Senin, 26 Oktober 2020

SEKOLAH BUKAN TEMPAT LOUNDRY

Pertemuan "Ke-4"

Ia tetap duduk di luar kelas ketika temannya sudah mulai warming up untuk track panjang selama pelajaran nantinya. Justru ia malah sibuk bergelantungan mencari perhatian. Setidaknya ia diperhatikan meski dengan menguras rasa malu yang mungkin ia miliki ketika di Tk, atau ia memiliki cara sendiri berkomunikasi di luar kelaziman. Tak ada yang ditutupinya sekilas, tetapi mungkin ia sedang membangun benteng agar bisa bertindak semaunya dan ini yang membuatnya tetap nyaman.

Untuk beberapa kali mungkin ada baiknya memberinya keleluasan mengekspresikan perasaannya di pagi hari. Tetapi tak tepat membiarkannya dalam keadaan emosi yang carut marut. Seperti ada dendam yang terus bersemayam dalam dadanya, itu terpancar oleh sorot mata yang lelah dan acuh terhadap setiap stimulus sepositif apapun. Ia punya dunia, yang dengannya tak mau diganggu, bahkan oleh ibu kandungnya sendiri. Kemungkinan seperti itu bisa jadi terjadi, lingkungan telah membekalinya dengan segudang pengalaman yang membuatnya tetap kukuh dengan cara pikirnya yang ia serap dari masa-masa kecil yang kelam.

Ketika kegiatan keagamaan tengah dilaksanakan dengan setenang mungkin, ia tetap saja berdiri di jendela yang tak berdaun. Sebuah ruang ventilasi yang terlampau besar. Sirkulasi yang baik untuk kesehatan, anak-anak punya daya imajinasi yang baik manakala otak selalu dimasuki udara yang bersih tanpa debu. Saya setuju itu. Bagi anak yang punya sisi kelam di masa lalu, tak lagi menganggapnya sebagai jendela yang penuh imajinasi. Tempat lengang seperti itu adalah benteng terbaik agar seseorang atau fasilitator pun tak coba-coba menyentuhnya. Ia akan membentaknya sebentak-sebentaknya, tanpa memperdulikan perasaannya. Karena ia sendiri punya segudang goresan yang telah menggelapkan sebagian kenangan masa kecilnya. Kita, tentu saja tak menyalahkannya begitu saja. Tanpa memperdulikan semua latar belakang dan depannya.

Ini adalah kisah tentang bahasa yang dimaknai sebagai alat komunikasi semata. Tak ada yang menyalahkan tentang itu. Tetapi mari coba sedikit meluangkan waktu tentang bahasa yang bisa dimaknai sebagai instuisi tajam atas sebuah gejala. Hingga bahasa bisa merobek semua keruwetan yang telah bersemayam dalam pikiran kecilnya. Sebagai cara kita 'bertengkar' dengan situasi yang seolah tak lagi bisa dipecahkan menjadi kepingan senyum atau tawa yang lepas layaknya anak sebayanya.

Pikiran anak mungkin seperti sifat fiksi yang bisa berubah menjadi subversi dari realitas kehidupan seseorang, entah itu anak kecil atau orang dewasa. Semuanya berusaha untuk mengomentari sebuah kebenaran dengan caranya sendiri lewat lorong pikiran yang dikumpulkannya sejak ia lahir. Mungkin membiarkan pikirannya agar tetap jernih adalah hal jitu, meski terkadang ia tantrum tak tertahankan. Hingga merepotkan semua lini pergerakan. Teman-temannya takut, dan fasilitator berpikir keras mencari jalan keluar. Saya pikir itu cara yang tepat mengekspresikan sesuatu. Sedalam apapun pikiran kita tentang dunia anak-anak, kadang kita tak bisa menjangkau secara tepat. Kita kadang mereka-reka, atau mengira-ngira setepat apa cara kita menjangkaunya.

Seorang ibu bisa jadi tak bisa mengerti seluruh isi pikiran perasaan anaknya sendiri. Ia tak bisa menyentuh hal dasar yang sedang dibutuhkan oleh anaknya, entah karena interval waktu yang disediakan olehnya terlalu sedikit. Atau anak-anaknya kelewat asik menekuni dunia yang telah lama digelutinya tanpa pelukan hangat dari ibu atau ayahnya. Kemungkinan itu selalu ada.

Setidaknya kita dapat menarik lengan anak mana kala ia tercebur kedalam tinta hitam yang membuatnya bingung untuk melangkah. Bekali mereka, dengan pena yang membuatnya percaya diri menuliskan sejuta pikiran dalam selembar kertas masa depan, tanpa perlu menenggelamkan diri dalam kubangan perasaan entah. Saya pernah merasakannya, dan bisa melewatinya. Mudah-mudahan dan menjadi mudah anak-anak mampu memilih jalannya sendiri tanpa perlu menanggalkan keyakinan atas Tuhan yang telah merahmatinya.

Kamis, 22 Oktober 2020

SEKOLAH BUKAN TEMPAT LOUNDRY

Pertemuan "ke-3"

Anak itu menggapnya aneh. Ia mungkin terlalu percaya pada pengamatan sehari-hari, ayahnya sendiri sering dibilang "aneh" menurut versinya. Dikepalanya terbayang satu susunan kata yang terpantik jika suasana atau tekanan menerpa dirinya. Bahkan ia bisa mengklamufase setiap tindakan yang dianggapnya aneh, menurut ayahnya. Beberapa peristiwa menyebabkan ayahnya kehilangan kecepatan untuk mengatasi setiap letupannya.

Ia kadang berteriak untuk mengekspresikan sesuatu. Simbol yang kerap diterima oleh ayahnya sebagai suara yang berisik. Ia berdalih membangunkan orang yang sedang beristirahat, atau suasana hatinya saja yang belum ajeg. Bahkan cara anaknya berkomunikasi sudah di level yang menggembirakan. Ia mungkin masih meraba.

"Bunda tertawa girang." salah satu contoh yang ia ucapkan, terdengar tanpa terencana. Ia mengganti kata 'riang' menjadi girang yang kelewat dewasa, mungkin saja. Entah dari mana ia mendapatkan kosa kata itu. Yang jelas alam sudah menyediakan secara melimpah. Entah ia akan menerima dengan saringan atau telan bulat-bulat.

"Ora jelas ayah." adiknya mengganti kata 'nggak' atau 'tidak' dengan kata 'ora' yang ia dengar dengan tingkatpengulangan yang memadai. Ini sungguh menakjubkan. Ayahnya sendiri tak kuasa menahan "tawa" yang menguras emosi, mental, dan meruntuhkan seluruh atau sebagian padanan kata.

Ya, mungkin ia butuh momen hingga bisa menguasai seluruh medan atau wilayah kepribadiannya hingga menjadi benteng kokoh untuk bersikap dan ber-mandiri. Atau merutinkan kemandirian, dengan rajin gosok gigi, bangun lebih pagi, dan merutinkan berbagi. Maksimal kepada dirinya sendiri atau minimal kepada orang lain.

Kemungkinan lain adalah ruang. Ia simbol yang membuatnya cakap dalam menentukan sikap dan ketekunannya menyakini sesuatu. Anak itu kelihatan baik-baik saja ketika tak ada waktu yang mengizinkannya bermain dengan teman sebaya. Ia dengan mudah mengajak ayahnya bermain, entah itu taplak gunung, kotak pos belum diisi, bola, lempar bola, atau ia bisa menemukan jenis permainannya sendiri secara mengagumkan.

Buku-buku yang bergeletakan di atas meja, tak bersusun menjadi sasarannya. Apa saja yang ia temui dan indrai secara selintas. Ia akan berdiri atau diam beberapa saat untuk merampungkan proses membacanya yang sakral. Ia berhasil atau cukup berhasil bisa melampaui satu tahap yang teman sebayanya lalui dengan rutin.

Ia tak lagi mengucurkan air mata, jika yang sakit adalah fisiknya. Luka ringan, terparut karena lari kejar-kejaran adalah salah dua bentukan yang sering ayahnya lihat pada masa-masa sekarang. Ia makin kokoh dengan caranya sendiri bukan sentuhan orang yang terdekat. Mungkin memperolehnya semacam coaching saja. Ia bisa tertawa sangat mirip dengan sosok yang sedang ia dekati, secara masa. Bisa berkelit dengan cara yang mumpuni. Berargumen dengan mimik, kata-kata yang menohok pikiran dan perasaan. Ia seperti kelapa muda yang beberapa pekan lagi siap panen menjadi serutan kelapa untuk campuran es kelapa. Atau menjadi padat hingga menjadi kelapa tua yang siap menghasilkan minyak kelapa yang lezat.