Senin, 24 Januari 2022

SEORANG GURU YANG BERJALAN TANPA ATAP

Seorang guru baru dikabarkan oleh guru-guru lama menjadi bahan pembicaraan. Pembicaraan yang bisa mengurasan keharmonisan seisi ruang kerja guru. Bagaimana tidak, guru baru itu mampu meredam anak-anak kelas tinggi yang terkenal dengan "keaktifan" yang membuat isi perut. Atau bisa jadi tiba-tiba gumoh dimana-mana, karena merasa wilayahnya telah ditundukkan oleh anak baru yang pengalamannya juga minimalis.

Bisa jadi perangai-perangai yang dimiliki oleh guru lama tidak masuk dalam kategori; Guru yang Tulus. Tulus seperti air dingin yang mampu meredam apa saja, api yang memberangus hal-hal yang menyebalkan di depan, mengarahkan bahkan mengahasukan hal-hal baik ataupun buruk. Sifat tulus bisa mendatangkan "keajaiban" secara tiba-tiba tanpa merasa dipanggi atau terpanggil. Ia seperti keinginan baik yang terus menerus ada. Cara kerjanya melebihi apa yang tak pernah terberi oleh guru-guru lama.

Mungkin juga kekecewaan-kekecewaan yang terus menerus dipahatkan pada sanubari anak-anak sehingga air dingin yang tiba-tiba coba diberikan oleh guru lama terasa timah panah yang dituangkan ketelinga.

Bukan hukuman yang sejatinya mampu menaklukkan ombak yang sedang tinggi-tingginya, tetapi cara kita meluncur bersama ombak hingga berjalan beriringan sejajar tanpa sekat; ngobrol atau jadikan teman diskusi pada hal-hal yang sederhana. Anak seperti layangan, yang mudah tertiup angin, dan ia mengandalkan angin.

Rabu, 19 Januari 2022

Kemampuan Menulis Layaknya Di miliki Oleh Semua Orang

Judul diatas sepatutnya menjadi perenungan sebagai mahluk yang diputuskan untuk mengadu pada segala hal. Salah satu aduan yang terbaik adalah dengan cara menuliskan pada apa-apa yang bisa ditorehkan.

Torehkan apa yang tersemat pada benak kalian, pada apa yang meresahkan jiwa kalian. Hingga yang terkecil pun kalian bisa menerapakan dalam tulisan imaji kalian. Artinya beberapa hal sering memusingkan jiwa tak mampu menorehkan hal-hal substansi, padahal ide/gagasan sifatnya tidak dicari,didatangkan, tetapi dipaksa hadir agar ide tumbuh cepat secara maksimal.

Lalu apakah semua ide bisa diwujudkan dalam kumpulan kata, kalimat, dan seterusnya. Semuanya tergantung pada kepekaan Anda untuk menangkap semuanya ide, lalu dituangkan pada semua hal. Mungkin kertas, buku, ingatan, dan seterusnya.

Lalu muncul pertannyaan, Apakah semua orang mampu untuk mengikat semua ide yang bersliweran diatas muka bumi ini?, jawabannya Anda sendiri yang bisa menjawabnya. Sebagian orang bisa mencatatnya sempurna, sebagian lain tak peduli atas semua ide yang berterbangan seperti kumpulan matriks.

Semua orang bisa menulis dengan kadar tulisan yang berbeda, tetapi berangkat awalnya adalah kemampuan menulis itu sejatinya diperoleh secara lahir.

Selasa, 18 Januari 2022

Seorang Guru Yang Berjalan Tanpa Atap

Tidak lagi menikmati, keseharian karena tak tega menanggalkan baju kebesaran dari rumah pengalaman. Lagi juga tak pernah merasakan tumpukan uang dalam jumlah yang besar, lalu apa yang dicarinya. Mencoba pada tahap menjadi BOS juga tak bisa, ia lahir dari pengalaman seorang prajurit, bukan dari seorang jendral. Mungkin ini hanya alasan yang berulang-ulang, sampai ia lupa pada kekesalan atas ego yang lebih besar.

Ia sedang berhadapan dengan seorang beruang betina yang sedang buas-buasnya, karena dihadapannya ada mahluk yang mungkin dianggapnya tak mengerti apa-apa. Pengalamannya juga tak seberapa, hingga beruang betina itu mudah untuk mencakarnya atau bahkan mencabik-cabiknya hingga si Guru tak lagi bercuap-cuap soal pengalaman yang tak seberapa itu.

Si Guru kembali ke kantor setelah menerima kekalahannya yang berulang terus. Menghadapi beruang betina tidak lagi sebuah dulu, kini ia harus mawas diri atas usianya terus beranjak senja. Bahkan si Guru juga mulai tak lagi mengenali diri, apakah ia layak menjadi Guru yang penuh kompeten, apakah Sastra telah menyedotnya hingga palung hati, pikirannya kini terlampau gelap untuk keluar dari ruang yang biasa ia lakukan setiap pagi.

Si Guru mulai menghitung tentang perkembangan masa depannya. Apakah ia mau melakukan kudeta atas dirinya sendiri, seperti yang ia lukukan dulu pada sekolah-sekolah yang digelutinya. Kuda-kudanya kini tak lagi kokoh untuk menantang pikirannya sendiri. Apalagi kudeta merangkak tak lagi cocok baginya. Ia hanya seorang guru, yang mencoba terus mengkudeta mimpi-mimpinya.

Guru, itu lupa dan kembali menafikan kekurangannya, mencoba bertahan istilahnya. Apa boleh buat, jika ia lemah, ada sastra yang menguatkan. Jika itupun tak berhasil, ia akan kembali pada sabda-sabda langit yang tak membuatnya kecewa.

Tokoh kita memang, ada duanya, bukan tiada duanya. Label sering memelantingkan kedalam prasasti kejengkelan atas nama GURU, yang sering dibilang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, bisakah dibalik pernyataan agar lebih aristokrasi.