Jumat, 21 Maret 2025

Anak Yang 'Menakutkan' Guru

BABAK 13
Ia melempar meja dan kursi, juga kertas-kertas dari buku yang disobeknya kasar. Kotak-kotak kecil berisi perlengkapan bergulingan, tak beraturan. Map-map berjatuhan. Sebuah lukisan yang dibungkus secara apik berubah remah-remah. Ketika seorang guru masuk, ia membentaknya secara vulgar tanpa segan ataupun tak enak. Pertahanan terbaiknya adalah tantrum sejadi-jadinya. Sebuah benteng yang teramat kokoh lagi sulit ditembus. Kecuali oleh orang-orang yang dipercayainya. Tenaganya menyimpan untuk menyeruduk siapa saja yang berani untuk melumpuhkan tantrumnya. 

"Diam!" bentaknya. Gurunya menatap takjub sekaligus prihatin. Meski hatinya ikut juga mendidih, terapi langit ia gulirkan agar tersungging senyuman kemudian. Telapak tangannya berkeringat. Karbo yang dikunyahnya di pagi hari cepat sekali menguap. Guru yang lain ikut membantunya. Pasukan tambahan, sementara ia mulai menertibakan segala sesuatunya. Anak itu terus saja meronta-ronta, ia menendang dan memukul. Bahkan guru itu pernah dicakar menggunakan kukunya yang tajam, saat ia masih duduk di kelas satu. Sekarang ia sudah kelas dua, tetapi masalah dirinya dan lingkungan sekitar belum bisa diselesaikan dengan caranya sendiri. 

Kami menikmati makan siang dengan rasa tak biasa. Lapar yang tak tergantikan dengan lauk apapun. Sebuah kehambaran yang kerap terjadi, meski tampak sepele tapi hormon tak juga membantu. Kegiatan makan siang seperti melambat. Seperti film yang diperlambat agar frame semakin tajam terulang dengan maksimal. Anggota murid yang kehilangan selera makan, salah satu murid laki-laki yang biasanya makan dalam porsi banyak, di atas piringnya teronggok satu centong nasi saja. 

"Diam!" bentaknya kembali. Teman-teman yang mencoba menghiburnya surut juga nyalinya. Tak berani melakukan hal yang jauh lagi. Pergerakan tampak kaku dan serba kikuk. Mereka kembali fokus untuk menyelesaikan makan siangnya. 

Kami meninggalkannya sejenak untuk memberi ruang privasi. Agar ia bisa meredam emosinya yang terlanjur tak terbendung. Kami menantikannya agak lama sekitar sepuluh menit. Pada menit selanjutya ia bisa meluapkan emosinya, walau tampak belum berdamai dengan isi kepalanya. 

Pada hari-hari berikutnya ia  serba diam ketika meredam situasi yang kurang nyaman baginya. Perkembangan ini cukup menggembirakan. Meski ia tak piawai untuk mempertahannya. Diamnya asal tampak wajar dan proporsioanal, bagi kelas sudah cukup, kami tak ingin melihatnya dalam diam yang menyeramkan.

Perawakannya memang kecil, tapi ia punya kekuatan di atas rata-rata anak sebayanya. Meski baru sembilan tahun, ia memiliki tenaga tambahan yang dikumpulkannya sejak lama. seperti kumpulan tenaga dalam yang dilatihnya bertahun-tahun. Tinggal menunggu momen saja, maka ia bisa mengangkat meja dengan enteng saja. Untuk bisa mengangkat meja tersebut membutuhkan kekuatan dua anak sebaya. 

Sorot matanya terasa menyimpan dendam. Dendam pada orang dewasa di sekelilingnya. Meski tak semua orang dewasa bersikap tak kompromi dan terlihat menakutkan. Setiap ia tantrum, seisi kepalanya berhamburan peristiwa-peristiwa buruk yang datang secara otomatis. Ia kerap hadir untuk memporak-porandakan segala sikap yang pernah dituturkan oleh gurunya.

Guru itu mencoba merengkuh kedua bahunya yang tampak ringkih. Mencoba menawarkan menu makan siang. Tatapannya tampak ragu, tapi sorot sang guru seperti meyakinkan. Ia pun mengangguk, melangkah ke meja makan mengambil piring dan sendok dan mengisi nasi beserta lauk pauk.

Raut wajah yang tampak menakutkan bagi anak-anak yang lain, kini mulai mencair. Tersungging senyuman yang terlihat wajar, tapi ada rasa yang masih disembunyikan. Ia seperti beranjak dari kenyataan satu ke kenyataan yang lain. Ia masih menyimpan rasa sakit yang penawarnya masih misterius. Atau barangkali hanya ia sendiri yang mampu mengobati. Bahkan sekolah bisa jadi menyuburkan "penyakit" dengan perlakuan yang tidak tepat. Bisa jadi sebaliknya. Mungkin manipulasi prilaku. Untuk sementara, anak bisa dibilang cukup 'menakutkan' gurunya. Cekap Semanten.

Tulisan Ini diproduksi 22 Juli 2020

0 Comments:

Posting Komentar