Rabu, 07 Januari 2015

GADIS MERAH SAGA

19

“ Marko!, selama ini keberadaanku kau anggap sebagai apa hah!, setiap surat yang ku kirim tak pernah kau balas. Dasar egois tak pernah memikirkan perasaan orang lain. Aku sayang dan cinta sama kamu Marko?” Farah berkata keras, Ibu Kinarsih terpaksa menghamiri mereka bertiga.

“ Maaf Farah, saya tidak bisa menerima semua kebaikanmu dan cintamu.” Aku sekali lagi menolak. Menurutku saat inilah waktu yang tempat untuk berkata terus terang supaya tidak ada pihak yang tersakiti.

Melihat Ibu Kinarsih menghampiri Farah, tak membuat kejengkelan hatinya berangsur turun dan mereda. Tapi kesempatan ini di gunakan oleh Farah untuk melampiaskan kekesalannya. Watak aslinya sekarang benar-benar tampak nyata.

“Apa karena gadis dari Kaligondang itu, hingga kamu mengabaikan perasaanku. Kalian sudah miskin tapi sombong!”. Farah menatap Marko dengan kebencian yang mendalam, tatapan matanya beralih kepada Ibu Kinarsih dan Tiky. Tiky beringsut berlindung di balik badan kekar kakaknya. Sementara Ibu Kinarsih diam tergugu dalam kesedihan, air matanya mulai meleleh membasahi pipinya yang mulai berkerut.

“ Cukup Farah, ku harap kamu segera pergi dari sini!” kata-kataku tegas dan menutup pintunya degan keras. Ia tak peduli dengan perasaan Farah sekarang. Aku langsung memeluk Ibu yang tampak sedih dan terpukul. Tiky juga larut dalam kesedihan. “O Allah, kuatkan hati kami Ya Allah.” Ibu Kinarsih berkata lirih.

GADIS MERAH SAGA

18

Malam ini hujan turun deras menghujam ke bumi. Aku sulit memejamkan mata, pikiranku terus tertuju kepada Nara. Aku sengaja ingin tidur lebih awal dan tidak gabung makan malam bersama kedua adikku. Aku tidak bisa membayangkan Nara yang tergolek sendirian tanpa teman dan makanan yang cukup, suasana dingin akibat hujan itu tak bisa memadamkan kegundahanku.

Di balik hujan yang deras di luar sana seorang gadis bernama Farah Amalia sedang meneroboas hujan dengan senter di tangannya. Dengan memakai payung ia menapaki jalanan yang becek dan berlumpur, malam ini hujan turun dengan deras mengguyur desa Kesamen yang damai.

Hatinya sedang gundah gelisah mendengar laki-laki pujaannya akan nikah pekan depan, “apakah Ibu Kinarsih sedang buta mata hatinya hingga ia tega membiarkan diriku dalam keputusa asaan karena tak di anggap sama sekali”. Gerutu Farah dalam Hati sambil terus berjalan menuju rumah Marko.

Farah sengaja tak memakai sendal, karena menurutnya akan mengambat perjalanan. Ia membiarkan kakinya bermain dengan lumpur yang original jauh dari polusi. Hatinya sedang dongkol bukan main, merasa tersisihkan dari persaingan, atau kalah sebelum perang. Tapi di saat itu juga, bibirnya yang tipis menyunggikan senyum kelicikan yang mendarah daging. Sejarah mencatat bahwa orang-orang yang hatinya di penuhi dengan dendam kesumat tidak akan membiarkan orang baik hidup dalam ketenangan dan kedamaian.

Sampai saat ini perjuangan untuk mendapatkan cinta dari Marko belum terkabul. Tapi Farah menolak patah, sebelum janur kuning melengkung ia masih bisa mendapatkan cinta Marko. Sudah puluhan kali Farah menyatakan perasaannya kepada Marko, tapi di saat itu pula hanya penolakan yang menyakitkan yang ia dapatkan. Malam ini adalah titik jenuh di mana rasa sakit hatinya sudah memuncak karena ambisi pribadi belum tercapai, menaklukkan hati Marko.

GADIS MERAH SAGA

17

Setelah melewati jembatan bambu panjang. Aku dan adikku sampai di halaman rumah. Di sana dua orang yang aku kenal sudah menungguku dengan wajah cemas. Makin dekat aku menghampirinya makin menyadari betapa peliknya masalah yang sedang ku hadapi. Ibuku langsung memelukku dengan erat lalu mengajak Bu Bar bersama Tiky ke dalam rumah. Berita di penjaranya calon Istriku itu membuat hampir-hampir meruntuhkan peratahananku sebagai seorang lelaki sejati.

“Nak Marko, Apakah ada jalan keluar untuk membebaskan Nara dari penjara?. Ibu Kinarsih bertanya.

“Aku belum tahu Bu. Karena aku sendiri kurang paham tentang hukum dan penjara. Mungkin nanti malam aku akan bertanya ke Pak Lurah Kaligondang. Dari sana mudah-mudahan ada jalan petunjuk.”

Sementara Ibuku memandangi wajahku dengan cemas. Apakah Ibuku punya firasat tentang masa depan anak-anaknya. Atau malah ia sedang membayangkan membawa kunci gembok ruang tahanan dan membawa kabur calon menantunya lewat pintu rahasia.

Aku menepis khayalan tersebut dengan menyadari hidup bukan tawar menawar soal pengalaman hidup tetapi lebih kepada cara kita menyikapi hidup dengan pikiran dan logika sehat.