Selasa, 17 Maret 2020

NAIK SETINGGI TELINGA

1

Udara masih berkaldu bubuk mesiu. Mengawang-awang mencari residu yang tersisa. Sisa-sisa mencekam masih mengembun. Mereka sudah ramai membicarakan tentang kemerdekaaan. Setidaknya tak mereka temui bendera setengah tiang.

Orang-orang masih mencari sisa-sisa akal yang terbengkalai akibat bom, martir, atu peluru tajam. Hal-hal terasa seperti merendam kedua kaki dalam jamban lama. Bau busuk serta aroma terapi.

Kalian menyangka peperangan menghasilkan kemenangan nyata. Ia hanya ilusi, sekedar mencari popularitas kekuasaan atau oligarki yang tertahan seperti kentut tiga hari belum BAB. Bila kemenangan hanya merebut sebagian hati orang, menyenangkan, menyuapi, bahkan mengelus-elusnya setiap menjelang tidur.

Mungkin kita hanya perlu menaikkan tangan setinggi telinga, agar kewajaran  akan nampak sebagai kemenangan. Pahlawan hadir melengkapi kenyataan pahit. Mereka menganggap realita sebagai kemenangan yang tertunda. Mungkin saja tidak, kemenangan hanya ada kalau orang-orang yang tegar untuk mengalah.

Prajurit yang bersitatap dengan kawan seperjuangan akan mengatakan MERDEKA!, sambil tangannya naik setinggi telinga. Ia bukti kuat atas pengorbanan yang telah lama ia idam-idamkan. Agar tak ada lagi bendera setengah yang terkibar-kibar. Karena nampak bosan mengibarkan bendera kuning pada setiap gang demi gang.

Aku curiga kita hidup tak pernah menaikkan tangan setinggi telinga. Kita terlalu abai dengan banyak hal.Nyawa dianggap remah-remah roti. Hingga kehormatan nampak seperti kenclengan yang mesti dicicil bil perlu.