Senin, 24 Februari 2025

22. Logika Terbalik

Sekolah selama tiga tahun akhirnya ditentukan oleh tiga hari yang menegangkan. Sebuah pertarungan yang entah siapa pemenangnya. Masa depan seperti lorong gelap yang berkelok-kelok. Senter dan tongkat mungkin bekal yang paling sederhana untuk melewatinya.

Soalnya pilihan ganda. Seolah kebenaran menjadi hal yang kaku dan sensitif. Terpasung turun temurun pada soal yang menjemukan. Di luar sana orang sudah berlari, aku masih berkubang dengan kerapuhan. Mungkin terlalu sulit untuk menjawab sebuah pertanyaan. Anggap saja tentang kehidupan yang dihimpit banyak pertanyaan. Mungkin saja ini produk katak dalam tempurung hingga gagap meneliti pernyataan atau pertanyaan. Layakkah kutanyakan kembali 'mahluk' bernama UN. Ia menuntut keseragaman berpikir. Satu sisi lainnya harus mengikuti aturan yang sekaku kanebo kering.

Pagi ini UN (Ujian Nasional) di mulai. Gayaku menggemaskan Pak Badrun. Ia penjaga sekolah sekaligus berjualan di kantin. Berjalan santai di tengah lapangan MAN Idolaku. Menatap rerumputan yang basah. Embun pagi berhasil menggagahinya sampai puas. Rasa muak tiba-tiba menyeruak.

"Ben!, ayo cepat?, Ucapnya terdengar kesal. Ia menatapku geregetan.

Tempat duduk terpisah satu-satu. Bukan karena jarak sosial. Lembaran kertas datang bertubi-tubi untuk dikunyah, disobek, ditelan oleh limbik dan kawan-kawannya. Tak jauh dariku duduk seorang gadis tertutup wajahnya oleh lembaran soal ujian. Kuputar kepala hampir menelikung. Mencari Naura. Wajahnya tak terlihat. Sampai hampir terkilir leherku yang memaksa terus menoleh.

"Kau cari siapa?" suaranya terdengar pelan.

"Ra, ku pikir kau sakit." Tanya setengah berbisik.

"Tidak, kau senang kalau saya sakit."

"Bukan, aku jarang berdoa buruk untuk orang di sekitarku."

Berikutnya kami tenggelam dalam lautan soal. Dari yang mudah sampai yang memusingkan kepala. Jawaban ada di antara jawaban-jawaban yang salah. Aku membayangkan jika ada pertanyaan. Kenapa Babi haram dimakan, kenapa Nabi Adam dilarang makan buah khuldi, kenapa lampu lalu lintas warna merah harus berhenti. Selesai ujian, mungkin mereka memiliki cara baru tentang berpikir di luar kelaziman, hasilnya mungkin tak jumud, kolot, dan gampang menyalahkan.

Apapun alasannya, menyelesaikan ujian adalah pesan penting dari nilai berseragam. Tiga hari di bawah kilatan pedang UN rasanya ingin muntah. Lembaran-lembaran ujian itu membuatku mabuk. Aku hanya sedikit memahami tentang pendidikan kita. Nyinyir saja tidak cukup, ia hanya pesan moral yang terasa ganjil bila masih asing untuk mengungkapkan sebuah perbedaan.

Kututup lembaran soal ujian. Berdiri dari duduk. Lalu menyerahkan pada pengawas ujian yang shock melihatku menyelesaikan lebih cepat dari waktu yang telah di tentukan.

Setelah Ujian terakhir tadi, Naura menghilang. Hanya ujung jilbanya yang terlihat olehku dan lenyap di balik pintu perpus. Kami berjumpa di depan gerbang sekolah. Kami sempat beradu pandang, air matanya meleleh. Ia menghapusnya cepat-cepat.

"Saya duluan Ben." Naura seperti dikuntit depkolektor.

Ares mucul dari belakang dan menepuk bahuku. Kedua kakiku seperti terkena tumpahan lem fox yang menggenang hingga lututku sulit bergerak.

"Jalan yuk?"

"Kemana?"

"Musim berganti angin berubah." Ucapnya.

"Nggak jelas."

"Logika terbalik dapat berpikir untuk mengalahkan musuh yang paling berbahaya yaitu diri sendiri dan mulailah mengangkat pedang sendiri. Ayunkanlah langkah dengan perpaduan gerak dan kelincahan maju dan mundur. Lalu muncul ritme yang terbiasa mengambil keputusan dalam kondisi pelik dan tertekan." "Dasar tukang contek, itu kata-kata Kiera."

"Biar kelihatan pinter Ben, protes aja."

Angkot menembus jalanan ibukota Purbalingga yang lengang. Para wanita dewasa sibuk bekerja membuat karya dari rambut yang banyak tersebar pada perusahaan milik para outlander. Sebagian menjadi guru di sekolah-sekolah hingga tersemat label pahlawan tanda jasa. Beberapa puluh lainnya memilih mengundi nasib merantau di negeri-negeri yang jauh menjadi pekerja pabrik, kuli di ladang sawit atau memilih jalur TKW.

Ares datang nampan besar berisi empat mangkuk bakso yang mengepulkan asap.

"Kita cuma berdua," ucapku.

"Saya sedang lapar," ucapnya.

Kami berdua duduk menghadap jalan raya yang lengang. Rindangnya pohon beringin yang berdiri kokoh di tengah alun-alun membuat nyaman berisitirahat di bawahnya.

"Wah enak nih?" sebuah suara tak asing terdengar.

Ketika menoleh kebelakang. Dua putri dari klan bidadari sedang berdiri dengan balutan jilbab modis. Naura menggandeng Kiera. Keduanya muncul dari tempat yang tak terduga seperti pesulap.

"Kau senang," ucap Ares bangga.

"Kalian dari mana?" tanyaku.

"Kita bisa bicara delapan mata Ben?"

0 Comments:

Posting Komentar