BABAK 7
Lagi-lagi kebebasan ekspresi kembali menemukan rivalnya. Rival itu bernama keraguan untuk melindungi kebenaran sekaligus mengayomi. Lahir kemudian yang kita sebut sebagai kedangkalan menyerap aspirasi. Hingga membuat seorang guru memilih menaikan bendera setengah tiang atas lde demokrasi yang terpancung di para pendengki. Hingga nasihat di antara lirik lagu menjadi sangat meresahkan di telinga para pemangku.
Itu lagu hasil ekspresi yang paling dalam, bersumber dari endapan bertahun-tahun yang mampu menggetarkan kebenaran yang telah dicuri marwahnya dan memenjarakannya dalam bilik arogansi.
Gaungnya mendadak tenggelam dan menarik dari pergaulan tangga musik lainnya. Pemirsa dipaksa mafhum dibumbui rasa bangga bercitarasa. Outputnya mereka lebih pintar dari yang dibayangkan terhadap tipu-tipu penguasa.
Kritik yang dilancarkan lewat karya seni (lagu) mendapat sambutan hangat dari pemirsa jagat raya. Sesungguhnya mereka mencintai apa yang mereka kritik. Agar nantinya bisa dibenahi sesegera mungkin.
Pernyataan yang dilontarkan lewat lagu berisi benahi institusi tertentu mengindikasikan ada nilai demokrasi yang hendak diselundupkan kepada lembaga yang bernama rakyat bersenjata. Mestinya ditanggapi dengan kepala dingin. Tak gegabah. Lewat mereka ini karya seni dapat dilindungi dengan tepat. Sebagaimana semboyan mereka yang sudah lama kami baca. Semboyan mengayomi mestilah menjadi satu prasasti (nurani) yang dijunjung tinggi, tanpa meminta jasa sepeserpun.
Pernyataan publik itu terus menjadi pernyataan opini di hati masyarakat. Meski diberhentikan kasusnya, faktanya akan terus berjalan, sampai kapanpun. Apalagi tersiar sang guru sudah meminta maaf secara (siaran langsung) tanpa diberi waktu untuk bermusyawarah dengan tim etika barang seminggu atau dua minggu. Padahal mereka sudah memenangkan hati rakyat lewat karya seni yang sedang mereka lukiskan kedalam sanubari masyarkat yang terus di coreng oleh ketaksetiaan mereka pada amanah institusi dibawah sumpah kitabnya mereka masing-masing.
Lalu pada saat berikutnya mereka diminta untuk menghadap pada sang ketua untuk menerima keputusan untuk diberhentikan atas dasar yang membuat isi kepala netijen pusing. Keputusan sang ketua, yang kebetulan mendadak telah menggemparkan jagad mayapada dan dunia para pendengung yang sepertinya ikut terhenyak pada pukulan pertama.
Pada saat bincang-bincang yang disaksikan jutaan pemirsa, sang ketua tetap teguh bahwa kata pecat tak pas, yang tepat adalah diberhentikan sementara dari aktivitas mengajar. Kalau dipecat berarti tidak mengajar dan berhenti dari guru. Begitu kira-kira tafsir sederhananya.
Coba simak lagi kata PECAT di KBBI. Pecat bermakna melepaskan (dari jabatan) memberhentikan (dari kumpulan dsb). Mengeluarkan (dari sekolah dsb). Memutuskan dari pekerjaan ( Jabtan dsb, untuk sementara waktu). Mengabaikan; tidak mengindahkan. Mungkin sang ketua memanggil kembali ingatan tentang kata pecat, ia lebih memilih kata diberhentikan. Meski kepentingannya sama, tetapi terlihat ada faktor feodal yang sedang dipertontonkan. Atau ia sedang mengkebiri sebuah kata.
Meski begitu lagu itu tetap ada meski konon sudah ditarik oleh si empu. Tetapi dengar-dengar lagu itu tengah dinyanyikan secara heroik oleh para pencinta democratic value. Itu menandakan kewarasan sedang menjadi trending topik di seluruh dunia. Tanpa memandang ras dan golongan, juga agama. Bila isinya tentang kebenaran absolut maka penolongnya bisa siapa saja, meski tak dikenal.
Seorang netijen berujar dengan percaya diri. "Jika guru dibungkam kekritisannya, maka murid kehilangan kepekaannya, katanya guru harus kreatif tetapi hari ini guru dikekang 'kebebasannya' lalu bagaimana menyelundupkan democratic value? jika mengkritik saja dilarang sebagai sarana dialog antar individu, lembaga, bahkan negara. Hak dasar yang melekat pada dirinya telah dipasung oleh tangan kotor. Padahal hak itu tersebut tidak diberikan oleh penguasa tetapi dari Tuhan. Tugas penguasa hanya memelihara. Kira-kira begitu cara berpikirnya.
Jika kebenaran terus saja disembunyikan, maka ada banyak orang yang terus berbohong, karena kebenaran tak mendapat banyak tempat, kebenaran itu harus lari kemana? ke selokan, ia memiliki tempat tersendiri meski itu sunyi dan melelahkan.
Jika guru itu menyanyikan lagu dangdut mungkin lain hal ceritanya. Isinya tentang perjuangan cinta dan seterusnya, sesuatu yang terus diulang-ulang-klise. Efeknya tak sampai mengoyak sebuah citra. Meski mereka sendiri yang terus saja merusaknya. Yang melakukan beberapa orang satu institusi bisa menerima akibatnya. Guru ya...mengajar di kelas, bawa buku paket, menyuruh membuka halaman berapa pada siswa, menyalinnya, tanpa memberikan elaborasi apa-apa, itu sangat menyedihkan. Mereka ini telah melanggar arti guru itu sendiri; mencerdaskan bangsa, karena mereka generasi yang akan menanggung beban bangsa ini. Bila modal inteleknya rendah, bisa pontang-panting bangsa ini.
Apakah guru itu bisa kembali mengajar? itu pertanyaan semua orang yang mengabdikan diri sebagai guru. Jawabannya, masih bisa asal mau melakukan komitmen ulang dan selalu mematuhi kode etik yang sudah ditanda tangani. Pertanyaan lain bisa menyusul, komitmen ulang macam mana lagi yang harus dituliskan untuk guru yang punya kecerdasan tertentu, katakanlah daya ungkap terhadap realita. Kalian yag mesti banyak belajar pada guru ini, kata-katanya menghujam langsung menohok pada ulu sasaran. Isi lagu itu menyiratkan nilai demokrasi yang sedang ditancapkan ulang dengan mendidik siswa di seluruh dunia.
Tak ada yang keliru secara visi pribadi, mungkin ada yang dilanggar bisa jadi, misalnya kode etik sekolah, tetapi yang mana. Apakah sudah ada dalam SPK ketika ia melamar di sekolah tersebut. Menjawab dengan normatif memang gampang, tetapi membuktikan dibagian mana adalah kesulitan lain yang sedang dialami oleh sang ketua. Itu masalahnya. Ia juga seorang pendidik, mestilah bisa mengolah ngalih, memilah milih mana yang perlu diungkap dan mana yang tidak. Jika sang guru mabok didepan kelas sambil petantang petenteng mencari masa itu jelas kode etik yang sah dilanggar. Guru itu keluar dari garis perjuangan seorang guru. Guru itu telah meredupkan api tekad seorang guru. Juga memudarkan nila-nilai demokrasi. Yang sedang terjadi sekarang ini adalah guru itu memantik kembali API TEKAD SEORANG GURU, dimanapun guru itu mengajar dan berdomisili.
Mengendapkan lalu menata ulang didikan sesuai porsi adalah cara lain untuk memaknai setiap kejadian yang timbul satu saat nanti. Tidak mudah reaktif dan gebyah uyah=menyamaratakan atas semua kejadian. Sebagai kritik, itu ujaran cinta bukan kebencian pada institusi tertentu. Sebagai aksi panggung mesti dibenahi agar unsur yang dibilang sang ketua adalah 'aurat' diterima sabagai orang berakal. Itu masukan yang baik, karena memang wanita dalam islam mestilah berhati-hati dan tidak terlibat dalam hal yang berlebihan. Misalnya bagaimana cara ia berpakaian dan meliukkan tubuhnya secara spontan. Dalam banyak hal, akhlak adalah respon spontan terhadap sesuatu, cara berpakaian mestilah diperhatikan sebagai ras tertinggi di muka bumi.
Tanpa diminta menjadi utusan (duta), sang guru sudah nyata melakukan aksi melanggengkan kebenaran tanpa perlu amplop tebal sebelum melakukannya. Menciptakan sebuah lagu berisi pedoman agar nilai demokrasi tetap berjalan ditengah sengkarut wajah kebenaran yang terus terlilit persoalan kejujuran. Kejujuran mesti bergerak dari wilayah akademis pada area tindakan elegan. Siapa yang melakukan, tentu saja semua orang yang merasa memiliki jiwa pendidik di manapun berada.
Salah satu pintu untuk melaluinya recalling. Recalling adalah produk sensor pribadi atas semua yang terjadi. Ini semua akan berlalu, tetapi jejak dialektika terus saja membekas pada raga negeri ini sebagai bagian dari memberi nasihat. Terus berkarya dan menampilkan produk budaya bertutur lewat lagu pengejar logika dan penyeimbangkan budipekerkti seperti yang telah diajarkan oleh banyak guru di seluruh dunia lewat kelas kecil dan besar. Tanpa mengurangi rasa hormat, kami ucapkan terimakasih. Hormat Guru Sebagai Pelita Dalam Kegelapan.
0 Comments:
Posting Komentar