Lapangan berumput, kursi-kursi berjajar, dan akar-akar besar pohon beringin, jadi pilihan mereka untuk duduk. Anak-anak dari sekolah lain juga banyak yang bersliweran. Gaya mereka mematikan, bertingkah macam Lupus, Andi Lau, anak-anak Meteor Garden, Ali Topan, Wiro Sableng, Si Buta dari gua hantu, dan mengeong seperti Bruce Lee.
Sambil tersenyum, Naura mengeluarkan Biola berwarna hitam malam. Ia mulai memainkan Biola, mereka yang sedang duduk-duduk menikmati intervalnya, mulai menolehkan kepalanya ke arah kami. Aku ikut terpapar suara indah biola yang digesek mesra.
Naura tidak hanya mahir menggunakan Crossbow Barnet Ghost 350, tetapi juga pandai memainkan biola. Penonton terdiam, Ibu-Ibu membawa anaknya ke pangkuan, anak-anak sekolah berhenti menjahili temannya, dan mulut-mulut berhenti mengunyah. Pelan-pelan mereka membuat lingkaran besar dan mengepung kami.
Kaleng biskuit mulai berisik, uang logam banyak berjatuhan.
Tepuk tangan terdengar, aku merasa senang. Walau jarang yang ada yang memperhatikanku. Pada saat yang bersamaan, kuperhatikan kaleng biskuit tak sebrisik tadi. Meski penonton terus saja melemparkan uang logam pada jarak yang memungkinkan.
Ia beralih pada Gitar dan mulai memainkan. Sebuah lagu lama yang ia nyanyikan, Dan dari band SOS. Aku tak beruntung, mereka benar-benar mengabaikanku. Mereka mungkin berkosentrasi penuh pada lagu yang dibawakan serta pada wajahnya.
Setelah berhasil mengaduk-ngaduk perasaan pengunjung dengan permainan Biola dan Gitar, Naura seperti memberi jarak pada penonton untuk mengambil kesimpulan sendiri, tak ingin menjadi pengaku seniman atau apapun namanya. Ia tersenyum dan membungkuk mengucapkan terimakasih atas respon pengunjung yang ku lihat puas.
Ambigu, suatu penyakit yang berusaha ku jauhi. Tetap jaga jarak dengannya, meski ia tampak tak risih. Aku tidak ingin terjebak dalam kepercayaan diri yang tak terukur, kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Naura hanya manusia biasa, bukan gadis biasa, ku pikir itu dua hal yang berbeda. Ini bisa jadi soal memantaskan diri, meski aku tak berusaha memantaskan apapun.
Tatapan para cowok keren di sekolah itu membuatku memantaskan diri. Junior ganteng berwajah Italia itu salah satunya, ia inspirasiku. Aku angkat topi pada kegigihannya mendekati Naura. Mereka ideal untuk disandingkan. Jujur mereka sangat ideal.
Yang terjadi sebaliknya, benteng kokoh menjulang kerap dibangun Naura setiap Junior ganteng berwajah Italia mencoba sesuatu. Bagiku, semua itu terasa misterius. Sampai benteng yang sulit ditembus itu akan bertahan. Jika yang datang seorang pemuda yang nyaris tanpa cela.
Lamunanku buyar, saat beberapa penonton mengeluarkan lembaran puluhan ribu dan menyerahkan ke dalam kaleng bekas biskuit yang ku pegang. Aku mengangguk pada mereka dan tersenyum tak berdosa. Naura yang berdiri di sampingku ikut membungkuk, mengucapkan terimakasih.
Kututup kaleng biskuit yang mulai membuatku pegal. Sementara Naura sibuk merapihkan Biola dan Gitarnya. Seorang lelaki bertopi jepang datang mengagetkanku.
"Pacarmu sangat berbakat," kata lelaki itu.
Aku bingung menjawabnya.
"Terimakasih Pak," jawab Naura enteng.
"Kau tampak bersemangat," tambahnya.
"Tentu saja, ini untuk orang yang kami sayangi, betulkan Ben?"
Aku mengangguk. Sudah berapa kali aku mengangguk, pembaca mungkin bosan aku tak kreatif soal jawab menjawab.
Mengakui sebuah ikatan tanpa ikatan adalah kesepakatan konyol. Bersikap jujur memang pahit, tetapi terasa manis di kemudian hari. Kata orang bijak: Pacaran mengajarkan pada kita agar jadi pacar yang baik, bukan suami yang baik. Kata-kata itu terus saja menghantuiku. Apakah benar?atau hanya semacam perisai agar tidak terjerumus dalam pergaulan tanpa batas.
"O, kalian anak muda yang hebat." Katanya. Setelah itu ia pergi sambil memasukan lembaran dua puluh ribu.
Dari arah lain, seorang pemuda memakai kalung akar bahar datang menuju ke arah kami. Tampangnya pucat dan kekar.
"Kau pacarnya bukan?"
"Bukan bang," kataku.
"Kalau begitu saya kasih lima ribu." Ia berlalu setelah memberikan uang, kepalanya digeleng-gelengkan.
"Kenapa kau tak mengaku saja pacar, siapa tahu dapat dua puluh ribu," ucap Naura, ucapannya mengalir saja, tanpa ada beban.
"Maksud kamu," tanyaku penasaran.
"Hanya mengaku saja, itukan mudah?"
"Dasar aneh."
"Kau yang aneh, cepat kejar bapak itu?" perintah Naura.
"Untuk apa," aku makin sewot.
"Dua puluh ribu, kau tak mau."
Aku lari ke arah pemuda tadi. Aku bisa melihat kecemasanku, tapi tak bisa kutampakkan. Semoga Naura sedang tidak merekayasa atau melakukan konspirasi 'keji' yang sempat membuatku terjungkal ke jurang. Suasana ini, seperti kapal yang berlabuh pada dermaga yang telah ditentukan, menjatuhkan sauh dan menurunkan para penumpang. Ini soal kepastian saja.
Lelaki berkalung akar bahar itu langkah kakinya seperti kijang. Berjalan dengan kecepatan berlari. Langkahnya panjang-panjang dan agak gemulai. Ia seperti pemain sirkus yang punya kedua kaki tambahan.
"Bang!, tunggu!" teriakku terengah-engah.
Ia berhenti dan memutar tubuhnya. Tak di sangka, ia meletakan kedua tangannya pada pinggang, seperti model. Tubuhnya terasa ingin rebah ke belakang. Ia tersenyum, tapi mulutnya cepat-cepat ia bekap menggunakan jari jemarinya yang tampak lentik. Apakah ada yang salah dengan kedua mataku? Aku memutuskan untuk balik kanan saja.
"Hei anak muda, kau sudah memanggil saya, pamali tahu?" katanya. Terpaksa ku putar tubuhku sendiri, aku dibuat kikuk olehnya. Seandainya ada pilihan lebih baik dimarahi oleh Pak Taro dari pada bertemu lelaki dari kaum tulang lunak. Jakunku naik turun ketika ia menatapku lekat-lekat, seakan kue tart yang siap dijilat dan dilahap dengan satu gigitan. Aku benar-benar bisa melihat kecemasanku sendiri.
"Bang, maaf, gadis tadi memang 'pacar' saya," ungkapku cemas. Naura mungkin hanya memberiku semangat, dengan begitu abang ini bisa memberi tips yang lebih besar. Pikiranku kembali dangkal soal persepsi, salah persepsi bisa-bisa Naura akan kabur lintang pukang.
"Sudah abang duga, kalian memang cocok, kalau begitu saya kasih dua puluh ribu ya," ucapnya sambil jemarinya cepat-cepat menyentuh daguku dan mengangkatnya. Rasa tegang menyerangku. Ingin rasanya pipis di celana. Aku disergap ketakutan yang akut.
"Makasih ya, ih, kamu ganteng deh, cucok deh." Tambahnya. Ia berlalu dari hadapanku. Lutut terasa lemas. Aku seperti diserang oleh hama yang paling mematikan di muka bumi.
Semua itu demi ibu.
0 Comments:
Posting Komentar