Lelah berkeliling melihat kebun kopi sambil berbicara hangat. Kami pergi ke kandang ayam milik ayah yang jaraknya dua puluh menit dari rumahku. Mungkin di sana kami akan menjumpai ayah sedang mengaduk-aduk empan untuk ayam-ayam peliharaannya.
Sampai di kandang ayam. Ia menyambut kami senang. Tangannya terlihat masih basah, ia mengelap dengan celemek bergambar anak ayam gemuk yang terikat di perutnya. Kebun kopi memang belum layak disebut sebagai kebun kopi pada umumnya, begitu juga dengan kandang ayam yang belum layak disebut peternakan dengan jumlah ayam ribuan ekor. Setidaknya kami bisa hidup tanpa tangan di bawah.
"Sudah makan siang."
"Belum yah."
"Kita pulang dan saya buatkan mi ramen untuk kalian. Hidangan penutupnya es kelapa. Lalu setelah itu kita akan nonton kasti, bagaimana?" ucap ayah semangat.
Stadion mini Kaligondang ramai ceria. Para penonton tumpah ruah, mereka dari berbagai kalangan dan usia. Secuil hiburan yang bisa mereka rasakan. Menguarai letih dan penat seharian di sawah, atau bekerja di kota. Sementara pedagang-pedagang kecil berharap dapat sedikit laba untuk memperpanjang harapannya. Setidaknya bisa memastikan beras dan lauk pauk bisa dibeli setelah dagangan mereka laku terjual.
"Kau mau Ben." Serempak kedua tangan Naura dan Kiera mengulurkan gelas plastik berisi berondong.
"Dari tadi saya duduk disini, nggak ada yang nawarin" keluh Ares, bibirnya manyun lima senti.
"Ini Res, buatmu." Ayah memberikan gelas plastik ukuran besar berisi berondong jawa. Ares tersenyum merekah.
"Terimakasih Pak."
"Pertandingan Kasti akan berlangsung lima menit lagi, bagi penonton yang masih diluar dan mimiliki karcis segera masuk." Suara dari operator terdengar merdu.
Setelah memberikan karcis masuk pada salah seorang panitia. Ia terlihat senang berjumpa dengan ayah.
"Pak Marko, apa kabar."
"Baik, kau sendiri."
"Masih siap berpetualang." Panitia itu menjawab bangga, mengandung aroma patriotik. Wajahnya Renegede banget.
"Tulang-tulang saya semakin sulit untuk bergerak, sudah waktunya pensiun." Jawab ayah.
"Legenda hidup Mike Tyson saja naik ring lagi, bagaimana menurutmu Pak?" "Saya paling tahu kondisi fisik saya, jadi kau jangan pancing-pancing soal petualangan itu," kata ayah yang terdengar keberatan.
"Film The Grey 2 mungkin akan dilanjutkan, penonton butuh kepastian, tapi kita bukan penontonkan?" ucap panitia itu.
"Kau benar, saatnya kau yang akan jadi pemain," jawab ayah. Panitia itu seperti tak puas dengan jawaban ayah. Ia pamit sambil sedikit membungkukkan badannya. Rambutnya yang gondrong bergelombang membuatnya tampak sangar sekaligus tampan.
Pertandingan Kasti dimulai.
Para pemain kasti sudah berada di posisinya masing-masing. Bola pertama berhasil dipukul dengan baik dan melambung ke atas. Ibu berlari sprint dan terus berlari melewat pos demi pos. Bola menukik dan berhasil ditangkap oleh lawan. Ritme permainan semakin menarik. Ibu berlari dan dengan gesit menghindari bola yang dilesatkan kearahnya. Ada satu pos terakhir yang harus dilewati oleh ibu. Bola dilesatkan keras. Sasaranya adalah bagian tubuh ibu. Penonton berteriak, bola itu hampir mengenai paha. Tiba-tiba ibu mengerem mendadak. Bola itu mengenai angin. Penonton bertepuk tangan. Lalu ibu kembali berlari menuju homebase. Naura dan Kiera tampak senang. Wajah Kiera yang selalu pucat terlihat bersemu merah lantaran banyak berteriak. Naura juga tersenyum. Ares tak berhenti mengunyah brondong jawa alias popcorn.
Sampai di homebase, Ibu disambut oleh teman-temannya. Mereka berjingkrak-jingkrak gembira. Sejenak melupakan usia. Aku gembira, ibuku kembali kuat. Beberapa kali ibu menghapus jejek air mata. Kedua matanya menyisir para penonton. Ketemu. Ibu melambaikan tangannya ke arah kami.
"Gina!!!, ayo semangat!!!." Ayah berteriak seperti auman singa. Suara kuat dan menggema. Lapangan Kaligondang tak sebesar stadion Gelora Bung Karno. Suara ayah membuat para penonton menengok ke arah kami. Merasa dipanggil namanya, ibu makin sibuk menghapus air mata.
"Ayo semangat bu!" Giliranku berteriak.
"Rupanya disana ada Pak Marko. Legenda hidup dari Kesamen. Ia memberi semangat kepada orang yang disayanginya. Ya, pemain kita telah kembali. Beri tepuk yang meriah untuk pemain legenda kita, Gina Pratiwi!." Suara komentator membakar semangat. Tepuk makin meriah. Pertandingan di lanjutkan.
Ibu telah kembali pulih, begitu juga dengan Kiera. Meski terlihat kurusan. Tetapi senyum mereka telah kembali, membuatku lebih bersemangat. Sampai kapan, aku tak tahu.
0 Comments:
Posting Komentar