Aku dan Ares berdiri beberapa jengkal dari Kiera, seperti menanti putusan takdir. Ada Naura yang duduk di sisi Kiera, jari-jari mereka bertautan. Hembusan nafas Kiera amat pelan. Wajahnya seputih salju. Kami terjebak dalam drama kemanusiaan yang sering kali ikut terjungkal ke dalamnya. Mata bisa saja kuat, tetapi jiwa merintih meminta kesabaran.
Kedua mata Kiera terbuka, lalu tersenyum untuk kami.
"Kau kembali." Suaranya lirih.
Ia mengangguk.
Suasana makin sendu. Di saat seperti ini Kiera terlihat mengingat-ingat sesuatu. Mungkin saja kalau takdir akan mengembalikan kesehatan tubuhnnya, dia akan bangkit cepat-cepat lalu mengejar kotak samurai takut terlambat ke sekolah. Lamunanku jelek sekali, selalu saja ingin merubah takdir. Hal-hal yang sifatnya absolut tak mungkin digeser takdirnya begitu saja. Sama saja akan meragukan kekuasaan Allah Swt.
Ia menatapku pelan. Apakah ruhnya akan segera keluar dari jasadnya. Tak ada adegan yang menyeramkan seperti cerita orang. Aku berprasangka baik kalau malaikat tak tergesa-gesa memisahkan ruh dari jasadnya. Hingga ruhnya keluar secara lembut seperti squisy.
"Kak Ben, kau bawa buku harian saya." Kata-katanya terbata-bata.
Aku memperlihatkan bukunya.
Wajah Pak Alex keras menahan sedih. Bahunya mulai terguncang, Ares mendekat dan meletakkan tangan besarnya ke bahu Pak Alex.
Sebuah buku harian bersampul coklat mulai ku buka. Begitulah hidup, semua tercurah atas nama perasaan. Yang hadir tanpa sebab. Timbul tenggelam, riak bergelombang, dan seterusnya.
'Untuk Beni'. Ia memberikan judul buku hariannya. Ku buka acak. Halaman berhenti pada gambar awan hitam. Tulisannya rapi dengan corak dan motif akar di samping tulisannya. Aku mulai membacanya, mungkin hanya aku yang mendengarnya.
Aku berhenti setelah beberapa halaman selesai kubaca. Kiera telah menulis semua yang dilihat tentang seseorang yang dianggap telah mengubah kehidupannnya. Bahkan aku sendiri amat malu dan terlalu cengeng untuk mengakui semua kejelasan sikap Kiera tentang kehangatan bersahabat, cinta, dan kesetiaan. Semuanya berpadu atas nama persahabatan. Ia melukiskanku dengan warna-warna terang.
Naura terdengar membaca kalimat langit berulang-ulang. Kupikir hanya penyemangat saja. Tapi melihat waja Kiera yang kaku, reaksiku berubah. Seperti ada gumplan es yang menghimpit dadaku. Pak Alex menangis memeluk tubuh Kiera yang mulai berubah. Tercetak kedamaian di wajahnya. Naura kerepotan menghapus air mata. Ares keluar dari ruangan dan duduk ruang tunggu. Bahunya terguncang naik turun, raksasa itu menutupi wajahnya.
Sebuah tulisan terlihat buram, lembab, lalu kusentuh dengan jari telunjuk. Rupanya tetesan air mataku sendiri yang jatuh membasahi tulisan. Kupastikan bahwa itu bulir-bulir air mata. Aku harap ini mimpi, tetapi tiap kali membuka mata, udara dan tempatnya sama. Aku tak ingin mencubit bagian tubuhku seperti yang dilakukan banyak orang ketika mengira sedang bermimpi.
Ruangan Edelwis tampak sunyi. Kami menikmati duka abadi itu. Seorang sahabat kini pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Bisakah kami berjumpa di pintu-Mu nanti.
Malam ini kunang-kunang terbang mendekati jendela kaca, sejenak mereka berkerumun. Lalu terbang secara bersamaan.
0 Comments:
Posting Komentar