Senin, 31 Maret 2025

KEBANGGAAN SEORANG GURU

BABAK 21
Akan tiba masanya seorang siswa berkembang dengan fitrahnya masing-masing. Pertemuan-pertemuan pertama di hari pertama bersama seorang wali kelas yang berbeda dari sebelumnya. Tentulah membutuhkan proses yang tidak mudah. Tidak hanya penjajakan antara siswa dengan wali kelas barunya, wali kelas juga membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan siswa-siwa yang 'baru'. Pendekatan yang baru, metode pendekatannnya juga berbeda, semua kemampuannya bakal diuji dengan kelas baru dan anak-anak baru.

Bulan-bulan pertama tentu saja menguras energi, waktu, pendekatan, strategi, dan kemampuan analitik dan sintetik. Dari sekian anak yang diampunya ada saja yang membuat guru itu mengeluarkan jurus-jurus yang di simpannya lama. Anak-anak itu menyimpan energi yang lebih dibanding anak-anak lainnya. Dari 8 jam yang mereka lalui, ada jam-jam tertentu yang mereka isi dengan kegiatan di luar jadwal. Salah satu yang mereka geluti adalah saling menjajal kekuatan fisik dan menguji mental. Berantem, saling meledek, kadang memaki dengan selipan nama-nama kebun binatang.

Seperti hari itu ketiga anak terlibat perkelahian di dalam kelas. Di masa-masa transisi pelajaran. Wali kelas yang mendengarnya langsung menuju kelas dan mendisiplinkan mereka bertiga. Mereka mengeluarkan jurus juga setelah sang wali kelas mendisiplinkan mereka dengan cara memberi pijakan kuat akan aturan-aturan kelas. Salah satunya menangis untuk memberi tekanan kepada wali kelas agar tidak memberikan konsekuensi (meski dalam bentuk untuk tidak mengulangi lagi). Bulan-bulan awal wali kelas seringkali memberi pijakan tentang aturan-aturan kelas agar bertanggung jawab terhadap aturan yang telah disepakati.

Koreksi diri dari rupanya tidak langsung berubah bim sala bim. Pada bulan-bulan berikutnya mereka terlibat percekcokan, saling memaki, dan membuat tidak nyaman di kelasnya. Hasilnya mereka mendapat lebih banyak 'diskusi' dengan wali kelas agar lebih tertib dan bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dilakukannya.

Butuh waktu lama untuk membuat mereka bisa bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu. Hanya melakukan sesuatu yang sederhan saja mereka butuh proses. Bukan tak mau. Belum ada kesadaran yang terbukan secara ihlas. Jadi wali kelas terus saja memberi ketegasan-ketegasan khusus agar mereka terbuka dengan pikiran mereka sendiri. Agar mereka melakukan sesuatu atas dasar kepahaman bukan keterpaksaan. Meski itu tidak mudah, jungkir balik katakanlah seperti itu. Apalagi sang wali kelas menerapkan disiplin yang unik. Tiga orang melakukan hal diluar kegiatan sekolah, yang lain juga kena getahnya, istilahnya begitu. Sejak saat itu komitmen mulai terbangun, meski tertatih. Wali kelas menyimpan energi berlimpah untuk menjadikan mereka menemukan apa arti kepahaman.

Lambat laun setelah komitmen terbangun, ikatan mulai terjalin. Dari fitrah yang hakiki muncullah kebeningan etika. Yang tadinya perlu mengorek-ngorek kesalahan agar bisa memperbaiki pijakan, jadinya memiliki kemampuan untuk mengakui kesalahan. Dari yang miskin untuk memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan, jadi mudah memutuskan sesuatu tanpa kata; TERSERAH. Dari membenci wali kelas karena peraturan yang tak boleh di otak atik menjadi respek pada setiap putasan. Dari yang sulit mengungkapkan sesuatu menjadi berani diskusi lengkap dengan arahan yang gembira dari wali kelas. Ditambah senda gurau yang renyah sesuai situasi dan kondisi.

Pada saat pembagian perkembangan raport, sang wali kelas menceritakan semua itu dengan rasa bangga terlihat dari setiap senyuman yang tersungging dari tiap kalimat. Wali kelas meminta bantuan agar menjaga konsisten itu agar nanti kelak bisa menjadi pegangan yang sejati. Satu lagi, kata wali kelas: Dukung pilihan yang menurutnya terbaik, agar ia bisa menjalankan dengan semangat, Terimakasih.

Cekap semanten.

0 Comments:

Posting Komentar