Minggu, 16 Februari 2025

14. Senja Tersenyum

Tiga bulan telah berlalu. Terbangun sendiri setiap tiga jam. Mengolesi zambuk pada bagian kepala yang terluka. Perlahan-lahan wajahnya lebih cerah. Tubuhnya tampak kurus, tapi lebih segar. Jalannya tak lagi terhuyung-huyung. Kepala Ibu tak perlu di bor untuk mengambil gumpalan darah yang membeku, rupanya dengan obat yang seharga dua puluh ribu mampu mencairkan darah beku yang menghambat sel-sel saraf. Sakti betul vonis sang dokter, tapi tak mampu mengalahkan ketentuan langit.

Tiap sore kubaluri kedua kaki ibu dengan ramuan alami. Dari jahe, cengkeh, lengkuas, dan air tajin. Bahan tersebut dilumatkan dengan cara ditumbuk, setelah itu dimasak dengan air tajin. Ibu bilang, semut-semut yang menggrayangi kakinya seolah hilang berganti rasa dingin yang menenangkan.

Senja mulai menapak.

Terdengar bunyi pintu diketuk diiringi salam. Aku agak kikuk, setelah membukakan pintu. Di hadapanku berdiri Naura dan Ibunya yang menatapku secara bersaman.

"Ibumu ada," tanya Bu Mona.

"Ada, mari silahkan masuk," sial kenapa aku gugup begini.

Mereka masuk kamar ibu, Naura terlihat lebih pendiam. Aku gembira melihat Ibu mulai merespon setiap pertanyaan dari Bu Mona, meski agak lama.

"Ben, ajak temanmu petik rambutan di kebun," ucap ayah.

Aku melangkah keluar. Naura mengikutiku dari belakang. Angin lembut membelai. Kupetik rambutan menggunakan galah bambu yang ujungnya terbelah, mencapit setiap tangkai lalu memutuskannya. Rambutan jatuh ke tanah dengan pasrah. Beberapa rambutan tampak terkelupas, codot telah mencicipinya, tapi tak menghabiskannya.

"Hati-hati Ra, banyak semut merah, konon bisa mengubah warna kulit menjadi semerah darah."

"Mitos itu?"

Aku tersenyum, ia pun ikut tersenyum.

Senja makin kentara. Naura dan Bu Mona pamit pulang. Kami bawakan beberapa ikat buah rambutan yang telah masak. Mereka berdua jalan bersisian. Aku masih menatap punggung mereka sebanyak yang bisa kulihat. Kucoba praktekkan hal menarik yang sering ku lihat di film-film. Naura akan menoleh atau tidak. Tampak konyol, tapi menantang untuk dijadikan eksperimen.

Kuhitung sampai sepuluh. Dalam hitungan ke delepan, Naura masih tetap tak menoleh ke belakang. Bahkan sampai hitungan ke sembilan. Memasuki hitungan ke sepuluh, sebuah keajaiban mengejutkanku. Ketika kubuka mata pada hitungan ke sepuluh, Bu Monalah yang justru menoleh ke belakang sambil tersenyum. Lalu mereka tampak tertawa tanpa basa-basi. Mungkin Naura telah bersepakat dengan ibunya untuk mengerjaiku. Sampai sekarang, aku merasa tak mengalami kemajuan apapun dalam soal perasaan. Masih adakah waktu mengurai rasa yang primitif, amatir, sekaligus menyedihkan. Dalam posisi seperti ini kadang kekosongan yang seringkali hinggap, menyerbu pikiranku.

Kulihat ke arah senja, ia malah tersenyum. Tidak apa, tak apalah.

0 Comments:

Posting Komentar