Jumat, 07 Maret 2025

Membaca Sebagai Paradigma

BABAK 8
Seorang guru mesti terbiasa membaca, karena  dengan aktivitas membaca ia memperoleh  informasi yang cukup, dan selalu memperharui pola mendidik. Saya pikir, hal tersebut merupakan komponen mendasar yang mesti dimiliki oleh seorang guru. 

Dari mana datangnya mental seperti ini, yaitu datang dari kebiasaannya membaca buku sebagai paradigma, lalu ditambah dengan bacaan lain, lahirlah seorang guru yang kerangka berpikirnya holistik tidak parsial. 

Pikiran pertama yang hadir di kepala ketika bertemu situasi di luar kendalinya, tidak sesuai yang direncanakan, adalah pikiran analisis yang tiba-tiba saja muncul tanpa pernah diminta. Kota-kotak informasi yang dikumpulkan bertahun-bertahun menjelajahi  hutan buku membuatnya piawai, dan ide tersebut yang diendapkan oleh kalbu dan kantong-kantong memori hadir memenuhi benaknya yang kemudian dituturkan oleh lisannya yang terjaga.  Dengan kata lain, seseorang yang memiliki budaya membaca akan memiliki respon yang cukup untuk membantu seseorang untuk menembukan jawaban, itu maksimalnya, minimalnya ia tidak jumud dan terpasung oleh kedunguan yang tak berkesudahan. 

Cara ia membaca buku apa saja (Fiksi/Non Fiksi) pun melalui serangkain metode membaca sekaligus proses berpikir. Salah satu hasilnya terlihat bagaimana caranya merespon situasi yang paling sederhana. Contohnya memberi umpan balik pada walimurid yang bertanya di melalui jaringan pribadi dengan cara yang elegan-jernih, jelas, dan beberapa detailnya jika diperlukan.  

Ini era dimana platform digital mengitari semua dimensi. Apakah guru tak boleh bersentuhan dengannya? kalian bisa menemukan sendiri jawabannya. Jika sang guru ingin meluangkan waktunya di media sosial untuk melihat, mendengar, dan menulis apa saja, ringan, sekaligus cepat. Semua dimaksudkan untuk membantu penyerapan dari buku-buku yang ia baca, bukan semata mengisi waktunya yang kosong sebelum memulainya mengajar pada keesokan harinya.

Dari sini sang guru bisa menakar, mengukur, sekaligus menimbang apakah  dirinya sedang terjebak dalam ILUSI TAHU dampak dari menggulir layar HP ke atas ke bawah selama lima belas menit saja, atau lebih. Lalu petantang petenteng merasa lebih tahu, misalnya.  Mestinya ia tetap membaca selama mungkin, tidak mengajar hasil scroll media sosial dalam hitungan menit. Seolah-olah merasa cukup, dan tampak percaya diri dan mampu merespon semua kejadian kelas dan sekolah pada umumnya. Ini refleksi saja, sebagai guru yang memiliki kemewahan untuk mengajar. 

Bahkan di malam hari seorang guru kembali bergumul dengan jenis setan lain,  seten gepeng (hp) lebih dari waktu-waktu yang telah ditentukan, memang itu hak kalian.  Lalu keesokan harinya melakukan pendampingan dengan martabat seperti itu, hasilnya bisa jadi tak berimbang. Merasa sudah tahu padahal minim pemahaman, yang lebih parah ia gagal paham. 

Bukannya tak boleh, boleh silakan bergumul dengan setan gepeng itu. Porsi membaca buku lebih lama, lebih tebal, lebih ilmiah, karena kebutuhan untuk mengajar, memberikan pengetahuan, bagaimana ia memiliki pengetahuan mendalam, kalau sediki-sedikit ia gulirkan HP dari atas dan bawah. Apalagi menangkap isi bacaan yang nantinya membentuk visi pribadi. Suatu waktu, saat kesadaran telah bertumbuh, murid itu kelak bisa membedakan mana guru yang martabat dan yang gagap beradaptasi.  

Pada siapa martabat (dignity) mesti diambil sebagai pilar tinggi, ya salah satunya guru. Martabat itu tidak hanya pada orang (guru) tetapi juga pada profesinya. Jadi dobel itu,  kelak kemudian namanya self respec (harga diri). Dimanapun guru itu beradaa, dua label akan terus melekat sampai ia dipanggil sama Tuhan. Dua hal tersebut, martabat dan harga diri bisa bertahan manakala paradigmanya sudah terbentuk dengan kokoh. Paradigma bisa lahir dan menyentuh manakala kegemaran membaca menjadi makanan otak yang tak kenal arah angin. 

Pikirannya membaca apalagi tindakannya untuk menggali informasi dan formatif sekaligus. Dampaknya orang terlatih untuk berakrab dengan frase, dan otak dipaksa terus memecahkan hal-hal yang sulit dari teks yang ia dalami. Salah satu hasilnya membantu daya ingat dan menimbang mana yang penting dan tidak penting. 

Membaca sebagai paradigma menghasilkan satu pikiran kokoh, penangkapan makna teks secara utuh, menghasilkan gudang ide, membentuk nalar kritis, memiliki kontruksi dalil relevan, mampu mengakumulasi karakter dalam puncak tertinggi. 

0 Comments:

Posting Komentar