Betapa kacaunya isi pikiran seseorang pendidik ketika membaca buku, ia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Bukan untuk tabayyun, mengecek apakah isinya racun atau madu, dari situ saja itu sudah membekali sejumlah logika untuk bisa main tidak hanya di ladang sendiri. Kalau kata Martin Suryajaya; "menangguhkan sendiri kepribadian sejenak, untuk mencoba menulusuri isi pikiran orang lain. Menurut saya itu sangat mengena, seperti kita sedang bercanda sambil berpikir. Seorang guru perlu memberi jarak antara dia dengan sumber bacaannya. Agar ia bisa menyerap apa yang mesti bisa diserap, dan apa yang mesti dijeda
Campur aduknya antara keinginan untuk menginterupsi bacaan orang lain, itu bagus. Tetapi kenapa ketika selesai membaca ada banyak yang hilang. Karena ketika ia membuka halaman baru dalam sebuah buku, kan iya sedang masuk dalam pikiran si penulis, tanpa perlu mengoreksi terus bacaan, tetapi lebih kepada seberapa banyak informasi yang bisa ditabung, diendapkan dalam memory jangka panjang, dan suatu saat bisa dipanggil kapan saja, tanpa perlu ribet-ribet untuk mengindarinya ketika berargumen.
Berhenti sejenak untuk mengetahui isi pikiran orang lain, adalah modal untuk berpendapat, berdiskui, dan berdebat yang hangat tentang sesuatu hal, tanpa bacaan yang melimpah orang dalam hal ini seorang pendidik agak sulit untuk menangkap gejala pada peserta didik, ada kegagapan yang mereka sedang pertontonkan, dengan jawaban yang diluar kendali mereka sebagai pendidik, sebagai guru, yang tetap rendah hati tanpa perlu bersikap feodal.
Betapa campur aduknya pikiran pendidik manakala terus membereskan pemikiran orang lain dengan maksud bukan untuk pendampingan tetapi dengan maksud tertentu, yang mencoba meruntuhkan satu warisan yang sudah tersusun lama, berdasarkan pengalaman, evaluasi, segala kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan terkait program dan kurikulum sekolah.
Buku itu berbicara, mengajak orang untuk berpikir, jadi jangan selalu mendapatkan apa yang diharapkan dalam satu buku, maksudnya ketiak pendidik membaca satu momen satu buku, dan hasilnya adalah kebingungan, jangan tagih pada penulis pemberi momen (kejadian), tetapi tagih apa maksud dari buku yang dimaksud, bukan terus menerus managih pada seorang pengarang, kitalah lah yang menerka apa yang dimaksud, karena si penulis menyampaikan simbol tertentu agar orang berpikir tidak selalu disuapi seperti bayi, lalu kapan berpikirnya seorang pendidik. Cara menagis isi pikiran pengarang bisa sangat melimpah caranya bisa macam-macam. Kalian bisa mencari sendiri jawabannya, dan itu tugas sebagai seorang pendidik.
Cekap semanten.
0 Comments:
Posting Komentar