Jumat, 28 Maret 2025

Apakah Seorang Guru Nggak Boleh Marah?

BABAK 19
Wajah mungilnya meminta perlindungan, belas kasihan, atau sebuah kata yang akan menentramkan kegelisahannya. Ia telah mengalami bully yang ia sendiri tak menyadarinya.

Ayahnya yang baru pulang bekerja tercenung, merenung, dan menasihati dirinya sendiri. Apakah seorang guru nggak boleh marah?

Anak lelakinya yang berusia tujuh tahun itu, telah mengalami situasi yang membuatnya tak nyaman (stress dalam sekala yang tak terbatas). Mungkin.

Ia bercerita sepedanya telah dilempar beberapa meter oleh dua orang dewasa. Satu remaja beranjak dewasa, satu lagi bapak yang bercucu satu.

Ayah anak itu ingin "menegur" bahkan tak sekedar "menegur" bahkan ia ingin menaikan levelnya menjadi dampratan. Ia ingin memuntahkan segala yang berkecamuk di kepala, bahkan sudah mempersiapkan kata-kata buruk yang sudah lama ia kumpulkan.

Setelah sampai di depan rumah salah satu pelakunya, ia terpaku sejenak. Bergelut dengan nuraninya. Kedua anaknya menguntitnya dari belakang. Entah kenapa kedua kakinya balik kanan. Seolah-olah ada yang menggerakan tanpa bisa mengelak. Ada kelegaan di sana, di lubuk hati yang terdalam.

"Kok pulang yah?, nggak jadi ngomelin?" Tanya anak lelakinya. Ia mencoba mengkorfirmasi sesuatu, siapa tahu ayahnya tiba-tiba jadi pikun. Sikap yang mungkin agak ganjil baginya.

"Mungkin kamu harus lebih hati-hati ketika meletakan sepeda, tidak di tengah jalan," jawab sang ayah.

"Temen-temen tuh yah, yang naruhnya sembarangan," sang anak mencoba berpendapat.

Beberpa malam menjelang tidur, sang ayah mencoba mencari letak kebenaran juga kesalahan. Ia bisa saja mendampratnya dengan meluap-luap, lalu apa yang akan dihasilkan. Apakah anaknya akan mendapatkan edukasi dari kejadian ini?

Sebelum terlelap, sang ayah terlihat komat-kamit merapal sesuatu. Lalu sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman.

Suatu sore sang ayah mencoba "mendamprat" salah satu pelaku pelempar sepeda dengan ucapan permisi ketika lewat depan rumahnya. Ia terlihat sedang duduk di serambi rumah. Menikmati kudapan sore. Ada kopi hitam di sana. Sang ayah berharap sikapnya sedikit berubah kepada anaknya. Ia membalas sapaan sang ayah dengan sikap manis gulali.

Kedua pelempar sepeda adalah tetangganya sendiri, ini bukan perkara yang mudah. Apalagi baru kali ini terjadi. Setelah tujuh tahun bertetangga. Mungkin kesalahan ada di anaknya. Atau ada kondisi yang membuat insiden itu terjadi. Apalagi sang ayah hanya mendengar dari si anak.

Anaknya masih kecil, fisiknya masih renta, kecil kemungkinan untuk melawannya, adalah pertimbangan sang ayah untuk melabraknya dengan cara lain. Yang lebih manusiawai. Apalagi salah satu pelakunya mendapat julukan Pak De.

Sang ayah masih bekerja di luar rumah. Keselamatan sang anak yang membuat sikap dan tindak tanduknya harus terukur.

"Ya udah kerjanya di rumah aja?" tegas sang anak. Ia seperti memberi sinyal, bahwa bekerja tidak harus keluar dari rumah. "Nanti ada waktunya," jawab sang ayah.

Kedua anaknya sedang dalam masa pertumbuhan. Ia tak ingin melihat anaknya tumbuh dalam mental yang mlempen. Ia harus terus menjaga dalam penjagaan yang lebih terarah, sesuai perkembangan usianya.

0 Comments:

Posting Komentar