Ia berhenti mengunyah, berjalan ke dapur, menuangkan air dari kerpis dingin musim kemarau. Ia menenggak dalam tiga tegukan besar. Urat tuanya mengimbangi agar tidak tersedak dan sisa-sisanya masuk kedalam paru-paru. Lalu berakhir gundukan tanah dan sepapan kayu nisan. Ia mengusah sisa tumpahan air yang mengalir ke lehernya, ujung kain sibuk mengelap sana-sini. Tanpa melihat pada tempat yang dituju, ia mengambil tusuk yang berbahan lidi kelapa.
Dalam beberapa ayunan, ia sudah duduk di dekat cucunya yang masih hitam putih. Ia mengatakan dengan sadar atau tidak. Cucunya yang sudah duduk mencangkung di pinggir amben. Nenek memperlihatkan senyuman lain. "Kenapa Nek, kok senyum-senyum sendiri."
"Nenek merasa waktu begitu cepat berlalu."
"Bukanya itu biasa terjadi."
"Akan datang satu masa, dimana waktu layaknya air mangalir."
Cucunya sendiri masih duduk manis ditempat yang sama. Menanti lisannya bertutur. Ia penasaran pada cerita nenek yang menggantung. Kemarin geman azan maghrib menyudahi pembicaraan mereka.
Sang sang Nenek mulai batuk kecil tiga kali setengah. Yang setengahnya itu dihitung keempat, suara batuknya terlampau kecil. Bahu cucunya direngkuh pelan. Lorong-lorong waktu membekap isi kepala cucunya, hingga terjeda pada satu hal.
"Lalu?" tanya cucunya.
"Nenek itu, memasak "cucunya" sendiri yang telah di belah menjadi beberapa bagian. Seolah daging olahan yang siap dimasak dalam beberapa bagian menu sesuai selera. Sorenya sang Ibu yang kelaparan membuka lemari kayu beraroma kecoa, mengambil nampan penuh daging goreng yang membangkitkan selera makannya." tutur sang nenek.
"Si nenek jahat itu tidak ketahuan, atau ditangkap polisi."
"Kita pada zaman yang serba buram,orang-orang sibuk dengan dunianya sendiri, nenek saja lupa bagaimana cerita begitu masuk kedalam kepala nenek, lalu sulit sekali hilan, mungkin sampai nenek tiada, menempel pada ingatan terakhir."
"Apa salah cucunya nek?"
"Tidak ada dengan cucunya, yang salah adalah isi kepala sang nenek."
"Kotor atau bagaimana nek?"
"Tidak, seluruh keluarganya tewas ketika dibunuh tentara nipon."
"Kasihan sekali."
"Begitulah perang, menyisakan dendam, kebencian, juga kewarasan."
"Cerita ini nyata nek."
"Nenek tidak tahu, saat nenek muda semua orang tahu kisah ini. Semua orang tua selalu menceritakan dengan macam. Katanya cucunya yang dibunuh itu bayangannya sendiri, entah itu mirip kambing, kuda, sapi, ataupun kerbau."
"Apakah nenek akan begitu suatu saat nanti."
"Saat nenek bertemu tentara jepang, nenek selalu menyimpan kotoran kambing di saku nenek."
"Untuk apa."
"Agar nenek tetap waras, jika tidak tentara jepang itu kehilangan kewarasan."
"Aku jadi bingung nek, nenek punya cerita lain?"
Nenek Marta terkekeh.
"Banyak besok sore nenek kasih cerita lainnya."
"Cerita hantu nenek punya?"
"Nanti kamu tidur minta di temani nenek."
"Aku tidak takut hantu nek, cuman geli."
Azan maghrib berkumandang. Mereka bersiap ke langgar yang berjarak satu kali makan gorengan.
0 Comments:
Posting Komentar