Kamis, 06 Maret 2025

"The Power Of Teachers"

BABAK 8
Satu waktu di kelas, pelajaran matematika sedang berlangsung, setengah jam kemudian salah satu siswa sudah selesai mengerjakan dan terpotret oleh sang guru, anak itu tampak banyak bercanda, menggoda temannya, dan isengnya nggak ketulungan. Saat itu juga siswa tersebut dipanggil oleh guru tersebut. Lalu diberikan 'hukuman' untuk pergi ke perpustakaan lalu ambil buku sastra dan tidak baca buku yang lainnya. Guru tersebut memberi pesan kepada petugas perpus agar memperhatikan selama ia berada di perpustakaan. Si murid itu terus membaca sampai selesai. Pada waktunya nantinya Guru matematika yang juga sastrawan telah mengajarkan agar terus mengolah pikir tetapi juga mengolah batin agar menjadi lembut.

Saya yakin paragraf diatas telah memberi sentuhan batin yang mendalam hingga seorang TOKOH bisa sedemikian terbuka pada perubahan dan memaknainya lebih terukur, katakanalah seperti itu. Ketika sedang menulis  metafor dan seterusnya ternyata sangat diperlukan ketika sedang meriset  sains misalnya. Dari balik itu semua, sastra bisa sangat bermanfaat bagi seluruh aspek pengetahuan. Jika kalian betul-betul menganggap karya sastra penting untuk dijadikan salah satu bahan olah pikir dan olah rasa.

Hasil pemikiran adalah salah satu wilayah sastra yang dipadu padankan dengan daya tangkap dari kehidupan ini. Guru menjadi lebih cakap dalam menghargai setiap potensi dari pada siswanya. Pikirannya telah terpapar Demokratic Value, meski hanya berlabel guru Good Enough, itu sudah lebih dari cukup. Lalu pertanyaan dikepalanya selalu muncul, kenapa aku jadi guru?, apakah pengetahuanku sudah cukup untuk siswa di kelas? ini guru percaya menyakini bahwa siswa akan lebih baik dari waktu ke waktu, hingga ia mempercayai setiap potensi yang dimiliki siswa. Meski sebagian mata memandang ia tipe guru yang Good Enough, tetapi ia telah memiliki power full untuk membangkitkan setiap rasa penasaran--natural sifatnya, bisa muncul dari dalam diri setiap siswa tanpa ancaman dan intervensi akut.

Kekuatan guru terletak pada kemampuannnya memerdekaan setiap murid untuk bertanya apapun tentang dirinya dan lingkungannya. Dan membiarkannya untuk berpikir terbuka, dan lepaskan pagar-pagar dari pikiran siswa yang melambung tinggi tak terbendung. Hingga isi kepalanya tidak terpagari, misalnya apa-apa tidak boleh, ini nggak boleh, itu nggak boleh. Isi kepalanya merdeka untuk mengungkapkan sesuatu yang menurutnya bisa diuji secara nalar, bukan didkotrin oleh serbuan mitos dangkal, hingga gagap menatap masa depan.

Setiap siswa ada kurikulumnya yang kalau bisa diciptakan oleh guru, agar potensi muncul dan lompat melangkahi mimpi-mimpinya sendiri. Tidak mengisinya kurikulum yang centang perenang. Konsepnya terbentur oleh pembatasan-pembatas ilmu saja. Dampaknya anak cenderung mudah mengkotak-kotakan dan ini sangat merugikan dunia pendidikan. Pada saat dewasa, ia cenderung mudah memberi frame, kalau anak hukum tidak berhak ngomongin sosil, anak sains nggak boleh soal Budaya, dan seterusnya. Wah, ini bisa menimbulkan cacat berpikir. Karena pembatasan ilmu tadi. Di zaman keemasaan ada tokoh sosial, tapi ngerti fiqih, ngerti politik, karena berangkat dari mentor yang mengakomodir seluruh pengetahuan tanpa melakukan pembatasan yang degil.

Seorang guru satu waktu didatangi murid yang membawa satu buku berisi kurikulum yang ia bikin sendiri di rumah. "Apakah bapak bisa mengajarkanku tentang semua ini, atau tunjukan padaku guru-guru mana saja yang harus kudatangi." 

"Selamat datang di masa depan, Bapak doakan semoga bisa membaca masa depan, kurikulummu akan bapak pelajari satu malam, dan mulai besok kamu saya terima sebagai murid pertama."

Jawaban dari sang guru membuat si siswa pulang dengan isi kepala, hati, fisik, sebagai seorang yang nanti jadi pembenci politisi busuk, sebal melihat pendidik yang menunda mengisi pengetahuan para siswa dengan berleha-leha dikantin sambil ghibah, pedagang busuk yang selalu mengurangi timbangan, dan busuk-busuk lainnya. Dari mana datangnya energi pembeda itu, dari kekuatan guru yang lisannya berangkat dari doa yang diapanjatkan di setiap sujudnya. Dan mencoba mendekatkan diri pada role model seorang guru, rahim guru, sekaligus pahlawan berjasa. Bukan pahlawan tanpa tanda jasa yang bernada meremehkan  (derogatif). Saya ingin mengembalikan bahwa profesi guru memang tak bisa diremehkan, dan  jasanya seberat mutiara. 

Kekuatan guru yang potensial itu terbaca sejak lama, bahkan disituasi sulit kaisar hirohito, berbicara kepada bawahannya agar mencari guru yang tersisa, dan akan membangungkannya dua puluh tahun kemudian, tuturnya berapi-api. Ini menandakan, hadirnya guru sebagai mentor untuk melatih para siswa untuk berdialektika terus menerus hingga rasa penasaran terbangun dan terjauhkan dari krisis pikir.

Debat didalam kelas tak menurunkan martabat seorang guru, justru kelas-kelas yang sunyi yang perlu dicurigai, apakah guru terlalu asik untuk mengambil alih seluruh jam kelas, dan mengaku telah mengajar dengan pendampingan maksimal. Yang mesti dilakukan adalah selundupkan pedagogi kepada siswa tidak hanya dikelas tetapi di luar kelas. Keluar dari sekolah mereka bisa membaca masa depan dengan alam pikiran, tidak gugup dan gagap menghadapi perubahan. 

Kadang 'ribut' dikelas dengan guru Good Enough saja bisa membangkitkan potensi tersembunyi dari tiap siswa yang kerap membawa masalah rumah kedalam ruang kelas. Kapasitas guru ada situasi ini, kekuatan guru dengan mengelaborasi pedagogi dengan situasi random yang di miliki siswa,  kemudian bisa mengaktifkan multiple Intelegences pada tingkat yang menakjubkan. Lalu menemukan dirinya pada bakat tertentu. Sementara cukup, terimakasih. Salam Pak Pelita.

0 Comments:

Posting Komentar