Tampilkan postingan dengan label Thriller. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Thriller. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 Juni 2025

11 Akar Ilalang

Episode 4
Bul-Bul kembali berjalan menyusuri hutan yang asing baginya. Ia mengingat jiwa petualangan yang di ajarkan oleh ayahnya. “Bila kamu tersesat di hutan, cobalah kamu menyatu dengannya.” Nasihat ayahnya mulai meresap kembali kedalam jiwanya. Matanya mulai mencari-cari pohon yang berbuah. Atau dedaunan yang bisa dimakan. Bul-Bul seolah-olah tak ingin menyerah dengan keadaan. Keadaannya lah yang harus benar-benar ditaklukan oleh bul-bul sendiri.

Sepanjang perjalanan yang tak tentu arah. Bul-Bul terus mengamati keadaan sekitar walaupun hutan asing baginya. Tapi tak ingin terjebak pada jalan-jalan itu saja. Alias tersesat. Makanya Bul-Bul mulai menandai semua jenis pohon yang dilewatinya dengan cara mengingatnya (edit)—mungkin pakai lumpur atau apalah.

Ujian kembali datang. Bul-Bul ketika sedang berjalan di serang oleh lintah-lintah yang dapat berjalan pelan, tapi lintah-lintah itu benar-benar berjalan kearahnya. Berjalan di atas dedaunan kering yang menimbulkan efek suara mirip ranting-ranting kering yang terinjak dan kemudian patah. Apalagi kondisinya ia telanjang kaki, alias nyeker. Tanpa pikir panjang bul-bul langsung saja lari, menghindari lintah-lintah nakal itu. Bul-Bul tak ingin tersentuh oleh binatang yang menggelikan itu.

Rasa lapar ia tangguhkan sebentar, lari dan lari yang ada dipikirannya. Sekarang bul-bul menghirup nafas. Mengumpulkan tenaga yang ada. Ternyata Bul-Bul menyadari kalau hutan mempunyai perbedaan-perbedaan baik dari jenis hewan, tumbuhan, semak belukar dan kondisi kelembaban. Maka tak heran, bila Bul-Bul sempat kaget melihat lintah-lintah seperti satu pleton pasukan infantri menyerang tanpa henti. Satu yang harus dilakukan oleh Bul-Bul adalah menjauhi tempat itu secepatnya.

Bunyi lintah-lintah yang berjalan di atas daun-daun kering tak lagi terdengar. Walau Bul-Bul sudah lari begitu jauh tetap saja lintah masih ada yang berhasil hinggap dalam bajunya. Bul-Bul mungkin sebelum lari, ada beberapa lintah yang sudah nempel di baju luarnya, semuanya terjadi begitu cepat, dan tak disadari oleh Bul-Bul.

Bul-Bul berhenti sejenak, mengambil nafas dan mengumpulkan tenaga yang ada. Membuka kaosnya, jari jemarinya mulai membuang lintah itu dari wilayah sekitar perut dan dada. Ada rasa perih ketika membuang lintah-lintah perkasa itu. Tangan Bul-Bul menggulung celana keatas tampak lintah sudah bergelayutan di kedua betisnya. Mulutnya menyeringai ketika mulai mencabuti lintah-lintah nakal.

Bul-Bul duduk di batang pohon yang sudah tumbang dan agak rapuh. Nafasnya turun naik, bingung apa yang harus dilakukan setelahnya. Matahari sudah mulai meninggi panasnya juga mulai menyengat kulit Bul-Bul. Wajahnya semakin pucat tak karuan. Salah satu kupingnya mendengung tiba-tiba. Apakah ada kerusakan akibat pukulan para penculik itu.

Bul-Bul gelisah. Perutnya juga makin ‘gelisah.’ Bahkan sudah melilit perih. Lambungnya sudah meremas-remas sendiri, karena tak ada yang dicerna. Sambil menahan meringis ketika lapar sudah pada titik yang menghawatirkan. Bul-Bul bangkit dari tempat duduknya. Melihat sekeliling, tak ada pohon yang berbuah disitu. Hanya semak-semak yang rimbun. Pikiran Bul-Bul tersentak, ketika mendekati semak-semak. Kedua telinganya mendengar seperti suara gemuruh air terjun yang mengalir berjuta-juta kubik air yang jernih dan manis.

Semangatnya kembali menyala. Bul-Bul tak jadi memakan daun yang banyak tumbuh membentuk semak-semak, karena tak begitu yakin dengan daun-daun itu, apakah beracun atau tidak. Yang jelas ia harus berupaya menjangkau suara gemuruh air terjun itu. seperti mendapat asupan tenaga, kedua kaki Bul-Bul (berlari) kearah situ. (sumber dari air terjun). Bahkan Bul-Bul tertawa penuh kegirangan. Hatinya sujud sukur kepada sang penyayang. “kalau kamu tersesat di hutan, salah satu caranya adalah ikuti arah aliran sungai, kau bisa jadi arah aliran sungai itu.” di samping itu kamu bisa mendapatkan sesuatu yang bisa kamu makan. Bul-Bul berlari sambil mengingat pesan ayah, ketika pertama kali diajak ke hutan ketika lulusan SD sebagai hadiah.

Sudah satu jam Bul-Bul berlari sempoyongan. Dalam kondisi yang tidak begitu tajam instingnya serta kondisi kelaparan. Membuat ia tak peka dengan keadaan. Hingga Bul-Bul tak menyadari, kalau langkahnya semakin jauh dari sumber air terjun. Dalam keadaan seperti itu biasanya Bul-Bul duduk termenung menatap keatas. Sambil hatinya diteguhkan. Supaya tidak kehilangan keyakinan akan kekuasaan Tuhan. Bul-Bul kembali berdiri. Ia tak ingin lari lagi. Berjalan dengan kecepatan berlari adalah salah satu jalan terbaik untuk sampai di sumber air terjun. Bul-Bul kembali mencari sumber air terjun itu.

Matahari sudah semakin meninggi. Bul-Bul berjalan menuju sumber suara itu ditemani oleh kicauan burung, suara siamang di kejauhan yang mungkin sedang berebut makanan antar sesama teman-temannya. Dalam suasana seperti itu hati bul-bul masih sedikit tenang. Sampai menjelang empat hari di hutan yang tampak asing baginya. Belum pernah bul-bul berpapasan dengan raja hutan, yang biasanya ‘ramah’ dengan manusia. Apalagi yang sudah tercium bau anyir darah mengering.

Tak terasa bul-bul sudah berjalan hampir 15 km dari gubuk tempat ia disekap dan disiksa. Berarti sudah empat hari ini Bul-Bul belum kembali ke rumahnya. Ayah Ibunya dan kedua adiknya pasti sangat cemas dengan keadaan Bul-Bul yang tak jelas kabar beritanya. Di samping itu orang tua dan adik-adiknya, juga teman-teman sekolahnya. Pasti sudah merasa kehilangan, terutama teman-teman akrabnya. Sudah empat hari ini Bul-Bul bolos sekolah. Wali kelasnya sampai mengintrogasi beberapa teman dekatnya yang sering bersamanya. Ketika jam istirahat, berolah raga, atau di perpustakaan.

Untuk mencari Bul-Bul di sekolah, sebenarnya sangat mudah. kalau tidak di tempat olahraga, maka Bul-Bul akan kongkow bareng teman-temannya di perpustakaan sampai jam istirahatnya selesai. Dari mulai membaca buku-buku pelajaran, cerita, komik, bahkan koran lokal yang seperti spaghetti bila menemukan dan sempat membacanya. Tapi sampai siang sosoknya yang ramah dan sopan(edit lagi) tak dapat dijumpai. Teman-temannya tidak menyangka kalau Bul-Bul sedang berusaha menyelematkan dirinya dari tekanan yang sedang menimpanya. Menjumpai Bul-Bul di kantin adalah sesuatu yang menakjubkan, karena bul-bul jaang jajan. Ia lebih sering membawa bekal dari rumah. teman-temannya dekatnya memaklumi kondisi keluarga Bul-Bul yang belum baik keadaan ekonominya. Tapi Bul-Bul yang punya sifat dasar baik tidak juga melepaskan dari Bul-Bul yang sendirian di hutan merasa kuat dan harus tetap hidup.

Suara kicauan burung mulai tersamar. Berganti dengan suara gemuruh air terjun yang mengubah mimik wajah bul-bul yang pucat, berubah menjadi tampak semangat. Sebuah kehidupan akan terasa lebih berwarna bila menjumpai sebuah sumber dari rasa haus yang mencekik tenggorokan. Pohon-pohon besar mulai ditinggalkan oleh Bul-Bul berganti dengan pohon-pohon rendah, semak-semak, dan ilalang. Bul-bul menjumpai sumber air terjun yang tidak terlalu tinggi, tapi deras airnya terdengar dari jarak 100 meter lebih. Bul-Bul menubrukkan kedua lututnya ke tahan, hatinya basah oleh serbuan rasa terimakasih atas kemurahan kasih sayangnya. Lalu kembali berdiri tegak, seumpaman laskar bendera perang yang gagah. Rasa percaya diri Bul-Bul kembali bangkit. Lalu dengan tergesa-gesa menyibak semak dan ilalang yang ada. Matanya membelalak. Sebuah sungai tak begitu lebar dengan air terjun tiga perempat meter tampak menghias di depannya dengan air jernih hingga bebatuan kecil tampak jelas terlihat.

Bul-Bul menjajakan kedua kakinya kedalam air dingin sejuk nan jernih itu. lalu kedua telapak tangannya menyiduk air, masuk kedalam mulutnya berkali-kali. Beberapa titik di bagian tubuh merasa perih tapi urung ia respon. Bul-Bul mulai membasuh kedua tangannya. Masih dalam berpakaian Bul-Bul merendam diri di sungai yang jernih itu. dan membersihkan kedalam dirinya yang sudah beraroma gado-gado. Puas dengan berendam dan meminum air sungai itu sampai hilang hausnya. Bul-Bul beralih dan beranjak ke tepian sungai. Seluruh badannya terasa segar, kelelalahn. Empat hari yang lalu terbayar sudah dengan segarnya air sungai yang sangat jernih itu.

Bul-Bul mulai mencabuti beberpa puluh batang ilalang dengan akar-akarnya. Bul-Bul masih ingat ucapan ayah dan kakak pembina pramuka waktu SMP. Ada beberapa jenis ilalang yang akarnya bisa dimakan dan di konsumsi bahkan cenderung menyehatkan. Makanya Bul-Bul gegap gempita ketika menemukan jenis ilalang yang bisa dimakan.

Sambil duduk di batu yang agak besar dan menonjol diantara yang lain. Tangan kanan Bul-Bul sudah memegang erat berpuluh-puluh batang Ilalang yang telah dicuci akarnya. Mulut Bul-Bul tampak rakus ketika mulai memakan akar ilalang itu satu persatu. Rasa lapar yang terlalu akut. Serasa tak ingin lagi kompromi dengan keadaan perutnya yang sudah melilit. Bul-Bul memakan akar ilalang itu sambil matanya terus mengawasi sekeliling sungai. Khawatir penculik itu bisa menyusul langkahnya.

Sepanjang sungai tampak tidak mencurigakan bagi Bul-Bul. Semuanya tampak hening dan alami. Bunyi gemericik air di sepanjang aliran sungai sepanjang 3 meter sepertinya jarang di lewati. Terlihat dari banyaknya semak yang tidak terlihat ada bekas patahan. Bajunya masih menyisakan duri-duri yang menempel ketika berjalan diatas semak-semak yang merambat di sepanjang sungai. Ia juga mengalami bagaimana nyerinya telapak kakinya akibat tertusuk dari duri-duri yang banyak muncul di sepanjang semak.

Bul-Bul menyelonjorkan kedua kakinya. Jempolnya yang tak berkuku itu mirip kepala ayam, dan ia tersenyum. Tampak botak dan menyeramkan. Kuku yang ditindik kursi lalu dicabut dengan tang membuat Bul-Bul pingsan. Karena rasa sakit yang tak tertangguhkan. Hingga sumsum ingatan. Kedua jempol kakinya jika didekatkan pada hidung hanya menyisakan bau busuk. Bul-Bul mencoba menerima kenyataan buruk itu.

Pikirannya kembali fokus pada bagaimana caranya bisa pulang ke desanya. Dua kali bolak-balik Bul-Bul mencabuti Ilalang dan kemudian memakan akar Ilalang yang berwarna putih. Rasanya hambar, tapi tidak pahit. Setidaknya bisa mengganjal perutnya yang keroncongan. Juga memberinya asupan energi. 11 akar Ilalang itu setelah dicuci bersih. Sesekali ia meringis menahan sakit ketika kerongkongannya menelan cepat-cepat kunyahan akar Ilalang.

Tubuh Bul-Bul bertenaga kembali. Kaki yang diselonjorkan kembali ditekuk. Matahari semakin meninggi. Rasanya istirahat sudah cukup, Bul-Bul menegakkan badan membusungkan dadanya kedepan. Mencoba membangun kepercayaan diri. Tuhan tidak pernah tidur, bisiknya dalam hati. Angin siang bercampur hembusan sejuk dari air terjun membuatnya terlihat tenang.

***

Bul-Bul berjalan kembali mengikuti aliran sungai yang lebarnya kira-kira 3 meter, dengan panjang tak terhingga. Bul-Bul tak begitu khawatir dengan keadaan sekitar, tidak seperti sebelumnya. Ketika dirinya di dalam hutan, gelap, dan tidak punya kawan. Hiburan yang paling asik adalah bila ada seekor burung pemakan ikan yang tiba-tiba menceburkan diri kedalam sungai. Lalu muncul dengan paruh penuh ikan. Biasanya Bul-Bul akan berdiri sejenak dan mematung melihat fenomena alam yang menakjubkan.

Burung pemakan Ikan itu biasanya akan hinggap dulu di sebuah dahan pohon yang tak begitu tinggi. Membetulkan sejenak posisi ikan di paruhnya, memagutnya berkali-kali. Lalu kemudian terbang menuju ke sarangnya. Bul-Bul yang melihat tingkah polah burung itu mengingatkan pada pelajaran Biologi yang sering dibacanya berulang-ulang di perpustakaan sekolah. Pinggiran sungainya yang dilaluinya banyak bebatuan yang bertekstur kasar. Bul-Bul berjalan masih tanpa alas, terasa dipijit-pijit kakinya. Sesekali dalam perjalanan Bul-Bul berpapasan dengan rajungan yang sedang mencari makanan. Bul-Bul hanya melihat dengan ekor matanya. Sebelumnya ketika masih di dalam hutan, ia bertekad untuk memakan apa saja bila bertemu dengan hewan pinggiran sungai. Ia urung, akar Ilalang ternyata lebih menarik dan menggugah rasa laparnya. Itu disebabkan oleh kondisi yang dialaminya mengakibatkan selera makannya berubah-ubah. Kondisi perutnya tidak berkerucuk lagi, membuatnya bisa melakukan sesuatu yang lebih realistis dan fokus pada sasaran.

Senin, 10 Maret 2025

Pagi Yang Berbahaya


Episode 3
Mentari pagi agaknya bersahabat, sinarnya dapat menembus sampai ke celah-celah pohon. Bul-bul sudah terbangun sejak ayam jantan liar berkokok. Dari atas pohon Bul-Bul melihat Gubuk tempat dimana ia di sekap. Ia merasa angin berhembus lembut. Pandangan matanya mencoba memperlebar jarak pandangan. Ia terkejut ketika melihat pohon lain lebih rendah di banding dengan pohon yang sedang jadi rumah perlindungan. Pantas saja kalau hangatnya sinar matahari dapat di rasakan lebih cepat. Bul-Bul seperti sedang di atas menara tinggi menjulang. Ia teringat menara eivel pada buku pelajaran sains. Rasa takut terhadap dua ekor buaya kelaparan membuatnya tak sadar kalau ia sudah menaiki pohon setinggi kira-kira 100 meter. Energi ketika terancang jiwanya membuat seorang Bul-Bul mampu melampuai batas kekuatannya.

Banjir sudah lama surut meninggalkan bercak lumpur di sela-sela semak belukar. Ia ngeri sendiri melihat gubuk tempat dimana ia di sekap. Gubuk itu berbentuk mirip batok kelapa, bedannya hanya bentuknya yang lebar dan sangat mirip helm pelindung tentara ketika sedang bergerilya. Susana di sekeliling sudah cukup meriah. Burung dan hewan lainnya mulai mencari sarapan pagi. Sudah beberapa hari di landa dehidrasi dan kelaparan. Sulitnya medan hutan yang belum pernah ia temui membuatnya terus memompa diri agar tetap survive di tengah hutan sendirian. Bul-bul berpikir kalau sudah saatnya ia turun dari atas pohon untuk mencari sesuatu yang bisa di makan.

Puji syukur karena cabang pohon yang membentuk jaring laba-laba membuatnya tetap stabil ketika kantuk tak lagi di tahan. Pelajaran pramuka di sekolahnya membuatnya tetap bertahan sampai sekarang. Sambil menahan rasa perih kedua tangan bul-bul mulai turun melalui batang-batang pohon. Ia tetap waspada kalau ada ulat bulu yang mulai gerilnya mencari makan.

Sampai di bawah, Bul-Bul menandai pohon tersebut dengan cara menghafal cabang dan tinggi pohon tersebut. Menurutnya pohon ini lebih unik di banding dengan pohon lainnya. Letaknya yang menjaga jarak dengan pohon lain, membuatnya tampak sebagai pilar raja pohon. Cabang yang banyak tumbuh sejak 5 meter keatas membuatnya. Mudah untuk di naiki, begitu juga sebaliknya ketika turun.



Minggu, 09 Maret 2025

Bertahan


Episode 2
Hujan turun dengan deras, hingga membasahi hutan sabuk wulung yang luas dan masih perawan. Di tandai dengan masih banyaknya hewan-hewan buas yang masih mendiami pedalaman hutan itu. Tampak beberapa burung khas hutan sabuk wulung tengah berlindung dari derasnya hujan. Burung yang bernama pelatuk itu sedang menghangatkan telur-telurnya agar segera menetas. Buung Pelatuk itu tampak hangat dalam lubang-lubang yang di di pakai sebagai sarangnya. Beberapa hewan yang lain juga mungkin melakukan hal yang sama, berlindung dari derasnya hujan. Kecuali Ikan, yang mungkin makin asyik dengan kedatangan hujan yang deras.

Tak terasa hujan turun makin lebat. hal ini menyebabkan sebagian sungai-sungai yang ada di dalam hutan itu meluap banjir. Tampak beberapa Buaya sedang berenang menuju ke tempat tinggalnya. Tanpa di duga luapan banjir itu sampai juga ke dekat gubuk, tempat dimana Bul-Bul sedang tertidur dengan lelap. Akibat dari tubuhnya yang lemah, Bul-Bul tak menyadari kalau air dari luapan sungai pelan-pelan masuk kedalam gubuk. Makin banyak dan makin tidak terkontrol.

Bul-Bul yang masih terlelap dalam tidur akibat kelelahan fisik dan mental membuatnya tak peka dengan kedatangan air yang mulia merembes masuk kedalam gubuk. Inchi demi inchi air masuk, makin lama makin banyak. Bul-Bul kaget dan terkejut. Pikirannya mulai panik. Tak lama air sudah sebatas pingangnya. Bul-Bul makin panik dengan air yang terus menerus memenuhi ruangan gubuk. Bul-Bul panik bukan karena tidak bisa berenang, tapi karena Bul-Bul sudah merasa putus asa tidak bisa menemukan pintu keluar.

Kedua mata Bul-Bul terpejam. Bayangan Kedua orang tuanya dan kedua adiknya berkelabat dalam pikirannya. Bul-Bul menangis tersedu-sedu. Bul-Bul tak bisa membayangkan betapa sedihnya dirinya akan segera menemui ajal. Ia pasrahkan dirinya pada Tuhan yang Esa. Hatinya berucap: “kalau dirinya masih di perkenankan hadir di muka bumi, maka pertolongan pun begitu dekat”. Bul-Bul mangamini sendiri doanya dalam hati.

Kedua mata Bul-Bul kembali terbuka. Sementara air sudah sampai di tenggorokan. Dalam hitungan detik air sudah sampai mulut. Kedua kaki Bul-Bul mulai beregerak agar dirinya tidak tenggelam begitu cepat. Dalam keadaan genting dan gawat, Bul-Bul teringat pada sebuah celengan semar yang ia ingin kasihkan pada seorang nenek yang pernah ia temui pada perjalanan pulang sekolah. Bul-Bul masih ingat kalau nenek itu tinggal di kaki bukit, 10 kilo meter dari rumahnya. Dan satu celengannya lagi akan ia kasihkan pada Ibunya yang ingin di jadikan modal untuk berdagang.

Ingatan dan janjinya itu membuat Bul-Bul kembali mendapatkan suntikan semangat. Kedua kaki Bul-Bul bergerak cepat seperti gerakan mendayung. Air terus saja masuk tanpa ampun, hingga membuat seisi ruangan gubuk sudah terisi oleh luapan air sungai. Bul-Bul dengan cekatan beregerak dari satu sudut kesudut ruangan gubuk. Mencari-cari apakah ada bagian atap gubuk yang bisa di jebol dengan kedua tangannya. Sementara air sudah hampir menutupi pandangan matanya. Nafas Bul-Bul mulai tersengal-sengal.

Bul-Bul bergerak kesudut kecil ruangan gubuk yang belum terisi oleh air. Dalam kepanikan dan rasa tertekan. Jari tangan kanan Bul-Bul tergores paku yang menyembul keluar, karena tidak tepat di pasang. Darah segar keluar dari jarinya. Bul-Bul tak menghiraukan. Bul-Bul mengamati paku tersebut dengan seksama. Bul-Bul seperti mendapat kemenangan. Paku yang tersembul keluar itu adalah bagian dari pintu kecil yang sengaja dibuat oleh para penculik sebagai jalan keluar masuk. Pintu hanya pas untuk satu orang. Kedua tangan Bul-Bul mulai menjebol pintu kecil tepat di atas kepalanya. Sementara air terus saja memenuhi ruangan gubuk. Ada semacam pengait dari kulit rusa yang mengunci pintu kecil itu dari luar.

Ruangan gubuk sudah terisi semua oleh luapan air sungai. Bul-Bul masih saja berusaha untuk menjebol pintu kecil yang terpasang diatas gubuk. Sementara kepala dan tubuhnya sudah mulai terendam oleh luapan air sungai . Takdir masih berpihak pada Bul-Bul, disaat segala sesuatunya begitu menegangkan. Pengait yang terbuat dari kulit rusa itu terlepas. Kedua tangan Bul-Bul mendorong pintu kecil itu keatas. Dengan susah payah, Bul-Bul keluar dari pintu kecil dan berusahan menyembulkan kepalanya keatas untuk menghirup udara segar.

Sampai di permukaan air, nafas Bul-Bul masih tersengal-sengal. Ia tak mengira ternyata dirinya telah di sekap di pedalaman hutan yang sama sekali tak ia kenal. Bul-Bul disambut oleh pemandangan hutan yang asing baginya. Kedua matanya mulai mengamati sekeliling. Luapan air sungai telah membuat hutan seperti rawa-rawa yang menyeramkan.

Atap gubuk belum teremdam seluruhnya, ada bagian tertentu yang belum terendam luapan air sungai. Bul-Bul menangkap gerakan yang aneh tak jauh dari tempat berdirinya. Bul-Bul kaget dan panik, jarak 30 meter darinya 2 ekor Buaya tengah mengawasinya. Karena mendengar bunyi kecipak air ketika Bul-Bul baru keluar dari sergapan air yang masuk kedalam gubuk. 2 ekor buaya itu mulai mendekat ke arah Bul-Bul.

Di tengah kekagetan dan kepanikan. Bul-Bul akhirnya melompat dan berenang sekuat tenaga menuju sebuah pohon yang tidak begitu besar dan menurutnya mudah untuk di naiki. Cabangnya yang banyak dan rimbun menurutnya dapat di gunakan untuk naik dan berlindung dari terkaman taring Buaya.

Sampai di dekat pohon tersebut Bul-Bul langsung naik ke atas pohon. Dalam hitungan detik luapan air sungai sudah semakin tingggi. Bul-Bul berusaha memanjat lebih keatas agar terhindar dari banjir juga terkaman Buaya. Tangan Bul-Bul mencengkram kuat pada batang pohon yang rimbun dan ranting-rantingnya melebar, mirip sarang burung. Pohon itu diatasnya mempunyai cabang tiga, tepat di sudutnya Bul-Bul menyadarkan tubuhnya tanpa harus berpegangan. Hal ini memudahkan Bul-Bul untuk melihat ke bawah, sementara dari bawah tidak kelihatan sama sekali tubuh Bul-Bul, karena tertutup rimbunya pohon.

Beberapa jam kemudian, Gubuk sama sekali tidak terlihat. Semuanya terjadi begitu cepat. Keadaan tenang tapi menyeramkan. Jarak antara batas air dengan dirinya hanya terpaut 5 meter. Bul-Bul merasa aman dengan jarak seperti itu. Kedua mata Bul-Bul masih menikmati pemandangan yang ada di bawahnya. Bul-Bul seperti membayangkan sesuatu.

Dua ekor Buaya besar yang tadi mengejar Bul-Bul melintas tepat di bawah Bul-Bul. Hal ini mengagetkan Bul-Bul. Jantung Bul-Bul seperti berhenti berdetak. Sepertinya Buaya itu tahu kalau Bul-Bul bersembunyi di atas pohon. Dari atas pohon Mata Bul-Bul tak berkedip untuk memperhatikan kedua Buaya itu yang sedang berputar beberapa kali.

Dua ekor Buaya itu tampak frustasi dan kehilangan buruannya. Pelan-pelan Buaya itu pergi dan menghilang di balik luapan air sungai yang sekarang menjadi genangan yang dalam. Butuh waktu cukup lama untuk menyurutkan banjir akibat luapan air sungai. Bul-Bul dapat bernafas lega dan berusaha meningkatkan kewaspadaan. Karena hutan ini belum di kenal oleh Bul-Bul.

Waktu mendekati malam, salah satunya terlihat dari banyaknya burung yang kembali ke sarangnya. Bul-Bul dapat melihat dengan jelas dari atas pohon situasi yang ada di bawahnya. Bul-Bul tak mempedulikan keadaan sekitarnya lebih lama lagi, kedua matanya sudah mulai terpejam. Sesaat kemudian terdengar dengkuran keras. Ia percaya Tuhan selalu menyertainya.


Sabtu, 08 Maret 2025

Bangun dari Pingsan

Episode 1
Jempol kaki Bul-Bul sudah seperti mati rasa. Kuku sudah tercerabut dari jempol kakinya. Begitu juga dengan jari-jemarinya. Semua kukunya sudah tercerabut dari jarinya. Sebagian darah yang keluar dari jempol dan jari-jemarinya mengering lama. Ini pagi pertama di mana tubuh Bul-Bul masih terikat pada sebuah kursi. Pantatnya seolah-olah tak menempel pada badan kursi. Kedua tangannya menelikung kebelakang. Lalat mulai menghampiri jempol dan jemari bul-bul yang mulai mengeluarkan bau. Darah yang tercecer mengalir dari jempol sampai jemari kaki sudah mengering. Tak hanya itu wajah Bul-Bul sudah nyaris penuh dengan bekas pukulan buku-buku jari yang terbiasa serta terlatih dengan angkat beban berat.

Darah yang keluar dari hidung sudah mengering membentuk sebuah kumis dadakan yang berwarna merah. Bibirnya pecah dan jontor. Malah hampir mirip orang sumbing. Pelipisnya robek, Sekitar mata menonjol lebam kebiru-biruan. Seperti habis di pukul oleh petinju professional. Hingga Bul-Bul kesulitan untuk membuka kedua kelopak matanya. Bul-Bul hanya bisa melihat sedikit. Tapi hatinya lega, ia merasa bisa melihat dunia dengan segala pesonanya.

Koas hitamnya masih menempel di badannya, Jika kaos hitam oblongnya di buka, maka akan terlihat dada Bul-Bul yang membiru. Semua itu akibat pukulan keras dari jarak pendek menghantam dada Bul-Bul berkali-kali. Kalau di peras kaos oblong hitamnya dalam ember berisi air. Niscaya airnya akan berubah menjadi merah ke hitam-hitaman.

Bul-Bul di sekap dalam sebuah gubuk sederhana yang sengaja di buat oleh para penculik. Gubuk sederhana yang di buat mirip sebuah semak belukar yang rimbun. Membuatnya tak mudah untuk di ketahui. Beberapa kali Bul-Bul pingsang ketika sedang dalam keadaan di siksa dan di hajar habis-habisan oleh para penculik.

Bul-Bul pelan-pelan membuka kedua mata sambil menahan perih di pelipisnya yang robek akibat pukulan para penculik dengan tanpa hati. Mata Bul-Bul ia edarkan ke sekeliling dalam gubuk. Jarak pandangnya masih kabur menjadikan pandangannya tak begitu jelas untuk melihat lebih tajam. Apa yang ada di sekeliling ruangan dalam gubuk. Samar-samar mata Bul-Bul melihat gelas-gelas plastik yang menyisakan air kopi basi di dalamnya. Juga terlihat bekas puntung rokok yang sebagiannya masih mengepul.

Butuh 15 menit untuk menunggu saraf matanya mulai bekerja dengan baik. Penglihatan bul-bul mulai tajam kembali. Begitu juga dengan telinganya yang berdengin keras, akibat sebuah pukulan mendarat di salah satu lubang telinganya.

Kesadarannya mulai pulih. Begitu juga dengan Saraf-saraf tubuhnya. Hampir seluruh tubuhnya terasa nyeri dan pegal-pegal. Tapi tak begitu ia hiraukan. Pikirannya hanya satu. Bagaimana tangan dan kakinya yang terikat bisa lepas.

Mata Bul-Bul melihat puntung rokok yang masih mengepulkan asap. Bul-Bul tak ingin kehilangan kesempatan. Bul-Bul menggeserkan sedikit demi sedikit tubuhnya. Jarak dari puntung rokok hanya satu meter. Tapi jarak itu terlampau jauh dari jangkaunnya. Kondisi tubuhnya masih ngilu-ngilu hingga gerakannya belum begitu cepat. Bul-Bul tidak menyerah. Bila ikatan tali plastik yang mengikat kedua kaki sampai mata kaki bisa di lepas dengan cara menyundutkan pada puntung rokok yang masih menyala, maka Bul-Bul bisa melarikan diri dari sekapan para penculik itu.

Bul-Bul mulai mengerakan sedikit demi sedikit jempol kaki dan jari jemari kakinya yang sudah terlupas kuku-kukunya. Apakah masih bisa di gerakkan atau tidak. Sambil menahan rasa nyeri yang menyedot saraf-saraf tubuhnya. Bul-Bul terus menggerakkan tubuhnya ke arah puntung rokok itu. Jarak satu meter dari tempat duduk dimana Bul-Bul sedang terikat dengan puntung rokok itu hanya satu meter. Sedikit-demi sedikit terpangkas jaraknya. Semuanya terasa begitu lambat jalannya.

Dengan mengangkat pantat, dan menggerakkan kedua kakinya terus menerus. Bul-Bul sudah semakin dekat dengan puntung rokok. Usahanya tak sia-sia. Kini jaraknya sudah 50 centimeter lagi dari puntung rokok itu. Bul-Bul tak bisa menahan lebih lama, tak ingin kehilangan kesempatan. Bul-Bul berusaha memiringkan tubuhnya, sengaja menjatuhkan dirinya sekuat tenaga agar sampai pada puntung rokok itu. Bayangan Ibu, Bapak, dan kedua adiknya yang membuat Bul-Bul kuat untuk melampaui semua ini. Hatinya berseru. Tuhan!..Selamatkan aku. Bul-Bul menjerit dalam hatinya. Agar keluar dari semua ini.

Mulutnya menyeringai, darah yang keluar dari mulutnya sudah mengering. Tenggorokannya susah sekali untuk menelan. Ludahnya terasa habis dan kering. Ketika badannya mulai condong dan semakin miring kea rah puntung rokok itu.

Gedubrakkkk!. Bul-Bul berhasil menjatuhkan dirinya. Mulutnya mengaduh menahan ngilu yang demikian terasa. Bul-Bul jatuh dalam posisi miring. Posisi kakinya mulai di gerakkan sedikit kearah puntung rokok yang masih mengepulkan asap. Sementara sebagian paha Bul-Bul sampai keatas tertahan oleh kursi yang terus menempel dari tiga hari yang lalu.

Sudah dekat dengan puntung rokok yang masih mengepul. Bul-Bul harus menahan nafas lagi. Kedua jempol kakinya yang terikat pada kedua sisinya. Harus rela ikut tersundut oleh nyala api bekas puntung rokok itu.

Bul-Bul katupkan gigi gerahamnya kuat-kuat. Ketika tali plastik yang mengikat kedua jempol kakinya mulai mengkerut akibat terkena sundutan puntung rokok itu. Sedikit demi sedikit tali plastic yang mengikat kedua jempol kakinya mulai terkikis. Bul-Bul harus sedikit lebih lama untuk menahannya. Karena salah satu simpul yang paling kuat adalah tali yang mengikat kedua jempolnya. Bila Bul-Bul berhasil menahan rasa sakit, maka ada setitik harapan ia bisa melepaskan semua ikatan pada kedua kakinya.

Mulutnya mengaduh agak keras. Ketika simpul keduanya berhasil tersundut. Dan puntung rokok itu langsung menyundut tanpa ampun kedua sisi jempol. Sakitnya luar biasa. Seperti tersengat oleh seekor lipan. Panas dan pedas.

Kedua matanya melihat ke bawah mata kakinya. Kedua jempol kakinya seperti ada ruang udara. Simpul tali yang paling kuat ada di ujung jari jempolnya. Ketahanan Bul-Bul sudah teruji. Pelan-pelan ia gerakkan kedua kakinya. Ringan dan tanpa sesuatu yang menggecetnya terus menerus. Ikatan yang melingkari kedua betisnya mulai longgar. Begitu juga dengan tali yang mengikat antara paha dengan kursi mulai mengendur. Mungkin para penculik tak mengira kalau ikatan yang hanya satu simpul dapat berpengaruh pada ikatan yang lain. Mungkin juga karena Bul-Bul di ikat dengan tali plastic setelah di siksa dan di hajar tanpa belas kasihan terlebih dahulu. Baru kemudian di ikat. Atau bisa jadi mengira kalau Bul-Bul sudah tak bernyawa. Sehingga para penculik itu terkesan buru-buru untuk mengikatnya.

Bul-bul meronta-meronta sejadi-jadinya. Seperti orang kesurupan. Orang jadi begitu semangat, ketika sebuah harapan ada pada tangannya. Lama-kelamaan ikutan pada paha, kedua betis semakin longgar. Jarak antara tubuh Bul-Bul dengan kursi pun semakin bisa di gerakkan. Bul-Bul kembali menggeliat kuat agar bisa lepas dari jaring-jaring tali yang mengikatkan tubuhnya pada sebuah kursi. Prosesnya mirip seekor ular yang sedang ganti kulit.

Nafas Bul-Bul terengah-engah. Jantungnya menderu naik turun. Pertahanan tubuhnya kian lemah, hanya bara semangat yang tetap menyala dalam dada yang membuatnya terus semangat. Pelan-pelan kursi yang menempel di tubuhnya menggelosor ke bawah. Tali plastik yang mengikat antara kursi dan tubuh Bul-Bul sudah begitu longgar. Kini Bul-Bul dengan sisa tenaga dan semangat yang ada memakasakan dirinya untuk dapat berdiri. Kedua paha dan kakinya semakin terasa ngilu, pegal, hingga membuatnya terhuyung-huyung ketika ingin berdiri.

Kursi yang menempel pada tubuhnya sudah benar-benar terlepas. Bul-Bul seperti baru keluar dari kedalaman air yang di penuhi dengan Hiu-Hiu pembunuh. Kedua matanya kembali nanar, melihat sekeliling ruangan dalam gubuk. Tubuh Bul-Bul belum bisa berdiri dengan tegak. Kedua lututnya masih gemeteran, menahan rasa ngilu dan pegal-pegal yang teramat dalam sakitnya.

Kedua mata Bul-Bul mencoba mengitari sekeliling ruangan gubuk. Matanya tertuju pada sebuah kayu yang agak menonjol keluar, walaupun tonjolannya tak begitu kuat keluar, tetapi Bul-Bul berharap dapat memutuskan tali plastik yang ada di pergelangan tangan. Yaitu dengan cara menggosok-gosokan tali plastik pada kayu pipih yang menonjol.

Dengan lutut yang masih gemeteran, kedua kaki Bul-Bul langkahkan pada sudut ruangan gubuk agar lebih dekat dengan kayu pipih yang menonjol keluar diantara deretan kayu yang ada. Bul-Bul mulai menggosok-gosokkan tali plastik yang mengikatnya dengan sisa tenaga dan badan yang masih lemas.

Hampir 10 menit, Bul-Bul terus menerus menggosokkan tali plastik yang mengikat kedua pergelangan tangannya, keatas dan kebawah. Sementara hari sudah semakin sore, suasana dalam gubuk pun sudah semakin gelap. Rupanya waktu tidak bisa di kompromi. Bul-Bul masih terus saja berjuang melepaskan ikatan. Tanpa pernah kenal lelah. Bila lelah mendera Bul-Bul berhenti sebentar, sekedar mengambil nafas. Lalu kemudian meneruskan kembali menggosok-gosokkan tali plastik yang mengikat pergelangan tangan. Bul-Bul berpacu dengan waktu.

Lama kelamaan tali plastik yang terus menerus di gosok-gosokkan pada kayu pipih yang menonjol itu, berubah menjadi serabut-serabut yang tak lagi sesolid seperti semula. Rasa panas dari sisi pergelangan tangan menjadi penyemangat, layaknya cambukan penebus kesalahan. Semakin panas, maka Bul-Bul semakin kuat untuk menggosok-gosok nya. Serabut-serabut yang tak lagi solid, menjadi semakin rapuh. Kedua pergelangan tangan Bul-Bul akhirnya terlepas dari ikatan tali plastik yang mengekang kedua pergelangan tangannya.

Bul-Bul bernafas lega. Kedua tangannya normal kembali, tak lagi menelikung kebelakang. Rasa panas pada pergelangan tangan, tak lagi sepanas seperti tadi. Sekarang Bul-Bul berhasil menaklukkan ketidakberdayaan dirinya. Sebuah ketabahan sedang di perankan dengan baik oleh mental Bul-Bul. Bul-Bul mampu melampaui keterbatasan yang ada. Salah satu yang menjadi penyemangat adalah bayangan kecemasan mendalam yang mungkin sedang di rasakan oleh kedua orang tua dan adik-adiknya.

Ikatan yang membelenggu pergelangan tangan, paha, dan kedua kaki sudah terlepas dengan susah payah. Walau begitu, pikirannya masih tegang. Bul-Bul masih di liputi oleh rasa cemas dan setiap detik adalah kesempatan untuk dapat melarikan diri. Yang ada di pikirannya sekarang adalah, Apakah penculik itu benar-benar sudah tak berada lagi di sekitar gubuk atau sedang dalam perjalanan menuju ke gubuk, tempat dirinya di sekap tanpa makanan dan minuman. Bul-Bul tak ingin kembali di siksa dan di hajar oleh para penculik, tanpa alasan yang jelas serta kesalahan apa yang telah di lakukan. Bul-Bul merasa di perlakukan seperti sansak para petinju, yang di jadikan tempat melampiaskan kekesalan. Atau jangan-jangan dirinya adalah korban salah tangkap lalu setelah puas menyiksa dan menghajar, ditinggalkan begitu saja di pinggiran hutan yang seram.

Yang di lakukan Bul-Bul sekarang adalah kembali mengumpulkan kekuatan yang ada. Kedua matanya kembali menangkap sesuatu yang menggugah naluri bertahan hidupnya. Pada sudut ruangan dalam gubuk ada gelas-gelas plastik berisi kopi yang tinggal sisanya. Pada permukaan gelas tersebut lalat-lalat sudah bersuka ria menyantap sisa-sisa yang masih bisa di nikmati oleh lalat tersebut. Beberapa ekor lalat bahkan masuk kedalam air kopi. Tapi bagi Bul-Bul semua itu tidak jadi masalah, Bul-Bul merasa tubuhnya perlu asupan energi dari sisa kopi yang di tinggalkan oleh para penculik.

Bul-Bul segera menghampiri gelas plastik berisi air kopi itu. Langhkahnya belum stabil betul, tapi ia paksakan dengan segenap kekuatan. Kedua tangan Bul-Bul juga masih gemetar ketika memegang gelas plastik berisi air kopi. Satu persatu lalat yang masuk dalam air kopi itu, ia pungut dengan tangan kanannya. Setelah dirasa bersih dari lalat, air kopi itu tanpa pikir panjang langsung masuk masuk dalam tenggorokan Bul-Bul yang kehausan. Sekarang sisa air kopi yang sudah basi itu masuk kedalam lambungnya. Mungkin cacing yang ada dalam perut Bul-Bul berteriak, antara sedih dan senang. Tapi Bul-Bul tak akan menghiraukan teriakan cacing-cacing dalam perutnya. Setidaknya Bul-Bul dapat memperoleh tenaga dari kopi basi itu. Setelah meminum air kopi basi itu, bul-bul mengambil nafas dalam-dalam dan bersender pada salah satu sudut ruangan. Bul-Bul masih merasakan kedua lututnya yang gemeteran, disusul dengan keringat dingin yang keluar dari pori-pori tubuhnya. Ia menyadari kalau dirinya sudah bertahan dalam batas kemampuannya. Sambil menyandar di salah satu sudut ruangan gubuk, Bul-Bul menenangkan dirinya dari kecemasan yang sekarang hinggap di pikirannya.

Tapi itu cuman sebentar, Bul-Bul kembali di hinggapi perasaan tegang dan was-was. Pikirannya selalu menghakimi kalau selama dalam masa pelepasan diri dari ikatan itu hanya jebakan semata. Ia menganggap setelah dirinya berhasil melepaskan diri. Para penculik itu kembali menangkap dan menghajar habis-habisan. Pikiran-pikiran seperti itu nyaris menghentikan dirinya dari sikap bertahan hidup. Bul-Bul kembali meneguhkan dirinya agar pikiran-pikiran yang mematikan langkahnya bisa berangsur-angsur hilang.

Sinar cahaya yang menerobos masuk kedalam gubuk membantu Bul-Bul mengenali detil isi dalam gubuk. Hatinya bangkit, dan kedua matanya melihat sebuah pintu sederhana tak berdaun kunci. Dengan tubuh yang masih lemas, Bul-Bul bangkit dari tempat duduknya menuju pintu sederhana itu. Kedua tangan Bul-Bul mulai meraba dan mendorong pintu itu, apakah bisa terbuka atau tidak. Beberapa kali tangan Bul-Bul mendorong pintu itu, seketika itu juga pintu itu seperti ada yang beban berat yang menahan pintu itu.

Bul-Bul bergeser ke samping pintu, mencari celah-celah agar dirinya bisa mengintip dari celah itu dan mengetahui benda apakah yang menghalanginya. Kedua matanya berbinar, Bul-Bul menemukan sebuah celah kecil yang bisa ia gunakan untuk mengintip dari dalam. Dari celah kecil itu Bul-Bul melihat 2 buah drum besar yang di susun tegak berdiri kokoh menyender di pintu. Bul-Bul sedikit bersemangat melihat peluang untuk lolos dari cengkraman para penculik itu.

Bul-Bul mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu itu. Dengan segenap tenaga yang ada, Bul-Bul hentakkan bahu kanannya ke tengah pintu yang di palang melintang lengkap dengan paku kokoh tertancap di masing-masing ujungnya. 

Bunyi Brukk dari tubuhnya tak membuat pintu itu bergerak. Yang dirasakan Bul-Bul sekarang adalah bahu kanannya terasa agak linu. Bul-Bul mencoba berkali-kali mencoba mendobrak pintu dengan bahu kanan atau kirinya. Tetapi rupanya pintu yang tak berdaun kunci itu, terasa sangat kokoh dan solid. 

Bul-Bul beristirahat di dekat pintu itu untuk mengambil nafas dan tenaga yang ada. Bul-Bul mulai di hinggapi perasaan putus asa. Lama ia merenungi kondisi yang sedang menimpa dirinya. Tanpa Ayah dan Ibu, adik-adik, juga teman-teman baiknya. Dalam keletihan dan kecemasan yang ada, pelan-pelan kedua mata Bul-Bul tertutup dan tertidur.