Tampilkan postingan dengan label Genre Humaniora. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Genre Humaniora. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Maret 2025

8. Drama Pengakuan

"Orang jawa lugu dari kampung itu perlu diberi tahu soal siapa yang kuat dan lemah," ucap seorang berkulit hitam berminyak. Bibirnya mengulum permen jahe yang dibelinya dari toko, tepatnya gubuk di jalan depan.

"Aku tak berani bang, orang macam tuh, biasanya tak kosong, ada isinya," ucap seorang lagi.

"Dasar pengecut, nanti malam, lihat saja siapa yang berkuasa disini, di kandang ayam."

Umar lewat didepan mereka. Tawa dan canda sebentar hening. Jam kerja tinggal sepuluh menit lagi. Umar sudah membawa cangkul dan pakan ayam.

Mereka kembali bekerja di kandang ternak ayam sampai senja. Mereka kembali ke bilik setelah bersih-bersih. Makan kenyang. Hujan turun setelah mereka mengunci dan meringkuk hangat dalam selimut usang turun temurun. Pada bagian biliknya terselip foto-foto keluarga mereka yang ditinggalnya di pulau jawa. Lelap segera menyergap pada mereka. Sementara Umar masih menulis surat yang ia akan kirimkankan ke Jawa.

Langkah tertib dibawah derasnya hujan. Seseorang hati-hati mendorong gerobak. Sarung ninja menyelimuti wajahnya. Nafasnya panas teratur. Sampai pada kandang besar. Ia berhenti dan masuk mengamati sejenak situasi. Merasa aman, ia mengambil telur-telur yang sudah dikemas siap diangkut ke dalam truk esok harinya.

Satu persatu dimasukan ke dalam gerobak. di rasa cukup, ia keluar dan mendorong gerobak nyaris tanpa suara.

Umar sudah tertidur pulas meninggalkan kertas surat yang sudah ditulis penuh dua halaman. Tulisannya miring ke kanan. Dengkurannya membuat si maling adalah jaminan bahwa dirinya mudah melakukan banyak hal.

"Siapa yang berani mencuri telur-telur dari kandang tadi malam!, sampai sore harus ketemu orangnya. Umar, kau urus ini, Hari ini saya mau ke kota."

Umar mengumpulkan semua karyawan di depan kandang. Mulai mengintograsi satu-satu.

Selasa, 27 Desember 2022

7. Insiden Siang Hari


 

Kedua anak MI itu tampak cemas. Mereka medengar ayahnya kecelakaan. Seorang Ibu memberitahunya ketika mereka muncul di mulut gang.

Mereka bergegas. Ada banyak pertanyaan mengenai kecelakaan itu. Tetapi mereka akan tanya sendiri pada ayahnya.

Lapar yang mereka rasa pelan-pelan menjadi rasa yang tegang berlipat. 

Sampai di rumah tak di dapatinya ayah. "Ia mungkin ada di kebun," Kata sang adik.

"Yuk coba ke sana," ajak sang kakak

Mereka mendapati sang ayah sedang membelah bambu menjadi bilah-bilah. Ada luka di kedua sikutnya, merah, tapi tidak meneteskan darah, mungkin sudah diberi obat merah. 

Kami sudah dekat dengannya, ia masih fokus dengan bilah-bilah bambu. Ia akan membuat pagar kebun, pagar kamar mandi, atau jangan-jangan pesanan tetangga. 

"Yah," ucap sang kakak. 

Ia menoleh tanpa melepaskan golok dan bilah-bilah bambu. Tetapi matanya tak pernah melepaskan pandangannya pada kami. 

"Kalian sudah makan."

"Belum yah."

"Makanlah dulu, ayah tidak apa. Kalian tak perlu khawatir. Nanti ayah menyusul, tanggung dikit lagi."

Mereka kembali ke rumah. Membuka tutup saja, dan melupakan sejenak apa yang terjadi. Tetapi apakah itu mungkin?

***

"Ayah sedang menuruni jalanan aspal. Dari belakang sepeda motor menuburuk sepeda dan menyeret hingga kira-kira sepuluh meter. Ayah berteriak, seperti ingin memberi tahu, sudah cukup kau, tindakan itu membahayakan. Ayah mungkin meracau. Ayah lega, masih bisa berdiri dengan kaki kuat."

Setelah itu ayah kadang memanggil kakak adik. Mulai dari ditimbakan air, mengambil kayu bakar, membuka kaos, dan hal-hal kecil lainnya. 

Untuk saat ini Umar sedang meringkuk dalam selimut. 






Selasa, 26 Februari 2019

6. Weselpos


Seorang tukang pos datang dengan honda bebek berwarna oren lengkap dengan ransel besar yang tergantung dua buah dijok belakang. ketukan pintu terdengar, Gina membukakan pintu. Kedua anaknya membututi dari belakang, seolah dunia ajaib sedang berlangsung. Pak Pos berkumis mirip bintang film masuk kedalam rumah setelah Gina memberikan izin. Pak Pos berkumis duduk diatas kursi yang terbuat dari kayu Nangka dengan rambang plastik sebagai bantalannya.

Selembar kertas berwarna coklat lalu diberikan kepada Gina, setelah basa-basi sebentar Pak Pos berkumis undur pamit dan pergi dengan honda bebek berwarna oren. Wajah Gina sumringah, Umar yang bulan lalu pergi merantau ke Tanjung Pinang, menanti kabar tiada kunjung tiba. Setelah mendapatkan kiriman wesel dari Umar, hati Gina yang kebat-kebit kini lebih mantap menata hidup.

Gina bercerita kepada anaknya kalau ayahnya sudah bekerja di sebuah peternakan ayam. Soal kebutuhan sehari-hari tak jadi soal, karena sang bos memberi pelayanan yang manusiawi. Kedua anaknya tersenyum, sementara kedua anak yang lain tengah berjibaku untuk merubah nasibnya.

Weselpos berwarna coklat telah mengubah kekusutan wajah Gina, ada seberkas harapan membumbung tinggi berharap takdirnya bisa berubah. Setelah memeluk kedua anaknya, lalu mengajaknya ke toko beras dan membeli kebutuhan lain. Roda kembali berjalan. Sementara Umar di Tanjung Pinang sedang beristirahat di gubuk sederhana lengkap dengan makan siangnya. Masak sendiri dan tidur sendiri.

Minggu, 17 Februari 2019

5. Merantau


Meninggalkan tempat yang nyaman, anak dan istri adalah hal yang paling berat. Tapi Umar harus mengambil keputusan, pekerjaan di kampung yang sulit membuat ia mengiyakan ajak seorang teman untuk merantau ke Tanjung Pinang. Meski pahit ia harus jalankan niatnya untuk memupus nasib sekaligus melawannya hingga akhir nafasnya. Keluarga Umar termasuk Outlander atau pendatang, sebagian besar tetangganya tak begitu menyukainya, beberapa dari tetangga juga secara terang-terangan memberi label kepada Umar: "Sekarang Umar jadi kere, merantau saja harus jual sebagian rumah."

Hati perih, jiwa tergores, air mata mengalir, sang istri membesarkan tekadnya. Nasib harus diubah, meski harus melawan waktu yang memedihkan. Rumah yang berdinding bambu harus ia ubah menjadi bata merah hingga rayap tak sanggup menggerotinya. Bukan hanya itu, ada misi besar yang ada di kepala Umar, yaitu menunjukkan kepada para penganut kebencian, pendengki, bahwa semangat mampu merobek sebuah takdir, semunya ada masanya. Kehidupan akan terus bergerak, roda pedati terus berjalan. Kadang kita di bawah dan di atas. Takdir akan berlaku adil kepada siapapun yang berani mengubah nasibnya sendiri.

Menggendong tas lusuh di punggung, Umar melangkah menuju titik kumpul. Di sana Umar akan di jemput dengan Bus Malam yang akan mengantarkannya ke pelabuhan Tanjung Priuk, dari pelabuhan ini Umar akan berlayar menaiki kapal PELNI menuju Tanjung Pinang. Sebuah Perjalanan yang tidak mudah, Umar membulatkan tekad bahwa dengan merantau dapat memupus segala kelaraan, kemiskinan, dan mengubahnya menjadi titik balik semangat pembuktian, sebaik-baik penghinaan adalah membuktikan diri lebih baik dari para penghina.

Kamis, 14 Februari 2019

4. Sulap


Malam belum terlaru larut. Umar masih membantu istrinya untuk membuat kue kemplang, khas keluarga umar, kedua anaknya yang masih kecil menatap polah tingkah Umar yang kerap kali tak canggung melakukan hal-hal yang bersifat kewanitaan. Istrinya merasa senang, suaminya yang tak pernah mengeluh tentang pekerjaan receh sekalipun. Ada hal unik yang dilakukan oleh Umar ketika kue mentah kemplang yang berbentuk bulat itu Umar mainkan sebentar didepan anak-anak.

Bedug Magrib masih lama, buka puasa pada bulan Ramadhan memang masih menjadi hal yang ditunggu sampai sekarang, intinya ada jeda waktu yang bisa dilakukan oleh seseorang. Sambil jalan-jalan, menunggu ceramah, atau paling tidak tidak melakukan hal-hal yang diluar kewajaran. Bagi Umar, kue Kemplang yang masih mentah dapat dimainkan menjadi sulap yang menarik. Triknya sederhana, hanya menebak di mana kue Kemplang berada di tangan yang mana, kanan atau kiri, buat kedua anaknya yang masih kecil-kecil kegiatan sulap sederhana menjadi lebih menarik.

Bola mata kedua anaknya berbinar bahagia, kebahagiaan yang mendasar yang ingin dirasakan oleh seluruh anak di dunia, Umar melakukannya dengan baik sebaik para pskolog kondang yang wara-wiri seminar di acara maha penting. Senyum Umar ketika melakukan trik sulap kue kemplang menjadi ingatan yang bersejarah. Menjadi landasan yang kuat, Umar telah mengajarkan dan memberikan dua matahari sekaligus. Matahari keyakinan dan matahari pertahanan diri yang kuat.

Selesai bermain sulap, Umar akan melanjutkan kebiasaan lamanya, mendengarkan gendu-gendu rasa dari radio yang telah dihafal pada frekwensi berapa. Kedua anaknya terus mengikuti apa yang dilakukan oleh Umar, hingga kedua anaknya lelah dan tertidur di pangkuannya. Istrinya tersenyum, jam 3 dini hari nanti kue kemplang yang mentah akan digoreng dan dibawa ke pasar untuk dijual. Pekarjaan masih panjang, sepanjang harapan kedua anaknya yang terus hidup hingga waktu yang tidak terbatas.

Kamis, 07 Februari 2019

3. Sepeda Onta


Sepeda Onta melaju menembus jalanan sepi desa Kaligondang. Di belakangnya ada seorang wanita yang tengah membonceng sambil memeluk pinggang Umar. Suasana masih gulita, mereka berdua di temani oleh bintang dan rembulan. Dingin sekali, ini musim kemarau yang panjang. Bunyi khas dari roda yang terus bergerak menciptakan alunan nada yang harmonis.

Melewati persawahan dan bulak panjang mereka sesekali berpapasan dengan para pedagang yang ingin berjualan ke pasar terdekat. Gerobak penuh muatan sayur dan mayur sedang di jalankan oleh seorang laki-laki paruh baya yang terlihat kekar. Umar menyapa sebagai bentuk kepercayaan sebagai sesama pedagang.

Pukul 5 pagi Umar dan istrinya sampai di pasar. Umar pamit untuk melakukan kegemarannya berkeliling kota Purbalingga sambil menikmati denyut nadi kehidupan sampai keletihan mendera lalu ia akan kembali menjemput istrinya setelah matahari menghangatkan punggungnya. Tangan kanan Umar membelai lembut stang sepeda. Sayang ia harus membagi kenyamanan dengan terus berpacu dengan kehidupan. Kehidupan tak selalu mulus ada saja cacat yang menguji setiap detiknya. Kita tak bisa melawan kejadian yang sudah terjadi, itu bagian dari penguatan mental agar tak mudah tenggelam dalam arus penghinaan, fitnah, iri, dengki bahkan makar-makar yang menyakitkan. Salah satu tetangga yang punya profesi yang sama dengan Umar dan Istrinya selalu membuat rekayasa yang menguras  kesabaran.


Seperti kemarin pagi, ketika sang tetangga mengawali paginya dengan menyindir Umar sebagai lelaki kere, miskin, dan pendatang haram. Umar gondok, hatinya terbakar, Umar melakukan hal di luar dugaan, yang membuat istrinya ingin tertawa. Sepasang suami istri itu dapat kentut besar, besar sekali hingga dapat menerbangkan seekor kupu-kupu. Sepasang suami istri yang punya kebiasaan makar dengan makian itu dapat suara kentut yang membahana. Umar membalasnya dengan cara yang aneh. Kurang sopan tetapi lebih baik dari balas menghina, sang tetangga, couple, sepasang suami yang gemar menciderai Umar dan istrinya ketika berangkat ke pasar.

Tapi pagi telah menghangatkan hatinya yang terluka, terlalu mahal untuk berpikir ulang membalasnya, bagi Umar sang waktu adalah sang pembalas terbaik, ia tak perlu melakukan, hanya menghabiskan energi saja, mesin waktu terus bergulir, Umar akan bereaksi dengan hal-hal besar, membesarkana anak dengan cara lurus, bukan cara menguntit atau menipu, misinya besar, kata-katanya mujarab. "Nak, ayah tak mewarisi harta melimpah, tetapi ayah berusaha mewarisi sebuah ilmu dengan cara kalian menuntut ilmu sampai liang lahat." Konsepnya sederhana tapi sangat membumi.

Istrinya menunggu di bawah pohon Cheri, sambil menggendong Rinjing yang kosong, Tape yang dibuatnya mampu menyihir para pelanggan untuk memborong lebih banyak dari biasanya. Sebagai istri, Gina tahu watak Umar sampai hal-hal yang kecil. Senyum lebar Gina menyambut Umar ketika lelah mengayuh sepeda onta sampai ke tujuan yang ia sukai.

Umar memarkirkan sepeda onta dan duduk di samping Gina. Teh hangat dan Ketan bintul yang Gina sediakan mampu mengusir segala kedengkian yang ia terima dari sorot mata para pendengki." Ayah tak capai dan bosan berkeliling sepeda." Gina bertanya sambil mengunyah ketan bintul.

" Ayah tak pernah bosan untuk mengayuh sepeda onta ini, mungkin takdir yang akan memisahkan sepeda ini dengan ayah."

" Ini baru awal." Kata Gina.

" Ya, kau benar. Selalu awal bukan akhir, karena tak ada akhir kalau tak ber-awal."

Mereka berdua beranjak dan pulang. Gina membonceng di belakang. Tangan kanan Gina memeluk erat pinggang Umar. Keduanya pulang untuk menata ulang sejarah. Sejarah harus dicipta bukan menunggu sejarah. Keduanya terus berkelindan dengan nasib. Bagi Umar, nasib adalah titik-titik usaha tak kenal lelah untuk menciptakan takdirnya sendiri. Karena semua mahluk di atas bumi sudah ada rezekinya, tinggal kita mencari dengan garis yang telah ditentukan. Soal banyak sedikit tak jadi soal. Umar meyakini, bahwa sang penggenggam langit dan bumi menyukai proses bukan hasil. Karena proses adalah bagian dari garis-garis nasib, sedangkan hasil adalah bonus dari proses.

Sampai di rumah di sambut tawa riang anak-anak. Tawanya selalu saja merobohkan lelah hingga berubah energik, bola mata anak-anak menanti keputusan yang akan menjawab semua kegelisahan waktu. Sang anak adalah pewaris sejarah Umar dan Gina. Sang nenek tersenyum dari jauh, menatap cucu, anak, dan menantu punya kesamaan dalam menangkap takdir. Sejarah mestilah di buat, agar jejaknya tak lenyap di atas batu nisan.


Selasa, 29 Januari 2019

2. Lelaki Dari Kesamen


Umar pernah bercerita kepada anak-anaknya. Terutama kepada kedua anak lelakinya. Bahwa Ia pernah menjalani masa-masa sulit semasa mudanya. Kesulitan kadang membuat anak lelakinya antara tertawa dan sedih. Umar pernah di sunat pada satu masa dengan kondisi perdukunan yang masih menjadi tempat favorit untuk bertanya hal-hal yang bersifat ganjil. Keberadaan dukun sesungguhnya menjadi terpinggirkan karena kehilangan tempat dan banyak saingan. Mantri juga menjadi profesi yang menjanjikan lengkap dengan perlakuan-perlakuan istimewa. Umar menjadi "sasaran" mantri yang mungkin sedang magang, karena mantri sesungguhnya sedang keliling untuk memenuhi undangan sunat masal. Umar pernah di sunat oleh seorang mantri yang beken dan menjadi orang terakhir dalam hal memotong kulup laki-laki.

Selesai sunat Umar tak mengalami bius seperti yang terjadi pada zaman modern sekarang, Umar mengklaim kalau dirinya setelah di sunat harus pergi ke sebuah sungai yang paling jernih airnya. Lalu berendam sampai menjelang sore. Syukurlah tak terjadi peristiwa mengerikan, yakni banjir tiba-tiba yang bisa menghanyutkan para perenang berbakat sekalipun. Anak lelakinya mendengarkan ayahnya dengan seksama. Umar melanjutkan ceritanya. Bahwa ketika berendam di sungai, ibunya menemani sambil terus mengawasi, siapa tahu anak lelakinya yang paling gagah menjadi santapan buaya air. Apalagi dari balik alat vitalnya masih menetes darah segar. Mungkin lain cerita, kalau Umar berendam di sungai Amazon, ikan Piranha akan menjadi buas mencium darah segar orang habis sunat. Menjelang sore Umar menggigil gemerutuk giginya, kakinya putih pucat, wajah lelah, ibunya diatas senang. Bius tradisional akan membantu anak lelakinya untuk tidur malam tanpa merintih kesakitan. Lelaki dari Kesamen telah melangkapi ibadahnya sebagai seorang muslim. Umar meraih baju dan ibunya memberi handuk bersih. Di tangan kanannya memegang rantang susun yang akan di berikan kepada putra kebanggannya.


Malam hari, kata Umar kepada anaknya. Umar memakai sarung baru lengkap dengan koko dan peci di kepala, ayahnya dengan bangga mengundang beberapa tetangga untuk berdoa dan syukuran atas keselamatan putranya menjalani ritual kelaki-lakiannya. Ayahnya yang masih gagah mengingatkan Umar akan kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Sampai nanti sebuah peristiwa merenggut kehangatan keluarganya. Tanpa dosa seorang tetangga yang tak di pilih untuk menjadi pasangan hidupnya, rela meracuni ayahnya lewat makanan yang dikirim ke rumahnya. Tetangga yang sakit hati karena tak dipilih menjadi istrinya membubuhkan racun diatas peyek dan dikirimkan lewat kurir kepada adik Umar ketika Ibunya tak di rumah. Tapi Umar tak menceritakan bagian ini, anaknya masih terlalu muda untuk memahami kesulitan hidupnya. Lelaki dari Kesamen pantang menyerah ketika terhimpit sampai sulit bergerak, semakin terhimpit lelaki dari Kesamen menjadi makin solid memecahkan ujian sampai berkeping-keping.

Anaknya mengantuk. Umar lalu menggendong tubuh anaknya ke kamar dan di tidurkan di atas amben yang beralaskan klasa (tiker pandan) yang semakin licin karena usia. Umar menyentuh lembut bahu istrinya yang sedang menjahit pakaiannya karena sobek ketika di kenakan membuat selokan di rumah gedong tempo hari. Lampu minyak menerangi Nara. Sebagai istri Umar, Nara memahami, lelaki dari Kesamen adalah sebaik-sebaik teman dan suami. Umar menjauh dari Nara dan memutar Radio mini berkekuatan aki, mencari siaran wayang kulit, BBC London, atau acara gendu-gendu rasa. Suara-suara dari radio membuat anak lelakinya tertidur pulas. Umar menatap Nara yang masih menjahit, ada aura kecantikan sekar kedaton yang terbungkus baju kesederhanaan, sikap pantang menyerah, kokoh, teguh, tekun, ulet, ada semacam paket madrasah di kedua tangannya yang tak segan-segan memegang ani-ani untuk memotong padi. Lelaki dari Kesamen mulai mendengkur, Nara menatap dengan cinta.


Minggu, 27 Januari 2019

1. Hujan Sore Hari


Dalam waktu yang singkat Umar mampu membuat selokan baru untuk menampung air hujan yang lebat. Rumah gedong di dekat dengan sawah, halaman depan ada beberapa pohon rambutan, di apit oleh empat kolam ikan besar, sebuah sumur yang tak pernah kering, walau kemarau menyerang Desa kami. Pemilik rumah gedong kerap menyewa jasa ayah ketika rumahnya nyaris terlampau air hujan yang tumpah ruah dari langit.

Umar berusia 35 tahun dengan rambut gelombang yang menarik banyak kaum hawa, tapi sayang Umar sudah punya istri dengan 4 orang anak. Pacul ia panggul di balik bahunya yang kukuh, laksana gunung, ototnya seperti gatutkaca, hanya sayang umar tak bisa terbang. Kumis hitam menghiasi wajahnya yang keras tapi penyayang, Umar melakukan itu semua agar dapur rumah tangganya tetap beroperasi layaknya rumah-rumah yang lain yang tak begitu kesulitan mengatur keuangan, karena mereka di subsisi silang orangtua atau mertua. Rumah tangga Umar harus berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri.

Umar mencuci cangkul yang baru saja menyelamatkan dapurnya dari berhenti beroperasi. Membangungkan kembali harapan. Seorang ayah harus memiliki kemampuan untuk membangun harapan di atas harapan. Harapan yang terlalu kecil tapi Umar terus pupuk. Hingga mampu anak-anaknya mencari makan nafkah sendiri, dan punya martabat di mata para tetangga yang nyinyir.

Terjadi dialog sederhana antara pemilik rumah gedong itu dengan Umar. Sambil menyandang cangkul Umar pulang dengan membawa uang sepatutnya. Kepatutan yang diukur oleh pemilik rumah gedong, bukan dari sisi kemanusiaan.

Sampai di rumah Umar di sambut oleh istri dan anak-anaknya. Ia mengeluarkan uang dari balik kantong celananya yang basah. Tanpa mengeluh sang istri menerima dengan hati suci, tak pernah keluar dari mulutnya, mengumpat suami yang bekerja serabutan.

Kerangka Pikiran

1. Hujan Sore Hari
2. Lelaki dari Kesamen
3. Sepeda Onta
4. Sulap
5. Merantau
6. Wesel
7. Surat
8. Ternak Ayam
9. Kebun Sayur
10. Purwokerto
11. Bersama Gadis
12. Kendit Polang
13. Pulang Tanpa Surat
14. Tukang Bangunan
15. Kaki Melepuh
16. Proyek Jalan Desa Arenan
17. Sepasang Sepatu
18. Nasihat
19. Kecelakaan Motor
20. Senyuman