Kami sampai di halaman rumah Kiera. Tak terlihat tanda-tanda kehidupan. Sepi yang kami temui. Lengang yang kami perhatikan. Mobil milik ayahnya tergeletak di dalam garasi. Berulang kami ucapkan salam tak ada yang menyahut. Coba bertanya kepada salah dua tetangga juga tak membantu.
Sebuah mobil warna hitam datang berhenti di depan rumah Kiera. Aku dan Ares menunggu siapa yang keluar dari balik kemudi.
"Beni."
"Pak Alex." Wajahnya tampak tegang, kantung matanya menghitam.
Aku dan Ares mengekor di belakangnya. Tubuhnya tinggi besar menjulang. Mirip tokoh Herkules atau The Rock. Kami berjalan di belakang seorang raksasa. Kami berdua menunggu di ruang tamu. Foto Kiera dan ayahnya menggantung di dinding. Ia kembali membawa dua kaleng minuman.
Pak Alex duduk di kursi rotan. Ares menenggak habis minumannya. Mengecapnya bangga disertai suara mendesis. Ares melirik ke arahku.
"Ada yang ingin bapak ceritakan," katanya
Kami menunggu.
"Sudah satu bulan Kiera terbaring di rumah sakit. Kesehatannya menurun tajam. Rupanya sel kankernya keras kepala tak mau hilang dari tubuhnya. Kiera meminta bapak untuk memberi tahumu pada hari pertama di rawat, tapi tak sempat."
Rasa dingin menyergap rongga otak. Bahu mencengkram jantung tetapi tidak sampai. Kelopak mata memanas. Senyum Kiera tiba-tiba mengambang di atas permukaan keramik, Ares menatapku.
"Kiera dirawat dimana Pak."
"RS Purbalingga."
"Kenapa tak dibawa ke Singapura, atau ke tempat biasa Kiera dirawat." "Kiera menolak di bawa ke luar negeri. Ia mungkin telah melampaui batas kekuatannya. Setelah beberapa kali kemo saya pikir tak bisa bertemu lagi dengannya. Tapi keajaiban muncul, ia seperti memperoleh kekuatan hingga bisa bertahan vonis sang dokter."
"Kekuatan, maksud bapak."
"Ya, Kiera termasuk anak yang sulit untuk dekat dengan laki-laki. Baginya kaum adam adalah mahluk aneh. Ada perbedaan cara pandang antara keduanya. Tapi denganmu, Kiera tampak nyaman. Tetapi garis waktu sudah menanti. Pada detik yang menghawatirkan Kiera tak ingin melihatmu rapuh setelah memberinya kekuatan. Kau mungkin mengerti maksudnya."
Aku mengangguk setengah linglung.
"Temani Kiera di saat-saat terakhir, kau berkenan."
"Ya."
Pak Alex masuk kamar. Kenyataan selalu saja pahit. Aku yang bukan siapa-siapanya Kiera ternyata tak tangguh menerima informasi tentang kondisi Kiera sekarang. Ia menyembunyikan rasa sakitnya dengan keceriannya. Ia tak ingin membuat orang terdekatnya ikut menanggung beban.
"Nama kau ada di buku hariannya. Kiera mengagumimu. Sesekali ia memintaku untuk menuliskan kisahnya, jika kelelahan. Buku hariannya penuh setelah setahuan ia menuangkan isi kepalanya. Kiera yang memintanya ketika dirinya tak stabil. Kiera selalu bicara tentang buku hariannya. Goresan penanya adalah cara terbaik untuk berbicara. Ia tampak mendalami tulisannya agar enak dinikmati. Terimalah buku ini."
"Kiera juga bercita-cita agar buku hariannya selalu meningkat hingga pada tahap perubahan bentuk yang equel, tak hanya sekedar berkhotbah. Tak kaku, tapi bisa memukau rasa," ucap Pak Alex.
"Cita-cita yang hebat," ucapku.
"Ia ingin jadi penulis."
0 Comments:
Posting Komentar