Selasa, 25 Maret 2025

Seorang Guru Yang Mengabaikan Bakatnya

BABAK 16
Pada saat usia tertentu dimana manusia menyadari saat itu semua tinggal menghitung kekecewaan. Lalu lahirlah penyesalan yang selalu datang belakangan, mungkinkah itu bisa diputar? Jawabannya ada pada kesanggupan mengelola kesempatan yang selalu datang bertubi-tubi. Second Chance, begitulah orang 'bijak' berucap. 

Manusia menyadari bakatnya di bidang tertentu, setelah lama sekali menyadari baru melatihnya sedemikian kerasnya. Ini membutuhkan gelombang semangat tinggi dan meninggalkan riak-riak keluh kesah. Semuanya dimaksudkan untuk melunturkan kemalasan yang telah bertumpuk mengarat.

Setelah menemukan dirinya berbakat, meski kesadaran dan penemuan jati dirinya melalui orang lain. Itu tak jadi masalah. Ini bagian dari usaha mencari jalan keluar. Tak juga melunturkan jiddiyah untuk memompa usaha secara istimroriyah  (terus menerus).

Bakat juga memerlukan kerja keras, agar tak hilang di telan kerasnya kemalasan. Berbekal bakat saja, bisa menipumu kapan saja. Merasa bisa sejatinya ilusi semata. Orang pontang-panting mengukur diri sejauh mana dirinya benar-benar berbakat.

Menyerahkan kemampuan pada bakat bawaan, sama saja mematikan api pada kayu bakar. Hadir kemudian orang-orang yang memiliki bakat justru mengabaikan tak pernah meresponnya. Karena merasa bisa. Kebiasaan seperti itu akan merenggut hal terbesar darinya, sama saja bakat itu di take over tanpa pernah bisa untuk melawannya. Di sisi lain ada orang-orang yang mampu menghadirkan satu sikap disiplin ketat dibarengi latihan serius dan diakhiri oleh kerja keras, cerdas, juga ikhlas.

Mendiamkan bakat yang ada atas dasar arus kesadaran, dengan alibi bisa memanggilnya kapan saja, sama membiarkan umpan dimakan oleh ikan buruan dengan melepasnya dengan kailnya.

Jika ada pernyataan, "ngapain tahu bakat, kalau nantinya malah mati-matian berusaha." katanya enteng. Pada saat yang bersamaan, ia kehilangan sesuatu yang berharga, yaitu bakatnya sendiri. Keluar dari lingkaran merasa bisa mengerjakan tanpa perlu latihan agar pada masa tertentu tidak menyesal, menyesal yang tak tergantikan.

Seolah-olah bakat itu bisa dipanggil kapan saja dan diperlakukan semena-mena. Alih-alih ia (bakat) dianggap barang antik yang disimpan di tempat terbaik, tanpa pernah melatihnya, lalu digunakan seenak jidat, rasakan saja nanti akibatnya. Ia bisa menghilang kapan saja, tanpa pernah kalian sadari. Mungkin bakat itu akan jadi milik temanmu sendiri, karena bakat merasa sedih telah di sia-siakan terlalu lama. Hingga ia rapuh dan pergi dalam kehidupannya. Temanmu yang merasa prihatin akan disia-siakan sebuah bakat, kemudian mengambil bakat itu, memelihara-merawat-melatih-sedemikan keras. Berhari-hari, betahun-tahun, hingga bakat itu secara tepat nempel pada dirinya dalam kondisi prima siap untuk digunakan kapanpun dan dimanapun. Bakat yang tadinya tidak ada, menjadi ada. Itu akibat dari perlakuanmu yang tertib untuk mengkondisikan sebuah bakat agar tak sia-sia.

Ini pendapat ketika mendengar seorang guru telah menyia-nyiakan bakatnya, sebab malas berusaha. Secara sadar ia telah mematikan api dalam dirinya. Meruntuhkan tekadnya sebagai seorang guru. Pada saat nantinya ia akan menyadarinya cepat atau lambat.

Sebelum bakat mati menjadi hantu  penyesalan, rengkuhlah ia agar tetap  menjadi api semangat untuk terus melatihnya sampai kematian datang menjelang. Jika tidak segera, maka seorang guru bisa kehilangan bakat sampai tak di sadarinya, karena terlalu abai sekian lama. Cekap semanten

0 Comments:

Posting Komentar