Sabtu, 22 Februari 2025

20. Sweter

Suara rem berdecit. Perempuan berjilbab dan seorang ibu berambut sinden naik bus bergantian.

Lagu Penny Lane masih mangalun membuat imajinasi terbang membumbung. Penny Lane selesai, suara Ebiet G Ade mengalun lembut menyayat pilu. Bang Zoro melakukan terobosan nakal, tanpa tedeng aling-aling ia memutar lagu dari grup band Jamrud. Mengalun keras dan cadas. "berakit-rakit kita ke hulu. Berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, senang pun kan datang. Malah mati kemudian." Lagu Jamrud selesai. Perempuan berjilbab itu menekan sebuah tombol permintaan lagu. Suara terdengar ngebas, tapi enak didengar.

"Request lagu bang." Kata perempuan berjilbab. Aku penasaran lagu apa yang dimintanya. Mungkinkah lagu religi, atau lagu kasidahan seperti yang digemari ibuku.

"Lagu tentang perdamaian dari Michel Jakson." Serunya.

"OK"

Setengah jam kemudian, kotak samurai berhenti. Aku melangkah turun sambil menjinjing sepeda.

"Terimakasih bang!."

"Ok Ben?"

Kedua kakiku menginjak aspal. Bus Doni Jaya yang masih bergambar samurai sudah meninggalkanku jauh. Spanduk besar yang terpampang lebar di pinggir jalan membuat mataku berhenti sejenak. MEROKOK MEMBUNUHMU. Begitu katanya. Sebelumnya peringatan itu berbunyi: MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN SERANGAN JANTUNG, IMPONTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN. Peringatan itu makin naik levelnya. Sampai sekarang aku tak paham apa maksud dari peringatan itu. Mungkin nalarku masih naif melihat segala sesuatu.

Langit pagi berawan. Gerimis telah lama menghilang. Suasana segar mirip jelang buka puasa. Kususuri jalanan kota Purbalingga dengan sepeda Federal berwarna merah tua. Suasana tenang, lalu lalang kendaraan berjalan teratur. Udara dingin terasa menusuk tulang. Kemarau panjang membuat segalanya jadi berembun.

Aku berhenti di jalan alun-alun Purbalingga. Gerombolan bebek-bebek tengah menyebrang tertib mengikuti arahan dari pimpinannya. Pemandangan yang menarik. Penggembala bebek itu tampak gembira, seperti bebek.

"Serius amat Ben. Amat saja nggak pernah serius" Terdengar sapaan seorang perempuan yang kukenal. Aku menoleh ke sebelah kanan. Angin terasa sejuk semilir. Naura sedang duduk di samping Pak supir yang sedang bekerja. Wajahnya segar. Berjilbab hitam modis.

"Mau kemana Ra," kataku,

"Mau ke resto, bantu Ibu?"

"Kau sendiri?"

"Beli anak-anak ayam."

Naura mengangguk tersenyum. Gerombolan bebek terus melintas seperti tak habis-habisnya. Beberapa darinya menatapku. "hei anak muda hati-hatilah dengan hidupmu," sayang mereka tak bisa bicara.

"Setelah itu kau kemana?" tanya Naura.

"Pulang Ra," jawabku. Harusnya aku sedikit lebih peka dengan pertanyaan tersebut. "Mampir ke resto yuk, saya punya menu baru," ajaknya.

Aku diam mematung. Gerombolan bebek itu makin putus-putus. Tanda akan berakhir. Mungkin ada empat ratus dua puluh sembilan ekor bebek yang sedari tadi berjalan beriringan.

"Baiklah." Kataku.

Gerombolan bebek habis. Angkot oren nomor 4 melaju. Naura melambaikan tangan.

Kukayuh sepeda memasuki jalur setapak panjang yang rebah diantara lajur pepohonan. Kugunakan jalan lintas untuk memangkas jarak. Sebaiknya hati-hati, ular semak sering tak permisi menyebrang jalan, ia terlalu sibuk mengerjar tikus-tikus nakal.

Di ujung jalan setapak terlihat kandang peternakan ayam yang besar. Agen penjual bibit-bibit ayam. Beberapa orang dewasa keluar hilir mudik. Pemilik peternakan membuka jalur pembelian secara grosir ataupun eceran. Dari ayam biasa yang harganya cukup di kantong sampai yang hampir punah dari peredaran juga ada, tentu saja dengan harga tinggi.

Setelah melakukan transaksi, kuikat keranjang berisi anak-anak ayam di atas boncengan. Lalu mengayuh sepeda dengan perasaan yang mengembang dan menggelembung.

"Ra, apa yang bisa ku bantu."

"Tolong kau bawakan pesanan itu kemeja pelanggan."

Ibu Mona membawa jus tomat. Memberikannya padaku. Jamuan yang tak terduga.

"Terimakasih bu."

Ada meja yang kosong. Di meja itu ada lebel besar yang di laminating, angka 54. Seperti yang terdapat di atas pintu masuk restoran.

"Kau jangan takut. Itu hanya replika. Meja no 54. Kau masih ingat kisah tante cantik yang meninggal karena kopi beracun. Untuk mengenang kisah itu, ibu saya memesan sebuah meja yang persis dengan yang ada di TV. Ibu saya mengikuti sidang pertama hingga pembacaan vonis hakim. Ibu saya mengambil Table 54 sebagai nama restoran ini.

"Pesanan terakhir." Ucap Naura.

Restoran tutup setengah jam kemudian.

"Kenapa kalian jadi 'patung' begitu."

"Kon-sen- trasi Bu." Ujar Naura.

"Kau kelihatan gugup Ra, biasanya kau tak seperti itu?"

"Panas tahu."

"Oh." ledek Bu Mona.

Mie dengan rasa baru akhirnya bisa kami nikmati bertiga. Kami berdua tidak banyak bicara. Semua pembicaraan di dominasi Bu Mona. Tentang menu barunya, pertama bertemu dengan ayah Naura, saat mengandung Naura, dan masih banyak lagi. Sesekali Naura mengalami perubahan bahasa tubuh. Biasanya Naura sangat asik dan ceria. Ada apa ini, mungkinkah, rasanya tak mungkin.

Aku pamit dua puluh menit kemudian. Waktu segera senja, dan gelap segera datang. Tak ingin terjebak dalam ambiguitas rasa. Kukatakan pada Naura kalau mi buatannya sangat lezat. Dia tersenyum dan bersembunyi di balik punggung ibunya seperti anak TK yang baru masuk sekolah. Kepalanya saja yang terlihat.

"Aku pulang Ra, jaga ibumu baik-baik."

"Ngaco." Nara tersenyum.

"Terimaksih ya, eh, tunggu sebentar." Naura muncul dari balik punggung ibunya dan berjalan cepat menuju salah satu ruangan. Lalu keluar dengan membawa sesuatu.

"Akhir-akhir ini cuacanya sangat dingin, pakailah sweter ini." Naura mengulurkan sebuah sweter. Seorang putri titanium dari klan bidadari memberikan sebuah hadiah, mimpi apa semalam. Ini bukan mimpi, aku bisa merasakan hembusan nafasku sendiri.

Kupakai langsung sweter itu di hadapan mereka berdua. Menganggukan kepala sejenak.

Kukayuh sepeda kuat-kuat. Orang-orang yang kujumpai pada jalan yang kulalui terlihat tampan dan cantik. Pada sisi jalan seolah muncul aneka macam bunga ditingkahi pelangi yang muncul tanpa aba-aba. Kepalaku terasa melayang berhalusinasi.

0 Comments:

Posting Komentar