Jumat, 24 September 2021

Kata Nenek

Sudah beberapa jam Febri dibawa Kelong. Berita ini tentu saja menggemparkan seluruh penduduk gang rapingun. Kami yang sedang duduk-duduk di beranda Mushola selepas mengaji merasa kecut. Aura Mushola yang semestinya memberikan ketenangan seakan mengungkung kami dalam ketakutan. Apakah nanti menjadi prasasti sebagai anak yang paling banyak diusili oleh dedemit.

Menurut para sesepuh di desa kami, kaum dedemit yang terorganisir itu akan "menyerang" atau "menangkap" anak-anak yang tidak patuh orang tua, klayaban sendirian, dan suka terbengong-bengong. Konon mereka handal dalam hal merongrong wibawa manusia, apalagi anak-anak.

Nenek memiliki pengetahuan yang cukup luas terhadap dunia perdemitan,ia seorang yang kata-katanya didengar oleh keluarga. Ia punya ingatan lengket tentang para kompeni yang mendera pada anak cucunya. Setidaknya pada Supri, cucu yang pernah diteror oleh ular besar penunggu pohon besar.

Menurut Nenek derivasi pada dunia dedemit terpecah-pecah dalam tataran yang sering kali tidak masuk akal. Supri sering memprotesnya, tetapi ketakutan menjadi perisai atas ketidaksukaan pada dunia rekaan sang nenek. Ia seringkali menerka-nerka apa isi kepala sang nenek, apakah otaknya dipenuhi dengan konspirasi-konspirasi untuk menjaga para cucunya.

Ia memperkenalkan sosok Cepet sebagai lelaki serba hitam yang seringkali muncul dari balik rerimbunan pohon bambu. Bambu wulung menjadi hunian paling nyaman bagi para kumpulan Cepet beserta sanak familinya. Cepet seringkali menjelma menjadi sosok yang dikenali oleh orang-orang terdekat. Kemunculannya bersamaan dengan tenggelamnya matahari. Begitu kata nenek, sebagai awal pembicaraan serius di tengah malam. Ketika membukakan pintu untuk Supri yang pulang malam.

"Nek, Febri dibawa Kelong," Ucap Supri ketika mengunyah nasi dingin dengan campuran lauk yang tampak menggigil.

"Ternyata mereka tak juga kapok."

Lalu nenek bercerita panjang lebar. Ia menebak kalau Febri sudah dibawa berkeliling menuju tempat-tempat yang semestinya buruk pada dunia nyata. Tampak indah bila sedang membersamainya. Mungkin Febri akan ditemukan pada tempat-tempat yang tak terduga.

Sebelum tidur, Supri dikenalkan kembali pada dunia rekaan nenek. Sumbernya pun sulit untuk ditelusuri. Dugaan sementara menurut para teman-temannya, nenek pernah dikejar oleh serdadu Jepang sampai terbirit-birit masuk lereng dan bukit-bukit berhantu. Lalu pulang dengan segudang pengalaman yang meneror. Sesaat sebelum tidur, ia bercerita tentang dunia Jewilwa yang muncul pada siang bolong ketika anak-anak keras kepala tak pulang ke rumah. Ia tidak bercerita secara lengkap asal muasal Jewilwa itu. Jenis berikutnya ada sosok yang sering disebut dengan Nggerem, mahluk penganggu pada anak yang malas gosok gigi dan kabur saat tidur siang.

Pagi hari Supri terbangun mendengar jeritan ayam hutan yang dipelihara oleh kakeknya. Ia kadang melengkapi dunia rekaan nenek menjadi terlihat nyata dan bisa ditelusuri dari masa yang lampau. Apakah mungkin?

Ia melangkah untuk memulai hari bersama dunia rekaan sang nenek.

Kamis, 02 September 2021

Aku dan Dea Anugrah

Mungkin persamaanku dengan Dea Anugrah, hanya satu hal saja. Ia pernah meminum air galon selama dua hari untuk mempertahankan "kehidupannya" selama kuliah. Maaf, ini terdengar sok tahu. Karena aku hanya melihat Dea Anugrah bercuap-cuap di You Tube yang kutonton berjam-jam. Entah kenapa pemuda ini menyedot isi pikiranku untuk mendengarkan kata-kata yang menurutku amat jenius, jika ini tidak berlebihan. Aku hanya melihat dari jauh, mungkin suatu saat bisa bertemu, dan bertanya banyak hal padanya. Tulisan ini kubuat, untuk mengabarkan pada khalayak. inilah caraku berterima kasih padanya.

Aku lebih tragis darinya sekaligu iri, ia "hanya" meminum air galon selama dua hari, sementara aku harus menyiksa perutku selama tiga hari dengan air galon yang kubeli Rp 3000 rupiah. Satu kali gratis membeli air galon, jika berhasil mengumpulkan tujuh kali bukti pembelian. Kuanggap diriku sebagai penyintas dari ketidakberdayaan melawan kelaparan yang 'kugauli' selama kuliah di Ciputat. Ia begitu lentur bercerita soal pengalaman intelektual di Yogyakarta, berfilsaf di UGM dan lebih sering nongkrong dengan anak UNY.


Ini sebentuk kekaguman saja pada cara menuangkan ide dan tulisan, sekali lagi aku mengenalinya lewat tulisan dan media sosial. Setelah selesai tertawa sempurna biasanya ada hal memikat yang bisa keluar dari mulutnya. Misalnya ia mengatakan "setiap tulisan akan menemukan bentuknya sendiri" kurang lebih seperti itu. Bagiku ini jenius, aku yang masih gagap mempresentasikan sebuah cerita menjadi puisi, cerpen, atau novel seperti mendapat uluran tali ketika hendak jatuh ke jurang.

Bagiku yang awam berfilsafat mendengar cara pikirnya tentang dunia filsafat. Ia mengatakan tanpa Georg Wilhelm Friedrich Hegel tidak ada Karl Marx, ia seperti ingin melipat 'keruwetan' dalam dunia filsafat menjadi lebih sederhana. Itu yang kurasakan.

Entah kenapa 'mereka' yang dari filsafat sanggup membuat tulisan yang mencengangkan. Ada juga yang dari lulusan sastra yang bisa melahirkan konsep dan cara berpikir yang cerdas. Sebut saja Mahfud Ikhwan, yang usianya terpaut empat tahun saja denganku. Dan mungkin banyak lain yang belum kuketahui. Kita kembali ke pemuda ini, ia mengatakan kalau penulis itu dibentuk dari buku-buku yang dibaca, dan tidak ada kausal dengan latar belakang pendidikannya. Dasar pemikiran itu membuatku menjadi semakin menggebu untuk menyelesaikan tulisanku. "

Cerpen Dea yang menarik salah satunya, Kisah Sedih Kontemporer. Kalian sudah baca, kalau belum itu masalah kalian sendiri.