Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Januari 2025

API TEKAD SEORANG GURU

BABAK 4

Dalam Diorama Guru (Magang) sebagai Sang Penjaga

Close Reading (pembacaan dekat) atas nama pengabdian dan api tekad seorang guru. Bagaimana pendidik mengekstrasi karakter dalam setiap individu dan subyek hukum lainnya, misalnya pedagogi, psikologi, dan seterusnya. Nantinya diharapkan ada siswa-mahasiswa yang akalnya diisi oleh pengetahuan, raganya diisi oleh kekuatan, dan ruhaninya diisi keimanan. Ini selaras pendidikan yang diinisiasi oleh Nabi Muhammad Sollohualaihi wasallam kepada para sahabat sebagai murid-murid terbaik abad kejayaan islam. Kejayaan seperti itulah yang perlu dikekalkan sampai bertemu lagi dengan beliau, Nabi Muhammad Saw.

Api tekad menjadi guru magang di sebuah sekolah bukan perkara mudah, diabaikan, ditelantarkan begitu saja. Mesti ada pilihan kepribadian yang hendak dimunculkan, bukan untuk gagah-gagahan, tetapi lebih kepada perayaan atas pencapaian atas sebuah nilai, yaitu pengabdian terhadap sebuah nilai itu sendiri (misi). Jalannya kadang rumpang, tetapi sesungguhnya ia hendak menampilkan satu elitis yang tidak hanya bermain pada wilayah benefit semata. Ia longgarkan mencapai titik pada wilayah sensori yang tak terhingga. Dengan kata lain, tidak mudah mlempen pada reaksi-reksi tertentu yang berangkat dari wilayah personal yang kadarnya terlalu rendah. Guru magang menindaklanjuti dirinya mencapi titik klimaks pada nuansa rigid hingga tak mudah disusupi oleh persoalan-persoalan yang rendah visionernya, sebut saja praduga-praduga, asumsi-asumsi, dan segenap reputasi yang dibangun dari segenap ketidaksukaan pada indvidu. Ini menyedihkan.

Kepemimpinan seorang kepala yang pemimpin bisa memberikan satu alasan penting pada guru magang. Ketika menjadi guru magang di sebuah sekolah baru mendatangkan ketercapaian pada kesadaran akan predikatnya sebagai seorang guru, pendidik, pengajar, mentor, fasiltator, pendampingn dan seterusnya. Kata-katanya mungkin sudah diucapkan berulang kali oleh pendidik yang bertebaran di bumi pertiwi ini. Sedapat mungkin lahir dan bisa memaknai dengan cara lain, memperbaharui apa-apa yang usang dan mengokohkan apa-apa yang sudah jalur pendampingan. Tidak bermaksud untuk melengkapi keinginan guru magang, setidaknya bisa meredam egosentris yang siap menyapu siapa saja kapan saja.

Diorama seorang guru magang dibangun berdasarkan pengalam sebelumnya. Ia dengan sadar melihat tempat magangnya dengan latar belakang penilaian sebelumnya. Entah ia sebagai seorang yang benar-benar pendatang baru, atau seorang yang masuk dalam line up premier meski memijak bumi dan mengosongkan gelas lain. Membiarkan sejenak wadah lain yang sudah terisi penuh dengan pengalaman-pengamalan yang mewah, dan bisa menahan diri agar tidak terjebak pada penuturan serba tahu. “berbicaralah sesuai kaumnya” bisa menjadi semacam peraturan diri agar tidak mudah berkhotbah pada situasi yang mestinya rendah hati, inisiatif tanda ia bergerak, membangun reputasi bagus, mencitrakan diri halal, tetap menghargai tuan rumah adalah kebijakan lain. Meski ia datang dengan perbekalan yang berlimpah, jika tak dibilang cukup, haruslah merunduk, jika tidak ingin menunduk, atau tiarap.  Berkeinginan mengubah segala hal mestilah dikontrol, niat baik saja kadang tidak cukup, jika kantong meminta cara (saran) saja jauh panggang dari api. Mestilah jadi pemula pada ladang baru yang hendak dijelajahi, dibajak, dirabuk, bahkan diinjak :)

Ekstrasi karakteri guru baru dengan membawa catatan lama bisa melahirkan sikap penting atau tidak penting, bahkan apriori yang brutal. Semua pernah memiliki buku yang berisi catatan lama sebagai panduan berpijak. Yang nanti bisa jadikan pelengkap sekaligus merespon setiap lintasan kegiatan. Misalnya, menghitung setiap kegiatan dengan rupiah yang bisa didapat adalah salah satunya, betul semua orang memerlukan uang itu sebagai sarana, bukan sebagai tujuan, meski ini sangat tipis bedanya. Perbedaannya pada keihlasan yang kalian sendiri dan Tuhan yang bisa mengukur dan menakar. Panduan buku berisi catatan lama kalian 'simpan' dulu, bukan untuk dibuang, tetapi buka halaman baru untuk mencatat sekaligus menerjuni setiap reaksi dan respon positif dan negatif, agar nantinya kalian bisa bergulat dengan tindakan atas dasar tidak hitam putih tetapi dari seluruh sudut pandang yang ada. 

Sebagai mentor di sekolah alam, dan saat itu menjadi guru baru berstatus magang, mencoba membuka kran dialetikanya. Menyadari betul bahwa pembaca buku mestilah memiliki pikiran terbuka, dan mengabaikan sejenak tentang teknis penulisan dan seterusnya agar memperoleh beragam cara tutur yang bisa diserap, dan terhindar dari katak yang selalu merindukan tempurungnya .

Kemungkinan dari setiap guru adalah mahir menciptakan tempurung untuk pikirannya sendiri. Sehingga untuk mengaktifkan bluetoth teramat suka. Apakah hanya kematian yang dapat membuka pikiran terbaiknya?. Adakalanya Firaun menjadi tolak ukur dari kegelapan yang terus menutupinya, sampai nyawa tercerabut dari badannya. Seperti itukah dialektika yang ingin dibangun wahai para guru?

Guru baru memperlakukan dirinya sebagai pembaca baru atas lembaga yang ia ‘baca’ mestilah sungguh-sungguh. Sebagai laboratorium hingga penilitian-penelitian atas nama pengabdian tercetak jelas dalam langkah, pikiran, juga tindakan nantinya. Selanjutnya bisa menjadi penjaga definisi atas peran dirinya sebagai seorang guru.

“Seorang guru ketika melewati gerbang (pagar) sekolah, mestilah ia meletakan pakaian terbaiknya (ego, dialektika, epistimologi, dan seterusnya) agar bisa menerima pakaian lain sebagai bagian dari dialektik baru, yang sesungguhnya saling kait-mengait”

Kalimat di atas diucapkan tidak dalam ruang-ruang seminar, tempat duduk yang nyaman, meja yang bersih dari merek terkenal, tetapi dituturkan dalam keadaan duduk melingkar (circle time) sambil menikmati kudapan pagi (gorengan dan teman-temannya). Dalam ruang tidak luas, memaksimalkan ruang kantor dan diantara rak-rak buku berisi buku-buku pedagogig dan yang sejenisnya. Guru-guru baru tetap mengunyah setiap kalimat-kalimat yang meluncur dari sang kepala sekolah, meski kebanyakan kalimat didaktik, tetapi sesungguhnya jika berangkat dari arus kesadaran, maka bisa menyerap setiap pendekatan yang bersifat didaktis-psikologi. Juga membosankan bila setiap dari guru otonom dengan cara berpikir dan tak membuka peluang bahwa ada metode mendidik unik yang tidak di dapatkan ketika 'berseragam' lain.

Jika kalian antipati dengan istilah unik, mungkin kata khas boleh juga dipakai, sebagai dasar pembaharuan mestilah terus menerus dilakukan. Karena guru akan menghadapi setiap anak yang bukan zaman kalian, mereka (anak-anak) memiliki zaman yang tidak ada di zaman kalian. Ungkapan lain dari Ali bin Abi Thalib* tadi, bisa menjadi kapak bagi guru yang telah beku pedagogignya, lalu suatu hari ia sendiri yang menghantam kebekuan itu dengan kapak yang telah digenggamnya lama. Hanya mereka (guru) yang bisa menghantam isi kepala agar tak lagi beku dan berkarat, hingga nanti bisa menjadi para mujadid dan mujahid, dilatari kesadaran bukan keterpaksaan. Sebagaimana buku dan membacanya bisa menjadi kapak bagi pikiran yang beku Naiyeng-jawa.

Lembaga-lembaga yang pernah disinggahi dengan amanah yang sama, yaitu guru. Tak bisa menjadi laku terpuji jika penyebab keluarga ada pada dendam dan kecewa yang berkobar-kobar. Marah boleh, tetapi segera sudahi, dan maafkan mereka. Demi kesehatan kalian. Mendampingi siswa setiap hari berangkat dari kekecewaan bahkan rasa dendam kesumat, meskti tampak normal dan patut diacungi jempol besar-besar, tetapi sesungguhnya sedang melakukan kebaikan yang bertumpu pada transaksional, sampai kapan terus bertindak dengan dasar pikir seperti itu.

Lelaku diatas mestilah disudahi, jika pernah merawa kecewa dengan seseorang yang sekarang atau dulu, duduk dan mengampu kebijakan. Kebijakan dirasa tak mewakili aspirasi diri atau teman-teman yang meletakan kepercayaanya untuk mengubah kebijakan agar sesuai dengan kehendak dan pikiran terbaiknya. Lalu dikemudian hari, karena merasa tak pernah digubris selayaknya para demonstran, bahkan tak menjadi bahasan penting di rapat-rapat pemilik kebijakan, bahkan dirasa telah menjadi warga kelas dua dari sebuah perguruan bernama lembaga pendidikan. Semua itu segera bungkus dan masukan dalam tong sampah, dan mulailah membuka diri atas hal-hal yang tidak sesuai keinginan dan yang sesuai dengan keinginan.

Lalu mempraktikan pendampingan dengan perintah-perintah kekecewaan menggunung yang kapan saja bisa meletus. Lalu menghamburkan asap; siswa selalu menanyakan dimana wali kelasnya, karena setiap ada celah walikelas mlipir sejenak ke dapur sekadar minum kopi dan berasyik masyuk dengan rekan sejawat tanpa pernah mengabarkan, atau lebih berani meminta izin kepada ketua kelas jika dirinya keluar sejenak mengisi amunisi dalam ruang-ruang kejujuran serta keikhlasan. Meski menurut kacamata guru sulit diindrawi pengamalan dari sebuah keikhlasan. Tahu-tahunnya pekerjaan sudah rapi, ketika salah seorang rekan guru tak masuk kelas karena di dera sakit. Ini juga patut diwaspadai.

Kiranya cukup menghadirkan pembicara demi pembicara yang tak membawa dampak yang diharapkan. Kata pembicara dari sekolah lain. Sambil mengumumkan bahwa Li wajhillah lebih dari segala-gala. Tak perlu menunggu momen ketika melihat hal-hal yang kurang tepat dengan budaya sekolah, budaya organisasi, dan ekosistem budaya. Seberapapun hebat sang pembicara mengupas segala lini pendidikan tanpa pernah guru membuka diri atas peluang-peluang yang bisa diterapkan menjadikan pendampingan makin lama makin mumpuni. Selepas itu, konsep yang mendengung dikepalanya luput begitu saja seperti burung elang yang menyambar setangkup roti yang sedang dimakan oleh turis di pinggir pantai. Keluar dari pintu seminar, menguap begitu saja tanpa pernah mengendap, tetapi lega sudah menggugurkan kewajiban dari program yayasan. Sekilas betul, tetapi itu sungguh menyesatkan, karena tidak dimaknai sebagi fasilitas peningkatan pedagogig guru.

Hangat-hangat tahi ayam, setelah keluar dari ruangan seminar menguar begitu saja, seperti tak pernah disiram oleh konsep-konsep pendidikan dari pakar praktisi. Bukan pakar yang duduk-duduk saja menanti draf-draf beratus halaman dari seorang stafnya tanpa pernah membacanya barang sejenak. Sukses menggulirkan lalu lari terbirit-birit liburan ke pulau dewata. Tetapi, pakar ini, berbeda dari yang lain. Ia bergelut dan berkoban. Seolah-olah sudah siap untuk dibenci, pada bagian ini dirinya sudah menjadi martir atas nama ketidakaturan ketidaktertiban yang sering memakan korban bagi guru-guru yang waras (berdedikasi) sebagai pembawa lentera di kegelapan.

Untuk menelusuri jejaknya dalam hal pengamalan dunia pendidikan yang lain dari pada lain. Seyogyanya memperhatikan cara mereka berpindah (berhijrah) dari wilayah yang menurutnya tak mendapati dirinya dalam posisi yang diharapkan. (Misal: rajin silaturahmi kedokter). Melalui perencanaan yang terukur berpindah peran menjadi seorang guru, yang mengajari para muridnya untuk terus menjaga sebuah definisi pendidik dan segala hal turunannya.

Sudah sepatutnya beralih dari wilayah-wilayah sensor pada wilayah simbolik, pada ruh sebagai guru. Guru yang tidak hanya menjejali pikiran muridnya dengan sejuta soal pintar, tetapi dibarengi tindak tanduk agar terus tumbuh. Pendek kata; ketika guru memberi soal mata pelajaran, tidak berhenti belajar, tetapi dari soal-soal itu siswa terpantik untuk mengulik semua jenis pengetahuan.

Jika tak keberatan ada kalimat yang mengatakan, guru yang membuat pintar para anak didiknya, hal itu sudah kelazimannya sebagai guru. Tetapi ia tidak puas hanya sekadar menjadikan semua siswa didiknya pintar-pintar, langkah berikutnya ia mesti memastikan agar siswanya bisa punya kemandirian sikap, dan semua turunannya agar semua keputusan tentang dirinya tidak diputuskan oleh orang lain, meski itu orang tuanya sendiri. Itu salah duanya, yang lain masih bertebaran pada langkah dan tawa mereka; yang katanya masa paling indah masa-masa di sekolah. Salah satu lirik lagu yang dinyanyikan alm Chrisye.

Kamis, 26 Desember 2024

API TEKAD SEORANG GURU

BABAK 3

Seorang guru tengah mendampingi kepulangan siswa. Kepalanya dipenuhi oleh hal-hal yang sifatnya pengamanan. Anak-anak yang didampingi setelah pulang sekolah, memiliki kebutuhan untuk bermain. Saat itu gerimis masih menyisakan rintik-rintik satu dua. Basah, lantai tempat bermain yang sudah didesain mirip wahana bersih dari kotoran kaki dan kucing yang sering merepotkan pekerja kebersihan, tetapi jika ikhlas akan jadi cahaya pada saat terbujur kaku di pembaringan.

Dari lantai atas seorang pemilik gedung tengah mengawasi situasi setelah hujan. Kedua matanya menangkap guru yang tengah mondar-mandir mendampingi anak-anak ditingkahi gelak tawa lepas, tanpa memikirkan apakah nanti merepotkan sang guru, ketika dirinya terlalu lama mainnya, atau orang tuanya sedikit berempati pada guru tersebut higga tak mau menunda-nunda untuk menjemput ananda tanpa mengisi kepalanya, dengan lauk pauk alasan.

Bukan bermaksud untuk merepotkan orang tua, tetapi setidaknya meminta jatah untuk menyadari bahwa kebutuhan guru selanjutnya adalah bentuk pendampingan lain, misalnya menyiapkan pekerjaan lain yang berkaitan dengan peserta didik, ya mereka (para mereka) sedang melakukan siklus pertarungan moral yang terus diacung-acungkan, agar etika yang mereka benamkan di alam bawah sadar anak-anak, tak cepat-cepat menguap begitu saja ketika langkah pertama di ruang tamu. 

Lalu pada malam hari menjelang tidur, guru berusaha mencuri waktunya sekadar helaian nafas untuk memikirkan apa yang akan dilakukan besok bersama kelasnya, jika beruntung kalian akan didoakan lewat sujud-sujud panjang-pendek sambil menahan nafas dan istighfar berulang kali atas kata-kata bernada entah, pada ujung helaian kalian akan didoakan segenap jiwa raga tanpa memerdulikan apakah kalian sudah memberikan kenyamanan atau tidak.  

Bagi seorang guru pengabdiannya adalah seberapa besar ia menggenapkan setiap titah jejak seorang guru. Kalau kecewa, itu tidak mungkin. Guru berangakat dari titah seorang "nabi" yang bergerak mengajak dan menunjukan, titah seorang guru bergerak pada lautan niat yang terus menerus diperbaharui tanpa lelah untuk lillah setiap detak jantung.  Jadi seorang guru berpikir ngeluh pun harusnya jauh-jauh, apalagi untuk terpuruk pada kekecewaan berlapis. Yang dipakai oleh guru adalah standarnya pencipta alam semesta, hingga debu-debu ketakpuasaan selalu ada yang menyingkirkan oleh niat bijak bestari pada nilai adiluhung yang terus dijaga oleh api tekad seorang guru. Sebuah prinsip yang tak boleh ditawar. 


Orang tua yang memanfaatkan kebajikan seorang guru yang rela menunda pekerjaan pribadinya, dan mengutamakan anaknya yang membutuhkan bantuan lebih saat kepulangan sekolah sudah melewati batas tunggu. Mestilah menjadi bijak mandiri, pada posisi yang sedang dibicarakan, jika guru yang menyingkarkan jauh-jauh perasaan keluh lelah dan menerima jenis pendampingan yang berjam-jam hingga ia sulit bergerak lantaran anak muridnya tak kunjung dijemput atau memaksanya pulang lewat tatapan orang tua yang sudah mengerti bagaimana "beban" kerja yang sudah mulai berjalan Argonya ketika pukul 07.00 tiba. Tanpa memandang jauh kedalam, bahwa waktu didik di sekolah sudah selesai, kini tiba giliran orang tua melanjutkan apa yang sedang dititahkan oleh sekolah pada orang rumah. Maka menjemput adalah kegiatan sakral, karena ada estafeta dialektikta moral, karakter, juga sebaris tauhid, tengah dilanjutkan pada ketika mereka keluar dari gerbang sekolah.

Meski guru tak perlu menyudutkan dirinya agar dihormati dengan pedang pora sekalipun, tetapi penghargaan setara bukan menjilat adalah jenis kehangatan lain yang tengah dibangun oleh dua pendidik besar antara guru dan orang tua. 'Spesies' guru adalah mahluk yang keberadaannya ada pada ananta, hingga posisinya jangan pernah menyulitkan peradaban yang sedang dibangun bersama-sama. Atau setidaknya tidak meruntuhkan secara mudah apa-apa yang sudah dbangun atas nama karakter dengan susah setengah hidup diperjuangkan.

Kalau engkau mampu memasuki medan pertempuran dengan biaya tinggi, karena prestise yang sedang kalian bangun di tempat baru, orang-orang baru, dan identitas baru. Maka lembutlah pada perang sebelumnya yang kau titipkan anak-anakmu dengan biaya yang mencicil hingga selesai masa perang dan engkau meninggalkan sejumlah tagihan yang menyulitkan pemangku kebijakan untuk menjalankan sistem keuangan dan kesejahteraan guru pada tiap lini masa tanpa pernah memotong sesenpun. Medan perang seperti ini perlulah kau renung-renung barang sejenak, ketika jelang tidur atau ketika masa rehat nikmat ditemani secangkir kopi ternama dan roti yang jarang dijual di warung-warung kopi umumnya. Agar nantinya namamu tetap harum meski jejakmu sulit untuk dijangkau, atau setidaknya engkau memberikan lokasi terkini, agar kami bisa bersikap.

Jika seorang guru yang dulu pernah diberi "beban" untuk mendampingi anak mendengar bahwa kau meninggalkan tagihan, tetapi ditempat lain kau bisa melunasi kontan pembayaran tanpa pernah sekali untuk berhutang, jika posisinya seperti itu, mohon kami diberikan pencerahan agar tidak timbul praduga-praduga heran bercampur takjub. Mungkin ratusan juta kau bisa sodorkan tanpa pernah ragu pada lembaga baru, sementara kami disini berjibaku untuk mengatur keuangan agar bisa melunasi gaji guru yang nggak boleh ditunda-tunda. Ini perkara pelik yang mestinya duduk bareng menghadapi hal ini, tetapi kau meninggalkan begitu saja tanpa pernah memberikan jeda atas hubungan yang pernah mesra-mesra dibangun. Kau memaksudkan apa, apakah karena kau tahu medan perang yang kau buat bisa kau lucuti peralatan alat perang tanpa pernah berperang, atau disana banyak malaikat tak bersayap yang selalu bertasbih jika mendengarmu memasukan anak-anakmu ke medan perang dibekali senjata canggih dan membayar lunas di muka, lalu tak perlu repot-repot untuk melakukan i'tikad baik.

Cekap semanten. Jika tak mencukupkan untuk memberikan pernyataan terakhir, marilah sejenak untuk mengisi ulang perlengkapan isi kepala, membenahi tutur cakap, membereskan nilai-nilai yang semakin berceceran, memberikan wadah luas agar adonan yang sudah ada tak begitu saja dibuang, lalu mengisinya dengan baru tetapi tetap bergizi nilai pandang hidup, meski para pendatang baru silih berganti dengan mata jernih jujur siap untuk dibikin adonan dengan minyak karakter, polesan gizi pijakan epistimologi, Etika, Logika, bisa juga metafisika. Yang lain bisa dicurahkan pada sesi lain.

Rabu, 04 Oktober 2023

API TEKAD SEORANG GURU

BABAK 2

Guru itu perlu ditakuti atau disegani sih?

Jadi, saya mulai dengan kalimat seperti ini; "guru itu perlu ditakuti atau disegani", yang semestinya ditanyakan sedekat apa siswa memberikan respon kepada guru, ketika ada hal-hal di luar kesepakatan. Ketika kau puas dengan wajah-wajah siswa seperti tertimpa tekanan besar lewat sorot matanya yang tampak menguar bak telur.

Mata sapi yang meleleh. Ada baiknya kalian periksa lagi kebiasaan kalian ketika memberikan ilmu. Apakah kau memulai dengan perangkat ditubuhmu yang maha segala-galanya, lalu kau tumpahkan semua jenis pengetahuanmu sampai-sampai kau tidak lagi bisa membedakan jenis air muka pada peserta didikmu. Mungkin mereka tetap saja 'cerah' karena tak ingin dapat PR tambahan sebagai sarana 'penghukuman' yang menurutmu layak diterapkan. Atau situasi kelas mirip kuburan hingga mereka untuk menggerakan jari saja butuh keberanian luar biasa. Apalagi untuk minta izin untuk  kencing di kamar mandi, selalu kau curigai. Mestinya kau sedikit memberi ruang pada mereka, yang membutuhkan penjelasan atas sikap-sikapmu yang begitu menakutkan dengan cara yang bisa mereka pahami. Melalui apa saja, dialogkah, pertanyaan ringan seputar kehidupannya, habis lulus mau kemana, dan seterusnya. Tetapi catatan ini selalu didasari atas perjuangan yang membuat siswa didik memiliki ketegasan sikap tidak mudah goyah, apalagi pengikut setia klan tanpa pernah mengkritisi keberadaan dirinya. 

Setidaknya kau perlu mengubah struktur niatmu yang menggupal menutupi amiqdala berkerak dan berdaki. Lalu kau tumbuhkan daya nalar anak-anak dengan 'semaunya' sendiri. Meski kau berkutat-kutat pada buku paket, tetapi kau perlu menjentikkan jemari agar kau tak kaku menerima perubahan dan perkembangan anak yang tak bisa kau jejali dengan ilmu-ilmu langka yang peroleh bertapa bertahun-tahun di bawah meja diknas (itu tidak masalah, jika kau mau membuka diri).

Ada apa sebenarnya ini, hingga kau tak bisa meramu segala jenis pembaharuan yang ada di dalam kurikulum diknas, hingga kau begitu bangga membawa buku paket dan merasa sudah cukup dengannya. Lalu kau dikelas bertindak sebagai 'aparatur negara' yang punya kawasan tak terbatas. Jika apa yang kau sampaikan tak bisa diserap oleh kepala siswa dan kau berharap mereka bisa mengaktifkan secepat yang kau kira. Hingga kau tak pernah menyalahkan diri sendiri tentang apa-apa yang kau telah berikan selama ratusan jam di depan siswa dengan modal yang sama. Ini agak menggelikan, di luar sana banya orang yang pintar tetapi tidak menyandang predikat sebagai guru, guru semestisnya tetap belajar, meski mahaguru tersemat padanya puluhan tahun silam. 

Kau mungkin pernah 'membentaknya' berhari lewat gerakan yang kau sendiri tak menyadari. Mungkin mereka akan mengingatnya sepanjang mereka masih bernafas. Sejenak menoleh pada kanan kirimu apakah kau sudah menyebrangkan jalan bagi anak-anak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, bukan apa yang telah kau berikan. Ini Zaman dimana hal-hal yang kau anggap sudah cukup (ilmu dan turunannya) untuk peserta didik, sejatinya mereka baru mulai menyerap (warm up) lalu kau tiba-tiba berhenti di tengah jalan, tanpa kau merasa hilang beban.

Kalau kau merasa senang ditakuti oleh siswa, seluruh instruksi mereka jalankan tanpa pernah sedikitpun mereka berniat makar untuk protes, adakalanya kau mungkin perlu mengambil jeda sejenak. Lalu kau mungkis bisa 'mengutuki' diri sendiri secara keras jika kau peduli pada siswa-siswa, kemudian kau mulai menata arah agar mereka punya jarak yang fitrah. Kau tahu segala sesuatu hendaknya dimulai dengan ftrah, dorongan diri yang tak perlu kau koprek-koprek terus menerus sampai mereka bosan. Kau bisa memilih jalan lain, yang sekiranya dapat menumbuhkan apa yang mereka sudah lalukan selama bertahun-tahun di sekolah. 

Lalu tiba-tiba mereka keluar dari sekolah tak mengantongi apapun. Ketika di sekolah yang baru mereka mulai lagi dari awal. Jika modal di kantong mereka, memerlukan usaha untuk amati tiru modifiksi (kata mas-mas motivator) hingga mereka tidak tertegun-tegun terhadap apa yang mereka yakini begitu saja pudar di bangku kelas yang baru. Ini cukup memilukan, atau menyedihkan.

Jalan mereka saja sudah memutar, ada tahapan yang mereka lakukan. "Didiklah anakmu sesuai zamannya," begitu pepatah lama yang masih menjadi jargon dalam ilmu pengasuhan. Meski orang mulia yang memberi pepatah itu telah dipanggil lebih awal oleh Allah. Kau tentunya iri dengan hal ini. Ada wilayah jariyah yang terus mengalir sampai terompet itu dibunyikan dan manusia buru-buru bangkit dari dalam kuburnya.

"Apa perlu otot-otot yang kaku, wajah yang keras, sorot mata mengancam, lalu kau buru-buru mengaku sebagi guru yang telah memberikan kewajiban sebagai mana mestinya." Jawabannya, Bisa jadi. Tetapi apakah kau sudah memberikan hak-hak siswa tanpa pernah mencoba mengurangi barang seditikpun. Mereka perlu doa, didoakan dalam sujud-sujud panjangmu, agar mereka memiliki nafas panjang untuk terus memperharui (memperbaiki) apa yang kurang dan lemah. Bahkan mereka perlu memahami apa kekuatan mereka hingga bisa meningkatkan tanpa pernah kalian sadari. Meski wajah kalian masih menjadi momok yang terus diperbincangkan sampai kalian  wafat.

Kedekatan yang kalian bangun dengan siswa bukan pada tataran layaknya orang tua dulu. Bukan juga kedekatan yang kalau "sabda" sebagai seorang guru, isinya mereka harus setuju. Lalu untuk apa mereka "bersekolah, sekolah" sudahi penderitaan mereka jika kalian masih saja mengadopsi metode yang tak pernah kalian singgung untuk menerima perubahan, keterbukaan, kehangatan percakapan, dan hal-hal yang kalian anggap masih 'mistis'.Yang membuat kesulitan untuk meningkatan kemampuan dalam mendidik siswa-siswi di sekolah. 

Keakraban (sebagai warga kelas satu (guru) kepada warga kelas dua (murid)) itu jika kalian mau memikirkan apa yang saya tulis. Tidak perlulah (kelas satu lebih baik dari kelas dua, tetapi keduanya saling bersinergi dengan baik). Kalau kata mas-mas motivator kalian bisa berelaborasi dengan tekun dan ramah, terbuka, dan saling menjaga jarak. Sebagai guru atau sebagai murid. Keduanya memiliki batasan. Panggilah guru seperti layaknya seorang guru, bukan nama dan seterusnya, hingga ruang guru dan murid tetap terlihat harmoni. Setidaknya ini menjadi plihan melihat anak-anak kita mulai sulit untuk menatap diri sendiri dan mudah sekali tersulut. Meski ada jutaan lain yang tetap bisa memposisikan. Kita berharap. 

Selasa, 19 September 2023

API TEKAD SEORANG GURU

BABAK 1

"Puncak Prestasi Seorang Guru"

Guru yang 'tepat' atau setidaknya mendekati maksimal dan mengandung banyak kebaikan, banyak keberkahan, saya pikir bukan sekedar memberikan pemahaman yang mumpuni kepada para murid-muridnya. Tetapi bagaimana guru itu memberikan banyak-banyak inspirasi, atau setidaknya  menginspirasi. Bentuknya macam-macam. Jika guru itu memberikan semacam dogma lalu muridnya bisa menangkap wawasan baru, pengetahuan baru. Tidak sekedar memberikan dogma yang kaku, kalimat-kalimat yang terus saja menggurui, meski ia seorang guru. Saya pikir tidak ada orang satupun di dunia ini yang suka diberikan nasihat terus menerus tanpa pernah diberikan kesempatan untuk berbicara. Bahkan sekedar mengungkapkan apa yang menggelisahkan pikirannyapun kelu. 

Di depan kelas, 'dulu', seorang guru berdiri di depan kelas, muridnya diam tidak mau protes, bahkan untuk protes pada pikirannya sendiri. Karena menganggap guru itu maha, mungkin di belahan kelas yang lain ada begitu banyak murid yang mengacungkan tangan mengkonfirmasi sesuatu, menginterupsi sesuatu, sebelum guru itu selesai bicara. Tanggapi saja sejenak, lalu berikan pijakan. Jika tak mampu maka endapkanlah dulu hingga kau menemukan kelamahan sekaligus kekuatan yang bisa kau bangun dengan sempurna. Untuk membangun peradaban konon banyak-banyaklah mendengar. Itu salah duanya. Dan seterunya. 

Ada yang bilang guru itu harus dan bisa menggerakan semua elemen departeman.  Jika tidak semua, ya beberapa departemen saja sudah cukup untuk memajukan bangsa ini, itu kalau kalian setuju. Saya kembalikan kepada jalan pikiran kalian. Saya khawatir itu jadi semacam jargonism, bila kalian tempel besar-besar di atas spanduk lalu berhenti disana. Tanpa pernah berani mengkonfirmasi guru sebagai penggerak bangsa, jika ide yang kalian gulirkan selalu keruh dari hulu ke hilir, atau dari hilir ke hulu. Yang mau kalian gerakan itu apa, jika guru-guru masih cemas memikirkan masa depannya sendiri atas bangsanya sendiri, lalu mereka berubah menjadi buruh pabrik di kelas-kelas. Cepat-cepat pulang karena istri dan keluarga mereka menunggu beras untuk dimasak, itupun kalau kalian sejenak berpikir. 

Ketika Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom, yang konon katanya uji coba pertama apakah bom itu bisa meledak atau tidak. Ternyata meledak, hingga seluruh awak pesawat hanya melongo menatap kepulan asap yang membumbung ke angkasa bak cendawan berjamur-jamur. Lalu sekonyong-konyong ada seorang fotografer yang mengabadikan peristiwa memilukan itu. Hingga bisa kalian lihat sampai sekarang, sebagai sebuah bencana atau krisis cara berpikir. Tetapi yang saya mau tekankan adalah; setelah bom meledak seorang prajurit datang menghadap ke kaisar Hirohita, lalu mengatakan; "Jepang sudah kalah." "Kumpulkan seluruh guru yang tersisa, lalu kita bisa bangun 20 tahun kedepan," itu kira-kira skema pembicaraan cerdas yang membuat seluruh jendral yang tersisa tampak kebingungan, tetapi hanya sesaat. Mereka langsung mengumpulkan seluruh guru yang tersisa konon sejumlah 45.000.

Artinya guru itu memang tidak perlu pujian apapun, tetapi sejahterakan mereka dengan cara-cara terhormat. Memang pahlawan yang berjasa, bukan tanpa tanda jasa. Hingga mereka bisa secerdas para pemikir bangsa. Mereka pun bisa menghilangkan kebiasaan buruk yang menempel seperti daki, hingga mereka berani jujur kalau para guru wajib belajar dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Hingga mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, berkah secara ilmu, kuat secara fisik, tetapi juga menjadi garda terdepan dalam penjaga moral bangsa ini. Dan yang penting dari penting-penting lainnya, mereka tidak antipati terhadap 'mahluk' bernama kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Meski terseok-seok atau jalan memutar, jalan lempeng, mereka menatap damai AI.

Karena dari mereka (guru-guru) akan 'lahir' dari rahim mereka anak-anak yang dapat memilah dan memilih untuk ia sendiri dan masa depannya. Bukan untuk "mengencingi" guru mereka sendiri, sebab nihilnya moral yang mereka serap dari gurunya. Atau mereka punya jalan sendiri, karena pilihan dari mereka yang sulit untuk mereka bendung. Jika mereka berani "mengencingi" guru seperti mereka bakar moral yang guru celupkan pada ruh-ruh mereka sejak dini, lalu mereka dapat kekuatan jahat dari mana? apakah dari gurunya, lingkungannya, keluarganya, atau mereka sendiri yang menentukan arah pribadi.

Moral sebagai kekuatan epic menjadi senjata pamungkas setelah inspirasi. Derita-derita yang mereka rasakan sebagai guru, lebur menjadi gumam indah menjelang tidur, meski beras tingga 12 kunyah. Minyak tinggal sekali goreng, dan tempe tahu tinggal satu hari kadaluarsanya, dan mimpi tinggal satu malam. Lalu di ujung tidurnya mereka mimpi indah setelah mendoakan murid-muridnya, bahkan murid yang kalian katakan bandel. Tak lepas dari guru ini, guru yang siap meski Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak. Yang siap mau bukan karena mampu, tetapi tak ingin melihat ruang kosong yang bisa mengkerdilkan pikiran-pikiran cerdas yang sedang tumbuh-tumbuhnya. 

Mungkin saya akan tutup sementara gendu-gendu rasa ini dengan kalimat; "Ada yang lebih cerdas dari guru, ya banyak, banyak sekali, tetapi mereka mungkin tak bisa rebut keberkahan dari seorang guru, jika mereka tulus dan ikhlas," kata seorang penggembala kepada para kerbaunya jelang senja. Ia seorang guru SD honorer yang menggembalakan kerbau-kerbau milik Kepala Sekolah, dan ia selalu menolak undangan makan malam dari putrinya. Lalu putrinya bertanya setelah sekian lama undangannya selalu di tolak. "Aku tidak ingin terjebak oligarkhi" jawabnya. Ia pergi sambil menenteng jatah makam malam. Putri kepala sekolah itu menjeling kepada penggembal. Ia mendengus kesal dan pulang ke rumah. Sementara langit geap disusul silih berganti guruh bersahut-sahutan. Meski hujan tidak lekas turun menyiram bumi.