Selasa, 16 September 2014

Gadis Pendiam

Mataku panas
Keringatku mulai bercucuran
Setidaknya untuk kali ini aku dapat menahan rasa malu
Mataku mulai rabun
Ternyata Matematiku untuk otakku tidak semudah meminum air
Aku diam sejenak lalu diam hanya memandang papan tulis berwarna hitam
Tanganku mulai berkeringat memegang kapur tulis
Aku hanya memandangi angka yang tidak pernah berubah
Melebar pupil mataku
Sejenak aku bernafas, tetapi aku seperti tidak bernafas

Guru yang berkata demikian
Husss
Bisa mengerjakan tidak...
Aku diam...
Mukaku terasa panas
Lututku sedingin es
Aku tak berani menatap kebelakang
Aku tak berani menatap teman-temanku di belakang

Duduk!!!
Aku kaget
Kapur tulis di tanganku nyaris terjatuh
Gadis pendiam itu
Menggantikanku
Aku malu teramat malu, runtuh sudah mental hidupku
Aku laki-laku yang tak pandai matematika
Gadis pendiam itu
Gadis yang sangat kharismatik
Aku pun Respek
Atau ada perasaan lain


(Sebuah Puisi Lepas )

Rabu, 10 September 2014

Dialog Kecil

Kambing dan Halikopter siang itu lapangan yang di kelilingi oleh pohon bambu terasa nyaman. Diun seorang penggembala kambing tengah gundah karena akan berpisah dengan kambing peliharaannya. Somplang, Edi, dan Slamet tengah tekun mendengarkan ceritanya. " Met gimana nasib kambing saya." " udah relain aja, kambing bandot aja." " Tapi aku masih sayang banget sama ni kambing." " Kamu lebih sayang mana kambing atau kakak kamu yang ingin pergi ke Batam." Edi menambahkan. sementara Somplang melihat dan mendengar. Anak kecil itu terlalu kecil untuk bisa menilai apakah yang di maksud dengan rasa kehilangan. " Lang kenapa diam saja." " Kamu lapar." Edi pura-pura nanya. " Andai saja saya punya pesawat." Diun lemah berkata " Buat apa." Slamet bertanya. " Saya pasti akan bawa pakai pesawat ke suatu tempat. 

Dialog kecil diatas adalah potret tentang kegamangan dalam mengahadapi hidup, antara menurunkan ego untuk mengalah atau mengumbar harapan yang menyempitkan akal. Hadapai kenyataan dan kreatiflah dalam memaknai hidup yang terlalu "simple."

Selasa, 09 September 2014

Lomba

Nafasku terengah-engah
Walau Lomba belum mulai
Di sana ada gundukan batu yang harus aku pindahkan ke sisi lainnya
Jika aku dapat memindahkan dengan catatan waktu terbaik, maka aku bisa bertanding pada pertandingan berikutnya

aku sempat kaget
Sebelum memungut batu, seluruh baju di buka hanya tinggal kaos dalam, ini berlaku untuk semua pesaing di sampingku
beberapa saat kemudian

Priiiiiit

Aku berlari seperti angin
mencoba sekuat tenaga untuk bisa sampai ke gundukan batu lebih awal
Nafasku makin memburu, aku bisa memastikan lebih unggul beberapa detik dari kawanku di belakang
Ya semua peserta adalah kawanku
Hanya kali ini siapa yang paling cepat

tanganku dengan cekatan mengambil batu satu persatu lalu lari dengan kecepatan tinggi
Hanya tepukan dari kawanku yang baik, beberapa mungkin sinis melihatnya
Si Chu Eng ternyata bisa lari dengan cepat
Seluruh gundukan batu berhasil ku pindahkan dengan catatan tercepat
Nafasku mulai mereda saat aku berhasil menjadi kandidat pemenang
Di sana wajah-wajah kecewa tergambar jelas
Sejenak aku beristirahat
Aku mengguyur kepalaku dengan air untuk mendinginkan ketegangan
aku masuk kelas dan dan melihat siapa saja yang lolos ke babak berikutnya

Tidak ada papan nama yang mencatat namaku di sana
Yang Jelas guru kelas lain mencatat dalam kertasnya
Aku penasaran siapa selanjutnya lawanku

Tiga gadis berteriak semangat
Ketika wajahku terlihat dari balik jendela kelas
Chu Eng!!!
senyumnya manis juga ya...


(Sebuah Puisi Lepas)