Perkenalan ini memang tak begitu mulus, mungkin hanya maaf yang kami ulurkan. Semua butuh awalan, dan aku baru memulainya. Coba sekuat raga untuk tidak klise, semenjana, atau stereotif. Lalu sempatkan barang sejenak agar bisa menapaki setiap adegan yang terjadi. Hingga sedikit terbuka kotak-kotak yang kalian simpan berserakan, lalu terbuka secara 'keren'.
Kisah ini baru akan di mulai.
Bayi itu menangis histeris. Ibunya di samping panik, tangannya gemetar membalut pinggang bayi itu dengan handuk basah. Lingkar pinggang bayi itu tak sengaja tersiram air panas, alhasil sepekan kemudian lingkar pinggar bayi itu membentuk warna hitam. Ibu sang bayi tak henti-henti berdoa agar kesembuhan menyambangi putranya. Begitu juga sang ayah.
Tiga setengah bulan telah berlalu. Bayi itu tersenyum kembali. Ayah dan Ibunya bahagia mendapati putranya yang sembuh. Jejak air panas membentuk lingkaran hitam selebar 2 cm. Sejak saat itu orang tuanya memanggil dengan Kendit Polang.
Ibu Besari dan Pak Marta mengundang kerabat keluarga memberi konfirmasi atas bayinya yang semakin sehat dan lucu. Senyum mengembang tak henti dari Bu Besari dan Pak Marta. Handai tolan dan sanak famili memberikan selamat.
Kendit Polang semakin tumbuh besar. Hitungan tahun terasa cepat. Waktu berlomba dengan aneka macam peristiwa. Kendit Polang tumbuh dengan otot yang mengagumkan. Postur tubuh tak terlalu tinggi. Cara jalannya seperti bebek, hidungnya paruh beo, bergigi kelinci, dan rambutnya tebal berombak.
Kalau kau pernah melihat hercules versi ksatria tersisih, ya kira-kira seperti itu. Meski ia punya prinsip, seringkali hilang ditelan perintah diri dan kepengecutan tiada tara. Mungkin hanya kematian yang bisa menegaskan siapa diri. Batu Nisan kerap lebih tajam dari prasasti manapun.
Novel ini kupersembahkan untuk orang terdekat, juga kepada siapapun yang merasa perlu membaca kisah ini.