Tampilkan postingan dengan label DUNIA SASTRA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DUNIA SASTRA. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 Juni 2019

A.S. LAKSANA

Sayembara Novel dan Upaya memunculkan Insiden dalam Kesastraan Kita


Disampaikan dalam diskusi "Pengaruh Sayembara Novel DKJ dalam Pertumbuhan Sastra Indonesia", diselenggarakan oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta, TIM, Desember 2012

Satu

Membicarakan sayembara novel DKJ dan pertumbuhan sastra Indonesia, saya ingin memandangnya dari dua sudut pandang, yakni kepentingan pembaca dan kepentingan penulis. Saya akan mengawalinya dari sudut pandang seorang pembaca. Ketika memulai petualangan yang semoga berlangsung seumur hidup sebagai pembaca buku, saya memulainya dengan pengetahuan dan informasi seadanya untuk memilih buku-buku apa saja yang perlu dibaca, seperti apa cerita yang baik, dan siapa penulisnya. Dengan penguasaan informasi yang sangat minimun seperti itu, hasil sayembara oleh DKJ adalah salah satu pemandu terpenting untuk menentukan buku apa yang harus dibaca. Informas bahwa novel ini atau itu adalah "pemenang sayembara" menjadi informasi penting sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan, apakah buku tersebut akan saya beli atau saya pinjam dari perpustakaan. Saya tidak kenal siapa Putu Wijaya, Mahbub Junaidi, Sori Siregar, Marianne Katopo, atau Korrie Layun Rampan pada saat itu. Tepatnya, saya tidal kenal siapa pun saat itu. Jadi, saya menyandarkan diri kepada instutusi untuk menjadi pemandu saya.

Kamis, 30 Mei 2019

DEWI LESTARI

Terus Mencoba


Bagian ketiga

" Saat itu yang paling menantang adalah menyelesaikan cerita itu sendiri," kenang Dee soal pengalaman pertamanya dalam menulis. Dee yang sangat menyenangi menulis novel merasa belum memiliki "stamina" dan pengalaman menulis yang cukup ketika itu untuk bisa bertahan hingga mampu menamatkan sebuah cerita. Sampai akhirnya novel pertamanya berhasil diselesaikan. "Kuncinya, terus mencoba. Lama kelamaan pengalaman itu akan terakumulasi sendiri," saran perempuan lulusan Universitas Parahyangan ini.

Soal menentukan target menulis, bagi Dee, sah-sah saja, asalkan realistis. Untuk sebuah karya yang menang dalam perlombaan atau dimuat di media massa-Anda juga harus paham betul karakteristik media massa yang anda tuju-biasanya amat tergantung subjektivitas juri dan kebutuhan redaksi. Selama para penulis pemula punya mental yang cukup kuat terhadap penolakan, boleh-boleh saja pasang target seperti itu, kata Dee. "lebih realistis kalau targetnya adalah menyelesaikan sebuah novel dalam dua bulan, atau mengerjakan cerpen dalam dua minggu, dan seterusnya. Bisa juga diterapkan dalam target membaca," saran Dee.

Selain itu, hal seperti ini mungkin akan terlontar, "Ah, saya tidak punya bakat menulis. Pasti sulit." Ya, bakat menjadi faktor tersendiri. Ada orang-orang yang dilahirkan dengan batin yang peka dan memiliki archetype pencerita, ujar Dee. Mereka biasanya pandai merangkai cerita dengan alami. "Namun, menulis juga merupakan skill dan teknik, yang artinya bisa dipelajari. Semakin jernih dan peka seseorang bisa merasa dan berpikir, semakin mudah mereka dapat mengomunikasikan alam pikirnya. Saya rasa itu modal utama seorang penulis," tutur Dee.

Sumber : Majalah Parenting
Kolom   : Celebrity
Edisi      : Februari 2014
Hal         : 94
Oleh       : Nur Resti Agtadwimawanti

DEWI LESTARI

Berkarya Sambil Mengurus Anak



Bagian dua

Dalam menyiasati tantangan tersebut, ada cerita menarik yang datang dari cuitan Dee dalam akun Twitternya, @deelestari, beberapa waktu lalu. Untuk menyelesaikan karyanya, Dee bahkan sampai menulis sambil menggendong bayinya. "Waktu nulis Supernova:Petir, Keenan sudah lahir. Sekitar 40 Persen buku tersebut saya selesaikan sambil mengasuh Keenan yang masih bayi," Ujarnya. Dee hanya bisa menulis saat Keenan terlelap. Karena masih menyusui, mau tidak mau, kadang-kadang Dee terpaksa mengetik satu tangan sembari sebelah tangannya lagi menggendong Keenan yang sedang menyusu. Tak berakhir dengan Keenan, saat menulis Madre dan Partikel, Atisha juga sudah lahir. Akhirnya Dee baru mulai menulis lagi setelah Atisha berusia satu tahun. "Caranya kurang lebih sama, yakni dengan mencuri waktu sebisanya. Setiap hari, syukurnya, masih dapat satu-dua jam menulis di kamar tanpa diganggu, sementara Atisha main dengan pengasuh atau ayahnya saran," saran Dee.


Karena saya penulis fiksi, tentunya saya menulis berdasarkan imajinasi saya. Dan imajinasi saya didapatkan dari kombinasi, minat, passion, observasi, dan riset.

BUAH PIKIRAN DEE

* Novel Supernova: Kstaria, Putri, dan Bintang Jatuh
* Novel Supernova: Akar
* Kumpulan Prosa dan Puisi: Filosofi Kopi
* Novel Supernova: Petir
* Kumpulan Cerita Rectoverso
* Novel Perahu Kertas
* Kumpulan Cerita Madre
* Novel Supernova: Partikel

DEWI LESTARI

Berkarya Sambil Mengurus Anak


Bagian Satu 

Merampungkan tulisan yang tak sedikit sembari mengurus anak bukanlah perkara yang gampang. Ya, kira-kira begitulah pengalaman Dewi Lestari, penulis yang akrab disapa Dee. Sebelum memiliki anak, ia memegang teguh konsep ideal tentang menulis: bahwa menulis itu harus dilakukan pada malam hari, harus panjang waktunya, tidak terputus, tidak ada gangguan, dan sebagainya. Namun setelah memiliki anak, ia harus menghadapi realitas bahwa konsep ideal tersebut sudah berubah. "kalau saya menunggu kondisi ideal itu hadir, tidak akan ada buku baru yang lahir. Akhirnya saya belajar berdamai," kenang perempuan kelahiran Bandung ini.

Istri Reza Gunawan ini mencoba menulis kapanpun waktu yang bisa dimanfaatkannya. "Kalau dapat sejam ya bersyukur, kalau enggak, menyambung lagi begitu ada kesempatan," cerita Dee. Dari delapan buku yang terbit, ada dua buku yang dia kerjakan sebelum memiliki anak, yakni Supernova 1 dan 2. Enam buku sesudahnya, termasuk Partikel yang lebih dari 500 halaman, dikerjakan setelah memiliki buah hati." Jadi, sebetulnya punya anak bukan sebuah keterbatasan, melainkan tantangan yang bisa disiasati," kata Ibu dari Keenan dan Atisha ini.

Lebih dekat dengan Putu Wijaya

I Gusti Ngurah Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, pada 11 April 1944, sebagai anak ketiga dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Sejak SMP ia menulis cerita pendek yang termuat di suratkabar Suluh Indonesia di Bali. Di tahun 1962, setelah lulus SMA Negeri di Singaraja ( yang kepala sekolahnya adalah Ibu Gedong Bagoes Oka), ia pindah ke Yogyakarta, memasuki Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dan tamat di jurusan perdata, 1969. Di kota itu pula, ia sempat belajar di Akademika Seni Drama dan Film (ASDRAFI) dan Akdemika Seni Rupa Indonesia (ASRI). Ia bergabung dengan bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra, dan terlibat dalam beberapa nomor "minikata" yang terkenal itu.

Pindah ke Jakarta di tahun 1970, Putu Wijaya sempat terlibat dalam pementasan Teater Ketjil (arahan Arifin C.Noer) dan Teater Populer (Teguh Karya). Ia pernah bekerja sebagai redaktur wartawan di majalah Ekspress, Tempo, dan kemudian Zaman. Pada tahun 1971 ia mendirikan kelompoknya teaternya sendiri, Teater Mandiri, dengan konsep "bertolak dari yang ada", dan mengadakan berbagai pertunjukan di Taman Ismail Marzuki dan kemudian Gedung Kesenian Jakarta, untuk melakukan apa yang disebutnya sebagai "teror mental", sampai kini; pentasnya antara lain, Anu, Aduh, Dag-Dig-Dug, Edan, Gerr, Hum-Pim-Pah, Dor, Los, Aum, Zat, Tai, dan Front. Di tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Lowa City, Amerika Serikat. Selama 1985-1988, ia tinggal di negeri itu, antara lain untuk menjadi dosen tamu di University of Wisconsin-Madinson; ia juga mengadakan pementasan di sejumlah kota, misalnya di La Mama Experimental Theater Club, New York.

Putu Wijaya bukan hanya sastrawan, sutradara, dan aktor. Ia juga penulis skenario film, tiga diantaranya memenangkan Piala Citra; ia menulis begitu banyak ulasan seni pertunjukan untuk majalah Tempo. Ia pun menyutradai film layar lebar dan sinetron. Ia sudah menerbitkan 50-an judul buku dari limpahan karyanya yang berupa novel, novelet, cerita pendek, naskah sandiwara, esai dan ulasan. Dan ia masih terus berkarya. Pun ia tetap rajin berpentas bersama Teater Mandiri. Novelnya yang terbaru adalah Putri. yang terbit pada 2004, dalam dua jilid sangat tebal.

PUTU WIJAYA

Bagian Kelima


Putu Wijaya dalam mengerjakan bidangnya lebih rileks dibanding para sastrawan lain. Bila kaum sastrawan berhasrat memurnikan bahasa, dan bila kaum panulis populer hendak memanjakan publik, maka Putu memadukan, juga memparodikan, peran keduanya. Ia mengangkut bahasa jalanan dan segenap derau ke ranah sastra, ia melakukan apa yang disebutnya teror mental kepada publik. Mengarang, bagi penulis yang terlahir dengan nama I Gusti Ngurah Bagus Putu Wijaya ini, adalah melazimkan bahasa bergerak sendiri. Dan gerakan yang bisa seenaknya ini hanya pada tahap tertentu belaka meminta campur tangan si pengarang. (Maka dari tangan Putu lahirlah makna baru sejumlah kata kerja seperti "membetot", "menggebrak", "berkibar", bahkan kata baru seperti "dangdut". ) Ia membiarkan ceritanya terbuka, seakan mengelak dari tata atau struktur, seakan mengalir dan tanpa akhir, agar khalayak mampu menyempurnakan bagaikan milik sendiri.

Dengan kejengahan akan realisme ia telah memperbaharui khazanah sastra Indonesia pada 1970-an dengan sejumlah novel dan naskan sandiwara non-linier, lalu dengan sikap main-main yang radikal ia menjadi pendongeng pascamodern. Fiksi Putu yang anti-struktur-tepatnya, meluruhkan sendiri struktur yang perlahan dibangunnya-adalah perbantahan dengan sikap totaliter atau perayaan akan keagamaan. Barangkali tanpa kiprah Putu, sastra kita tetaplah sastra yang mengerutkan dahi, atau sastra yang melakukan pembaharuan untuk disiplinnya sendiri. Ia telah membuka jalan bagi para sastrawan yang kemudian untuk bersikap terbuka akan berbagai jenis yang selama ini terabaikan oleh seni tinggi. Demikianlah Penghargaan Achmad Bakrie 2007 bidang kesusastraan ini diberikan kepada Putu Wijaya.

PUTU WIJAYA

Bagian Keempat


Penulis kelahiran Tabanan, Bali, 1944 ini tercandera sebagai absurdis atau fabulis, ia segera menunjukkan diri sebagi seorang realis kembali-yakni pemotret situasi sosial yang tanpa ampun-sebagaimana terbukti, misalnya, dalam kumpulan cerita pendeknya Tidak (1998). Kepenulisannya cenderung menyangkal predikat apapun yang dilekatkan kepadanya. Putu bergerak ke pelbagai arah sekaligus, merengkuh sekian banyak corak sastra. Bahasa sasstra bagi Putu bukanlah (sekedar) bahasa tinggi, namun merangkum seluruh ragam bahasa yang mungkin ada. Pada saat sebagian besar sastrawan mengejar kebenaran, Putu sekedar memberikan kebetulan. Ia mampu menampilkan karakter individu yang tebal, namun pada saat yang lain ia hanya menyodorkan sosok samar-samar atau palsu, bukan sekedar gerombolan. Penceritaan Putu bisa menukik kedalaman, bagaikan psikoanalisis, namun bisa juga bermain di permukaan, bagaikan lawakan Srimulat. Menyerap tradisi lisan dari pelbagai khazanah kita, ia memperkaya khazanah sastra absurd dunia dengan konteks Indonesia.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

PUTU WIJAYA

Bagian Ketiga


Cerita pendek Putu Wijaya sering mulai dengan lugas, misalnya dengan fragmen dari kehidupan sehari-hari, tapi dengan segera ia menarik kita ke arah yang mustahil. Ia memberi kita fait accompli, yakni agar kita segera meninggalkan acuan rasional. Inilah misalnya: seorang ayah menemukan bom diranjangnya ketika bangun tidur, dan ia membawa bom itu ke puncak tiang bendera sampai, ia tergantung di sana bertahun-tahun lamanya; seorang lelaki penumpang pewasat lupa mengenakan kepalanya, dan pramugari memberinya kepala yang lain agar ia bisa makan.

Fiksi adalah dusta, sungguh dusta yang nikmat, untuk mengingatkan kita kembali bahwa apa yang bernama realitas tiada lain dari pada tumpukan opini yang telanjur dipercaya sebagai kebenaran. Tiada kontruksi dalam cerita Putu, justru sebaliknya: apa yang sudah diterbina, entah itu tema, motif, suasana, pola, karakter, selalu terbongkar kembali, tergagalkan, tergantikan yang lain, dan begitulah seterusnya. Alur pelbagai cerita pendeknya yang terkumpul dalam, antara lain, Bom (1978), Gres (1982), Blok (1994), dan Yel (1995) tak mengikuti satu garis lurus, melainkan bercabang-cababng, melingkar, bahkan menguli- singkatnya, mengelak untuk stabil.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

Minggu, 07 April 2019

PUTU WIJAYA

Bagian 2


Namun hanya pengarang yang sudah mahir dengan realisme belaka mampu melakukan akrobatika semacam itu. Demikianlah Putu Wijaya. Novelnya Bila Malam Bertambah Malam (yang ditulisnya pada usia 19 tahun, namun baru terbit 1971, dan kelak dijadikannya pula naskah drama) adalah kisah tentang keluarga bangsawan Bali dengan alur yang lurus dan penokohan yang kokoh serta latar belakang yang gamblang. Ketegangan yang terbina dengan baik sepanjang kisah menyembunyikan solusi tak terduga di bagian akhir. Adapun Pabrik (ditulis 1967, terbit 1975) adalah realisme dengan sturuktur yang longgar, dan kelonggaran inilah yang membuat semua peserta konflik menampilkan diri bergantian dengan kejutan masing-masing. Seperti mengejek sikap berpihak yang biasa diamalkan kaum sastrawan kita, Putu mengungkai sisi gelap kaum buruh seraya menelanjangi kaum majikan. Dengan gaya pencitraan yang patah-patah, staccato, justru berhasil menjaga kelancaran cerita.

Naskah drama Putu Wijaya, yang mendasari pentas teaternya, bersitumpu pada situasi dramatik murni, di mana bahasa selalu tak memadai sebagai alat percakapan. Seakan terbangun oleh Improvisasi, naskah drama Putu adalah tarik-menarik antara lisan dan tulisan. Kalimat-kalimat tak berujung pangkal dalam Dag-Dig-Dug (1974) adalah tanda kepikunan suami istri berusia lanjut dengan segenap kesulitan mereka berkomunikasi dengan sekeliling maupun riwayat mereka sendiri. Tokoh-tokoh dalam Aduh (1973) yang hanya disebut "salah seorang", "salah satu" atau "entah siapa" juga menguar tanpa tujuan, hanya supaya peristiwa terselenggara di pentas. Anu (1974) mempermainkan tokoh-tokohnya sendiri, yang pada dasarnya tak mampu menyatakan diri, dengan kata "anu" di sepanjang naskah untuk menyampaikan apa yang terungkapkan. Adapun Edan (1976) adalah penghadap-hadapan dua kelompok yang tak tahu apa yang sesungguhnya mereka kerjakan.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

Kamis, 04 April 2019

Svetlana Alexievich

“ Ini cara saya melihat dunia, melalui suara –suara individual yang berbunya secara bersamaan,” katanya.

Di dalam wawancara dengan Dalkey Archive Press, Alexievich mengungkapkan bisa menghabiskan tiga hingga sepuluh tahun untuk melakukan penelitian sebelum menulis novel. Keahlian sebagai wartawan amat berguna untuk mewancara dan malakukan investigasi sebagai bahan tulisan.

Pada 1983, ia menamatkan novel pertamanya berjudul The Unwomanly Face Of War. Novel itu mengupas kisah satu perempuan Soviet yang terlibat langsung dalam perang dunia II. Meraka berusia 15 hingga 30 tahun dan tidak gentar berada di garis depan peperangan sebagai serdadu, pengemudi tank, bahkan pilot pesawat tempur. Akan tetapi, jasa-jasa para perempuan itu dilupakan begitu perang usai.

“ Kaum laki-laki seenaknya mengubur pengorbanan yang telah dilakukan para perempuan ini,” ujar Alexievich.

Menurut Alexievich, seusai perang, hidup para perempuan itu semakin rumit. Di masa damai, para perempuan harus merahasiakan keterlibatan mereka dalam peperangan agar para lelaki mau menikahi mereka. Ketidakadilan penulisan sejaran inilah yang membuat Alexievich terdorong untuk menceritakan kembali sejarah dari mulut orang-orang yang mengalaminya.

TAK DISUKAI 

Masyarakat Soviet tidak menyukainya. Alexievich dianggap memutarbalikkan fakta dengan menulis bahwa keberhasilan Soviet di Perang Dunia II adalah akibat kontribusi perempuan. Ia dinilai sebagai penulis disiden (yang tidak sepakat dengan pendapat seseorang atau kelompok) dan penentang ideology komuisme.

Anggapan ini tidak membuat Alexievich ketar-ketir dan tetap aktif menulis. Pada 1991, The Boys of Zinc terbit dengan premis pertikaian Timur dan Barat untuk suatu hal yang sia-sia. Judul tersebut diambil dari peti jenazah seng yang membawa pulang jenazah para serdadu muda yang tewas di pertempuran itu.

Presiden Alexander Lukashenko naik pita dan menuduh Alexievich menghina ideology komunis dan militer Soviet. Hidup Alexievich pun mulai diwarnai tuntutan hokum dari pemerintah Belarus. Dua buku menyusul terbit pada 1993 dan 1997,yaitu Enchanted With Dead tentang orang-orang yang bunuh diri akibat runtuhnya Soviet,dan Voice From Chernobyl yang menyuarakan derita para korban bencana ledakan nuklir.

Sejak saat itu, Alexievich dianggap sebagai musuh pemerintah. Kehidupan pribadinya disadap dan diikuti para agen. Ia juga dilarang tampil di acara-acara public. Tahun 2000, International Cities Of Refuge Network menawarkan suaka politik kepada Alexievich sehingga ia pindah ke Paris, Prancis.

Setelah itu, ia berpindah-pindah ke Jerman dan Swedia. Beasiswa penulis menjadi penunjang hidupnya. Pada 2011 meskipun masih ada tekanan dari rezim pemerintahan baru, Alexievich kembali ke Belarus dan terus menulis. Novel terbarunya, Second-hand Time, terbit pada 2013.

Kegigihannya bertahun-tahun untuk menyuarkan mereka yang terbungkam suaranya mengantarkannya pada Nobel Sastra 2015.

“Ini cara saya melihat dunia, melalui suara-suara individual yang berbunyi bersamaan.”

• Karya:
o The Unwomanly Face Of War (1985)
o The Last Witnesses (1985)
o The Boys Of Zinc (1991)
o Enchanted With Death (1994)
o Voices from Chernobyl (1997)
• Penghargaan:
o Nobel Sastra (2015)
o Prix Medicis Essai (2013)
o Peace Prize of The German Book Trade (2013)
o Ryszard kapuciski Award for Litarary Reportage (2011)
o Oxfam Novib/PEN Awar (2007)
o National Book Critic Circle Award (2005)
o HerderPrize (1999)
o Friedrich-Ebert-Stiftung-Preis (1998)
o Leipziger Book Prize on European Understanding (1998)
o Andrei Snyavasky (1997)
o Tuchholsky-Preis (1996)

Penulis: Laraswati Ariadne Anwar
Sumber : Kompas, selasa, 13 Oktober 2015

Sabtu, 30 Maret 2019

SVETLANA ALEXIEVICH

WARTAWAN MAJALAH SASTRA

Alexievich lahir pada 31 Mei 1948 di kota kecil Ivano-Frankovsk, Ukraina. Ayahnya berasal dari Belarus dan ibunya dari Ukraina. Ketika ayah Alexievich pensiun dari militer, keluarga tersebut kembali ke Belarus, tempat Alexievich menamatkan pendidikan menengahnya.

Lulus SMA, ia bekerja sebagai guru di kampung halamannya. Pada 1967, Alexievich diterima di program studi Jurnalisme Universitas Minsk. Selama masa studinya, ia aktif menulis dan sering memenangi penghargaan, baik untuk artikel berita maupun makalah ilmiah. Ketika selesai kuliah, ia pun menjadi wartawan di majalah sastra Neman.

"Pencarian aliran yang paling cocok dalam menyuarakan pemikiran saya bermula pada masa ini. Di sinilah saya berkenalan dengan karya-karya Ales Adamovich, seorang penulis Belarusia, yang amat saya hormati," kata Alexievich di situs pribadinya.

Lewat tulisan-tulisan Adamovich, Alexievich mengenal genre novel kolektif yang juga disebut novel oratorio, yaitu ketika orang-orang bercerita tentang diri mereka masing-masing di dalam kontek suatu peristiwa dan membentuk sebuah sejarah komunal. Menurut Alexievich, aliran ini memungkinkan dia berada sedekat mungkin dengan peristiwa dalam kehidupan nyata dan menjadikannya seorang wartawan, sosiolog, psikolog, dan pengkhotbah pada waktu bersamaan.

Penulis: Laraswati Ariadne Anwar
Sumber : Kompas, selasa, 13 Oktober 2015
Part : 2

Jumat, 29 Maret 2019

SEKILAS TENTANG JULES VERNE

Bernama lengkap Jules Gabriel Verne, lahir di Nanthes, Prancis, pada Februari 1828. Bisa dibilang Verne adalah seorang penulis Pioneer untuk genre fiksi ilmiah. Terbukti, imajinasi Verne amat melampaui zamannya. Novelnya adalah buku fiksi yang paling banyak diterjemahkan sepanjang sejarah selain novel Agatha Christie.

Pada pertengahan abad ke-19, Verne sudah Membayangkan misi luar angkasa ke bulan. Kelilingi dunia dalam 80 hari, yang nyaris mustahil saat itu juga bisa dituliskannya dengan atraktif dan meyakinkan.

Verne juga merupakan penulis yang amat produktif yang tak cuma menulis novel,tetapi puisi, drama, dan esai. Novel Mysterious Island sendiri diterbitkan pada 1874, sepuluh tahun sejak novel A Journey to the Centre of The Earth terbit.

Sumber: Antara Kompas atau Republika. Penulis lupa mencatat.

SVETLANA ALEXIEVICH

Memberi Nafas Sejarah Komunal
" Kau harus melawan gagasan, bukan manusia. Bunuh gagasan yang membuat dunia kita begitu menakutkan dan jahat, tetapi jangan kau ganggu manusianya".

Kalimat itu tertulis di bagian terakhir novel ketiga Svetlana Alexievich (67) yang berjudul "The Boy Of Zinc". Novel berbahasa Rusia yang terbit pada 1991 itu bercerita tentang sepuluh tahun berlangsungnya perang Soviet melawan Afganistan.

Alexievich mengatakan, hingga kini, kisah tersebut masih relevan karena di dunia masih terjadi peperangan yang kejam dan tanpa pengharapan. Akan tetapi, manusia masih berusaha bertahan hidup dan berjuang agar tidak melupakan kemanusiaan mereka.

Alasan itu pula yang membuat Alexievich dinobatkan menjadi pemenang Nobel Sastra 2015, Kamis (8/10). Tulisan-tulisan karyanya dianggap bersifat poliponik, di satu sisi menghadirkan derita orang-orang yang mengalami kehidupan di masa konflik, tetapi di saat bersamaan tetap memberi semangat hidup dan harapan akan masa depan.

" Saya akan menelepon Svetlana untuk memberi tahu bahwa ia memenangi Nobel Sastra. Jawabannya hanya satu kata 'fantastik'," tutur Sketaris Permanen Akademi Swedia Sara Danius setelah mengumumkan bahwaa Alexievich mengalahkan Haruki Murakami (Jepang), Laszlo Krasznahorkai (Hongaria), Ko Un (Korea Selatan), Ngugi wa Thionglo (Kenya), serta Philip Roth dan Joyce Carol (Amerika Serikat). Para pengamat sastra menganggap bahwa Alexievich memang pantas mendapatkan Nobel Sastra setelah setahun lalu ia dikalahkan oleh Novelis Perancis, Patrick Modiano.

Penulis: Laraswati Ariadne Anwar
Sumber : Kompas, selasa, 13 Oktober 2015
Part : 1

Rabu, 27 Maret 2019

PUTU WIJAYA

Bagian 1

Putu Wijaya adalah tegangan yang tak pernah berhenti. Selama lebih dari empat dasawarsa karirnya, ia terus-menerus menantang khazanah sastra Indonesia maupun dirinya-tepatnya, kepenulisannya-sendiri. Ia bisa berdiri di titik avant garde, seraya gemar menyerap budaya massa; ia berlaku sebagai pembaharu, tapi kerap bergerak ke belakang, menggali-gali warisan moyang; ia berkubang di lingkaran sastra untuk membuktikan bahwa sastra selalu tak memadai. Ia menggunakan tulisan untuk menangkap kelisanan. Ia adalah pengarang dalam arti sebenar-benarnya: setiap saat ia mengarang, membuat segala (kalau bukan semua) hal ikhwal di dunia ini menjadi cerita, seakan tiada lagi beda antara yang nyata dan yang tiada.

Kompleks kekaryaan Putu Wijaya-tak kurang dari 20 novel, 27 naskah sandiwara, 11 kumpulan cerita pendek, juga ratusan esai dan ulasan-menyatakan bukan hanya produktivitas yang tinggi dan tak tertandingi, namun juga semacam mekanika penulisan. Bila setiap benda tersentuh Raja Midas menjadi emas, maka taka da peristiwa di dunia ini yang tak menjadi fiksi di tangan Putu Wijaya. Dengan spontanitas sebagai semacam metode, Putu seakan membiarkan diri dikerjai bahasa, dan demikianlah ia selalu mampu meragukan apa yang telanjur bernama realitas. Melalui Putu, fiksi adalah alternative terhadap gambaran dunia yang telah lelah oleh birokrasi dan komunikasi massa.

Dengan novelnya seperti Telegram (1973) dan Stasiun (1977), Putu membuktikan bahwa sastra kita sudah terlalu jauh tenggelam ke dalam realism. Dengan melecehkan alur penokohan, ia memotret jiwa atau ke (tidak) sadaran pada si pelaku. Pemandangan yang terlihat adalah campur baur antara kenyataan objektif dan imajinasi pelaku, dan hampir-hampir kita tidak mamu membedakan keduanya. Demikian kesatuan cerita dihancurkan: peristiwa tidak terpapar dalam hubungan sebab akibat. Perjalanan tokoh utama hanya diikat oleh motif yang menjadi judul buku, yakni terlegram dan stasiun. Jika fragmen-fragmen bergerak terlalu liar, pengarah segera meredamnya ke suasana yang mirip puisi; atau kika pelukisan terasa kelam memberatkan, Ia memberi memberikan lanturan atau sema, ironi.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007 

Jumat, 22 Maret 2019

Proses Kreatif Menulis TERE LIYE

Bagian 2

Selain BANYAK MEMBACA, yang perlu dilakukan oleh seorang penulis adalah BANYAK MELAKUKAN PERJALANAN. Dalam perjalanan atau petualangan ada begitu sisi positif untuk mengumpulkan informasi visual atau non visual, yang nantinya akan menjadi amunisi untuk memperkaya pengetahuan tentang novel yang ingin ditulis.

Selain itu seorang penulis juga perlu MENDENGAR ORANG-ORANG BIJAK di sekitar kita. Kata-kata bijak tidak mesti diperoleh dari seorang Profesor, Guru Besar, atau yang lainnya. Tetapi kita bertanya dari salah seorang bapak penjual bakso misalnya yang telah menjual baksonya selama 45 tahun. Tentang kecintaan terhadap dunia bakso. Itu menakjubkan. 

3. KALIMAT PERTAMA MUDAH, GAYA BAHASA ADALAH KEBIASAAN, MENYELESAIKAN LEBIH MUDAH LAGI.

Bang Tere pernah bercerita tentang solusi kepada seorang mahasiswi dari Jogja yang menempuh perjalanan ke Purwokerto (UNSUD) beberapa jam lamanya. Mahasiswa itu bertanya: " Bang Tere, saya sudah menyelesaikan tiga bab dalam penulisan novel, namun saya kesulitan untuk menyelesaikan bab terakhir alias bab 4. Bagaimana caranya."

" Solusinya gampang sekali, mau tahu?."

Tentu mahasiswi itu berbinar-binar wajahnya.

" Tuliskan kata TAMAT, mudah sekali bukan?

Untuk meredam kekecewaan mahasiswi itu, Bang Tere bercerita kalau Novel Hafalan Sholat Delisa adalah novel yang "kebingungan" untuk saya selesaikan. Dari pada bingung tidak jelas, maka saya tuliskan kata TAMAT saja. Novel itu ternyata Best Seller dan difilmkan dengan penonton membludak. "Artinya selesaikan novel dengan cara yang terbaik."

4. LATIHAN, LATIHAN, DAN LATIHAN.

Maka anda akan menjadi penulis yang baik, enak dibaca, dan mahir dalam penokohan.

Minggu, 03 Maret 2019

Proses Kreatif Menulis TERE LIYE

Cara berpikir Tere Liye tentang menulis. Penulis dapatkan ketika mengikuti kegiatan literasi yang diadakan oleh Sekolahalam Tangerang pada tanggal 15 Mei 2016 dengan kesimpulan yang menurut penulis adalah sebagai berikut: CARA MENULIS NOVEL YANG SPESIAL.

1. Bagi bang Tere menulis dapat dituangkan ide-idenya dalam bentuk apapun. Menurutnya mengawali menulis dapat disusun dengan TOPIK BISA APA SAJA, TETAPI PENULIS YANG BAIK PUNYA SUDUT PANDANG YANG SPESIAL. Spesial dapat diartikan dengan tidak lazim, orang tidak menyangka akan pesan yang kuat, dan berbeda dari kebanyakan orang.

Bang Tere memiliki catatan penting untuk hal ini yaitu:

Tidak semua orang yang bisa menulis, bisa menjadi penulis. Maksudnya bisa saja menulis 2-3 halaman, tetapi menulis sampai ribuan halaman adalah hal yang spesial.

Kuncinya adalah LAKUKANLAH RISET.
ANDREA HIRATA bisa menulis Novel Laskar Pelangi selama dua pekan, karena sebelumnya telah melakukan riset yang lama dan mendalam.
TERE LIYE melakukan riset yang mendalam untuk meneliti tentang perjalanan haji tahun 1938, Bang Tere melakukan riset yang serius untuk Novel Rindu.

RISET bisa dilakukan dengan proses mengumpulkan informasi sebanyak dan seakurat mungkin.

2. Selanjutnya bang Tere dengan semangat mengatakan bahwa, Penulis yang baik membutuhkan amunisi, tidak punya amunisi tidak bisa menulis. Amunisi dapat dicari dan ditemukan melalui beberapa cara salah duanya adalah: BANYAK MEMBACA, karena dalam proses membaca ada proses pengendapan informasi. (berhenti membaca...lalu membaca lagi dan seterusnya)

BERSAMBUNG

Jumat, 21 Desember 2012

Aku dan Gola Gong

Penulis nyentrik ini telah membuat dunia novel menjadi lebih berwarna. setidaknya Novel Balada Si Roy adalah ungkapan dirinya terhadapa gejolak sosial yang telah mencederai nurani bangsa.

Dalam acara Radio Show di TV One 29 Februari 2012 Gola Gong memberi petuah dengan cukup ringkas dan di mengerti oleh ku sebagai penulis pemula. menurutnya ada empat aktivitas yang harus di miliki oleh penulis awal ataupun yang sudah profesioanal.

1. Mendengar.

Seorang penulis harus bisa membukakan telinga yang ada terhadap informasi yang di berikan, menangkap sekaligus menganilisnya. aktivitas mendengar tidak banyak membutuhkan energi. hanya kemampuan siap membuka diri adalah kunci sukses tidaknya mendengarkan. selain itu mendengarkan isi dari pesan dan kesan dari buku/novek yang kita baca. aktivitas mendengar tidak hanya dari telinga, tapi mendengarkan lewat bahasa pengarang adalah hal lain yang harus di kuasai.

2. Berbicara.

Aktivitas berbicara tidak hanya melulu soal kemampuan mengolah diksi-diksi dalam kalimat. tapi berbicara melalui bahasa tulisan sastra adalah kemampuan mengolah setelah mendengar dari berbicara. kemampuan berbicara sastra dalam olah diksi menjadi kalimat adalah kemampuan level tertentu. tentunya kalimat sastra. menurut saya diksi akan melahirkan efek berbicara yang dahsyat tak kalah dahsyatnya dengan berbicara melalui lisan. efeknya sama-sama luar biasa.

3. Membaca.

Apa yang kamu baca, itulah yang akan kamu tulis. nasihat seperti ini kerap muncul dalam buku2 panduan menulis. tapi menurut saya kalimat itu mempunyai pemaknaan yang luas. yang kita baca tidak melulu dari berbagai genre buku ataupun novel. seperti kang Gola Gong membaca dari dunia petualangan yang ia sukai. ataupun pengalaman anda sendiri: membaca dari peristiwa yang sedang terjadi, baik itu terkait sosial, budaya, hukum, politik, dan lainnya. membaca yang kasat memang terkadang mudah, seperti tulisan diatas buku. tetapi membaca pesan sebuah tuliasn adalah kemampuan lain yang mesti di miliki. apalagi bisa menyelami isi tulisan dari membaca yang tidak hanya memakai logika berpikir, tetapi juga memakai logika emosional-spiritual. dari membaca semua dimensi, kita mempunyai endapan informasi yang lebih banyak.

4. Menulis.

Aku sangat berterima kasih pada Guru Bahasa Indonesia yang telah mengajarkan kepadaku bagaimana membuat sebuah tulisan. menulias adalah perpaduan kemampuan imajinasi dan pilihan bahasa. menurutku menulis merupakan aktivitas yang tidak hanya melulu pada seputar eksprsi dan kenyataan. tetapi dari menulis kita mempunyai tanggung jawab terhadap sebuah peradaban. maka dari itu, antara guru dan penulis adalah hal yang tidak bisa di pisahkan satu sama lain. karena 2 faktor yang dapat merubah sebuah peradaban adalah dengan menjadi seorang Guru dan seorang penulis. tentunya tidak melupakan dari faktor lain yang bertebaran di muka bumi.

sekian dan terimakasih. cat: aku menuliskan poin dari Gola Gong dengan versi Tude San, sebagai nama pena.