Sebutkan saja sebagai perumpamaan. Seorang guru yang di dalam nalarnya menilai sesuatu adalah bisa diubah sesuai kehendaknya. Diduga ia akan memberikan penilaian semudah menoleh, tanpa pernah kalkulasi rekam jejak seseorang yang telah dinilainya. Ujungnya guru telah mendapatkan framing tertentu akan terus melekat, meski ia telah mencoba memperbaikinya.
Apalagi kepentingan bawahannya bisa menjadi hal yang merepotkan. Ketika hal-hal yang sudah disepakati sebagai suatu kebijakan, pada saat nantinya bisa diterabas tanpa memandang hasil kesepakatan. Musyawarah dianggapnya sebagai sesuatu bisa diobrak-abrik semaunya. Analisisnya sederhana, bisa saja ia kenal dekat pengampu kebijakan, dekat secara afiliasinya sama, dekat karena soal feminimnya sama. Pada saat yang sama ia sedang menunjukkan ketidakpatuhan pada soal-soal organisasi. Semuanya bisa dipatahkan dengan diskusi kecil yang menohok. Apalagi ia mengenali betul bagaimana warna pengampu kebijakan.
Orang-orang di dekatnya bisa saja tak mampu mengakali bagaimana menghentikannya, tetapi ia, si guru yang selalu potong kompas tak bisa menghindari dari pada penilaian-penilaian. Bahkan secara nyata ia sedang memahat dirinya untuk jadi patung arogansi. Merasa sudah lama, merasa punya investasi dedikasi hingga mudah untuk mematahkan apapun yang dinilainya tak sepadan untuk dirinya. Yang parah, ia melakukan hasil mulut-mulut yang di antara giginya tidak ada jaronya. Mungkin ia memenangkan setiap pertarungan kebijakan yang sudah tertulis, tetapi ada banyak mata yang tajam yang selalu mengawasi bagaimana ia punya selera menolak. Bukan untuk memberikan vonis ghibah, tetapi untuk mencegah agar pikirannya tetap pada pengabdian seorang guru dan api tekadnya.
Sebagai salah satu penentu peradaban penjaga dignity mestinya mendapat tempat tertinggi dari dirinya, yakni seorang guru. Agar jalan murid-muridnya tak pernah gamang melangkah. Pikirannya jernih menyegarkan. Harapannya tinggi memuncak. Dan seterusnya. Dengan cara ini guru sedang memotret dirinya tanpa memikirkan bayangannya. Pada saat nantinya murid melampaui bayangan sang guru, sang guru tunduk sujud mencium bumi. Lalu mereka akan memodelkan para pembawa pelita sebagai gambaran utuh tempat mereka bercermin.
0 Comments:
Posting Komentar