Tampilkan postingan dengan label Sudut Pandang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sudut Pandang. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 September 2021

Aku dan Dea Anugrah

Mungkin persamaanku dengan Dea Anugrah, hanya satu hal saja. Ia pernah meminum air galon selama dua hari untuk mempertahankan "kehidupannya" selama kuliah. Maaf, ini terdengar sok tahu. Karena aku hanya melihat Dea Anugrah bercuap-cuap di You Tube yang kutonton berjam-jam. Entah kenapa pemuda ini menyedot isi pikiranku untuk mendengarkan kata-kata yang menurutku amat jenius, jika ini tidak berlebihan. Aku hanya melihat dari jauh, mungkin suatu saat bisa bertemu, dan bertanya banyak hal padanya. Tulisan ini kubuat, untuk mengabarkan pada khalayak. inilah caraku berterima kasih padanya.

Aku lebih tragis darinya sekaligu iri, ia "hanya" meminum air galon selama dua hari, sementara aku harus menyiksa perutku selama tiga hari dengan air galon yang kubeli Rp 3000 rupiah. Satu kali gratis membeli air galon, jika berhasil mengumpulkan tujuh kali bukti pembelian. Kuanggap diriku sebagai penyintas dari ketidakberdayaan melawan kelaparan yang 'kugauli' selama kuliah di Ciputat. Ia begitu lentur bercerita soal pengalaman intelektual di Yogyakarta, berfilsaf di UGM dan lebih sering nongkrong dengan anak UNY.


Ini sebentuk kekaguman saja pada cara menuangkan ide dan tulisan, sekali lagi aku mengenalinya lewat tulisan dan media sosial. Setelah selesai tertawa sempurna biasanya ada hal memikat yang bisa keluar dari mulutnya. Misalnya ia mengatakan "setiap tulisan akan menemukan bentuknya sendiri" kurang lebih seperti itu. Bagiku ini jenius, aku yang masih gagap mempresentasikan sebuah cerita menjadi puisi, cerpen, atau novel seperti mendapat uluran tali ketika hendak jatuh ke jurang.

Bagiku yang awam berfilsafat mendengar cara pikirnya tentang dunia filsafat. Ia mengatakan tanpa Georg Wilhelm Friedrich Hegel tidak ada Karl Marx, ia seperti ingin melipat 'keruwetan' dalam dunia filsafat menjadi lebih sederhana. Itu yang kurasakan.

Entah kenapa 'mereka' yang dari filsafat sanggup membuat tulisan yang mencengangkan. Ada juga yang dari lulusan sastra yang bisa melahirkan konsep dan cara berpikir yang cerdas. Sebut saja Mahfud Ikhwan, yang usianya terpaut empat tahun saja denganku. Dan mungkin banyak lain yang belum kuketahui. Kita kembali ke pemuda ini, ia mengatakan kalau penulis itu dibentuk dari buku-buku yang dibaca, dan tidak ada kausal dengan latar belakang pendidikannya. Dasar pemikiran itu membuatku menjadi semakin menggebu untuk menyelesaikan tulisanku. "

Cerpen Dea yang menarik salah satunya, Kisah Sedih Kontemporer. Kalian sudah baca, kalau belum itu masalah kalian sendiri.

Minggu, 02 Mei 2021

Memanggil Kepekaan

Bagi jiwa yang tidak memiliki hubungan dengan Tuhan-Nya maka ketersediaan nilai kesadaran akan hubungan-Nya, semakin mengecil. Kemuliaan-kemuliaan yang melekat pada setiap jiwa akan mengkerut jika tak terdapat secuil kepekaan dalam pikiran juga dadanya. Ia membiarkan karat mengganggu perjalanan nuraninya. Ia juga tak cepat-cepat mengkoreksi coretan itu dengan lafal-lafal dari langit, melepaskan begitu kehendak yang sempat terbesit dalam pikiran jernih. Ia rela menuangkan segelas gelap yang membutakan langkah-langkahnya, bahkan tongkatpun tak juga memberinya jalan kemudahan. Ia malah mengeratkan ikatan yang telah lama mengungkungnya diam-diam, lalu tanpa disadari muncul benjolan yang menyerap terus menerus kelembutan hingga tak berbekas.
 
Ketaknormalan yang merajalela tak juga ditanggapi sebagai panggilan Tuhan agar ia lekas-lekas mengoreksi catatan keimanannya. Jika tak sanggup ada pilihan hati yang bisa menyokongnya menjadi detak-detak semangat dan inspirasi bagi manusia lain. Sebagai cipatan-Nya insan menyediakan secuil potensi agar gerak lisan dan jiwanya tak hitam jelaga. Sesekali tisu putih yang berubah menjadi krecek akan terasa nikmat, jika tak disadari keberadaannya.

Yang lain, penggerak roda pikiran menjadi lebih mulus ketika semua fungsi tubuh mengarahkan pada kebahagiaan yang hakiki. Insan menjadi lebih terpanggil pada kenyataan hidup di depan matanya, meski statusnya sebagai insan 'papa' menjadi incaran mulut-mulut yang miskin kasih sayang. Mereka juga butuh pertolongan, tinggal menunggu momen saja.

Malaikat turun ke bumi menyapa sang Nabi terakhir ingin menyampaikan mandat dari Tuhan-Nya. Ia mengatakan "Wahai Nabi tak jauh dari Anda ada seorang "Malang" yang nantinya akan masuk neraka." Setelah selesai ia melesat pergi dari hadapannya.

Lalu lewatlah seorang ibu yang tengah menggendong anaknya yang tak berhenti menangis sebab lapar yang menohok. Wanita "malang" yang bekerja di tengah lumpur kegelapan tengah menggigit sebagian kurmanya. Ia menghentikan gigitannya dan berjalan tergesa-gesa menyambangi si anak dan memberikannya. Malaikat turun dan menjalankan mandatnya bahwa si wanita "malang" itu akan menjadi penghuni surga.

Level keibaan wanita "malang" itu pada level yang membuatnya nasib si wanita berubah seketika, tidak perlu menunggu waktu lama agar takdir si wanita "malang" menjadi takdir yang mulia. Itulah definisi dari insan yang berfilantropi.

Jiwa yang keras jua menjadi titik gelap hingga ia tak bisa menyerap kejadian dari Tuhan. Bahkan Ahli kegiatan langit pun tak bisa membedakan sebuah peristiwa. Ketika banjir melanda dan air sudah menyentuh lututnya, menyentuh dadanya, bahkan ketika air sudah sampai loteng ahli kegiatan langit tetap menolak semua pertolongan manusia. Ketika ia protes dengan Tuhannya. "Mana pertolongan Mu" kata si ahli kegiatan langit. "Aku sudah memberi pertolongan kepadamu sebanyak tiga kali" kata Tuhannya. Hati yang keras telah membuatnya menolak semua kebenaran (pertolongan) dari para penolongnya. (Hanya Tuhan Yang Tahu).

Selasa, 06 April 2021

DISTORSI KLARIFIKASI

Tak terasa kita sudah melewati masa-masa sulit yang kadang menjungkalkan akal sehat pada jurang yang menghawatirkan. Masa-masa sulit terjadi karena alam yang menghendaki, takdir yang menentukan setiap perjalanan manusia. Tetapi di luar jangkauan kita sebagai manusia, ada sejumlah kesulitan karena hasil desain dari tangan-tangan miskin kasih sayang. Bisa hasil kebencian yang mendalam atas sebuah agama tertentu. Di mana idiologi semakin mengeras, "tak lagi" membuat kebahagiaan. Memakai baju agama untuk menghasilkan kekerasan yang menyakitkan. Lalu dengan enteng membawa agama tertentu untuk menjadi pelindung diri. Bisa juga hasil dendam yang tak berkesudahan. Atau yang paling eman adalah hasil dari penyimpangan data yang tak masuk akal.

Perang membuat luka yang terus menganga sepanjang masa. Meninggalkan kengerian yang membuat sebagian sakit jiwa. Mimpi-mimpi indah menjadi semakin jauh dari jangkauan. Tak segan-segan mereka menjungkalkan sisi kemanusian atas dasar pendangkalan kemanusiaan yang menurutnya perlu diperbaiki. Alih-alih membuat nyaman atas sisi-sisi lainnya. Meski berbeda keyakinan, tetapi mereka juga adalah manusia yang haram ditumpahkan darahnya, tanpa alasan yang kuat. Bagaimana mereka pulang ke rumah tinggal nama, dengan dibaluri jeritan dan kepanikan yang melanda seluruh anggota keluarga. Tulang punggung mereka meregang nyawa di tangan "orang" yang mengaku pada agama yang cinta damai. Ini akan terjadi secara berlarat-larat jika ada yang menginginkan demikian. Apalagi melukainya atas dasar kesadaran bukan keterpaksaan di bawah lesatan peluru atau tajamnya kilatan pedang.

Genangan darah tak membuat ciut untuk mengurungkan niat busuknya. Apalagi sekedar untuk klarifikasi atas sebuah pesanan. Mungkin terlalu jauh pada data yang diterima. Apalagi kotak-kotak penuh perhiasan ada dalam genggamannya. Membuatnya mabuk kepayang yang langkah-langkahnya menjadi terhuyung-huyung. Tertawa sepenuh tenggorokan dan makan sepenuh mulut, kedua tangannya menggenggam sekerat daging bertabur kezaliman. Ini zaman di mana sebagain orang suka menyembunyikan kebenaran, dan menertawakan kebenaran  di depan mata.

Penyimpangan data yang "parah" membuat anak kecil harus berangkat ke sekolah lebih awal, padahal gema subuh belum juga terdengar. Tembok-tembok rakitan membuat kakinya lincah memilih jenis tanah yang nyaman bagi kakinya, atau ia pulang dengan kehilangan salah satu kakinya. Pada dadanya terselip keberanian yang putih, tak pernah takut mengangkat wajahnya pada orang-orang berseragam yang telah kehilangan pegangan hidup. Pada dunia lain, ada kerumunan yang tak membawa apa-apa kecuali yang melekat di tubuhnya. Sambil memikul seorang ibu yang telah kehilangan kekuatan, karena uzur. Ini adalah jenis pertarungan yang memilukan. Di mana yang senjata memiliki kekuasaan yang mudah sekali terkena bujuk rayu, hanya menyisakan sedikit kekuatan setelah dilemahkan jika tak ingin mendengar "kebiri".

Mungkin kita perlu "tenang" sejenak, jika tak ingin menggunakan kata "diam" untuk mendapatkan jenis kontemplasi yang apik untuk menghadapi gempuran apapun. Untuk menajamkan pikiran sekaligus menjernihkan kata-kata. Agar apa yang terjadi, katakan terjadi. Agar yang tidak terjadi, katakan juga tidak. Sebelum "tangan" Tuhan bertindak, karena mendapatkan banyak laporan dari kemarahan alam yang terus dianiaya, darah terus ditumpahkan, dan kebenaran terus saja ditertawakan.

Senin, 26 Oktober 2020

SEKOLAH BUKAN TEMPAT LOUNDRY

Pertemuan "Ke-4"

Ia tetap duduk di luar kelas ketika temannya sudah mulai warming up untuk track panjang selama pelajaran nantinya. Justru ia malah sibuk bergelantungan mencari perhatian. Setidaknya ia diperhatikan meski dengan menguras rasa malu yang mungkin ia miliki ketika di Tk, atau ia memiliki cara sendiri berkomunikasi di luar kelaziman. Tak ada yang ditutupinya sekilas, tetapi mungkin ia sedang membangun benteng agar bisa bertindak semaunya dan ini yang membuatnya tetap nyaman.

Untuk beberapa kali mungkin ada baiknya memberinya keleluasan mengekspresikan perasaannya di pagi hari. Tetapi tak tepat membiarkannya dalam keadaan emosi yang carut marut. Seperti ada dendam yang terus bersemayam dalam dadanya, itu terpancar oleh sorot mata yang lelah dan acuh terhadap setiap stimulus sepositif apapun. Ia punya dunia, yang dengannya tak mau diganggu, bahkan oleh ibu kandungnya sendiri. Kemungkinan seperti itu bisa jadi terjadi, lingkungan telah membekalinya dengan segudang pengalaman yang membuatnya tetap kukuh dengan cara pikirnya yang ia serap dari masa-masa kecil yang kelam.

Ketika kegiatan keagamaan tengah dilaksanakan dengan setenang mungkin, ia tetap saja berdiri di jendela yang tak berdaun. Sebuah ruang ventilasi yang terlampau besar. Sirkulasi yang baik untuk kesehatan, anak-anak punya daya imajinasi yang baik manakala otak selalu dimasuki udara yang bersih tanpa debu. Saya setuju itu. Bagi anak yang punya sisi kelam di masa lalu, tak lagi menganggapnya sebagai jendela yang penuh imajinasi. Tempat lengang seperti itu adalah benteng terbaik agar seseorang atau fasilitator pun tak coba-coba menyentuhnya. Ia akan membentaknya sebentak-sebentaknya, tanpa memperdulikan perasaannya. Karena ia sendiri punya segudang goresan yang telah menggelapkan sebagian kenangan masa kecilnya. Kita, tentu saja tak menyalahkannya begitu saja. Tanpa memperdulikan semua latar belakang dan depannya.

Ini adalah kisah tentang bahasa yang dimaknai sebagai alat komunikasi semata. Tak ada yang menyalahkan tentang itu. Tetapi mari coba sedikit meluangkan waktu tentang bahasa yang bisa dimaknai sebagai instuisi tajam atas sebuah gejala. Hingga bahasa bisa merobek semua keruwetan yang telah bersemayam dalam pikiran kecilnya. Sebagai cara kita 'bertengkar' dengan situasi yang seolah tak lagi bisa dipecahkan menjadi kepingan senyum atau tawa yang lepas layaknya anak sebayanya.

Pikiran anak mungkin seperti sifat fiksi yang bisa berubah menjadi subversi dari realitas kehidupan seseorang, entah itu anak kecil atau orang dewasa. Semuanya berusaha untuk mengomentari sebuah kebenaran dengan caranya sendiri lewat lorong pikiran yang dikumpulkannya sejak ia lahir. Mungkin membiarkan pikirannya agar tetap jernih adalah hal jitu, meski terkadang ia tantrum tak tertahankan. Hingga merepotkan semua lini pergerakan. Teman-temannya takut, dan fasilitator berpikir keras mencari jalan keluar. Saya pikir itu cara yang tepat mengekspresikan sesuatu. Sedalam apapun pikiran kita tentang dunia anak-anak, kadang kita tak bisa menjangkau secara tepat. Kita kadang mereka-reka, atau mengira-ngira setepat apa cara kita menjangkaunya.

Seorang ibu bisa jadi tak bisa mengerti seluruh isi pikiran perasaan anaknya sendiri. Ia tak bisa menyentuh hal dasar yang sedang dibutuhkan oleh anaknya, entah karena interval waktu yang disediakan olehnya terlalu sedikit. Atau anak-anaknya kelewat asik menekuni dunia yang telah lama digelutinya tanpa pelukan hangat dari ibu atau ayahnya. Kemungkinan itu selalu ada.

Setidaknya kita dapat menarik lengan anak mana kala ia tercebur kedalam tinta hitam yang membuatnya bingung untuk melangkah. Bekali mereka, dengan pena yang membuatnya percaya diri menuliskan sejuta pikiran dalam selembar kertas masa depan, tanpa perlu menenggelamkan diri dalam kubangan perasaan entah. Saya pernah merasakannya, dan bisa melewatinya. Mudah-mudahan dan menjadi mudah anak-anak mampu memilih jalannya sendiri tanpa perlu menanggalkan keyakinan atas Tuhan yang telah merahmatinya.

Kamis, 22 Oktober 2020

SEKOLAH BUKAN TEMPAT LOUNDRY

Pertemuan "ke-3"

Anak itu menggapnya aneh. Ia mungkin terlalu percaya pada pengamatan sehari-hari, ayahnya sendiri sering dibilang "aneh" menurut versinya. Dikepalanya terbayang satu susunan kata yang terpantik jika suasana atau tekanan menerpa dirinya. Bahkan ia bisa mengklamufase setiap tindakan yang dianggapnya aneh, menurut ayahnya. Beberapa peristiwa menyebabkan ayahnya kehilangan kecepatan untuk mengatasi setiap letupannya.

Ia kadang berteriak untuk mengekspresikan sesuatu. Simbol yang kerap diterima oleh ayahnya sebagai suara yang berisik. Ia berdalih membangunkan orang yang sedang beristirahat, atau suasana hatinya saja yang belum ajeg. Bahkan cara anaknya berkomunikasi sudah di level yang menggembirakan. Ia mungkin masih meraba.

"Bunda tertawa girang." salah satu contoh yang ia ucapkan, terdengar tanpa terencana. Ia mengganti kata 'riang' menjadi girang yang kelewat dewasa, mungkin saja. Entah dari mana ia mendapatkan kosa kata itu. Yang jelas alam sudah menyediakan secara melimpah. Entah ia akan menerima dengan saringan atau telan bulat-bulat.

"Ora jelas ayah." adiknya mengganti kata 'nggak' atau 'tidak' dengan kata 'ora' yang ia dengar dengan tingkatpengulangan yang memadai. Ini sungguh menakjubkan. Ayahnya sendiri tak kuasa menahan "tawa" yang menguras emosi, mental, dan meruntuhkan seluruh atau sebagian padanan kata.

Ya, mungkin ia butuh momen hingga bisa menguasai seluruh medan atau wilayah kepribadiannya hingga menjadi benteng kokoh untuk bersikap dan ber-mandiri. Atau merutinkan kemandirian, dengan rajin gosok gigi, bangun lebih pagi, dan merutinkan berbagi. Maksimal kepada dirinya sendiri atau minimal kepada orang lain.

Kemungkinan lain adalah ruang. Ia simbol yang membuatnya cakap dalam menentukan sikap dan ketekunannya menyakini sesuatu. Anak itu kelihatan baik-baik saja ketika tak ada waktu yang mengizinkannya bermain dengan teman sebaya. Ia dengan mudah mengajak ayahnya bermain, entah itu taplak gunung, kotak pos belum diisi, bola, lempar bola, atau ia bisa menemukan jenis permainannya sendiri secara mengagumkan.

Buku-buku yang bergeletakan di atas meja, tak bersusun menjadi sasarannya. Apa saja yang ia temui dan indrai secara selintas. Ia akan berdiri atau diam beberapa saat untuk merampungkan proses membacanya yang sakral. Ia berhasil atau cukup berhasil bisa melampaui satu tahap yang teman sebayanya lalui dengan rutin.

Ia tak lagi mengucurkan air mata, jika yang sakit adalah fisiknya. Luka ringan, terparut karena lari kejar-kejaran adalah salah dua bentukan yang sering ayahnya lihat pada masa-masa sekarang. Ia makin kokoh dengan caranya sendiri bukan sentuhan orang yang terdekat. Mungkin memperolehnya semacam coaching saja. Ia bisa tertawa sangat mirip dengan sosok yang sedang ia dekati, secara masa. Bisa berkelit dengan cara yang mumpuni. Berargumen dengan mimik, kata-kata yang menohok pikiran dan perasaan. Ia seperti kelapa muda yang beberapa pekan lagi siap panen menjadi serutan kelapa untuk campuran es kelapa. Atau menjadi padat hingga menjadi kelapa tua yang siap menghasilkan minyak kelapa yang lezat.

Sabtu, 18 Juli 2020

SEKOLAH BUKAN TEMPAT LOUNDRY

Pertemuan Ke-2


Ia melempar meja dan kursi seperti kertas-kertas dari buku yang disobeknya kasar. Kotak-kotak kecil berisi perlengkapan bergulingan, tak beraturan. Map-map berjatuhan. Sebuah lukisan yang dibungkus secara apik berubah remah-remah. Ketika seorang guru masuk, ia membentaknya secara vulgar tanpa segan ataupun tak enak. Pertahanan terbaiknya adalah tantrum sejadi-jadinya. Sebuah benteng yang teramat kokoh lagi sulit ditembus. Kecuali oleh orang-orang yang dipercayainya.

"Diam!" bentaknya. Guru itu menatapnya prihatin. Meski hatinya ikut juga mendidih, terapi langit ia gulirkan agar tersungging senyuman kemudian. Telapak tangannya berkeringat. Karbo yang dikunyahnya di pagi hari cepat sekali menguap. Guru yang lain ikut membantunya. Pasukan tambahan, sementara ia mulai menertibakan segala sesuatunya.

Kami menikmati makan siang dengan rasa tak biasa. Lapar yang tak tergantikan dengan lauk apapun. Sebuah kehambaran yang kerap terjadi, meski tampak sepele tapi hormon tak juga membantu. Kegiatan makan siang seperti melambat. Seperti film yang diperlambat agar frame semakin tajam terulang dengan maksimal.

"Diam!" bentaknya kembali. Teman-teman yang mencoba menghiburnya surut juga nyalinya. Tak berani melakukan hal yang jauh lagi. Pergerakan tampak kaku dan serba kikuk.

Kami meninggalkannya sejenak untuk memberi ruang privasi. Agar ia bisa meredam emosinya yang terlanjur meluap. Syukurlah ia bisa meluapkan emosinya, walau tampak berlebihan. Kadang serba diam ketika meredam situasi juga tak begitu salah, asal tampak wajar dan proporsioanal. Kami tak ingin melihatnya dalam diam yang menyeramkan.

Tubuhnya memang kecil, tapi ia punya kekuatan di atas rata-rata anak sebayanya. Meski baru sembilan tahun, ia memiliki tenaga tambahan yang dikumpulkannya sejak lama. seperti kumpulan tenaga dalam yang dilatihnya bertahun-tahun. Tinggal menunggu momen saja, maka ia bisa mengangkat meja dengan enteng saja. Padahal butuh dua anak untuk bisa mengangkat dengan wajar.

Sorot matanya terasa menyimpan dendam. Dendam pada orang dewasa di sekelilingnya. Meski tak semua orang dewasa bersikap tak kompromi dan terlihat menakutkan. Setiap ia tantrum, seisi kepalanya berhamburan peristiwa-peristiwa buruk yang datang secara otomatis. Ia kerap hadir untuk memporak-porandakan segala sikap yang pernah dituturkan oleh gurunya.

Guru itu mencoba merengkuh kedua bahunya yang tampak ringkih. Mencoba menawarkan menu makan siang. Tatapannya tampak ragu, tapi sorot sang guru seperti meyakinkan. Ia pun mengangguk, melangkah ke meja makan mengambil piring dan sendok dan mengisinya dengan nasi beserta lauk pauk.

Raut wajah yang tampak menakutkan bagi anak-anak yang lain, kini mulai mencair. Tersungging senyuman yang terlihat wajar, tapi ada rasa yang masih disembunyikan. Ia seperti  beranjak dari kenyataan satu ke kenyataan yang lain. Ia masih menyimpan rasa sakit yang penawarnya masih misterius. Atau barangkali hanya ia sendiri yang mampu mengobati. Bahkan sekolah bisa jadi menyuburkan "penyakit" dengan perlakuan yang tidak tepat. Bisa jadi sebaliknya. Ini hanya asumsi semata. Boleh setuju boleh tidak.

Kamis, 25 Juni 2020

Sekolah Bukan Tempat Loundry

Anak perempuan itu memukul-mukul mejanya. Guru di hadapannya tak ia pedulikan. Pijakan lembut tak juga mempan menyentuh gendang telinganya saja. Tak sampai perasaannya. Mungkin membutuh momen untuk membuatnya tenang dengan ketidakmampuannya membaca.

Dengan badannya ia bisa menipu siapa saja. Mungkin pikirannya tak bisa ia tipu. Guru di depannya tak begitu ia anggap sebagai mana mestinya, ini hanya contoh, tak perlu risau.

Mungkin karena ia guru baru, jadi tak ia anggap sama sekali. Ia mungkin menghormati guru lamanya yang telah menundukkan "keliarannya" selama ini. Ia ingin mengintimidasi gurunya, sebagai mana ia sering diintimidasi guru lamanya. Sebuah pikiran yang tampak normal. Sebuah dendam yang tak berkesudahan, tapi mungkin terlalu berlebihan.

Semua cerita bisa berawal dari mana saja. Ini hanya cerita, kalian senang dan tertarik, itu biasa. Menganggapnya luar biasa, karena sekolah bukan tempat mencuci segala kebodohan, itu juga biasa. Karena kadang menganggap yang biasa itu tak biasa. Mungkin sekolah hanya menempa, bukan mencipta, biarkan anak-anak berkembang mengasah bakatnya. Kalaupun tak ditemukan bakat apa-apa. Justru itu yang barangkali luar biasa. Karena ia berjalan tanpa memakai selendang kesombongan. Di saat teman-teman yang dulunya berbakat, ia bersedih karena menemukan temannya meringkuk di balik jeruji besi. Atau ia tetap rendah hati, kepada temannya yang berbakat apa saja.

Perjalanan ini baru saja di mulai...

Senin, 22 Juni 2020

Cerita Akhir Pekan

Ia menghendaki agar suasana rumahnya lebih nyaman dari sebelumnya. Kebebasan berpikir kerap mewarnai, lebih tepatnya percekcokan sih. Perempuan yang telah mengandung anak-anaknya tak jadi soal ketika sekolah berhenti di tengah jalan. Ada apa dengan isi otaknya. Gelagapan ketika mendung jadi hujan, api yang menyengat, dan tulang masih kuat.

Ini cerita tentang sejarah yang terulang. Sejarah mestinya tak perlu diulang-ulang, bila memang perlu. Kesalahan mestinya jadi sejarah, agar tak terulang.

Ia laki-laki dusun yang kedusunannya mengalahkan dusunnya sendiri. Di luar sana orang dusun bisa menjelajahi eropa dan asia, mungkin juga lebih, tapi hanya ke Bandung saja, ia mengeluh. Di ledek teman-temannya sedikit, ia ngambek, mutung, dan mencari-cari alasan agar tak menopang seluruh tanggung jawabnya sebagai suami. Kapan ia akan belajar untuk menopang, bukan menelantarkan hak-haknya, lalu bersandar kepada orang yang tampak kuat.

Sekian tahun berlalu, tampak begitu-begitu saja. Mungkin baginya nasib tak pernah bisa diubah. Padahal nasib ada pada telapak tangannya sendiri.

Ini cerita akhir pekan yang paling sumir, meski tak ingin di sebut menyedihkan. Tapi sebenarnya amat memilukan. Beban pikulan harusnya terbagi secara rata agar beban tak menumpuk pada pundak yang sama. Manusia terlalu rapuh untuk tempat bersandar.

Jumat, 31 Mei 2019

"Passion" dalam konteks Pendidikan, Kreativitas, dan Bayar Tagihan

Bagian Keempat



Uang dan "Passion"
Jika ada satu pembahasan yang mungkin bisa ditambahkan dalam Finding Your Element adalah soal hubungan antara mata pencarian (baca:uang) dan passion. Sebenarnya ini sudah diungkapkan Ken Robinson dalam berbagai contoh dalam buku tersebut. Namun, sekedar untuk memberi jawaban Your passion is alreaday within you-the clues are everywhere your feelings. Passion bisa di definisikan dengan banyak cara. Definisi yang paling tepat untuk saya adalah ini, segala aktivitas yang membuat kita merasa berdaya. Kata kunci pertama adalah "aktivitas". Kata kunci kedua "merasa berdaya", sehingga tidak harus langsung piawai, tetapi prosesnya terasa dimudahkan, diasyikkan, dan diberdayakan.

If You Think your passion does not pay your bill, please ask these questions to your self:

Satu, Apakah saya sudah tahu aktivitas yang membuat diri ini merasa berdaya, mampu, dan tahan banting, dan seterusnya?.

Dua, Apakah saya sudah menekuni aktivitas tersebut sehingga menjadi piawai?.

Tiga, Apakah saya sudah menghasilkan kreasi keren (baca: karya keren yang bermanfaat bagi banyak orang) dari aktivitas tersebut? silakan jawab. Jika semua jawabannya "ya!", saya pastikan uang sudah tidak jadi masalah.

Nah, Anda yang masih mempertanyakan (lagi) kenapa harus tahu, paham, dan peduli passion, selain wajib membaca Finding Your Element, bisa jadi jawabannya sudah disajikan dalam serangkai kalimat indah karya Jalaludin Rumi sekitar 800 tahun lalu berikut ini.

"With passion, we pray
With passion, we make love
With passion, we eat & drink & dance & play
Why look like a dead fish in this ocean of god?"


Sumber: KOMPAS, Jumat, 22 November 2013
Oleh: Rene Suhardono, Penulis dan Pembicara Publik.
@ReneCC
@kompasklass#baca

"Passion" dalam konteks Pendidikan, Kreativitas, dan Bayar Tagihan

Bagian Ketiga



Passion wthout creation is meaningless, nothing! Nah, uang berasal dari kinerja, yang akan sangat keren jika diawali dari passion. Apakah bisa dapat uang tanpa passion? ya, bisa saja, tetapi belum tentu prosesnya mengasyikkan dan sudah pasti tidak maksimal. Mempertanyakan bagaimana jika passion tidak bisa bayar tagihan sama saja bertanya kenapa tamatan SD tidak menghasilkan uang? Kenapa karyawan baru tidak langsung jadi presiden direktur? Kenapa suka politik, tetapi tidak jadi anggota parlemen? Jawabannya, semua dan apapun di kolong langit perlu proses.

Bagaimana mempersiapkan diri dan generasi penerus atas masa depan yang tidak pasti dan penuh tantangan? Ken Robinson percaya jawabannya adalah passion dan kreativitas. Keduanya adalah basis folosofi kehidupan berdaya.

Kenapa passion? Mengikuti arah kehidupan menggunakan passion yang sudah ada dalam diri sendiri adalah hal paling alamiah yang bisa dilakukan seseorang. Mencari passion adalah perjalanan berksinambungan memahami diri sendiri yang butuh kontemplasi, keheningan, dan kesabaran. You are responsible to turn your passion into meaningful creation.

Kenapa kreativitas? Karena ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup, bertumbuh, dan terus berkembang. Dunia tida lagi dan tidak akan pernah lagi sama. Perubahan dunia tidak bisa lagi di respon dengan pendekatan berbasis template masa lalu. Minyak bumi akan habis. Krisis pangan. Krisis air bersih. Krisis energi. Kemampuan bumi menyokong semua kehidupan semakin teruji. Peran manusia adalah sebagai pemelihara, penyeimbang, dan penjaga tatanan berkesinambungan.

Passion, kreativitas, dan pendidikan, ketiganya adalah inti pembahasan Ken Robinson dalam Finding Your Element. Seharusnya ini sudah bisa menjawab sebagian besar keraguan, kebingungan dan ketidaktahuan soal satu kata yang secara berulang-ulang disebutkan,"passion".

"Passion" dalam konteks Pendidikan, Kreativitas, dan Bayar Tagihan

Bagian Kedua


Ken Robinson percaya pendidikan lebih dari secarik kertas mahal atau formulasi angka yang tergambar dalam indeks prestasi komulatif (IPK). Kecerdasan tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Dengan jenaka, disebutkan oleh Ken Robinson bahwa yang harus dikembangkan bukan cuma isi kepala, atau bahkan hanya separuh dari isi kepala (mengacu pada pendewaan fungsi otak kiri sebagaimana yang dianut oleh sebagain besar institusi pendidikan). Sistem pendidikan harus menyediakan cukup ruang untuk berimajinasi, berksperimen, dan berekspresi.

Pendidikan tulen adalah soal pemberdayaan diri dan orang lain.

Lebih jauh disebutkan oleh Ken Robinson bahwa pendidikan harus lebih dari kuantitas, tetapi juga kualitas. Bukan cuma rutinitas, melainkan terobosan. Tidak hanya program, tetapi juga esensi dan manifestasi ilmu. Education is always about how to think, not what to think. And the how can be as many as the stars in the sky. Gamblang terhadap isu yang satu ini, izinkan saya melengkapinya dari pemahaman atas tulisan dia.

Jadi, harus bagaimana jika passion tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup?

Ken Robinson: Seriously people, what pays you bill is money, not passion! (ini bukan jawaban asli dari beliau, hanya rekaan saya atas respon yang mungkin diberikan oleh Ken Robinson). Passion bukan komoditas sehingga tidak bisa dihargakan sebagaimana layaknya barang dagangan. Membayar tagihan bulanan, cicilan kartu kredit, biaya anak sekolah, dan alokasi investasi harus perlu, dan mutlak menggunakan uang sebagai denominator transaksi yang paling diakui hingga saat ini.

"Passion" dalam konteks Pendidikan, Kreativitas, dan Bayar Tagihan

Bagian Kesatu


Anak-anak yang masuk SD tahun ini akan memasuki usia pensiun sekitar tahun 2069. Tidak ada satu orang pun atau metode apapun yang bisa memastikan hal-hal yang mereka hadapi. Tidak ada yang akan tahu bentuk dan tatanan dunia saat itu. Jangankan puluhan tahun, apa yang akan terjadi lima tahun ke depan saja sudah sangat sulit diprediksi.

Apa yang bisa dilakukan untuk mempersiapkan mereka dan diri kita sendiri menghadapi dominasi ketidakpastian? Apakah segala hal yang kita ketahui, terutama soal pendidikan saat ini sudah cukup memadai? jika tidak, hal apa lagi yang bisa dilakukan?

Logika ini bisa dijadikan landasan oleh Ken Robinson untuk terus mempertanyakan sistem dan cara kerja sebagian besar institusi pendidikan di dunia yang semakin usang. Sistem pendidikan yang merupakan warisan dari revolusi indrustri ditujukan sepenuhnya untuk mengisi kotak-kotak yang dibutuhkan di dunia indrustri. Celakanya, struktur indrustri pun sudah berbeda dan semakin berubah sejalan dengan perkembangan teknologi, lingkungan, bisnis, politik, dan interaksi manusia.

Kamis, 30 Mei 2019

POLA PIKIR

Ia seperti PALU yang terus memaku keyakinan agar tak lepas dari genggaman
Ia seperti REM tangan agar tak terperosok ke dalam jurang yang dalam
Ia seperti OMBAK yang mampu mengikis kekerdilan pikiran
Ia seperti RANJAU yang akan menjebak sekaligus merontokkan kesombongan

Ia seperti FILTER yang terus menyaring setiap virus kebodohan menggerogoti
Ia seperti OBAT yang akan menyembuhkan perasaan yang putus asa
Ia seperti RODA yang akan menggilas kemalasan tiap kemalasan
Ia seperti CAMBUK yang akan menyadarkan akan turunnya sebuah kepribadian

Pertarungan

Pilihan kata adalah mampu mencerna hal-hal yang bersifat jelas. 
Memberi semangat untuk yang lemah.
Sebuah senyuman yang mampu menetralisir semua kejanggalan tentang makna kata.
Soal beda rasa adalah keniscayaan pada sebuah jembatan pikiran per kepala.
Keyakinan pada kebenaran yang kita anut membuat kita seringkali terjebak pada ke egoisan.

Ini soal pertarungan yang terus merajalela peradaban manusia.
Pertarungan keyakinan.
Pertarungan kepercayaan.
Pertarungan kepintaran.
Pertarungan yang lainnya.

Pertarungan sesungguhnya adalah melawan perasaan kita sendiri, kecenderuangan, dan manipulasi ketenaran yang meninabobokan.

Sabtu, 25 Mei 2019

Mati Rasa

Jumlah kata yang kita ucapkan merupakan perumpamaan yang terlalu curang untuk dinikmati. Sejatinya sama dalam memaknai perbedaan yang menghiasi detik-detik rasa yang lama kalian tumbuhkan.

Mati rasa yang terlalu dalam membuat kematian lebih cepat untuk dinikmati tiap persinggahan.

Kalau setiap rasa yang kita tunjukkan adalah bentuk rasa yang sama dalam memaknai perbedaan sekaligus persamaan.

Selasa, 14 Mei 2019

Perhitungan sama Allah Swt

Kita melakukan aktivitas yang sifatnya keduniawian tak pernah mengeluh sedikitpun. Karena targetnya jelas dalam ukuran rupiah. Meski lelah dan letih tak pernah ia berucap untuk beralih darinya. Tak pernah kita hitung-hitungan.

Logikanya masih linier. Tak pernah lelah untuk mengejar materi, seolah hidup selamnya. Boleh saja. Asal Equel.

Coba sesekali gunakanlah logika terbalik. Agar tak pernah lelah dalam ibadah. Tak terdengar keluhan. Allah tak pernah hitungan dengan kita. Justru kitalah yang pelit sama Allah. Hitung-hitungan terus sama Allah.

Jumat, 10 Mei 2019

Interval

Interval mengambil jejak untuk rehat sejenak. Sekedar memperoleh tenaga lalu beraktivitas kembali.

Dalam hal perasaan juga sama. Rehat sejenak untuk mengambil kesempatan berpikir apakah perasaannya sama atau berbeda.

Interval amatlah bijak untuk mengawasi diri kita agar tak terlanjur membiarkan kebiasaan buruk apapun itu. Lalu beranjak kepada hal yang mengupgrade tentang nilai pribadi.

Hormat

Hormat adalah cara orang untuk menampilkan karakter pribadi agar terbaca sebagai orang yang memiliki keluruhan budi.

Cara orang memberi rasa hormat adalah berbeda-beda. Tersenyum di kejauhan, melambaikan tangan, mengangguk pelan, membungkuk, dan banyak cara untuk memberi hormat.

Ada juga orang yang berpenampilan baik untuk memberi hormat. Kepekaannya adalah kehormatan itu sendiri.

Seimbang

Selama kita hidup ada saja orang yang tak sanggup untuk siap ketika orang lain berhasil dengan kehidupan duniawinya. Selalu kasak-kusuk di belakang. Tak terima kalau dirinya tersaingi secara materi. Tengoklah sejenak betapa mewahnya fasilitas pribadinya. Hingga hilangnya kepekaan spritual.

Hidup itu rentang waktunya pendek. Seperti kejapan mata. Lalu sibuk merasa kurang dengan apa yang diterima. Singkatnya waktu membelanjakan materi teramat musykil untuk saling berkejaran.

Kita memang masih hidup dunia. Tetapi tak apik bila matian-matian untuk dunia. Paradigmanya adalah banting tulang untuk dunia agar tak malu di akhirat.

Hukum keseimbangan adalah penting agar semua proporsinya tepat sesuai dengan kadar keperluan hidup dunia dan akhirat.

Jumat, 03 Mei 2019

Kursi Malas

Setelah menjalani aktivitas yang panjang ada interval untuk menikmati kursi malas yang telah menguras energi banyak.

Adakah orang tak pernah menikmati kelelahan setelah aktivitas panjang. Kursi malas adalah yang paling nikmat untuk sekedar melepas keletihan.

Kursi malas menjadi salah satu wujud sykur kita akan jeda dalam berbuat sesuatu yang panjang. Telah ada waktu untuk setuju bahwa kursi malas menjadi nikmat untuk berpikir dan merenung.