Siapapun akan melihat makam berpikirr ulang untuk melakukan hal-hal buruk. Kecuali keburukannya mendarah daging.
Setengah jam berlalu.
Para pelayat sudah kembali pulang. Ibu, ayah dan Paman Erik juga sudah pulang. Bu Mona dan suaminya juga sudah lebih dulu meninggalkan pemakaman. Aku, Naura, dan Ares masih berdiri memandangi pusara Kiera. Sementara Pak Alex terlihat diam membeku menatap papan nisan.
Kuharap malaikat akan bersikap baik. Ia tak bisa melawan kematian. Penyakit kanker hanya salah satu penyebab. Takdir sudah berkendak. Siapapun tak bisa menolaknya. Entah ia raja atau rakyat jelata. Kenapa aku jadi sok tahu begini?
Pak Alex berdiri setelah lama jongkok. Senyumnya berhasil mengalahkan kami yang masih naïf untuk mengartikan sebuah kehilangan. Di tinggal pergi seorang sahabat tidaklah mudah.
"Terimakasih sudah menjadi sahabat putri saya."
Aku dan Ares menyalami Pak Alek, telapak tangannya terasa dingin.
Kami bertiga pamit dan meninggalkan Pak Alex sendiri.
Kami kembali restoran 54. Sampai di restoran aku masuk kamar mandi untuk memastikan tubuhku bersih dari bau kapur barus. Sejenak menjernihkan dari aroma pekuburan. Lalu keluar dengan baju ganti yang lebih nyaman. Ada yang hilang dan nyeri menusuk tapi tak tahu bagaimana menanggapinya. Aku berharap agar tak kehilangan logika terbaikku.
Kami bekerja di pos masing-masing. Suasana agak kaku. Ibu Mona seperti mengerti tentang suasana berkabung yang menyelimuti perasaan kami masing-masing.
"Siapa yang mau mi kopyor!" Terimakasih Bu Mona dari sebrang ruangan.
Ares mengacungkan tangan melampaui telinganya. Di susul Naura yang tak mungkin menolaknya. Ini jenis makanan yang sulit untuk kami tolak. Kalau kalian menolak mungkin tak bisa tidur semalam suntuk.
Ibu Mona, Naura, dan Ares datang ke dapur secara bergantian. Aku yang melamun tak merasa kehadiran mereka. Selesai mengelap panci dan wajah, aku malah terjebak pada tulisan Kiera yang terus lengket di kepala. Kalimat-kalimatnya terus menerus memanggilku, menawan ingatan. Huruf-hurufnya seolah-olah berputar membentuk perisai yang sulit terpecahkan.
"Kak pangeran kesiangan, kau tahu, pedang yang hebat di tangan orang yang salah hanya akan berubah menjadi tongkat yang rapuh. Sebuah rak kosong lebih baik dari pada mengosongkan hatimu dari perasaan yang tersembunyi."
Mungkin ia menulis ketika menunggu sampai hujan reda di sebuah halte Bancar. Ingatan itu sulit untuk menghilang. Mungkin aku tidak ingin bermain-main dengan kenangan.
"Kau baik-baik saja Ben," Tanya Naura.
Aku tersenyum.
Suasana cukup sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang sedang menikmati makanan. Ketika kami berempat sedang menikmati mi kopyor. Muncul seorang pengunjung yang membekap mulutnya dengan masker bergambar kura-kura. Tas ransel kecil di punggungnya, sepatu kets, dan berpakaian army.
Ibu Mona menghampirinya. Terlihat dialog singkat. Tangan Bu Mona mengarah kepada kami. Keduanya berjalan bersisian mengarah ke meja kami. "Ben, ada yang mencarimu?" katanya.
Aku meletakan sumpit di atas mangkok. Ares dan Naura juga melakukan hal yang sama. Hening menyergap kami.
Bu Mona memberikan tempat duduk bagi gadis bermasker kura-kura. Ia membungkukkan badanya sejenak. Bukan cara khas orang Purbalingga memberi hormat.
"Kau Beni." Tanya gadis di depan kami. Ia masih menyembunyikan sebagian wajahnya di balik maskernya.
"Ya."
Ia menurunkan maskernya dan menyembunyikan di balik kantongnya. Nafasku tercekal.
Di hadapan kami, ada seorang gadis yang sangat kami kenal selama ini. Tapi tak mungkin, ia sudah meninggal, kuburannya masih merah. Orang sudah mati tak mungkin bangkit lagi.
"Saya Kieri." Begitu gadis di depan kami mengenalkan namanya. Wajahnya sangat mirip dengan Kiera.
"Hantu...!" Teriak Ares, ia hampir terjungkal kebelakang.
SELESAI