Senin, 02 November 2020

Pengelana dan Pedagang

Malam yang larut tak menghentikan langkahnya untuk meneruskan perjalanan panjang dan tak berujung. Endorfin yang dilepaskan beberapa jam lalu telah berubah lelehan keringat asin dan berbau. Cahaya malam membuatnya urung tuk hentikan langkah barang sejenak, meski mata telah memerah. Lampu-lampu rumah telah padam sejak ia memasuki perbatasan desa. Kini ia hanya berteman jalan-jalan sunyi dan menggigil.

Kopi hitam tanpa gula, ia mungkin hanya memakai perasan gula tebu yang dimamahnya sendiri. Meski bercampur liur ia tetap mencengkram tangkai gelas di bawah tatapan jijik pengunjung kedai. Ia menanti-nanti adegan perkelahian yang sering muncul di kedai-kedai, warung-warung, atau penginapan. Yang dirasakan adalah tatapan mereka yang membuatanya jengah untuk beberap saat. Lalu pergi mencari ketenangan.

Sisa ampas kopi yang masih enggan berguguran dari celah gigi,  telah lama membentuk ceruk lemak keras. Seperti lemak dari pembuangan yang bisa kalian jumpai jika rajin membuka tutup pipa pembuangan dari paralon rumah.

Berjalan sendiri di bawah gigitan musim dingin seperti bergelut dengan jengkel melihat anaknya yang sulit diatur. Bisa karena miskin pendekatan atau jiwanya memang pemarah. Langkahnya telah meringkus semua otot-otot kaki hingga terasa linu bukan kepalang. Ia menelan ludahnya sendiri berkali-kali untuk menghangatkan perutnya yang mulai keroncongan.

Ia merogoh saku depan celananya. Mengeluarkan semua yang ada. Tinggal beberapa keping uang logam yang mungkin menyelematkan dari mati kelaparan.

Seorang pedagang terkantuk-kantuk di depan barang dagangannya yang membisu. Kepalanya mengangguk-angguk sendiri seperti ada yang mengendalikan. Jika ingin terjengkang ke belakang, ia lekas merentangkan tangan agar punggungnya tak mencium tanah yang membeku.

Ia berhenti di depan pedagang itu dan membiarkannya tetap mengagguk-angguk tanpa ingin menganggunya. Ia lebih mementingkan perutnya yang lapar dari pada memberi jeda pada pedagang itu dari lelapnya tidur yang jika raja melihatnya akan iri, bagaimana resepnya ya?

Bunyi perutnya yang berkali-kali, makin lama makin keras. Ia telah lama menahannya, menyenggol bahu pedagang adalah cara terakhir agar ia terbebas dari lapar yang berlapis-lapis. Kopi hitam yang telah di minum sehari yang lalu adalah pertahanan terbaik agar lambungnya tetap aman tanpa makian. Bisa terhuyung-huyung masuk ke desa yang baru. 

Ia mengguncangkan bahu pedagang itu agak keras, rasa segan pada orang yang sedang tidur ia kubur dalam-dalam. Rasa laparnya makin menjadi-jadi. Orang lapar bisa melakukan hal-hal buruk yang bisa merubah suasana. Ini penyakit yang hampir semua orang pernah merasakannya.

Tubuh pedagang itu tumbang, punggungnya sejajar dengan tanah. Ia malah mendengkur keras setelah kepalanya membentur tanah. Kini ia rata dengan tanah. Tapi masih di atas tanah. Ia menikmati betul. Bahkan uang yang ada digenggamannya jatuh berhamburan. Bibirnya malah senyum simpul, seolah semuanya akan baik-baik saja.

“Bang bangun bang, perut saya lapar sekali!,” ujar pengelana itu.

Dengkurannya makin mengeras, seperti deruman sapi kekenyangan. Hanya saja ia tak gayem seperti hewan penghasil susu itu. Mulutnya makin terbuka, gigi seri depannya tampak menghitam atau pelita di depannya yang membuatnya tampak gelap.

Ia memanggilnya kembali. Berkali-kali. Pedagang itu tersenyum kembali. Terdengar keluhan dan makian dari mulut pedagang itu. Ia bersyukur kerena dirinya tak dimaki-maki, meski jantungnya berdegup lebih kendang.

Ia mulai melolong di depan telinga pedagang itu dengan lolongan yang panjang dan berliur. Bahkan tubuh dan kepalanya mulai menduplikat hewan pencari kesempatan itu. Pengelana itu mengeluh panjang, hembusan nafasnya mencibir. Perutnya makin melilit, seperti iklan obat sesak nafas.

Ia mulai menggonggong sebagai cara lain membangungkan pedagang yang tidur seperti menelan puluhan obat tidur yang didapatnya secara murah. Lidahnya ikut menjulur manakala gonggongannya kurang maksimal. Bahkan pada titik tertentu ia bernafas layaknya anjing sungguhan. Siapa tahu terbangun?

Sampai fajar merekah ia terus melakukan berbagai macam akrobat dari lintas profesi. Ketika cahaya mulai tinggi, pedagang itu terbangun dengan menguap selebar kuda nil, dan mendapati si pengelana itu tak berkutik, hilang nafas, sambil memegangi perutnya yang menonjol.