Ia hanya lelaki ceking, suaranya tidak jelas, tetapi kalian begitu repot-repot mengirim berbagai jenis telik sandi untuk meringkusnya. Membungkam kata-katanya. Kalian sendiri yang menggembar-gemborkan agar demokrasi dijunjung sampai ke langit, tetapi suara keras dari akar rumput kalian pangkas sampai habis. Menyisakan satu duka sampai ke anak cucu. Kehadiran kalian tidak membawa pesan apapun. Bahkan nyalak binantang lebih kusukai dari pada pidato kalian yang disusun mendadak oleh ajudan yang bangun terkantuk-kantuk, setalah kalian repotkan seharian.
Ia pernah tergopoh-gopoh mengetuk pintu rumah di pagi yang buta. Wajahnya cemas tetapi matanya ia teguhkan maksimal. Aku mafhum ia dalam pelarian, menghindari serdadu yang mondar-mandir main kucing-kucingan. Tetapi ia bukan sembarang kucing, ia jenis kucing hutan (bob cat) yang memiliki telinga tajam. Kalian akan sulit meringkusnya, mungkin sampai ketika lebaran gajahpun kalian tak sanggup menangkapnya, apalagi menjebloskan ke penjara. Kalain hanya bisa mengurungnya dalam sel sempit penuh tikus got dan muntahan kucing. Tetapi tidak bisa mengurung isi kepalanya yang berkobar-kobar melawan ide kalian yang tak memihak kepada rakyat kecil. Gagasan yang kalian tawarkan seringkali mentah dan mementahkan persepsi sederhana dari sebuah kesejahteraan jasmani dan olahraga.
Pagi itu, kusuguhkan sepiring nasi dengan lauk telor dadar yang tampak gosong, sebab aku tidak bermimpi apa-apa semalam. Karena kalian membuatku lelah sepanjang siang berteriak menentang kata-kata kalian. Ucapan kalian sungguh keterlalun membuat bulu kudukku cepat-cepat meremang. Aku jadi sangsi apakah kalian betul-betul manusia, atau jangan-jangan kalian mahluk jadi-jadian yang seringkali berubah seenak perut. Sikap kalian sulit ditebak dari hari ke hari. Kusarankan kalian agar membaca karya Pak Mahbub Djunaidi. Bila kalian berat atau enggan menghabiskan seluruh halaman, maka bacalah barang lima sampai sepuluh halaman. Jika masih berat, maka renungkanlah testimoni dari para pengarang tentang buku itu.
Ia menandaskan seluruh nasi dan telor dalam waktu yang mengagumkan. Sudah berapa harikah ia tak mandi, rambutnya semakin menggibal. Bau badannya masih sama, tetapi lebih sangit dari yang pernah kucium. Juga apakah makanan terakhir yang sudah menyambangi lambungnya yang mungkin makin menciut akhir-akhir ini.
Mata kirinya yang memerah permanen melototiku. Ia celingak-celinguk mirip monyet kena tulup. Aku ingin tertawa, tapi urung kulakukan. Akan jadi dosa besar menertawai seorang pejuang yang kebebasannya makin dipangkas tiap detik. Padahal kata-katanya sama sekali tak berbahaya, setiap kata yang meluncur adalah pengingat bagi kalian yang seringkali amnesia selepas duduk di kursi yang mampu menyembunyikan setiap penyakit, sebut saja ambeyen. Ia ingin membebaskan makna dari kata-kata yang seringkali kalian pidatokan dengan urutan yang melelahkan. Bila kalian tak kunjung paham, ia sebenarnya ia ingin membebaskan kata dari segala keterbatasn makna. Karena pidato kalian sering hilang di ujung kalimat. Telinga-telinga di luar sana membutuhkan suara yang jelas, bukan dengungan tak karuan.
Kuputuskan untuk lenyap dari hadapannya. Hinggap di dapur dan menyiapkan segelas teh hangat di mug bening bergagang. Ia tersenyum lalu menenggak habis hingga jakunnya naik turun. Lehernya mengkilat kehitam-hitaman.
Sudah berapa lama ia berjalan melawan matahari yang sudah sekian jam menyetrikanya. Ia masih memakai topi yang pernah kuberikan ketika pertama kali bertemu dalam riuh rendah dan teriakan para demonstran. Ketika itu ia masih menggenggam secarik kertas lusuh yang tiba-tiba diremasnya kuat-kuat, lalu melemparkannya ke arahku ketika gas air mata memorak-morandakan seluruh barisan. Aku menangkapnya sambil terpejam, gas air mata itu sangat menyebalkan. Mereka menganggap kami musuh nyata yang mesti dimusnahkan dari bumi pertiwi. Ada ketidakpedulian manakala genangan darah memerahkan sepatu mereka, mungkin dianggap sebagai pencuci dari dosa yang mereka lakukan sebelumnya. Semacam penebusan kesalahan, bila salah satu dari kami benar-benar tertangkap dengan bidikan yang tepat.
Ia pamit karena tak fasih berbasa-basi. Ia bilang tak ingin merepotkan siapapun. Ia membunkukkan badan melepas topi sebentar lalu pergi dengan tergesa-gesa. “Hati-hatinya ya mba,” bisiknya sebelum ia menutup pintu rumahku.
Aku tolak ketika ia ingin mencuci piring dan gelasnya. “Mba bisa kena loh, banyak sidik jariku di piring dan gelas,” ucapnya pelan. Sisa dari ruangan yang tengah ia gulirkan adalah kesenyapan yang membuatku tercengang. Seperti apakah pikirannya dan sebesar apakah kelapangan dadanya. Apakah ia bisa merasakan setiap detak jantung para serdadu. Hingga ia kerap kali berjalan dengan kecepatan berlari. Akupun memancangkan sebuah tekad: tak ingin ia menganggapku sebagi tikus. Jenis hewan itu sering membuatku gusar akhir-akhir ini, ditambah jam tidurku terganggu oleh tukang ronda yang semakin rajin memukuli tiang listrik setiap dua jam sebelum subuh.
Selama ia sarapan, aku hanya mendengarkan perkataannya. Mungkin semacam gerundelan yang kupikir bisa menghibur selama pelariannya. “Mba, rumahku digeledah, buku-buku kesayanganku dibakar. Bahkan buku hadiah dari mba juga ikut terbakar. Bahkan istriku juga dibawa kodim untuk dimintai keterangan. Senang sekali mereka meminta keterangan, padahal untuk administrasi saja mereka masih kacau. Mereka telah menggunting setiap jengkal langkah yang kutempuh. Kalau dihitung-hitung perjuangan ini untuk meringankan tugas mereka. Kenapa mereka begitu sensitif ya mba?” tanyanya. Aku hanya menjawab sepatah dua patah kata. Bagi orang seperti Elang, suaranya jelas lebih jernih dan menggetarakan. Kalian pasti takut dengan kata-katanya yang mampu membangkitkan rasa takut yang telah kalian coba kubur hidup-hidup. Entah kapan lagi aku bisa mendengar suaramu yang kuat dan kokoh.
Jarang sekali ia menerima uluran dari tanganku. Ia kerap menolak apapaun dariku. Kali ini ia menerima dengan kikuk. Ada gurat malu disana yang coba ia sembunyikan. Kali ini ia tak bisa menyembunyikan apapun dariku. Gerak-geriknya seperti pasukan yang mengalami kekalahan pada pertempuran pertama. Atau ia sedang memainkan peran, sebagaimana ia sering berkeliling untuk menerjemahkan gagasanya lewat pentas kemana-mana.
Dua pekan yang lalu kulihat di televisi namamu disebut oleh pembawa berita yang berparas aduhai. Menuruturkan secara ringan, ia hanya memindahkan ulang dari tulisan pada kata-kata lancar tanpa beban apapun. Bahkan sesekali pembawa berita itu mengibaskan rambutnya yang sebahu tanpa peduli akan keruwetan yang ia sebabkan barusan.
Serdadu yang bertabur emblem itu memaki-maki dirimu dan mengabaikan prokes yang sepatutnya dijalankan semestinya. Serdadu terus saja marah-marah. Berbagai macam alasan ia ungkapkan. Alasan yang sering diulang-ulang dalam tiap kesempatan akan mempertegas kesalahannya. Bagi seorang sepertimu Rok, pertanyaan yang bodoh adalah pertanyaan yang diutarakan. Tampaknya perjuanganmu akan meletihkan, tidak hanya pada dirimu tapi akan menyulitkan oaring-orang seperti kami.
Serdadu belum beremblem bintang bahkan memukul meja liputan. Suasana mendadak hening. Pembawa acara yang aduhaipun ikut pucat pasi mendengar orang yang ditakuti sedang muntab. Pembawa berita itu tak berani mengibaskan rambut berkali-kali. Ia terdiam sambil menatapi jemari tangan yang kukunya dicat warna-warni.
Sebuah pemandangan masgul, pemerintahan sampeyan rupanya menghakimi hakim yang memperoleh senjata lebih mudah, dari pada hakim-hakim yang lain. Aku tak habis pikir kenapa mereka begitu lincah untuk mengumpulkan segala respek yang tak tahu ukuran dan kualitas. Kemana sekarang sahabatku yang asik masyuk mencatat sekaligus berteriak kesetanan ketika kedua kakinya berdiri di panggung. Apalagi dalam keadaan berkostum jalanan, kamu bagaikan singa terluka yang ingin mengaum untuk terakhir kalinya.
Pagi itu, aku ingin mengingatnya terus. Mungkin perlu kuulang tentang sepiring nasi dan telor dadar telah menjadi api. Keringatmu mungkin sekarang lebih mengucur dibanding perjalanan sebelumnya. Kerongkonganmu tak mudah untuk haus seperti perjalanan pertamamu. Kuharap kau bisa menakar segala jenis pertarungan yang sebentar lagi akan kau hadapi. Meski tanganmu kosong, di pinggangmu tak terselip revolver apalagi belati pendek senjata mematikan jarak pendek. Kau punya mata tajam yang bisa membuat frustasi dan kalah sebelum tanganmu terborgol besi dingin stainlees.
Kabarnya kau tahu, teman-temanmu ada yang kembali dengan utuh. Mungkin mereka ada yang sedikit berbeda dari penampilan sebelumnya. Mungkin salah satu teriakannya telah menghancurkan gendang telinganya. Bisa saja salah satu dari mereka mengungkapkan sebuah rahasia karena siksaan yang begitu memayahkan mental mereka. Aku penasaran, apa yang akan kau jawab nantinya. Apakah kau akan membalas seperti biasa; Lawan.
Ini memang membosankan, tetapi pembaca sekalian. Perjalanan menjadi buron idealnya harus dibekali dengan hal-hal yang menakjubkan. Tetapi temanku, hanya membawa kekuatan dari dalam. Yang bisa menghempaskan segala pernik kesombongan yang tengah menghantui seluruh kota. Tak ada pahlawan manusia kelelawar yang datang dengan baju besi dan mudah bergerak, selincah monyet kelaparan. Yang ada hanyalah seremonial tiap pagi yang dipertontonkan setiap waktu, dari orang-orang yang menggadaikan idealismenya begitu murah, atau pandanganku yang masih kabur melihat segala sesuatu melalui kacamata renang. Bukan teropong milik james bon, alis jaga masjid sama kebon. Pandangan mereka bisa menembus batin, hasil dari jiwa yang terlatih menaklukkan segala kesenangan duniawi.
Pemegang tampuk kemimpinan segera menjelma dan mengambil alih tugas dari para centeng penjaga kebun. Tak hanya itu mereka juga mengambil segala jenis buah, meski buah itu memiliki rasa pahit tiada kira. Tak terkira mengambilnya. Meski masih muda buah itu tetap dipetik, mereka beralasan terbawa buah masak. Pandanganya telah kabur, mungkin mereka perlu obat tetes mata. Mungkin yang berbahan dasar madu agar segala ciloh menetes deras meraba seluruh pipi yang tak pernah disetrika matahari.
Satu waktu kuajukan nama Elang sebagai seorang sastrawan kepada salah satu penguasa di negeri tercinta. Pikir-pikir tindakan ini untuk meringankan beban istrinya, meski tak perlu ada yang diringankan.
Seluruh syarat kucukupkan agar keluarga Elang mendapatkan satu imbalan, atas nama perjuangan dan persahabatan. Mungkin ia agak kesal dengan yang kulakukan. Paling tidak ia akan mengirimkan berlembar-lembar puisi yang akan memenuhi kotak pos di depan rumah. Tetapi itu bagus setidaknya aku bisa menuliskan rekam jejaknya, entah sampai di mana ia dapat memberi jarak pada serdadu yang tak pernah berhenti mengejarnya. Atau ia sedang menikmati secangkir kopi di warung pinggir jalan dan bercengkrama dengan orang-orang disekitarnya yang ia kira sebagai pengunjung biasa. Yang kudapatkan ketika permintaanku dibalas oleh surat dari penguasa. Ada banyak nama yang mendapatkan tunjangan di hari tua, tetapi nama Elang justru menjadi bulan-bulanan dari pihak penyelenggara. Mungkin ia bukan bagian dari sastrawan negara. Menyusul pertanyaan kemudian adalah apakah sastrwan bukan bagian dari kepentingan negara. Lalu yang ada hanyalah kalimat; sastrawan tidak berbahaya, tetapi dibenci oleh penguasa. Inilah bagian yang kuanggap sebagai perlakuan yang berbeda.
Setelah engkau renggut masa depan anak dan istri, sekarang kau mulai mempendek jarak perjalanannya. Membatasai perkataan dan teriakannya. Sebabnya ia kemudian menjadi pelarian pontang-panting mempertahankan idealismenya. Sampai kapan ia akan berstatus sebagai buron, ketika anak-anaknya dewasa apakah ia bisa menghadiri pengambilan raport tiap semester, berdiri tegak ketika anaknya lulus sebagai anak bangsa. Aku tak habis pikir, kenapa semua ini bisa terjadi. Keadilan memang tidak dikolong langit tanpa seseorang melakukan apapun. Ia akan hadir bersamaan dengan keadilan lain yang kalian anggap sebagai kesengsaraan. Tuhan tak pernah tidur barang sekejapun, camkan itu baik-baik, soalnya kalian sering lupa jika sudah menikamti gulali dan silap memandangi kapal yang tertambat di dermaga.
0 Comments:
Posting Komentar