“Ayah menyuruhku mencari kain, tetapi aku tak mengerti bagaimana corak dan warnanya,” jawab Anton. Tas ransel yang menggelayut dipunggungnya masih menempel sekarang ia turunkan.
Anak itu mengeluarkan beberapa lembar amplop cokelat. Aroma kue bolu muncul dari balik amplop. Ia terus menukar antara amplop satu dengan yang lain. Si Ibu tampak gemes melihat Anton yang sudah sepuluh menit mampir di tokonya.
“Aku lupa pada amplop mana kutaruh tulisan itu? ucapnya sambil tersenyum. Senyum agak ganjil dan tatapan matanya terasa jauh.
“O, kira-kira amlop mana surat itu berada?” ucap si Ibu sambil menggeledah tiga amplop coklat.
“Aku tidak tahu Bu?, mungkin yang ini Bu?” ucap Anton sambil tersenyum disertai gumam tak jelas dan tawa yang tertahan. Ia kesulitan untuk kontak mata dengan Ibu pemilik toko.
“Kamu baca sendiri donk pesan ayah,” perintah pemilik toko.
Anak itu menggeleng, dan bergumam, ia menyodorkan kembali amplopnya.
“Kata ayah suruh penjualnya yang baca,” ucap Anton sambil tersenyum lagi.
“O” jawab sang Ibu sambil membuka amplop cokelat. Duduk diantara kain-kain yang tergantung rapi. Mulai dari harga ratusan ribu hingga puluhan juta.
Sebelum membaca si Ibu minum air mineral beberapa teguk. Sementara Anton terus saja menatapnya.
Ibu itu tertegun lama. Tangannya menutup wajahnya. Tubuhnya gemetar menahan sesuatu.
“Sekarang kau kelas berapa?”
“Kelas 6 Bu?”
Si Ibu cepat-cepat bangkit dari tempat duduknya, bergegas ia mencari sesuai pesan yang ia baca. Tak dapat dari tempat yang ia cari, ia pindah ke sudut lain diantara tumpukan kain yang menggunung. Sempat ia tersandung karena langkah kakinya tiba-tiba saja tampak limbung.
“Kau baik-baik saja Bu?” ucap Anton terlihat gugup.
“Tak apa, kau duduk saja, nikmati saja kunjunganmu di toko Ibu, anggap ini hiburan,” jawab si Ibu, ia kembali mencari. Lebih sigap. Seakan ini pekerjaan terakhirnya.
Tak lama ibu kembali dengan kantong kresek hitam. Ia duduk menghadap Anton. Keduanya saling berhadapan.
“Cepat kau pulang ke rumah, temui ayahmu,” saran si Ibu, wajahnya beberapa kali disapu oleh telapak tangannya.
“Kau kenal ayahku,” tanya Anton.
“Tidak, tetapi kita semua punya lelaki bernama ayah.”
Anton masih bingung.
“Maksudnya,” desak Anton.
Si ibu memberikan memberikan kantong kresek hitam. Ia berdiri menatap Anton. “Kau tak perlu membayar, pulanglah,” usulnya, dan ia masuk ke dalam. Meski lirih, isak tangis si Ibu terdengar. Penasaran dengan pesan ayah. Anton membuka kantong kresek hitam. Kedua matanya membelalak. Kain putih panjang tak bersaku ada dalam genggamannya.
“Inikan kain kafan?” bisik Anton. Seluruh tubuhnya tiba-tiba lemas.
“Ayah...!” teriaknya. Ia lari limbung meninggalkan toko. Tersandung, jatuh dan bangun dan lari lagi.
0 Comments:
Posting Komentar