BABAK 17
Ini pertanyaan sulit, yang di dapati sepanjang tulisan ini. Pertanyaan muncul dari seorang tokoh indonesia, yang dirinya telah menempa banyak pendidikan di luar negeri, belajar beragama macam disiplin ilmu.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengecilkan profesinya mereka yang memilih sebagai guru, pendidik, pengajar, pembimbing, fasilitator, dan segala turunannya. Mari sejenak duduk sebentar dalam deraian bertumpuknya informasi pekerjaan mendidik, dan 'segudang' administrasi yang sudah jatuh tempo. Agar nantinya bisa mengambil sedikit keterangan dari penjelasan-penjelasan dengan pendekatan pengabdian seorang guru.
Karena guru mendapati label dirinya dari siswa yang diajarnya. Tak bisa berkutik jika yang menilai adalah siswa yang diajarnya sehari-hari. Mereka bisa melihat cara guru berkata, bertindak, dan ber yang lainnya. Pada level tertentu murid-murid bisa mengetes kemampuan guru karena tiap hari mereka mendengarkan penjelasannya. Pada saat guru tidak memperbaharui infomasi dan bagaimana mengajar, sang guru akan terjebak pada situasi psikologi yang namanya merasa paling benar. Di titik inilah awal mula penghormatan murid terhadap guru mulai dipertanyakan. Di titik lain, guru merasa apa yang telah dilakukan sudah memenuhi standar pengajar kelas. Ditambah kecenderungan menghindari evaluasi pengajaran melalui diskusi-diskusi sederhana di bawah tatapan seorang pakar kurikulum, setidaknya begitu.
Datang seorang guru di hadapan kelas, memberikan instruksi; buka halaman sekian, kerjakan. Kerjakan dalam artian menyalin seluruh teks yang ada, persis pada halaman buku yang dimaksud. Memasang wajah Innocent, guru tersebut melipir keluar kelas, tak lama kemudian menyalakan 'asap' sambil memutari gedung sekolah. Isi kepalanya serasa keluar, dan berada di negeri entah. Murid yang secara sadar melihat situasi tersebut merespon dengan caranya sendiri. "Mungkin sedang ada masalah keluarga, mungkin orang tuanya sedang sakit, mungkin sedang memikirkan bagaimana mencari pendapatan tambahan," dan seterusnya. Patut disadari bahwa isi kepala murid sangat acak sesuai latar belakang pola asuh di rumah.
Judul di atas terlalu bombastis, sengaja? biar kalian bisa memantik diri untuk selalu mengejar ketertinggalan apapun sebagai guru. Memaksudkan agar nantinya arah stigma tidak melulu pada label seorang guru. Lebih dari mereka memiliki segudang tanggung jawab moral, entah sebagai kepala keluarga, masyarakat, bahkan mungkin warga dunia. Sejauh mana mereka memadang, tergantung pada perangkat yang ada di kepala masing-masing. Cukupkah dengan istilah "katak dalam tempurung" bisa jadi tempurung katak mungkin jauh lebih dari yang disangka.
Evaluasi diri menjadi penyebab label yang melekat pada seorang guru dapat bergeser sedikit demi sedikit, tanpa perlu mengganti jadi diri menjadi platform yang berbeda. Sang guru tetap memenuhi nutrisi otak dan pikirannya dengan isian spesial layaknya martabak lima telor bebek. Terjaga martabat dan juga dirindukan akan kenikmatan isi pikirannya, bukan yang lain. Soal pakaian, aksesoris, sepatu, ia adalah tambahan lain, bukan satu-satunya penyebab murid tiba-tiba mampu melejitkan potensi diri. Dari refleksi pindak ke aksi, dari refleksi pindah pendampingan, dari refleksi pindah ikatan hati, dari refleksi pindah wilayah pendekatan pribadi dilengkapi ketegasan sikap, dan seterusnya.
Acuh tak acuk alias abai bin cuek bebek pada kelas yang diampunya. Mendapati dirinya memiliki status tertentu yang menyebabkan dirinya tetap mendapatkan haknya meski ia malas-malas mengajar, dan alakadarnya. Sementara ada guru yang tetap mengajar tanpa memperhatikan apakah berlabel atau tidak, si guru menghormati hak-hak siswa untuk tetap mendapatkan pengajaran yang layak, tanpa perlu repot-repot mendapatkan balasan setimpal. Isi kepalanya memberi bukan diberi, isi kepala menghormati bukan di hormati, dan seterusnya. Suatu hari guru mendapatkan kelayakan jenis tertentu itu efek saja, tanpa perlu membusungkan dada apalagi jumawa.
Banyak peubah yang bisa disajikan di sini. Kalian bisa berpendapat tentang apa saja. Pikir-pikir rehat dulu, beri jeda, biar rada seger, punya sudut pandang lain yang lebih 'menyudutkan'.
Sampai di sini dulu ya...jika berkenan silakan tulis dikolom komentar.
0 Comments:
Posting Komentar