Jumat, 31 Mei 2019

LASKAR PELANGI

Lelaki itu bernama Andrea Hirata
Ikal rambutnya membuat tegar jiwanya
Sinar matanya mengguratkan ketahanan jiwanya
Lembutlah suaranya menyiratkan asam garam perjalanan hidupnya

Bergelut dengan "kerapuhan" hidup yang mendera
Tapi kerapuhan itu membakar semangatnya
Jiwa yang berontak dihadapkan dengan alakadarnya
Menyibak misteri yang terpendam dalam raganya

Laskar Pelangi telah membentuk jiwanya kuat
Kekuatannya mampu merobek kepapaan
Tapi Laskar Pelangi adalah prinsip yang menebar pesona
Aura wong Belitong yang bergarang pelita

Indah memegang tampuk Laskar Pelangi yang bergelora
Laskar yang bercabang Pelangi
Pelangi itu bermuara pada
LASKAR PELANGI

Sabtu 16 Februari 2008

TERATAI PUTIH

Ia tumbuh di tempat yang tak dipandang
Dipandangpun tak bersanding pelita
Pandangan jatuh pada sekitar mata
Berpendar tak sempurna

Hati sejuk melihat
Sebuah pesona jiwa nan sempurna
Bak awan yang menentramkan sukma
Tumbuh subur di padang sanubari

Menengadah embun-embun pagi
Berbingkai mentari
Sekarang Tak sebelah mata pada retina
Menembus sukma raga

Tampil muka dunia
Teratai putih sekarang bercahaya
Sehangat mentari pagi
Putih, suci, dan berakarakter

Aroma sedap menampar hidung
Telinga mendengar desau angin
Teratai putih mekar bersama angin
Sepoi nan damai


Ahad 17 Februari 2008

"Passion" dalam konteks Pendidikan, Kreativitas, dan Bayar Tagihan

Bagian Keempat



Uang dan "Passion"
Jika ada satu pembahasan yang mungkin bisa ditambahkan dalam Finding Your Element adalah soal hubungan antara mata pencarian (baca:uang) dan passion. Sebenarnya ini sudah diungkapkan Ken Robinson dalam berbagai contoh dalam buku tersebut. Namun, sekedar untuk memberi jawaban Your passion is alreaday within you-the clues are everywhere your feelings. Passion bisa di definisikan dengan banyak cara. Definisi yang paling tepat untuk saya adalah ini, segala aktivitas yang membuat kita merasa berdaya. Kata kunci pertama adalah "aktivitas". Kata kunci kedua "merasa berdaya", sehingga tidak harus langsung piawai, tetapi prosesnya terasa dimudahkan, diasyikkan, dan diberdayakan.

If You Think your passion does not pay your bill, please ask these questions to your self:

Satu, Apakah saya sudah tahu aktivitas yang membuat diri ini merasa berdaya, mampu, dan tahan banting, dan seterusnya?.

Dua, Apakah saya sudah menekuni aktivitas tersebut sehingga menjadi piawai?.

Tiga, Apakah saya sudah menghasilkan kreasi keren (baca: karya keren yang bermanfaat bagi banyak orang) dari aktivitas tersebut? silakan jawab. Jika semua jawabannya "ya!", saya pastikan uang sudah tidak jadi masalah.

Nah, Anda yang masih mempertanyakan (lagi) kenapa harus tahu, paham, dan peduli passion, selain wajib membaca Finding Your Element, bisa jadi jawabannya sudah disajikan dalam serangkai kalimat indah karya Jalaludin Rumi sekitar 800 tahun lalu berikut ini.

"With passion, we pray
With passion, we make love
With passion, we eat & drink & dance & play
Why look like a dead fish in this ocean of god?"


Sumber: KOMPAS, Jumat, 22 November 2013
Oleh: Rene Suhardono, Penulis dan Pembicara Publik.
@ReneCC
@kompasklass#baca

"Passion" dalam konteks Pendidikan, Kreativitas, dan Bayar Tagihan

Bagian Ketiga



Passion wthout creation is meaningless, nothing! Nah, uang berasal dari kinerja, yang akan sangat keren jika diawali dari passion. Apakah bisa dapat uang tanpa passion? ya, bisa saja, tetapi belum tentu prosesnya mengasyikkan dan sudah pasti tidak maksimal. Mempertanyakan bagaimana jika passion tidak bisa bayar tagihan sama saja bertanya kenapa tamatan SD tidak menghasilkan uang? Kenapa karyawan baru tidak langsung jadi presiden direktur? Kenapa suka politik, tetapi tidak jadi anggota parlemen? Jawabannya, semua dan apapun di kolong langit perlu proses.

Bagaimana mempersiapkan diri dan generasi penerus atas masa depan yang tidak pasti dan penuh tantangan? Ken Robinson percaya jawabannya adalah passion dan kreativitas. Keduanya adalah basis folosofi kehidupan berdaya.

Kenapa passion? Mengikuti arah kehidupan menggunakan passion yang sudah ada dalam diri sendiri adalah hal paling alamiah yang bisa dilakukan seseorang. Mencari passion adalah perjalanan berksinambungan memahami diri sendiri yang butuh kontemplasi, keheningan, dan kesabaran. You are responsible to turn your passion into meaningful creation.

Kenapa kreativitas? Karena ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup, bertumbuh, dan terus berkembang. Dunia tida lagi dan tidak akan pernah lagi sama. Perubahan dunia tidak bisa lagi di respon dengan pendekatan berbasis template masa lalu. Minyak bumi akan habis. Krisis pangan. Krisis air bersih. Krisis energi. Kemampuan bumi menyokong semua kehidupan semakin teruji. Peran manusia adalah sebagai pemelihara, penyeimbang, dan penjaga tatanan berkesinambungan.

Passion, kreativitas, dan pendidikan, ketiganya adalah inti pembahasan Ken Robinson dalam Finding Your Element. Seharusnya ini sudah bisa menjawab sebagian besar keraguan, kebingungan dan ketidaktahuan soal satu kata yang secara berulang-ulang disebutkan,"passion".

"Passion" dalam konteks Pendidikan, Kreativitas, dan Bayar Tagihan

Bagian Kedua


Ken Robinson percaya pendidikan lebih dari secarik kertas mahal atau formulasi angka yang tergambar dalam indeks prestasi komulatif (IPK). Kecerdasan tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Dengan jenaka, disebutkan oleh Ken Robinson bahwa yang harus dikembangkan bukan cuma isi kepala, atau bahkan hanya separuh dari isi kepala (mengacu pada pendewaan fungsi otak kiri sebagaimana yang dianut oleh sebagain besar institusi pendidikan). Sistem pendidikan harus menyediakan cukup ruang untuk berimajinasi, berksperimen, dan berekspresi.

Pendidikan tulen adalah soal pemberdayaan diri dan orang lain.

Lebih jauh disebutkan oleh Ken Robinson bahwa pendidikan harus lebih dari kuantitas, tetapi juga kualitas. Bukan cuma rutinitas, melainkan terobosan. Tidak hanya program, tetapi juga esensi dan manifestasi ilmu. Education is always about how to think, not what to think. And the how can be as many as the stars in the sky. Gamblang terhadap isu yang satu ini, izinkan saya melengkapinya dari pemahaman atas tulisan dia.

Jadi, harus bagaimana jika passion tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup?

Ken Robinson: Seriously people, what pays you bill is money, not passion! (ini bukan jawaban asli dari beliau, hanya rekaan saya atas respon yang mungkin diberikan oleh Ken Robinson). Passion bukan komoditas sehingga tidak bisa dihargakan sebagaimana layaknya barang dagangan. Membayar tagihan bulanan, cicilan kartu kredit, biaya anak sekolah, dan alokasi investasi harus perlu, dan mutlak menggunakan uang sebagai denominator transaksi yang paling diakui hingga saat ini.

"Passion" dalam konteks Pendidikan, Kreativitas, dan Bayar Tagihan

Bagian Kesatu


Anak-anak yang masuk SD tahun ini akan memasuki usia pensiun sekitar tahun 2069. Tidak ada satu orang pun atau metode apapun yang bisa memastikan hal-hal yang mereka hadapi. Tidak ada yang akan tahu bentuk dan tatanan dunia saat itu. Jangankan puluhan tahun, apa yang akan terjadi lima tahun ke depan saja sudah sangat sulit diprediksi.

Apa yang bisa dilakukan untuk mempersiapkan mereka dan diri kita sendiri menghadapi dominasi ketidakpastian? Apakah segala hal yang kita ketahui, terutama soal pendidikan saat ini sudah cukup memadai? jika tidak, hal apa lagi yang bisa dilakukan?

Logika ini bisa dijadikan landasan oleh Ken Robinson untuk terus mempertanyakan sistem dan cara kerja sebagian besar institusi pendidikan di dunia yang semakin usang. Sistem pendidikan yang merupakan warisan dari revolusi indrustri ditujukan sepenuhnya untuk mengisi kotak-kotak yang dibutuhkan di dunia indrustri. Celakanya, struktur indrustri pun sudah berbeda dan semakin berubah sejalan dengan perkembangan teknologi, lingkungan, bisnis, politik, dan interaksi manusia.

Kamis, 30 Mei 2019

JAJANAN TUMPAH

Ramadan memasuki hari ke 25. Kami jalan-jalan sore. Menikmati setiap jalanan bersama keluarga adalah hal yang menyenangkan. Setelah mengambil gaji milik bunda. Motor berhenti di depan kedai modern. Kami masuk dan mulai memilih kebutuhan masing-masing. Ayah mengambil tiga butir Orea rasa coklat untuk campuran jus pisang. Bunda memilih kebutuhan dapur. Eza dan QQ sudah beberapa kali berjalan keliling memanjakan matanya. Bingung untuk memilih jajanan yang akan mereka pilih.

Ayah dan Bundanya menawarkan Donat. Mereka tolak. Tangan kecilnya kemudian mengambil jajanan butir-butir coklat yang terbungkus menarik dalam satu tabung kecil yang lucu. Lengkap dengan tutupnya.

Setelah keluar kami beralih membeli Voucer. Di sana QQ meminta ayahnya untuk membuka plastik yang menutupi kepala tabung kecil.

Tanpa di duga QQ mencabut tutup tabung dengan kasar. Semua kepingan coklat berhamburan di atas lantai yang berdebu. Beberapa detik kemudian QQ menangis.

Padahal intruksinya. Buka jajanan dengan hati-hati. Atau buka di rumah lebih aman.

Jarum Panjang Jarum Pendek

" Eza nanti pulang ke rumah ketika Jarum pendek di angka sembilan dan jarum panjang di angka dua belas." Awal ayah mengenalkan tentang konsep waktu Eza sesaat terdiam. Mungkin mencerna setiap penjelasan yang ayah berikan. Matanya yang jernih menatap jarum panjang dan jarum pendek agar tidak tertukar.

Lalu ketika merebus telur ayam, yang menurut Eza sebagi telur putih. Eza bertanya kepada ayahnya. " Berapa lama yah merebusnya."

"Sekarang jarum panjang di angka 10, Eza tunggu sampai jarum panjang di angka 12." Tuturku.

Dulu ketika berusia empat tahun, ayah belum mengenalkan tentang konsep waktu. Justru mengenalkan lewat konsep jari. Bila lima jari berarti lima menit. Kalau satu jari, berarti waktu tinggal satu menit.

Setiap pulang dari bermain, sepertinya Eza cukup paham, sampai di rumah tepat waktu. Mungkin ia melihat jam dinding di rumah temannya.

Semoga saja.

TEGURAN

Rapat belum selesai. Ketika itu bulan Ramadan. Setelah tadarus selesai. Eza tengah bermain dengan QQ di tengah-tengah kami yang duduk melingkar. Salah seorang dari teman kerja memberi nasihat. " Itu tidak aman Eza, sayang dong, sama adiknya."

Tanpa diduga Eza langsung menjerit kesal. Mungkin baginya teguran itu bagai petir yang meruntuhkan mentalnya. Eza tak terima karena diberi nasihat oleh orang dewasa, bukan ayah dan bundanya. Eza langsung menghambur ke arah ayahnya dan merajuk minta pulang.

Ayah langsung memeluknya. Menenangkan kondisi kejiwaannya. Ayah bisikkan kata-kata yang meluruskan persipnya tentang makna teguran. " Eza, teman ayah hanya memberi tahu. Eza tidak perlu marah." Berungkali Eza menolak untuk nasihat itu, tetapi ayah terus memberi persepsi tentang teguran itu.

Setelah ayah peluk cukup lama. Eza turun dari pelukan dan bermain dengan teman lain yang sedang membawa perahu kertas. Eza tertarik dan turun dari pelukan lalu senyum mengembang, seolah-olah masalah tadi lenyap.

DEWI LESTARI

Terus Mencoba


Bagian ketiga

" Saat itu yang paling menantang adalah menyelesaikan cerita itu sendiri," kenang Dee soal pengalaman pertamanya dalam menulis. Dee yang sangat menyenangi menulis novel merasa belum memiliki "stamina" dan pengalaman menulis yang cukup ketika itu untuk bisa bertahan hingga mampu menamatkan sebuah cerita. Sampai akhirnya novel pertamanya berhasil diselesaikan. "Kuncinya, terus mencoba. Lama kelamaan pengalaman itu akan terakumulasi sendiri," saran perempuan lulusan Universitas Parahyangan ini.

Soal menentukan target menulis, bagi Dee, sah-sah saja, asalkan realistis. Untuk sebuah karya yang menang dalam perlombaan atau dimuat di media massa-Anda juga harus paham betul karakteristik media massa yang anda tuju-biasanya amat tergantung subjektivitas juri dan kebutuhan redaksi. Selama para penulis pemula punya mental yang cukup kuat terhadap penolakan, boleh-boleh saja pasang target seperti itu, kata Dee. "lebih realistis kalau targetnya adalah menyelesaikan sebuah novel dalam dua bulan, atau mengerjakan cerpen dalam dua minggu, dan seterusnya. Bisa juga diterapkan dalam target membaca," saran Dee.

Selain itu, hal seperti ini mungkin akan terlontar, "Ah, saya tidak punya bakat menulis. Pasti sulit." Ya, bakat menjadi faktor tersendiri. Ada orang-orang yang dilahirkan dengan batin yang peka dan memiliki archetype pencerita, ujar Dee. Mereka biasanya pandai merangkai cerita dengan alami. "Namun, menulis juga merupakan skill dan teknik, yang artinya bisa dipelajari. Semakin jernih dan peka seseorang bisa merasa dan berpikir, semakin mudah mereka dapat mengomunikasikan alam pikirnya. Saya rasa itu modal utama seorang penulis," tutur Dee.

Sumber : Majalah Parenting
Kolom   : Celebrity
Edisi      : Februari 2014
Hal         : 94
Oleh       : Nur Resti Agtadwimawanti

DEWI LESTARI

Berkarya Sambil Mengurus Anak



Bagian dua

Dalam menyiasati tantangan tersebut, ada cerita menarik yang datang dari cuitan Dee dalam akun Twitternya, @deelestari, beberapa waktu lalu. Untuk menyelesaikan karyanya, Dee bahkan sampai menulis sambil menggendong bayinya. "Waktu nulis Supernova:Petir, Keenan sudah lahir. Sekitar 40 Persen buku tersebut saya selesaikan sambil mengasuh Keenan yang masih bayi," Ujarnya. Dee hanya bisa menulis saat Keenan terlelap. Karena masih menyusui, mau tidak mau, kadang-kadang Dee terpaksa mengetik satu tangan sembari sebelah tangannya lagi menggendong Keenan yang sedang menyusu. Tak berakhir dengan Keenan, saat menulis Madre dan Partikel, Atisha juga sudah lahir. Akhirnya Dee baru mulai menulis lagi setelah Atisha berusia satu tahun. "Caranya kurang lebih sama, yakni dengan mencuri waktu sebisanya. Setiap hari, syukurnya, masih dapat satu-dua jam menulis di kamar tanpa diganggu, sementara Atisha main dengan pengasuh atau ayahnya saran," saran Dee.


Karena saya penulis fiksi, tentunya saya menulis berdasarkan imajinasi saya. Dan imajinasi saya didapatkan dari kombinasi, minat, passion, observasi, dan riset.

BUAH PIKIRAN DEE

* Novel Supernova: Kstaria, Putri, dan Bintang Jatuh
* Novel Supernova: Akar
* Kumpulan Prosa dan Puisi: Filosofi Kopi
* Novel Supernova: Petir
* Kumpulan Cerita Rectoverso
* Novel Perahu Kertas
* Kumpulan Cerita Madre
* Novel Supernova: Partikel

DEWI LESTARI

Berkarya Sambil Mengurus Anak


Bagian Satu 

Merampungkan tulisan yang tak sedikit sembari mengurus anak bukanlah perkara yang gampang. Ya, kira-kira begitulah pengalaman Dewi Lestari, penulis yang akrab disapa Dee. Sebelum memiliki anak, ia memegang teguh konsep ideal tentang menulis: bahwa menulis itu harus dilakukan pada malam hari, harus panjang waktunya, tidak terputus, tidak ada gangguan, dan sebagainya. Namun setelah memiliki anak, ia harus menghadapi realitas bahwa konsep ideal tersebut sudah berubah. "kalau saya menunggu kondisi ideal itu hadir, tidak akan ada buku baru yang lahir. Akhirnya saya belajar berdamai," kenang perempuan kelahiran Bandung ini.

Istri Reza Gunawan ini mencoba menulis kapanpun waktu yang bisa dimanfaatkannya. "Kalau dapat sejam ya bersyukur, kalau enggak, menyambung lagi begitu ada kesempatan," cerita Dee. Dari delapan buku yang terbit, ada dua buku yang dia kerjakan sebelum memiliki anak, yakni Supernova 1 dan 2. Enam buku sesudahnya, termasuk Partikel yang lebih dari 500 halaman, dikerjakan setelah memiliki buah hati." Jadi, sebetulnya punya anak bukan sebuah keterbatasan, melainkan tantangan yang bisa disiasati," kata Ibu dari Keenan dan Atisha ini.

Lebih dekat dengan Putu Wijaya

I Gusti Ngurah Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, pada 11 April 1944, sebagai anak ketiga dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Sejak SMP ia menulis cerita pendek yang termuat di suratkabar Suluh Indonesia di Bali. Di tahun 1962, setelah lulus SMA Negeri di Singaraja ( yang kepala sekolahnya adalah Ibu Gedong Bagoes Oka), ia pindah ke Yogyakarta, memasuki Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dan tamat di jurusan perdata, 1969. Di kota itu pula, ia sempat belajar di Akademika Seni Drama dan Film (ASDRAFI) dan Akdemika Seni Rupa Indonesia (ASRI). Ia bergabung dengan bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra, dan terlibat dalam beberapa nomor "minikata" yang terkenal itu.

Pindah ke Jakarta di tahun 1970, Putu Wijaya sempat terlibat dalam pementasan Teater Ketjil (arahan Arifin C.Noer) dan Teater Populer (Teguh Karya). Ia pernah bekerja sebagai redaktur wartawan di majalah Ekspress, Tempo, dan kemudian Zaman. Pada tahun 1971 ia mendirikan kelompoknya teaternya sendiri, Teater Mandiri, dengan konsep "bertolak dari yang ada", dan mengadakan berbagai pertunjukan di Taman Ismail Marzuki dan kemudian Gedung Kesenian Jakarta, untuk melakukan apa yang disebutnya sebagai "teror mental", sampai kini; pentasnya antara lain, Anu, Aduh, Dag-Dig-Dug, Edan, Gerr, Hum-Pim-Pah, Dor, Los, Aum, Zat, Tai, dan Front. Di tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Lowa City, Amerika Serikat. Selama 1985-1988, ia tinggal di negeri itu, antara lain untuk menjadi dosen tamu di University of Wisconsin-Madinson; ia juga mengadakan pementasan di sejumlah kota, misalnya di La Mama Experimental Theater Club, New York.

Putu Wijaya bukan hanya sastrawan, sutradara, dan aktor. Ia juga penulis skenario film, tiga diantaranya memenangkan Piala Citra; ia menulis begitu banyak ulasan seni pertunjukan untuk majalah Tempo. Ia pun menyutradai film layar lebar dan sinetron. Ia sudah menerbitkan 50-an judul buku dari limpahan karyanya yang berupa novel, novelet, cerita pendek, naskah sandiwara, esai dan ulasan. Dan ia masih terus berkarya. Pun ia tetap rajin berpentas bersama Teater Mandiri. Novelnya yang terbaru adalah Putri. yang terbit pada 2004, dalam dua jilid sangat tebal.

PUTU WIJAYA

Bagian Kelima


Putu Wijaya dalam mengerjakan bidangnya lebih rileks dibanding para sastrawan lain. Bila kaum sastrawan berhasrat memurnikan bahasa, dan bila kaum panulis populer hendak memanjakan publik, maka Putu memadukan, juga memparodikan, peran keduanya. Ia mengangkut bahasa jalanan dan segenap derau ke ranah sastra, ia melakukan apa yang disebutnya teror mental kepada publik. Mengarang, bagi penulis yang terlahir dengan nama I Gusti Ngurah Bagus Putu Wijaya ini, adalah melazimkan bahasa bergerak sendiri. Dan gerakan yang bisa seenaknya ini hanya pada tahap tertentu belaka meminta campur tangan si pengarang. (Maka dari tangan Putu lahirlah makna baru sejumlah kata kerja seperti "membetot", "menggebrak", "berkibar", bahkan kata baru seperti "dangdut". ) Ia membiarkan ceritanya terbuka, seakan mengelak dari tata atau struktur, seakan mengalir dan tanpa akhir, agar khalayak mampu menyempurnakan bagaikan milik sendiri.

Dengan kejengahan akan realisme ia telah memperbaharui khazanah sastra Indonesia pada 1970-an dengan sejumlah novel dan naskan sandiwara non-linier, lalu dengan sikap main-main yang radikal ia menjadi pendongeng pascamodern. Fiksi Putu yang anti-struktur-tepatnya, meluruhkan sendiri struktur yang perlahan dibangunnya-adalah perbantahan dengan sikap totaliter atau perayaan akan keagamaan. Barangkali tanpa kiprah Putu, sastra kita tetaplah sastra yang mengerutkan dahi, atau sastra yang melakukan pembaharuan untuk disiplinnya sendiri. Ia telah membuka jalan bagi para sastrawan yang kemudian untuk bersikap terbuka akan berbagai jenis yang selama ini terabaikan oleh seni tinggi. Demikianlah Penghargaan Achmad Bakrie 2007 bidang kesusastraan ini diberikan kepada Putu Wijaya.

PUTU WIJAYA

Bagian Keempat


Penulis kelahiran Tabanan, Bali, 1944 ini tercandera sebagai absurdis atau fabulis, ia segera menunjukkan diri sebagi seorang realis kembali-yakni pemotret situasi sosial yang tanpa ampun-sebagaimana terbukti, misalnya, dalam kumpulan cerita pendeknya Tidak (1998). Kepenulisannya cenderung menyangkal predikat apapun yang dilekatkan kepadanya. Putu bergerak ke pelbagai arah sekaligus, merengkuh sekian banyak corak sastra. Bahasa sasstra bagi Putu bukanlah (sekedar) bahasa tinggi, namun merangkum seluruh ragam bahasa yang mungkin ada. Pada saat sebagian besar sastrawan mengejar kebenaran, Putu sekedar memberikan kebetulan. Ia mampu menampilkan karakter individu yang tebal, namun pada saat yang lain ia hanya menyodorkan sosok samar-samar atau palsu, bukan sekedar gerombolan. Penceritaan Putu bisa menukik kedalaman, bagaikan psikoanalisis, namun bisa juga bermain di permukaan, bagaikan lawakan Srimulat. Menyerap tradisi lisan dari pelbagai khazanah kita, ia memperkaya khazanah sastra absurd dunia dengan konteks Indonesia.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

PUTU WIJAYA

Bagian Ketiga


Cerita pendek Putu Wijaya sering mulai dengan lugas, misalnya dengan fragmen dari kehidupan sehari-hari, tapi dengan segera ia menarik kita ke arah yang mustahil. Ia memberi kita fait accompli, yakni agar kita segera meninggalkan acuan rasional. Inilah misalnya: seorang ayah menemukan bom diranjangnya ketika bangun tidur, dan ia membawa bom itu ke puncak tiang bendera sampai, ia tergantung di sana bertahun-tahun lamanya; seorang lelaki penumpang pewasat lupa mengenakan kepalanya, dan pramugari memberinya kepala yang lain agar ia bisa makan.

Fiksi adalah dusta, sungguh dusta yang nikmat, untuk mengingatkan kita kembali bahwa apa yang bernama realitas tiada lain dari pada tumpukan opini yang telanjur dipercaya sebagai kebenaran. Tiada kontruksi dalam cerita Putu, justru sebaliknya: apa yang sudah diterbina, entah itu tema, motif, suasana, pola, karakter, selalu terbongkar kembali, tergagalkan, tergantikan yang lain, dan begitulah seterusnya. Alur pelbagai cerita pendeknya yang terkumpul dalam, antara lain, Bom (1978), Gres (1982), Blok (1994), dan Yel (1995) tak mengikuti satu garis lurus, melainkan bercabang-cababng, melingkar, bahkan menguli- singkatnya, mengelak untuk stabil.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

POLA PIKIR

Ia seperti PALU yang terus memaku keyakinan agar tak lepas dari genggaman
Ia seperti REM tangan agar tak terperosok ke dalam jurang yang dalam
Ia seperti OMBAK yang mampu mengikis kekerdilan pikiran
Ia seperti RANJAU yang akan menjebak sekaligus merontokkan kesombongan

Ia seperti FILTER yang terus menyaring setiap virus kebodohan menggerogoti
Ia seperti OBAT yang akan menyembuhkan perasaan yang putus asa
Ia seperti RODA yang akan menggilas kemalasan tiap kemalasan
Ia seperti CAMBUK yang akan menyadarkan akan turunnya sebuah kepribadian

JENDELA

Udara pagi masuk lewat jendela
Fentilasi yang mashur
Tak pernah jemu
Manusia terus membuat
Agar tak lembah seisi rumah

Sirkulasi adalah penting
Sepenting udara itu sendiri
Jam panjang membuat kerja tubuh lelah
Hingga udara perlu masuk lewat jendela

Membaca adalah jendala
Mampu mengintip hanya dengan duduk bersila
Membentang cakrawala di belahan dunia
Membaca adalah menerapkan jendela informasi

Sarung Tanpa Celana Dalam

Mushola Baitul Mustaqim. Beberapa jamaah sudah berada di dalam sambil menunggu iqomat. Aryo kecil berjalan menuju ke Mushola. Setelah mandi Aryo langsung menyambar sarung dan memakai pakaian takwa yang terbaik. Paling baik.

Aryo kecil masuk ke dalam Mushola.

Ia duduk bukan bersila. Tetapi Jegang. Gaya duduk khas orang Purbalingga.

Naas. Kemaluannya terlihat.

Para jamaah tersenyum dan tertawa. Aryo balik dengan muka merah menahan malu.

INTERVAL

Sore itu Aryo terjebak pada perasaan senang karena pertandingan sepakbola di lapangan Kaligondang baru dimulai. Sepanjang perjalanan keringat menetes tak beraturan. Kerah baju kami pun mulai basah. Aryo berjalan riang sepanjang jalan.

Kantong kresek berwarna hitam terjatuh dari sepeda jengki merah.

Aku berteriak tetapi pengendara sepeda itu terus ngebut, mempertahankan kecepatan dan keseimbangan. Turunan panjang membuat pengendara itu fokus, terlalu fokus.

" Bang kantongnya jatuh!." Sekali lagi Aryo berteriak kencang, aneh orang itu sama sekali tak mendengar.

Aryo berlari mengejarnya. Kedua kakinya yang kekar mampu mengejar pengendara sepeda itu. Orang itu menoleh dan melotot. Mungkin merasa tak nyaman, Aryo mengejarnya bak orang kesurupan.

Pengendara sepeda itu malah makin kalap, ngebut tanpa mau tahu apa kemauan Aryo.

Pertarungan

Pilihan kata adalah mampu mencerna hal-hal yang bersifat jelas. 
Memberi semangat untuk yang lemah.
Sebuah senyuman yang mampu menetralisir semua kejanggalan tentang makna kata.
Soal beda rasa adalah keniscayaan pada sebuah jembatan pikiran per kepala.
Keyakinan pada kebenaran yang kita anut membuat kita seringkali terjebak pada ke egoisan.

Ini soal pertarungan yang terus merajalela peradaban manusia.
Pertarungan keyakinan.
Pertarungan kepercayaan.
Pertarungan kepintaran.
Pertarungan yang lainnya.

Pertarungan sesungguhnya adalah melawan perasaan kita sendiri, kecenderuangan, dan manipulasi ketenaran yang meninabobokan.

Sabtu, 25 Mei 2019

Mati Rasa

Jumlah kata yang kita ucapkan merupakan perumpamaan yang terlalu curang untuk dinikmati. Sejatinya sama dalam memaknai perbedaan yang menghiasi detik-detik rasa yang lama kalian tumbuhkan.

Mati rasa yang terlalu dalam membuat kematian lebih cepat untuk dinikmati tiap persinggahan.

Kalau setiap rasa yang kita tunjukkan adalah bentuk rasa yang sama dalam memaknai perbedaan sekaligus persamaan.

Selasa, 14 Mei 2019

Bunga Kamboja

Pagi selalu saja banyak hal menarik. Seorang Ibu berjalan ke satu arah, mungkin menuju kota. Putrinya selalu saja mengikutinya dari belakang. Sepeda jengki biru dituntun tak pernah dikayuh sekalipun. Ini berlangsung sejak aku MI. Tak pernah sekalipun mereka bosan untuk melakukan aktivitas itu.

Yang ku penasaran, kenapa pandangan mereka begitu kosong. Seperti zombi yang kehilangam selera makan. Mereka mudah dikenali. Pakaian yang mereka kenakan selalu sama dalam rentang waktu 3 hari.

Seringkali aku berpapasan dengan mereka. Ingin sekali aku merasakan kehidupan di antara mereka. Sekedar mereka berbicara dengan ibunya, atau perselisihan kecil  juga tak apa-apa.

Menempuh perjalanan jauh. Kerap mereka bersendal jepit. Membawa kantong kresek besar kosong. Payung hitam selalu menemani.

Aku ingin menceritakan tentang mereka.

Perhitungan sama Allah Swt

Kita melakukan aktivitas yang sifatnya keduniawian tak pernah mengeluh sedikitpun. Karena targetnya jelas dalam ukuran rupiah. Meski lelah dan letih tak pernah ia berucap untuk beralih darinya. Tak pernah kita hitung-hitungan.

Logikanya masih linier. Tak pernah lelah untuk mengejar materi, seolah hidup selamnya. Boleh saja. Asal Equel.

Coba sesekali gunakanlah logika terbalik. Agar tak pernah lelah dalam ibadah. Tak terdengar keluhan. Allah tak pernah hitungan dengan kita. Justru kitalah yang pelit sama Allah. Hitung-hitungan terus sama Allah.

Jumat, 10 Mei 2019

Interval

Interval mengambil jejak untuk rehat sejenak. Sekedar memperoleh tenaga lalu beraktivitas kembali.

Dalam hal perasaan juga sama. Rehat sejenak untuk mengambil kesempatan berpikir apakah perasaannya sama atau berbeda.

Interval amatlah bijak untuk mengawasi diri kita agar tak terlanjur membiarkan kebiasaan buruk apapun itu. Lalu beranjak kepada hal yang mengupgrade tentang nilai pribadi.

Hormat

Hormat adalah cara orang untuk menampilkan karakter pribadi agar terbaca sebagai orang yang memiliki keluruhan budi.

Cara orang memberi rasa hormat adalah berbeda-beda. Tersenyum di kejauhan, melambaikan tangan, mengangguk pelan, membungkuk, dan banyak cara untuk memberi hormat.

Ada juga orang yang berpenampilan baik untuk memberi hormat. Kepekaannya adalah kehormatan itu sendiri.

Seimbang

Selama kita hidup ada saja orang yang tak sanggup untuk siap ketika orang lain berhasil dengan kehidupan duniawinya. Selalu kasak-kusuk di belakang. Tak terima kalau dirinya tersaingi secara materi. Tengoklah sejenak betapa mewahnya fasilitas pribadinya. Hingga hilangnya kepekaan spritual.

Hidup itu rentang waktunya pendek. Seperti kejapan mata. Lalu sibuk merasa kurang dengan apa yang diterima. Singkatnya waktu membelanjakan materi teramat musykil untuk saling berkejaran.

Kita memang masih hidup dunia. Tetapi tak apik bila matian-matian untuk dunia. Paradigmanya adalah banting tulang untuk dunia agar tak malu di akhirat.

Hukum keseimbangan adalah penting agar semua proporsinya tepat sesuai dengan kadar keperluan hidup dunia dan akhirat.

Sabtu, 04 Mei 2019

Target

Seorang pelari mampu berlari dengan kecepatan sempurna. Layaknya seekor cheetah yang tengah berburu mangsa. Hewan ini sangat tepat untuk menentukkan target. Sebelum berlari cheetah bisa berkamuflase secara menakjubkan. Hasilnya target dapat ditentukan dengan tepat. Mungkin inilah yang dijadikan inspirasi bagi sprinter ketika menaklukkan lintasan.

Target adalah seperti cambuk yang membuat kuat bertahan dari sesuatu yang menyakitkan. Hingga mampu menatap sesuatu di balik yang tersembunyi.

Target menelaah yang ganjil, sesuatu yang abstrak, lalu berubah menjadi jelas sesuai langkah dan tujuan. Hidup tanpa target, seperti burung yang rusak sayapnya. Terbang ke atas tapi tak berani manuver.

Jumat, 03 Mei 2019

Kursi Malas

Setelah menjalani aktivitas yang panjang ada interval untuk menikmati kursi malas yang telah menguras energi banyak.

Adakah orang tak pernah menikmati kelelahan setelah aktivitas panjang. Kursi malas adalah yang paling nikmat untuk sekedar melepas keletihan.

Kursi malas menjadi salah satu wujud sykur kita akan jeda dalam berbuat sesuatu yang panjang. Telah ada waktu untuk setuju bahwa kursi malas menjadi nikmat untuk berpikir dan merenung.

Kamis, 02 Mei 2019

Gugusan Bintang

Manusia berencana. Allah yang tentukan. Itulah prinsip hidup yang harus dijalankan oleh tiap manusia. Perbandingan hanya satu. Yang berusaha dan yang lainnya tidak. Rembulan terus berusaha agar mendapatkan apa yang telah menjadi ketentuan.

Destinasi adalah cara berpikir manusia yang telah menempuh perjalanan terlalu lama di dunia. Maka belajarlah dari kesalahan yang pernah kita lakukan.

Kita adalah kumpulan manusia yanh terus memberondong diri agar tak jumawa di hadapan-Nya. Laksana rembulan yang telah menjelma menjadi cahaya yang sedap dipandang. Renunkanlah kawan.

Malam

Melewati nafas yang terdalam untuk memenuhi skandal yang tak pernah padam. Meski sejenak tersendat melawan kepapaan.

Berjalan melupakan masa yang kelam tengah derasnya hujan malam-malam. Pergi dan pulang lalu menarik diri dari evaluasi yang menjemukan adalah ketidakbijaksanaan.

Merongrong malam adalah tindakan yang sia-sia. Karena malam adalah tempat berpijak bagi dermawan yang ingin menyembunyikan tangan kanannya.

Seringkali musafir memutuskan untuk bergerak di bawah bintang malam yang tak pernah jemu untuk berkedip di bawah bayangan unta yang berjalan.

Rabu, 01 Mei 2019

Nasihat Ibu

Merah adalah tanda berani
Begitu bijak bestari penduduk negeri
Perasaan ngeri
Dijemput paksa mulut terkunci


Seorang ibu tampak marah
Melihat anaknya pongah
Tanpa arah
Wajahnya merah


Anak diam mengekor
Terpekur dalam di dekar dasbor
Lalu lalang mobil
Jiwanya tak stabil


Ibu berteriak
Suaranya serak
Kau tahu, ibu melahirkan kamu
Ya aku tahu
Kamu masih merah


Sekarang kamu buat ibu marah
Hati ibu mendidih
Sekarang kau sumringah
kau tampak seperti bromocorah


Ibu doakan kelak kau jadi lurah
Agar kau mengerti hidup orang yang susah
Orang-orang yang berkeluh kesah
Tentang sembako yang berubah


Muhasabah nak...
Agar tak menyesal kelak...
Ibu sayang kamu nak...
Nasihat ibu kepada anak