Kamis, 25 Juni 2020

Sekolah Bukan Tempat Loundry

Anak perempuan itu memukul-mukul mejanya. Guru di hadapannya tak ia pedulikan. Pijakan lembut tak juga mempan menyentuh gendang telinganya saja. Tak sampai perasaannya. Mungkin membutuh momen untuk membuatnya tenang dengan ketidakmampuannya membaca.

Dengan badannya ia bisa menipu siapa saja. Mungkin pikirannya tak bisa ia tipu. Guru di depannya tak begitu ia anggap sebagai mana mestinya, ini hanya contoh, tak perlu risau.

Mungkin karena ia guru baru, jadi tak ia anggap sama sekali. Ia mungkin menghormati guru lamanya yang telah menundukkan "keliarannya" selama ini. Ia ingin mengintimidasi gurunya, sebagai mana ia sering diintimidasi guru lamanya. Sebuah pikiran yang tampak normal. Sebuah dendam yang tak berkesudahan, tapi mungkin terlalu berlebihan.

Semua cerita bisa berawal dari mana saja. Ini hanya cerita, kalian senang dan tertarik, itu biasa. Menganggapnya luar biasa, karena sekolah bukan tempat mencuci segala kebodohan, itu juga biasa. Karena kadang menganggap yang biasa itu tak biasa. Mungkin sekolah hanya menempa, bukan mencipta, biarkan anak-anak berkembang mengasah bakatnya. Kalaupun tak ditemukan bakat apa-apa. Justru itu yang barangkali luar biasa. Karena ia berjalan tanpa memakai selendang kesombongan. Di saat teman-teman yang dulunya berbakat, ia bersedih karena menemukan temannya meringkuk di balik jeruji besi. Atau ia tetap rendah hati, kepada temannya yang berbakat apa saja.

Perjalanan ini baru saja di mulai...

Senin, 22 Juni 2020

Cerita Akhir Pekan

Ia menghendaki agar suasana rumahnya lebih nyaman dari sebelumnya. Kebebasan berpikir kerap mewarnai, lebih tepatnya percekcokan sih. Perempuan yang telah mengandung anak-anaknya tak jadi soal ketika sekolah berhenti di tengah jalan. Ada apa dengan isi otaknya. Gelagapan ketika mendung jadi hujan, api yang menyengat, dan tulang masih kuat.

Ini cerita tentang sejarah yang terulang. Sejarah mestinya tak perlu diulang-ulang, bila memang perlu. Kesalahan mestinya jadi sejarah, agar tak terulang.

Ia laki-laki dusun yang kedusunannya mengalahkan dusunnya sendiri. Di luar sana orang dusun bisa menjelajahi eropa dan asia, mungkin juga lebih, tapi hanya ke Bandung saja, ia mengeluh. Di ledek teman-temannya sedikit, ia ngambek, mutung, dan mencari-cari alasan agar tak menopang seluruh tanggung jawabnya sebagai suami. Kapan ia akan belajar untuk menopang, bukan menelantarkan hak-haknya, lalu bersandar kepada orang yang tampak kuat.

Sekian tahun berlalu, tampak begitu-begitu saja. Mungkin baginya nasib tak pernah bisa diubah. Padahal nasib ada pada telapak tangannya sendiri.

Ini cerita akhir pekan yang paling sumir, meski tak ingin di sebut menyedihkan. Tapi sebenarnya amat memilukan. Beban pikulan harusnya terbagi secara rata agar beban tak menumpuk pada pundak yang sama. Manusia terlalu rapuh untuk tempat bersandar.