, menempel pada ingatan terakhir."

"Apa salah cucunya nek?"

"Tidak ada dengan cucunya, yang salah adalah isi kepala sang nenek."

"Kotor atau bagaimana nek?"

"Tidak, seluruh keluarganya tewas ketika dibunuh tentara nipon."

"Kasihan sekali."

"Begitulah perang, menyisakan dendam, kebencian, juga kewarasan."

"Cerita ini nyata nek."

"Nenek tidak tahu, saat nenek muda semua orang tahu kisah ini. Semua orang tua selalu menceritakan dengan macam. Katanya cucunya yang dibunuh itu bayangannya sendiri, entah itu mirip kambing, kuda, sapi, ataupun kerbau."

"Apakah nenek akan begitu suatu saat nanti."

"Saat nenek bertemu tentara jepang, nenek selalu menyimpan kotoran kambing di saku nenek."

"Untuk apa."

"Agar nenek tetap waras, jika tidak tentara jepang itu kehilangan kewarasan."

"Aku jadi bingung nek, nenek punya cerita lain?"

Nenek Marta terkekeh.

"Banyak besok sore nenek kasih cerita lainnya."

"Cerita hantu nenek punya?"

"Nanti kamu tidur minta di temani nenek."

"Aku tidak takut hantu nek, cuman geli."

Azan maghrib berkumandang. Mereka bersiap ke langgar yang berjarak satu kali makan gorengan.

Minggu, 16 Maret 2025

Obrolan Siput di Pagi Hari

"Bu, Mau kemana?" kenapa ayah nggak ikut?" tanya anaknya."

"Ayahnya sudah tak ada, di melindungimu ketika banjir air asin menghantam rumah-rumah temanmu,"

"Apakah kita perlu bertukar cangkang dengan paman kura-kura."

"Tak perlu, kita hanya perlu sembunyi saja."

"Tetapi kita nggak bisa secepat burung, sembunyi saja tak cukup untuk mengontrol diri kita agar tak lekas punah oleh penduduk bumi."

"kita tak perlu jadi yang lain. Tuhan menciptakan kita agar bisa menggunakan kekuatan kita bukan kelemahan, ingat kita hanya mahluk, semuanya sudah ada takarannya."

"Mengapa kita sangat lambat."

"Karena kita tekun."

"Bukannya pemalas."

"Kaum seperti kita tak ada yang pemalas. Mereka semua punya jam kerja masing-masing. Ada yang mamatuk, menghisap, menggulung, mencengkram, mengoyak, memamah, menggigit, mereka semua punya cara kerja yang hebat."

"Apakah kita akan menjadi Qurban seperti paman Sapi?"

"Tidak ada cerita nenek moyang, kalau kaum kita menjadi konsumsi orang-orang merayakan hari Kurban, kau jangan aneh-aneh."

"Seluruh teman-temanku mati ditusuk diatas api, meski mereka menggeliat, tetap saja mereka diatas dibakar bara api."

"Kita diciptakan untuk itu, salah satunya, ada banyak hal yang bisa dilakukan."

"Tiap hari aku mengutuki mereka, mereka orang-orang sombong, tak mau berkomunikasi dengan kita bu."

"Mereka tak pernah omongon kita, untuk apa kita berteriak, kita punya cara masing-masing unutk beribadah."

"Hanya untuk itu."

"Tak ada yang lain."

"Tidak."

"Paman Sapi selalu menangis, ketika manusia mulai memotong lehernya, di hari rara."

"Mereka sedang berbagia."

"Tahu dari mana."

"Tangisannya."

"Ibu sok tahu."

"Ya memang."

Keduanya tertawa.

"Apakah hewan seperti kita akan masuk surga bu. Lalu bisa melihat penduduk surga sedang duduk-duduk bersantai.

"Itu hak Tuhan, kuharap ibu menjadi tanah saja, itu caraku saja berterimakasih sudah diciptakan."

"Ibu tak sedih."

"Untuk apa sedih, sekali lagi semua hewan memiliki sendiri caranya menghamba."

"Termasuk surga."

"Tentu. Kalau kita beribadah karena surga dan takut neraka. Itu menyedihkan. kita mencintai Tuhan semesta Alam, mengerti!"

"Bu Awas...ada manusia, dia mau ngambil kita dan dijadikan makanan."

"Aman mereka sedang puasa, kalau mau tentu saja bukan kita yang dijadikan pilihan."

"Benda apa itu?"

"Ibu tak tahu."

"Bisa mengeluarkan cahaya, kabur saja bu."

"Kita perlu ratusan menit untuk maju beberapa langkah. jadi lebih baik kita tetap tenang.

"Ibu punya firasat, itu manusia baik."

"Dari mana ibu tahu?"

"Pengalaman."

Seorang manusia selesai mengambil gambar kedua siput yang berjalan bersisian. Lalu pergi meninggalkan.

"Tuh, aman kan?"

meraka melanjutkan perjalanan lain untuk mencari tumbuhan segar untuk nutrisi tubuhnya.

Selasa, 04 Februari 2025

KAKEK DALANG

Siti melotot melihat kakek Dalang datang menghampiri Ibunya yang sedang mengangkat jemuran di halaman rumah. Senja mulai turun merayap. Mungkin Ibu lupa, tadi siang ia membantu kendurian di rumah Pak Nasir. Dan buru-buru ia pulang menggandengku melipir sebentar dari hiruk pikuk hajatan sang empu rumah.

“Kenapa Ti?” tanya Ibunya.

Siti Menggeleng, ia cepat-cepat bersembunyi dibelakang Ibunya. Tanganya mencengkram lengan ibu kuat-kuat.

“Aduh sakit Ti, kau kenapa?”

“Eh, kek Dalang ada apa?”

“Pete ini tak habis kumakan, ini ada sisanya, untuk Siti?” kata Kek Dalang. Ia menyodorkan dua keris pete yang sudah berwarna hitam.

“Siti,” tutur Ibunya.

“Nggak mau, buat Ibu saja,” kataku. Kusembunyikan wajahku dibelakang punggung Ibu. Badanku terasa berat, aku ingin lari, tapi seperti ada tangan kekar yang mencengkram kedua kakiku.

“Nduk?” bujuk ibuku.

Aku diam saja. Kupejamkan mataku erat-erat melihat Kek Dalang.

“Emm” kututup Hidungku kuat-kuat.

“Siti,” ucap ibu, tangannya yang masih beraroma lodeh menyentuh tanganku.

Aroma busuk tiba-tiba menguar kemana-mana. Tetapi kulihat ia tetap tenang saja, tanpa pernah memencet hidungnya sendiri.

“Apakah hanya aku yang bisa merasakannya,” batinku.

“Dikasih pete malah merem, ora ilok-nggak sopan!” ketus Kek Dalang. Ia memberikannya pada Ibu. Tangan Ibu seperti kena lumpuh-akibat stroke ringan-menerima dua keris pete. Nurut saja. Kek Dalang pamit pulang ke rumah, jaraknya dari rumahku hanya tujuh kali kedipan mata. Tangan kanannya memagangi tongkat sebagai panduan berjalan.

Kubuka mata dan mengintip dari belakang Ibu. Cepat-cepat kupejamkan mata untuk kesekian kali. Punggung Kek Dalang ada lelehan darah mirip caramel, apakah itu benar caramel?

“Siti, kau kenapa, aduh sakit Ti, ayo lepaskan Ibu?”

Kulepas pelukanku. Ibu jongkok menatapku. Gigiku saling beradu. Mataku beradu dengan mata indah milik ibu.

“Wajahmu pucat Nduk, ada apa, Istighfar nduk!” aku langsung digendong oleh Ibu, meski ibu agak sempoyongan. Aku makin berisi dan tinggiku hampir sampir sama dengannya.

“Kek Dalang Bu?” kataku lemas.

“Kenapa Kek Dalang, ia baik kok, kasih pete?” jawab Ibu sambil mengacungkan dua keris pete yang agak loyo ke depan wajaku.

“Kek Dalang tadi nggak ada kepalanya, kayak ada ususnya, dan baju belakangnya banyak darah Bu?” ucapku pelan sekali. Dan tiba-tiba pandanganku gelap.

Dua keris pete yang makin loyo jatuh mencium tanah.

“Oalah gusti pangeran (Ya Allah)! Innalillah...” Begitu kata-kata ibu yang sempat kudengar dan pelukannya makin erat. Bersamaan itu pula gema azan maghrib berkumandang dari Mushola Baitul Mustaqim.

Kamis, 30 Januari 2025

Somplang dan Mandor Tebu

Demi Marmut-Marmut lucu yang jadi kesayangan Somplang, ia rela tidak bermain bola sore hari. Pakan di dalam karung sudah habis. Teman-teman SD nya yang rajin mengajaknya bermain sore itu kembali menelan kekecewaan.

Ia mengambil karung dan bergegas ke sawah. Cahaya sore terasa hangat. Somplang mencari rumput-rumput yang hijau. Ia mulai menyabit, mengumpulkan di beberapa titik lalu memasukannya ke dalam karung.

Seekor ular melintas di hadapannya. Jarak dua langkah kaki. Kepalanya tegak dan lidahnya menjulur. Somplang tegang tangannya berhenti menyabit. Ada gundukan berisi daun-daun yang mencurigakan. Ia pun mundur ke belakang. Tanpa pikir panjang ia mengambil karung dan berlari ke tempat di rasa nyaman. Karungnya masih enteng, rumput-rumput yang ia kumpulkan belum diambil. Ia menatap ular yang masih menegakkan kepalanya. Ular itu merebahkan kepalanya dan pergi menyusuri semak-semak. Wajahnya pucat, dan tangannya meraba area kemaluan. Basah.

Somplang mengambil rumput-rumput yang sudah terkumpul. Buru-buru ia memasukkan, wajah ular yang barusan ia lihat sangat menakutkan. “Jangan-jangan ular jadi-jadian,” ucapnya.

Ia bergegas menuju pematang sawah yang lebih tinggi. Ia melihat anak-anak sebayanya sedang bemain layang-layang. Ada yang bermain bola, dan gobak sodor. Sawah berubah menjadi area olahraga jika lepas panen.

Tangan kecilnya menyabit rumput-rumput di sekitar pematang sawah. Sesekali ia berhenti, memberi jalan pada orang yang lewat. Kadang Ibu-Ibu yang menggendong ubi penuh dalam rinjing, atau petani yang capingnya terlihat ada beberapa ekor belut di atasnya.

Ia berpindah tempat, dekat dengan kebun tebu milik perusahaan swasta. Mandor-Mandornya terlihat pendiam. “Jangan coba-coba mengambil batang tebu, kalau ketahuan kamu bisa di bawa ke Kalibagor, dan kamu akan di penjara di sana.” Kata-kata ayahnya membuatnya tak mau lama-lama menatap batang-batang tebu yang menggiurkan itu.

Karungnya mulai teras berat. Ia istirahat. Kembali menatap batang-batang tebu itu. Ia menelan ludah. Kata-kata ayahnya terngiang-ngiang. Pada saat yang sama, godaan untuk mencuri tebu semakin besar.

Senja mulai turun. Cahaya sore mulai redup. Ia pun tak terjebak dalam aram, seperti yang pernah ia alami ketika lepas mancing. Untung ayahnya masih melacak keberadaanya. Jika tidak mungkin ia akan di asuh oleh Hantu Cepet untuk waktu yang tidak diketahui.

Dengan gesit dan lincah ia menorobos ke dalam kebun tebu. Jantungnya berdebar. Ia diam sejenak. Tak ada tanda-tanda Mandor Tebu sedang berpatroli. Ia meraba batang tebu yang kekar dan menjulang tinggi. Tangan kanannya mengambil sabit dan mulai menebas batang tebu. Memotongnya pendek-pendek lalu memasukannya ke dalam karung. Di atasnya ia tutupi rumput.

Ia keluar dari kebun Tebu. Jantungnya masih dag-dig-dug. Wajanya kembali pucat manakala di jalan menikung menuju pulang berdiri mandor tebu bercaping. Mandor itu menatapnya. Ia pun berlari serampangan.

Tubuhnya terasa berat, membuat Ia mudah tertangkap. Cengkraman Mandor tebu terasa berat dan kuat.

“Ampun Pak!, Ampun?” ucap Somplang. Matanya mulai berair. Telinga kanannya terasa panas. Mandor Tebu menjawernya sepuluh detik.

“Jangan kau lakukan lagi!, berbahaya!” kata Mandor Tebu. Ia memasukkan kembali batang-batang Tebu yang telah dipotong-potong itu.

Somplang mengangguk. Mandor Tebu pergi begitu saja. Somplang masih berdiri menatap punggunnya. Ia pun berbalik dan menatapnya. “Pulang ayo!” pekiknya sambil mengelus jenggotnya.

Somplang lari terhuyung-huyung memanggul karung berisi rumput. Ingatan pada Marmut-Marmut yang lucut itu membuatnya cepat-cepat ingin sampai di rumah. Ia ingin menurunkan rasa takutnya dengan melihat Marmut-Marmut peliharannya.

“Guik-Guik-Guik,” Marmut-Marmutnya memanggil. Ketika Somplang sampai di depan kandang. Ia memasukkan rumput-rumput ke dalam kandang. Marmut-Marmut lucut itu saling loncat-loncat menyambut makan malamnya.

Menjelang tidur seorang tamu datang. Somplang mengintip dari celah pintu. Jantungnya mau copot. Ia mengenali tamu itu dari jenggotnya. Ayah mempersilahkan duduk. Lalu ayah beranjak ke dapur. Somplang memasang pendengarannya.

“Siapa Pak,” tanya Ibu.

“Teman Bapak, sekarang ia jadi Mandor Tebu.”

“O, Ibu siapkan Teh.”

Somplang duduk di pinggir Amben. Ibu memanggil dari dapur. Ia berdiri tegak. Wajahnya berkeringat.

“Kau antarkan Teh ini ke ruang tamu ya, Ibu mau goreng Ubi.”

Rabu, 29 Januari 2025

Petualangan Keli Si Kelinci Pemberani

Pagi yang cerah di gang kelinci berubah mencekam. Rumah-rumah kelinci rusak dan asap hitam membumbung. Anak-anak dan orang tua banyak yang terbunuh. Keli, si kelinci sebagai kepala gang sangat sedih melihat keluarga lain terbunuh. Kesepakatan damai kembali hilang. Kejahatan pun terulang kembali, lagi dan lagi.

Keli duduk di atas rumput segar. Rumput yang segar dihadapannya tak lagi menarik. Perasaannya sedih, kalut, ditambah penyerangan Toto si Tikus got atas dasar perintah Sagon, si Anjing culas. Anaknya yang bontot jadi korban keganasan Toto saat fajar terbit. Kebiasaan mereka untuk sarapan bersama sambil mengobrol tentang usaha dan pendidikan sekolah berubah hening diiringi isak tangis pilu. Keli bersama kelinci lain menguburkan mereka dalam satu liang lahat yang besar. Pekikan dan sumpah meraka terikan. Mengutuk Sagon si Anjing licik, dan Toto si Tikus besar yang bengis.

Keli bersama kelinci yang masih tersisa, dari anak muda hingga sampai yang jompo mendatangi Igel si Elang Putih untuk mengadukan persoalan yang telah dialaminya. Terlihat Igel sedang menikmati makan siang, seekor ikan salmon dari Antartika.

“Wah, ada tamu rupanya,” ujar si Igel sambil turun meluncur dari atas pohon tinggi untuk menemui Keli dan teman-temannya.

Igel berjalan mendekati Keli yang telah dikenal lama. Igel terkejut ketika dari balik semak-semak yang tinggi muncul kawanan kelinci lainnya. Igel melompat keatas batu yang agak tinggi. Ia mengetukan paruhnya dan menatap Keli sambil mengepakan sayapnya. Pertanda pembicaraan boleh dimulai.

“Begini Tuan Igel, Anda sebagai juru damai tentunya memiliki pandangan tentang sebuah kejahatan yang diawali oleh penghianatan?” kata Keli geram. Mulutnya gemetar.

“Apa yang terjadi kawan?”

“Rumah kami di serang, sebagain besar tewas, Sagon telah melanggar perjanjian dan menyerang kami dengan ganas. Toto juga membantu penyerangan.” “Kurang ajar!, soal Sagon dan Toto biar kami yang mengurusnya. Sekarang kalian pulang. Kalau terjadi sesuatu, tiup peluit ini pasukanku akan datang untuk membantu kalian.”

“Terimakasih Tuan Igel, kami pulang.”

“ Berhati-hatilah.”

Dalam perjalanan pulang ketika melewati stepa, mereka dihadang oleh Sagon beserta pasukannya. Semak-semak tinggi sebagai perlindungan sudah jauh tertinggal.

“Jangan kau ganggu mereka, bawa aku saja sebagai santapan makan malam kalian. Dagingku empuk dan tulangku lezat,” kata Keli. Ia menoleh kebelakang, teman-temannya terlihat membeku dan gemetar.

“Aku mohon, jangan ganggu mereka?” ucap Keli.

“Terlambat!, kalian pengecut, mengadu pada si busuk Igel itu. Gara-gara kalian, persoalan jadi makin pelik. Sekarang kami tak lagi pedudi soal-soal perjanjian, yang penting perut kami kenyang dan tidur nyenyak, kelinci-kelinci busuk!, serang mereka semua!”

“Semunya!, cepat lari!” teriak Keli.

Keli dan teman-temannya lari pontang-panting. Kelinci-kelinci muda ataupun tua tak butuh lama untuk bertahan. Anjing-Anjing dibawah pimpinan Sagon langsung menerkam, dan menggigit lehernya. Suara minta tolong seketika berubah sunyi.

Hanya tersisa Keli, wajahnya pucat. Keli mengambil peluit lalu meniupnya kencang. Sementara Sagon dan pasukannya terus mengejar sambil mengejeknya.

“Menyerahlah Keli, dan terimalah kematianmu!” kata Sagon sombong.

“Tidak semudah itu!, kami ini para pejuang, sementara kau sang penghianat!” pekik Keli.

“Cepat kepung dia!” pungkas Sagon.

Keli terus berlari. Meloncat ketika pasukan Sagon hendak menerkamnya. Di susul lari zig-zag, tak menyerah. Satu tendangan dari Sagon ke arah perut Keli membuatnya terpental kebelakang, Keli mengerang kesakitan. Sagon dan pasukannya perlahan-perlahan mendekatinya.

“Bunuh dia!” Teriak Sagon.

“Aku kalah” ucap Keli lirih.

Keli memejamkan matanya. Tubuhya terluka parah, noda darah menempel pada bulunya yang putih.

Dalam detik menegangkan. Berkelebat ratusan ekor Elang menyerang dan membawa tubuh anjing ke udara. Lalu melemparkan ke tanah. Satu persatu pasukan Sagon hilang. Sagon terkejut melihat serangan dari Igel dan pasukannya membuatnya lari mencari perlindungan.

“Mau lari kemana penghianat, cepat tangkap dan lemparkan ke kawah gunung!” perintah Igel.

“Tidak!, ampun tuan Igel!” teriak Sagon.

“Sudah terlambat!”


“Keli, buka matamu?” kata Igel.

Keli membuka mata. Wajah Igel menenangkan. “Terimakasih,” tuturnya.

Sepekah kemudian setelah dirawat oleh Igel si Elang Putih. Keli kembali bugar. Keli menemui Igel yang sedang melatih anak-anaknya belajar terbang.

“Tuan Igel, aku pamit, terimakasih untuk pertolongannya.”

“Sama-sama.”


 Seekor anak kelinci terus mengintip dari sebuah celah.

“Bu!, ayah pulang!” ucap Tibo anak sulung Keli.

Keli terkejut dan berlari untuk memeluknya. “Syukurlah kalian selamat.”

Selasa, 28 Januari 2025

ISTANA CACING

“Hara, sudah waktunya kau cari Paman Coran. Tanah yang kita huni sudah semakin beracun, petani-petani itu sudah kerasukan, tega sekali menyiram air terlarang kedalam tanah berjuta-juta ton,” ucap Annelida sebagai ratu cacing.

“Mereka para petualang, sangat sulit dicari ibunda,” ucap Hara.

“Untuk apa kau kulatih di tanah yang ditimbuni banyak plastik, lalu kau menyerah sebelum berperang.”

“Baik Ibunda,” kata Hara.

“Sebelum berangkat besok, kau bawalah beberapa temanmu yang cakap. Ahli ruangan, Senjata, dan juga pandai membuat terowongan,” ucap sang Ratu. “Aku bisa sendiri Ibunda,”

“Kau lebih kuat, jika bersama mereka,”

Hara berangkat bersama ketiga temannya. Atas saran Gobed si ahli ruangan, mereka berangkat menyusuri selokan demi selokan, pematang demi pematang, tanah berpasir, dan sebuah bukit kecil. Di sanalah Coran tinggal bersama keluarga dan handai tolan.

“Kau harus menghindari selokan itu, di sana biasanya jam segini orang-orang itu membuang limbah pabrik, baunya membuat pusing kepala, dan airnya membuat permukaan kulit kita terbakar,” ucap Gorim, cemas.

“Terimakasih Gorim,” ucap Hara.

“Kalian duluan, perutku mules, kemarin terpaksa yang terpapar limbah,” ucap Golen.

Mereka mulai berjalan secara bersamaan hingga sampai di pematang sawah, mereka menulusuri rerumputan basah, matahar hangat membuat mereka tampak semangat. Tak henti-hentinya mereka bernyanyi untuk menghibur diri dari ketakutan yang bisa membuatnya celaka.

“Sembunyi!” teriaknya, meski Golen si ahli terowongan sudah berteriak, tetapi Hara teman-temannya terus saja bergerak. Seekor burung semak tengah berpatroli mencari sarapan pagi untuk keluarganya.

“Teman-teman sembunyi!, bahaya!, bahaya!” teriak Golen yang suaranya hampir hilang ditelan angin. Ia pun mengeluarkan cairan dari tubuhnya sebagai tanda peringatan.

“Kuharap mereka mencium bau yang kukeluarkan,” bisiknya. Ia pun terus mengeluarkan cairan khusus tanda bahaya.

“Kau cium bau busuk itu,” tanya Gorim pada Hara.

“Bau Golen, berhenti!” teriak Hara.

Golen bernafas lega, seluruh tenaganya hampir habis. Ia telah mengeluarkan salah satu senjata pamungkas yang membuat tubuhnya bergetar dan berminyak lebih banyak dari biasanya. Nafasnya tersengal. Mereka menghampirnya.

“Ada apa Golen,” tanya Hara.

“Burung semak sedang mondar-mandir, kalian berhati-hatilah, tinggalkanku sendiri, nantiku menyusul, aku belum cebok” Golen melipir menuju satu lubang lembab disanalah ia berhibinasi untuk waktu tertentu. Ia menutup hidungnya, bau belerang menyeruk ke segala sisi.

“Cari tempat yang nyaman!” ucap Gorim sambil lari masuk dalam celah tanah yang cukup dalam di susul Hara dan Gobed. Dari dalam tanah mereka menatap paruh burung yang tajam, cakar yang kokoh, mengais dan mematuk-matuk tanah sepanjang pematang sawah. Hasil patukannya membuat tanah-tanah sekitar hancur dan masuk kedalam celan tanah, di mana Hara dan teman-temanya sembunyi.

Burung semak terus berpatroli, gerakan kedua kakinya lincah, butir-butir tanah sampai masuk kedalam.

“Lari..!” teriak Golen, “Lompat ke sungai!, cepat!, jaga ibuku?! tambahnya. Golen tertangkap burung semak. Tubuhnya menggeliat keras di paruh burung semak. Ia terus berteriak memberi peringatan pada pada Hara, Gorim, Gobed. Gobed yang tubuhnya lebih besar menarik tubuh Hara, dan menggendongnya di punggung. Sementara Gorim berusaha membuka jalan.

Sungai kecil dangkal cukup deras. Diujung cabang sungai itu ada bukit kecil, tempat Coran bermukim bersama keluarga dan pasukannya.

“Turunkan aku Gobed, kita pasti akan tenggelem dan terserat arus bawah,” ucap Hara.

“Tidak, percayalah,” Gorim meyakinkan.


“Pengorbanan Golen akan sia-sia!” teriak Hara, disusul isak tangis.

Burung semak tinggal satu langkah lagi. Di saat yang bersamaan, ketiga lompat ke sungai kecil yang dangkal dengan air cukup deras. “Ibu...!” teriak Hara.

Ketiganya masuk sungai. Tubuh mereka limbung pontang-panting terbawa arus sungai. Hara nyaris tewas, manakala sebuah dorongan kuat dari Gobed berhasil mendorongnya kepinggir. Dengan sisa tenaga, Gobe mendorong tubuh Hara dan Gorim yang sudah lemas. Sementara tubuh Gobed timbul tenggelam. “Sudah waktunya,” ucap Gobed.

“Apa yang kau katakan, cepatlah naik,” bisik Hara lemah.

Gorim nyaris tak bergerak, hanya nafasnya yang menandakan ada kehidupan.

“Titip Gorim ya, nanti malam ia harus minum obat, ia sering lupa. Itu wasiat ibunya. Aku pergi dulu,” ucap Gobed. Tubuhnya mengejan dan mengeluarkan aroma bawang. Ia sekarat. Tubuhnya hanyut terbawa sungai kecil yang berarus deras.

“Gobed...!!! teriak Hara. Tubuh air yang deras menelan tubuh Gobed. Hara ambruk, pandangannya kosong, dan ia tertidur lelap. Daun talas yang besar menahan mereka dari tenggelam.

“Itu mereka tuan,” ucap salah satu pengawal Coran.

“Cepat lepaskan jaring!” perintah Coran.

“Siap tuan!”

Jaring diturunkan tepat sebelum mereka hanyut ke sungai yang lebih besar. Hara dan Gorim terbangun.

“Kita selamat Hara,” kata Gorim lemah.

Hara mengangguk lemas.

“Aku kehilangan dua temanku Paman, mereka anak-anak yang hebat.”

“Kita semua akan betemu mereka nanti? Ucap Coran menenangkan.

Gorim datang memakai baju hangat. Wajahnya lebih segar. Ia bergabung besama Hara dan Coran

“Sebenarnya apa yang terjadi dengan tempat tinggal kalian,” tanya Coran.

“Manusia tiap hari membuang limbah ke dalam tanah, banyak teman-teman kami tewas, dan tumbuh tidak sempurna. Kami berniat pindah mencari tempat tinggal baru,” jawab Hara.

“Setalah kalian pulih. Kembalilah bersama pasukanku. Jemput Ibumu dan seluruh penduduknya. Kita akan cari tempat yang lebih aman,” tutur Coran.

“Kemana Paman?”

“Kampung halaman Ibumu, Istana Cacing.”

Senin, 27 Januari 2025

Tragedi Bola

Di bawah pohon bambu yang rindang. Terdapat sebuat tanah lapang. Ukurannya tidak terlalu luas tetapi cukup untuk membuat permainan bola plastik tampak menyenangkan. Tanpa alas kaki, bola plasti berpindah dari kaki ke kaki. Sampai lelah, sampai ibu mereka memanggilnya dengan nyaring. Membuat kami lari terbirit-birit menuju rumah masing-masing. Bubar jalan.

Seorang pemain pengganti masuk. Romli namanya, ia terlalu senior bagi para pemain, termasuk aku sendiri. Aku tidak terlalu suka dengannya. Kata-katanya sering menyakitkan. Dan selalu membuatku tampak payah. Pernah ia berkata bahwa, diantara semua teman sebayamu itu, hanya kamu yang tidak punya saudara. Semua saudaraku, kata Romli. Entah kapan ia mengucapkan, tetapi aku ingat terus. Rasanya ingin membungkam mulutnya dengan kotoran kambing. Biar tahu rasa.

Ketidaksukaanku seperti terbaca olehnya. Ia menyeringai beberapa kali, dan kerap mengacungkan jempolnya kebawah. Aku tidak membalasnya, lagipula badannya terlalu besar buatku. Jika berkelahi dengannya, sudah bisa dipastikan aku yang akan terjungkal mencium tanah dan menangis kencang sebagai pertanahan terakhir.

Kedudukan masih kosong-kosong. Diantara kami sedang memperlihatkan bagaimana sebaikanya bermain bola. Tampaknya mereka termasuk aku sedang dalam puncak kesombongan menggocek bola plastik sedemikian rupa, hingga bisa meliuk-liuk seperti penari, lalu pada tendangan terakhir mencuri tendangan ke pojok gawang, sendiri melewati lawan juga kawan.

Bola kugocek memakai gaya kungfu. Berhasil melewati kaki-kaki lawan. Pada pertahanan tengah, Romli sudah berdiri, menyeringai, bahkan meludah untuk mengejekku. Menurungkan keahlianku sebagai penggojek bola plastik yang tidak bisa dianggap enteng.

Kutendang bola keras-keras, sial, mengengai kakinya yang kokoh. Romli tersenyum.

“Begitu saja keahliamu Su!” ucapnya sembari meludah keras-keras. Aku tahu Romli sedang mengujiku, tetapi yang kurasakan adalah penghinaan yang ringan diucapkan.

Bola melambung kebelakang menggelinding ke tempat pembuangan sampah. Dalamnya hanya satu meter, tetapi beberapa hari yang lalu ada banyak serbuk gergajian pohon kelapa. Dibakar, tetapi tak lagi nampak asap yang bisa kulihat. Seperti sudah mati.

Aku berhenti ingin mengambil bola plastik itu. Aku berpikir keras apakah api itu sudah mati dan tingga abunya saja.

“Lompat saja Su, apinya sudah mati!”perintah Romli.

Tanpa pikir panjang lagi aku lompat kebawah ke bekas bakaran serbuk gergajian pohon kelapa. Bola plastik kuraih dan kulemparkan ke atas. Beberapa detika kemudian. Kedua kakiku terasa dingin sampai ketulang, juga ada rasa kesemutan, lalu disusul rasa panas yang tak tertahan. Segera kunaik keatas, tetapi kedua kakiku masih sangat panas, juga gatal, yang tak bisa kugaruk.

Kedua kakiku kugosok-gosokkan ke atas tanah. Mencoba untuk meredam. Tetapi sia-sia, rasa panas itu teras ada. Pecah tangisanku. Gempar para tetangga, dan orang-orang dewasa segara sibuk untuk menolongku. Sedangkan Romli tak nampak batang hidungnya diantara orang-orang dewasa yang wajahnya sulit kuungkapkan.

“Bu! Tolong Su Bu!” tak ada jawaban. Nenekku muncul dari balik kerumunan. Meraka sedang berdiskui bagaimana meredama rasa panas yang tengah mendera kedua kakiku.

“Ibu masih dipasar, nanti juga pulang?” ucap nenek. Nenek menyuruhku untuk meminum dari gelas yang dibawanya. Rasanya nyaman, tetapi hanya sebentar. Selanjutnya tangisanku memecah kesunyian Gang Rapingun.

“Cepat bawa odol dan oleskan!” perintah seorang dewasa yang sulit kuingat wajanya.

Seketika rasa dingin menjalari seluruh punggung kaki termasuk seluruh jemariku. Hanya sekian detik, tak memapan. Aku kembali menangis. Orang-orang dewasa yang terus menatapku tak karuan.

“Ambil telor!” perintah salah seorang dewasa. Kali ini wajahnya kuingat. Orang dewasa itu, ayah temanku.

Amis segera menguar. Hidungku cepat-cepat mencium. Beberapa butir telor dipecahkan. Lalu dioleskan, rasa adem membutku tenang. Tetapi lagi-lagi hanya sesaat. Selanjutnya rasa panas terus kurasakan. Sementera Romli tak juga nampak. Sejak saat itu, Romli kuanggap sebagai musuk sampai kapanpun.

Dari balik pintu rumah. Sesorang muncul. Aku sangat kenal dengannya.

“Bu!” teriakku.

Entah dari mana informasinya. Ibuku mengangguk dan menggendong badanku yang mulai membutnya sulit bernafas.

“Kita pergi ke Desa Kesamen, berobat?”ucap ibuku. Aku mengangguk. Lalu menangis lagi.

Turun dari angkot, aku masih menangis.

“Bu, apa aku akan mati,” tanyaku seketika, kalimat yang tiba-tiba saja muncul di kepalaku.

“Huss, ngomong apa kamu. Itu rumahnya sudah dekat,” ucap Ibu.

Seorang Ibu menyambut. Ia perempuan berkebaya batik. Mempersilakahkan masuk. Setelah wawancara singkat, ibu menurunkanku dari gendongannya. Membiarkanku duduk di atas bale.

Lalu Ibu mengoleskan sesuatu dengan alat yang mirip setempel, hanya saja benda itu terbuat dari besi. Kurasakan hawa dingin segera menyergap. Ada rasa nyaman ketika ia bergerak ke area puser. Dan itu sangat menenangkan. Ajaib benar benda. Rasa panas pada kakiku tiba-tiba hilang.

Ibu pamit pulang, dan Ibu kembali menggendongku pelan-pelan. Tubuhku yang mulai berat membuat kaki ibu terlihat limbung. Tetapi Ibu segera memperbaiki kuda-kudanya.

Seminggu kemudian luka bakar di kaki mulai mengering. Hanya saja bau amis segera menyergap. Telor yang dipecahkan diatas kakiku telah mengerak dan membuat risih.

Hari kedelapan dan kesepuluh. Pelan-pelan kerak itu mulai mengelupas. Dan hari-hari penantian itu sangat melelahkan, tetapi saat itu pula aku menikmatinya sebagai sebuah pelajaran tentang kepercayaan.

Minggu, 26 Januari 2025

UJIAN PERTAMA TOPA SI ANAK TUPAI

Topa, si anak Tupai sedang duduk di batang pohon jengkol. Ia baru saja selesai berlatih melompat dari ranting satu ke ranting lainnya. Ia masih takut melompat dari dahan tinggi ke dahan yang rendah. Kepercayaan dirinya sangat menurun. Sejak manusia serakah itu menangkap kedua kakaknya, Tor dan Tan.

Ia berhenti mengunyah sarapan. Ia terkejut, ternyata seorang manusia yang tengah mengamatinya dan siap-siap memanjat pohon jengkol. Dahan yang duduki tiba-tiba bergoyang. Seorang anak manusia tengah naik pohon jengkol sambil meringis manahan gatal. Ulat-ulat bulu yang menempel sepanjang pohon jengkol, tewas tergencet dan bulu-bulunya menempel di kulitnya.

Topa tubuhnya menegang. Ia terlihat panik dan taku. Ia teringat kedua kakaknya yang ditangkap oleh manusia-manusia tak bertanggung jawab. Anak manusia berhasil naik sampai ke atas pohon dan mulai membidik Tupa. Rasa takut yang berlebih membuat tubuhnya sulit bergerak. Ia ingin melompat ke dahan pohon dukuh. Tetapi tubuhnya seperti menempel kuat pada dahan yang duduki.

Pandangannya gelap tiba-tiba ketika tanah kering dan padat yang dilesatkan oleh ketapel mengenai perutnya. Topa mengerang keras dan jatuh ke bawah. Tubuhnya tak bergerak.

“Bangun Topa!” teriak Pato, si burung Pelatuk. Juga riuh rendah teriakan dari burung Prenjak dan burung Kemaduan.

Anak manusia turun dari atas pohon jengkol. Puluhan ulat bulu yang belum tergerus tubuhnya sewaktu naik ikut tewas ketika tergerus tubuh manusia itu. Sampai di bawah sibuk menggaruk-garuk keseluruh bagian tubuhnya.

Sambil terus menggaruk ia bergerak menuju Topa. Pato, si burung Pelatuk dan teman-temannya kembali berteriak memanggil namanya.

“Bangun Topa!, bangun!” teriak Pato, si burung Pelatuk. Ditambah terikan dari Burung Prenjak dan Burung Kemaduan.

Topa bangun pada detik tangan manusia itu hendak meraihnya. Ia berusaha berjalan cepat ke samak-semak. Anak manusia itu semakin sibuk menggaruk tubuhnya yang gatal. Ia balik kanan sambil mengeluh.

“Lain kali, akan kutangkap kau!” teriak anak manusia.

Si anak manusia pun pergi. Topa kembali ke pohon jengkol menunggu Ibunya pulang. Ia tampak lelah.

“Bagaimana keadaanmu Topa,” tanya Pato.

“Perutku sedikit nyeri,” jawab Topa.

“Hampir saja kamu tertangkap,” ucap Pato, si burung Pelatuk. Burung Prenjak dan Kemaduan terlihat ikut khawatir.

“Terimakasih semuanya, terutama kau Pato” ucap Topa

Senja mulai turun.

“Kenapa menangis Nak,” ucap Sal, si Ibu Tupai.

“Aku hampir ditangkap anak manusia Bu,” ucap Topa sambil memeluk ibunya.

“Dasar anak manusia serakah,” kata Sal.

“Coba kalau ada Ayah,” kata Topa. Ia melepaskan pelukannya. Ia menghapus air mata, dan duduk di batang pohon dekat dengan sarang.

Tuka, si ayah Topa tewas ketika ingin menolong kedua anaknya. Sebuah peluru dari senapan angin tepat menghajar kepalanya. Ia pun jatuh tersungkur bersimbah darah. Topa dan Sal tampak terkejut dan sedih. Mereka hanya bisa melihat ayahnya dari atas pohon tak bisa membantunya.

Sebuah suara mengejutkan mereka.

“Hei kalian cepat berjalan. Kalau lambat upah kaliah akan dipotong. Tupai-Tupai ini harus sampai sebelum acara karnaval,” bentak seorang manusia berbadan besar brewok panjang kepada pendorong gerobak yang didalamnya ada kandang-kandang besi berisi ratusan ekor Tupai.

“Bu, apakah ada kakakku di dalam kandang itu,” tanya Topa. Mereka sedang di atas pohon duren.

“Ibu tak tahu, coba kita lihat lebih dekat,” ajak Ibunya.

Mereka berdua turun dari atas pohon Duren. Mereka berdua sembunyi diantara daun-daun pohon duren. “Tor, Tan!” teriak Topa dari balik dedaunan. Tupai-tupai dalam kandang itu hanya terdiam. Wajahnya tampak putus asa. “Tor!, Tan!” teriak Topa lebih keras lagi.

“Mereka bukan kakakmu Nak?” ucap Sal, Ibu Topa.

“Aku yakin Bu, mereka Tor dan Tan, aku kenal bulunya? Kilah Topa.

“Bukan!, mereka bukan Tor dan Tan, ayo kita pergi sebelum manusia-manusia serakah itu mengetahui keberadaan kita. Keduanya kembali menaiki pucuk pohon Duren.

“Kau belum tidur Topa,” ucap Ibunya.

“Belum mengantuk Bu,” jawab Topa.

Malam semakin larut. Keduanya masih terjaga.

“Topa, kau rindu dengan kakakmu.”

“Kaukah itu Bob?” tanya Sal.

Bob si Burung hantu muncul memperlihatkan dirinya. Suaranya yang besar cukup mengagetkan mereka.

“Ada karnaval di negeri para badut. Mereka bersama hewan lain akan tampil digelanggang arena. Hati-hati jangan sampai tertangkap. Jika beruntung kalian bisa melihat Tor dan Tan beraksi di sana. ”

“Apa kau serius Bob,” ucap Sal.

“Tentu saja.”

“Terimakasih Pak Bob,” ucap Topa.

Bob si Burung Hantu, tertawa. “Sama-sama Nak.” Ia pun pergi. Mereka masuk kedalam sarang. Dan malam terus saja berjalan tanpa bulan yang bersinar.

Sabtu, 25 Januari 2025

DIORAMA BADUT

Akhir-akhir ini memang cuaca sangat panas, ditambah badut-badut itu makin gencar meneror dan sesekali membunuh, jika terpaksa. Orang-orang mulai malas untuk berjalan di trotoar, para badut itu sering berkerumun menjelma polisi yang tak punya lencana. Sekedar menggertak atau mencibir, bahkan seringkali ghibah untuk memuaskan intelektualnya.

Kendit mengelap keringat yang membanjiri mukanya. Handuk kecil hijau berubah warna, deterjen telah mengurainya pelan-pelan. Tanco yang dioleskan pada rambutnya ada yang berhasil lolos hingga bergelantungan pada ujung rambut.

Ia memperhatikan Tauke ‘membetulkan’ kacamata yang berkali-kali lolos dari hidungnya yang licin. Ini waktu istirahat yang paling ditunggu. Tauke itu sudah tak berhenti menenggak es limun yang dipesan dari pedagang depan tokonya.

Sebentar senyap, sebentar tegang. Bunyi musik mencekam itu pelan-pelan mendekati mereka.

"Mereka telah kembali, berapa banyak pengikut mereka," Guman Tauke.

"Tidak tahu bos." Jawab Kendit.

"Sekelompok badut telah memenggal nurani di sepanjang Jalan."

Jalanan tampak ramai, orang-orang bernyanyi-nyanyi seperti lelucon kesiangan. Orang tak lagi malu untuk menyemprot sana menyemprot sini. Tangannya mengacung-acungkan ke langit. Atau mungkin menantang langit. Seberapa pantaskah mereka.

Kendit menatap kerumunan para badut yang banyak tingkah. Nampak matanya membelalak, ia menubruk sebongkah wajah yang ia kenal saat masih mengeja huruf di bangku sekolah. Wajahnya tampak merah. Riasan badut tak menghalangi Kendit untuk mengenalinya. Atau memang betul wajahnya seperti itu, tanpa harus meminum darah, atau marus. Wajahnya tetap merah. Itu tak baik, bahkan di jauhkan sejauh-jauhnya. Haram.

Mungkin hanya riasan yang membuatnya tampak semerah saga, atau jiwanya telah karam oleh darah. Atau betul-betul menenggelamkan diri pada lautan merah, meski hanya semata kaki. Walau hidungnya tak mau berbohong, ia telah mencium bubuk mesiu seharian. Bersama dengan genangan merah, atau ia tak sengaja merias wajahnya, hingga tampak semerah darah.

Touke mengajak Kendit keluar. "Ini malam minggu kau harus menghirup udara segar," begitu katanya. Ia tentu punya alasan. Semua orang punya alasan. Kadang melakukan sesuatu juga tanpa alasan. Semua hal bisa terjadi. Meski banyak alasan akan mempertegas sebuah kesalahan.

Kendit memegang erat besi pegangan yang berada di bawah sadel. Udara malam mengelus rambutnya yang berombak. Touke mengayuh sepedanya di jalan raya yang dipenuhi lampion-lampion aneka warna. Orang-orang berpakaian bagus berjalan kaki menuju satu titik secara bersamaan.

"Kemana kita Bos."

"Pasar Malam, di sana tidak hanya kemeriahan yang akan kau temukan, tapi juga rindu yang bisa kau temukan."

Kendit tersenyum.

Sepeda Onta berhenti. Mereka berdua berjalan beriringan. Layaknya ayah dan anak.

Mereka sampai pada kedai yang ramai dipenuhi gelak tawa dan berdenting minuman yang ditenggak secara bersamaan. Cahaya Petromak menerangi kedai malam itu.

"Selamat datang, lama tidak berjumpa." Kata seorang pengunjung. Matanya tampak terpejam ketika ia tersenyum.

"Kau tampak gemuk sekarang." kata Touke.

"Berkat kau, aku bisa seperti ini."

"Jangan ungkit-ungkit terus, tak baik." Jawab Touke.

"Linda?" kata bapak bermata sabit itu. Ia melambaikan tangan pada pelayan kedai.

Seorang gadis berbaju merah datang menghampiri meja kami. Ia menghidangkan minuman dengan jari jemarinya yang tampak terawat. Bosnya sendiri sudah menenggak minuman sebelum berdiri di atas meja.

Gadis itu berdehem untuk mempersilahkan Kendit mengambil minumannya. Kendit menoleh kearahnya. Mata mereka saling berpandangan, dan Kendit tampak kikuk dibuatnya. Mata sipitnya telah membuat Kendit kalang kabut. Ia tetap berdiri di depan Kendit, dan tersenyum ke arahnya.

"Oh ya Linda, aku baru ingat kalau Kendit tidak minum," kata Touke.

"Maaf Paman, aku tidak tahu. Segera ku bawakan minuman yang lain."

"Anakmu rupanya sudah besar. Ia cantik seperti ibunya" Kata Touke.

Pria bermata sabit tertawa.

Selanjutnya yang Kendit dengar dari mereka berdua adalah bahasa yang seringkali digunakan oleh Touke. Sesekali mereka menatap Kendit dalam beberapa detik. Lalu mereka melanjutkan pembicaraan yang terputus-putus. Baru kali ini Kendit melihat sang Touke menghapus air mata beberapa kali. Termasuk bapak itu, kemudian mereka bersulang lagi dan suasana berganti dengan cepat.

Gadis yang dipanggil Linda oleh bapak itu muncul lagi dari dalam pintu yang gelap. Ada tirai yang tampak berkilaun dari pintu itu.

"Ini Kopinya," kata gadis itu.

"Terimakasih." Jawab Kendit.

"Rokok?" tanya gadis itu lagi.

"Maaf, itu juga tidak?"

"Hei Linda, bawakan saja semangkok bakso, pasti ia tak bisa menolak." kata Touke.

Pulang dari Pasar Malam, udara makin dingin. Kendit ganti mengayuh sepeda. Bosnya duduk dibelakang sambil terus bercerita. Sambil sesekali tertawa sedih. Kendit tak tahu harus menyimpulkan seperti apa. Karena Ia sedang menertibkan jantungnya sendiri, yang sedari tadi berdebar-debar. Seperti ada yang memompa secara sembunyi. Ia tak tahu kenapa berdenyut lebih kencang. Perasaan yang telah lama terkubur, kini kembali muncul.

Ia tak menggubris ocehan Kendit yang berbau formal itu. Ocehannya seperti kentut yang keluar buru-buru. Mengeluarkan aroma sebusuk mayat, yang telah dikebiri hak-haknya. Lalu terkubur sia-sia bersama bakat yang tak pernah ditemukan oleh pemandu bakat sehebat apapun.

Badut berwajah merah menenggak sari buah lontar dari gelas bambu hitam. Jakunnya naik turun. Nafasnya tertahan sejenak. Lalu ia menghembuskan nafas. "Ah..." terasa betul ia menikmatinya.

"Minuman ini bisa menjauhkan kamu dari impotensi, dan jumlah sperma kamu makin banyak, camkan itu baik-baik, kelak kalau sudah menikah, banyak-banyaklah minum legen," ucap badut berwajah merah.

"Kau tak mau Dit," tawarnya.

"Itu sudah lewat satu minggu guru, tak baik untuk kesehatan."

"Maaf, aku sudah lupa hari."

Badut berwajah merah tiba-tiba menatapnya tajam. Kendit menatap balik. Ditatapnya orang yang telah membangkitkan mimpi-mimpi besar, cita-cita, juga menceritkan kisah-kisah abadi. Seragam yang dulu ia pakai, berganti dengan pakaian sederhana. Tak lagi terselip pena di saku bajunya. Yang ada sekarang badut berwajah merah yang menggusarkan banyak pihak.

"Maaf," ucap Badut berwajah merah.

Kendit menghapus air mata yang turun tiba-tiba, menyeka dengan jempolnya. Mungkin terlalu lama beradu pandang dengan gurunya sendiri. Lelaki yang memilih jalan lain. Sebuah jalan terlalu terjal, tak biasa, dikecam, bahkan dituduh tak bertuhan.

"Kendit waktu istirahatmu sudah habis, nanti kau dicari Touke," ucap badut berwajah merah. Kendit tak mau menghindari gurunya, tak memilih jalan lain seperti buang muka ketika berpapasan di jalan, pasar, terminal, puskesmas, bahkan di sekolah.

Beberapa tahun kemdian badut berwajah merah menjelma raksasa yang ditakuti. Kepalanya besar, wajahnya tak presisi, kulitnya kasar, hidungnya besar, telinganya panjang, dan menimbulkan kegaduhan setiap ia jalan menelusuri lorong-lorong kelas.

"Bapak perlu istirahat sejenak," kata Kendit. “Orang-orang sudah mulia mendiktenya dengan suara-suara sumbang, menyakitkan, merendahkan dan berbagai gunjingan yang menohok,” tambah Kendit.

Badut berwajah merah hanya menoleh kearahnya.

"Tak usah," ucapnya. "Ketahuilah, kita tidak selalu baik di cerita orang lain, seperti penulis yang yang bermaksud mengucapkan JALAN, pembacanya menafsirkannya GURUN. aku tak bisa menghentikan semua lidah itu, tatapan itu, dan tentu saja ucapan itu." tambahnya.

Kendit tak menjawab sepatah kata. Ia sakit, tapi bukan badannya yang sakit. Nuraninya telah dipenuhi berbagai kilatan pedang dan sayatan sembilu. Ia menatap wajah yang dulu dirindukan, sederhana, tetapi menggema. Raksasa yang kalem, tuturnya menyentuh, dan jalannya tak membuat bising seisi ruang kelas. Kini badut berwajah merah menyusut, akalnya juga kesehatannya. Ia tampak kurus dan mengecil. Bahkan orang-orangnya mulai memakinya dengan Raksasa Kerdil.

"Kau tak perlu bersedih. Aku punya cara hidupku sendiri, kamu juga. Kita sama-sama hidup dengan cara masing-masing," ucap pria berwajah merah. Kendit menatapnya pilu. Ia harus menyaksikan orang yang dicintainya telah dikucilkan hingga makin mengecil. Rumah yang dirintis dengan segenap jiwa kini menolaknya, bahkan sampai bau tubuhnya.

Badut berwajah merah masuk kedalam gua, sebagai rumah baru yang tak pernah menolaknya. Ia tak peduli dengan keangkeran dan mistis. Hewan-hewan buas mungkin jadi teman setianya.

Kendit pulang. Kakinya kuat melangkah. Pikirannya melayang. Panas matahari yang menyengat, tak juga melepuhkan. Ia ingin merebahkan sejenak bersama segala yang keropos, tak bertulang, juga meluruskan prasangka-prasangaka.