Senin, 03 Februari 2025

Perjalanan Sang Demonstran

Babak 5

'Menyapa' Gentong Babi
Untuk pulang ke rumah bukan perkara mudah. Sekarang betul-betul gawat. Tinggal menunggu dijemput saja. Elang masih duduk di pal, sampai kepala desa hilang dari pandangan. Sisanya kesunyian yang kembali memberi ruang pada angin, sejak dari tadi ia berhenti berhembus.

Pikir Elang bisa menggetarkan suara, udara, ataupun pita suara sendiri. Ia hanya menekuri gulali yang menggunung di kedua telapak tangannya. Mau diapakan gulali sebanyak itu, ia harus menghemat odol, agar giginya tetap awet sepanjang pelarian. Mengantongi dalam tas bekas terigu adalah perkara yang benar, pikirnya.

Cepat-cepat ia meninggalkan pal, tempat ia duduk. Orang di depan sana dari tadi menyapu jalanan yang tak ada daun berserakan. Mungkin ia tanda bagi para serdadu yang sudah menandai buronannya. Bergegas ia naik angkot menuju kota, tempat terbaik untuk bersembunyi. Orang berlagak jadi tukang sapu itu blingsatan. Ini angkot terakhir dari desa menuju kota. Elang mengepalkan tangannya. Orang itu membanting keras sapunya dan berlari ke satu arah.

Di kota ia mengganti rambut palsunya dengan model yang baru. Tak perlu kau tanya dari ia mendapatkannya. Berikanlah kesempatan padanya untuk mengembangkan ceritanya sendiri. Sekuat dan semampunya.

Ia bergabung dengan orang-orang kuat yang sedang berada di selokan. Rakyat biasa yang tenaganya luar biasa. Membuat gorong-gorong atau menggali tanah untuk kabel-kabel aneka rupa itu.

Dari siang mereka membangun, begitu juga malamnya. Layaknya robot, mungkin akan tumbang menjelang dini hari. Tanpa sempat bersih-bersih, apalagi mandi, menyikat gigi, atau berendam air hangat. Esok hari mereka terjebak pada rutinitas yang mereka pilih, atau terpaksa memilih.

Simsalabim, pikir Elang. Berdirilah gedung-gedung berotot, halaman jalan yang terhampar mewah, mobil-mobil saling beradu kecepatan, diselipi makian ala Firaun. Tak pelak ratusan hari bersama peluh, ikut menggali ditimbuni bebatuan. Lalu aspal-aspal jalanan menghegomoni seluruh ekosistem, tak perduli suara kodok menjerit, kijang lintang pukang, burung-burung menangis, dan semut-semut bermigrasi. Musuh bersama itu menghela nafas sambil menaikan kaki pada kaki lain, lalu tertawa keras berbantal uang berlipat-lipat.

“Ini menyedihkan,” kata Elang. Para pelayan setia diam, ketika namanya tak disebut-sebut pahlawan oleh kaki tangan “Firaun”. Tetap membisu, meski usus-usut melilit menelan indomi setengah matang tanpa telor dan cesin. Mereka hanya melolong dalam gelap, melenguh seperti sapi perah, lalu lupa waktu, seperti kuda pedati yang berjalan seharian.

“Kita mudah lupa, tak pandai merawat ingatan.” Seloroh pelayan setia (salah satu rakyat di negeri ini)

“Sekali waktu makan ikan peda, jangan oncom mulu?” timpal yang lain.

“Bukan main katamu, bongkrek kau makan tiap hari.” Sanggah pelayan setia.

“Sesama pemakam ampas jangan saling bertengkar.” Ucap Elang. Ia pikir akan ada yang tertawa minimal tersenyum. Mereka hanya berlalu dari kuruman dan berdengun seperti lebah.

Mereka sedang mencipatkan surga versi sendiri, tanpa dibebani kata-kata yang sulit, seperti barusan. Itu mungkin terlalu klise, tetapi mereka cepat sekali tersinggung. Mungkin perut mereka teramat melilit, tak sanggup memikirkan hal-hal rumit. Kenyang adalah puncak kemewahan, diantara derai tawa anak-anak berbaju komik. Surga yang telah ada tak satupun dari mereka dapat mencicipi seperti buah mangga tepi jalan. Mereka (titisan “Firaun”) menjilati tiap hari tanpa menyisakan sedikitpun kenangan. Panasanya jilatan mereka (kaum vampir) membuat hutan-hutan terbakar. Dari jilatan apinya muncul kastil putih dengan penghuni berdasi dan senyum meremehkan.

Pelayan setia membuka pintu dengan gembira, meski perut tak tersentuh bongkasan nasi. Bekerja dengan bahagia, dan membuka mata di pagi hari dengan dalih melunsi hutan piutang. Sementara kalian menelan api, berselimut api, kudapan pagi api, dan hidup kalian dikelilingi monyet-monyet rakus dan pendendam.

Mestinya kalian belajar untuk berkata tidak, meski itu sulit. Pada mereka yang suka mengulur waktu, bikin alasan, pembenaran. Baik di kampus, rumah, panggung, peluh-peluh mereka terasa wangi. Bahkan teramat wangi, mungkin mereka sedang membungkus kebusukan dengan wewangian dari toko parfum. Semua ini terasa menjengkelkan, ungkap Elang.

“Pilar-pilar datang!” teriak salah seorang pelayan setia.

“Dimana!” Tanya Elang.

“Pasar!” jawabnya, orang itu berlalu sambil berlari senang. Sikapnya membuat Elang tergerak. Sebagai ucapan terimakasih saja. Ia berjalan menuju pasar. Setidaknya menelan gembus di awal pagi bisa terhindar dari penghilatan yang berkunang-kunang. Ia mencoba menyelinap di antara kerumunan orang. Tubuhnya yang ceking seperti cacing yang elastis diantara tubuh-tubuh yang ada. Tiga pilar itu sedang duduk ramah sambil menyingkap jasnya. Ada kesan egaliter mungkin. Salah satunya berdiri, dan langsung menunjuk batang hidung Elang.

“Kamu!, ya kamu, lelaki bertas tepung terigu.”

Elang mengarahkan jari telunjuknya tepat dihidungnya. Bukan cara yang biasa, tetapi Elang sepertinya spontan melakukannya. Ia pun melangkah kedepan. Tiga pilar itu menatapnya.

“Nama kamu siapa,” tanya salah seorang berpeci, mungkin termuda dari tiga pilar itu.

“Elang.”

“Panggil aku, Ki,”

“Bacakanlah pidato ini, senangkan mereka dengan pesan-pesan menggelegar,” perintah orang tertinggi di tiga pilar dengan kulit terang. Elang menerima secarik kertas, di tulis dengan tangan yang disusun indah. Ia mengucapkan lantang

Nanti kita akan mendatangi, atau kita kedatangan satu kaum yang memeluk dunia kabur ini dengan perasaan yang kabur sambil memotong daun telinga. Saudara-saudara yang merindukan kemerdekaan, kita akan merayakan ulang tahun perkawinan dan merayakan kemiskinan besar-besaran, lalu mengiris pilu pada tiap tarikan nafas. Meluapkan sesaat akan kemiskinan yang terus menyergap adalah cara terbaik agar manusia menjadi lebih kuat dan siap, dan kita semua yang hadir itu adalah perpaduan itu semua.

Anak-anak kita yang akan lahir kemudian adalah anak semua zaman, kita akan terkaget-kaget melihat cara mereka menikmati hidup. Selayaknya orang-orang dewasa seperti kita dapat memetik barang sedetik. Bagaimana berbagai kenyamanan akan menerpa pada jejak langkahnya.

Ini soal generasi kawan, kelak anak-anak kita akan menyusul datang dan menyapa setiap membuka mata. Sebagian dari mereka duduk diatas singgasana hasil dari magang sebagai BONEKA OLIGHARKI. Pahit getir, susah ke tulang-tulang hingga generasi lupa atau tidak mengenali berbagai kemungkinan kehidupan selain dari kemlaratan, gelangandangan di negeri sendiri, rumahnya telah disomasi tanpa pernah mengetuk pintu pemilik rumah, itulah arogansi korporasi yang sedang dipertontonkan.

Elang menyeka peluh yang tiba-tiba mengucur seperti ASI yang tak lama disusui. Ia pun melanjutkan pidatonya. Pilar-pilar itu menganguk-angguk. Bahkan pemilik kumis mbaplang itu terus saja memperlihatkan deretan giginya yang putih.

Kepada para kekasih yang tengah menunggu cemas berpekan-pekan. Tetaplah tangkupkan kedua tangan telapak tangan ke atas langit, agar kemiskinan hanya sempat mampir di pojok-pojok rumah hanya dalam beberapa helaian nafas. Tanpa perlu menjerat pemiliknya hingga busung lapar menewaskannya. Ambil bagian dari hal mestilah mutlak keharusan, agar para kekasih bisa meraih dan memeluk lengan pujaannya. Terlelap dalam buaian, dan menghempaskan penderitaan sebanyak-banyaknya sekaligus sejauh-sejauhnya.

Elang mendekati para pilar dan menyerahkan kembali secarik kertas. Tangannya agak gemetar ketika berjabat tangan dengan pilar berpeci. “Kami tak menyangka ada mawar sedap ditengah bangkai-bangkai, baguslah itu pidatomu, kalau begitu…” pilar berpeci meraih secarik kertas dan menyerahkan pada Elang. “Aku ingin kau bacakan, kami bersabar menunggu di sini.” Tambahnya.

Elang kembali membaca sekali lagi.

Lucuti semuanya, hingga perkara-perkara tak jelas menjadi benderang. Karena kalian, kami selalu sembunyi dibalik ketakutan hingga membenarkan apa apa yang telah rusak. Kami yang meniti jembatan, lalu kalian menikmati setiap kepulan “nasi hangat” tiap bangun pagi. Meski ada sejuta alibi yang kami siapkan untuk melepaskan topeng-topeng dari wajah kalian, itu juga tak pernah kami lakukan. Bagaimana dengan anak-anak kami, kelangsungan hidup mereka. Apa kalian berani menanggung.

Mungkin jika leher sudah tenggelem, kalian akan teriak tak ada pahlawan yang muncul sepanjang tahun. Lalu membiarkan kami terlunta-lunta dinegeri orang tanpa pernah kalian berpikir bagaimana kami makan, tidur, BAB, dan seterusnya. Nurani kalian telah membiru kekurangan oksigen, hingga kalian menjualnya di pasar gelap, tempat menyelundupkan ginjal, hati, empedu, kepada lintah darat yang gemuk itu.

Tanpa permisi kalian membangun gedung-gedung pencakar langit. Membenarkannya dalam rapat-rapat elit, disertai kerlingan para gadis yang telah hilang akal. Taruhannya mahal, adalah diam sebagai pola perilaku yang akhir-akhir ini jadi senjata mematikan untuk membiarkan korban-korban gentayangan tanpa pernah kenal lagi jalan pulang. Meraka hanya melihat sejenak, lalu sibuk menikmati semangkuk bubur ayam yang dibelinya dipinggir jalan. Itu juga sebagai senjata untuk berlindung.

Cuci tangan adalah hobi kalian bila terdesak dari pertempuran keji yang kalian mulai. Imbalannya berupa puja-puji, pangkat, jabatan, harta, dan juga wanita. Wanita kadang kalian jadikan sebagai pelengkap penderita saja. Mustahil kalian bisa setia pada satu cinta. Tak ada penghargaan apalagi pemuliaan bagi seorang wanita.

Bongkar sampai akar-akarnya. Bakar semua tikus-tikus gemuk. Bongkar setengah gedung itu, agar kalian tahu bahwa pemimpin kalian adalah kecoak dan tikus-tikus kudis yang jarang berobat, meski mereka gemuk ada banyak kematian yang siap menjerat kapan saja.

Tanya! meski kalian harus ditanya! kemana saja kalian selama ini, bergaul seperti monyet. Monyet sesungguhnya rela berkorban menjadi monyet jalanan dengan topeng, payung kecil, motor, dan tas jinjingan: Sarimin pergi ke pasar. Mereka para sirkus jalanan akan menangis manakala melihat majikan bertengkar karena istri minta uang makan.Sementara kami telah dimatikan sejak kami singgah.

Tanya!, Tanya!, untuk apa kita punya mulut.

Elang mengakhiri pembacaan pidato dengan tepukan tangan oleh ketiga pilar. Penonton yang kebanyakan pengunjung pasar dan para pengangguran terselubung ikutan tepuk tangan. Tepuk tangan yang terlambat.

“Kau mau ikut mengembara barang beberapa saat,” tanya salah seorang pilar.

“Aku seorang buron, tak ingin menyusahkan tuan-tuan yang terhormat ini, hidup tuan bisa pelik dan bermasalah.”

“Para penguasa seringkali membungkam suara memakai cara-cara yang kita sadari, bukan metode yang baru. Mereka hanya memakai cara lama dengan alat-alat baru. Para cenayang yang tahu kapan dan dimana kita makan dan minum, bahkan ketika kita berak,” Ucap salah seorang pilar yang kelak di zaman modern lebih dikenal dengan Ki.

Elang diam tak menjawab sepatah kata.

Ia seperti mencari peluang dalam ruang yang semakin lama semakin tak mengizinkan dirinya berdiri bebas mengucapkan apapun tentang penguasa itu. Sebuah penguasa yang ia sukai jika mereka masih percaya pada cerita-cerita rakyat, dongeng, fabel, dan humor sebagai salah satu cara pendekatan humanis.

Langkah-langkahnya memang masih lebar, tetapi ‘cahaya’ itu tetap meneropong sampai hal-hal sepele. Sama persis yang tadi dikatakan oleh Ki. Hal-hal yang ia sadari sebagai kelaziman, sebuah tradisi lisan yang turun temurun mulai diusik sebagai sesuatu yang mesti dikubur hidup-hidup. Dan itu sangat menjijikan.

Elang seperti tak ingin mendengar lebih jauh tentang tiga pilar itu, tetapi nampaknya nasib telah menemukannya.

Dan perjalanan makin jauh, ia rindu pada anak dan istrinya. Air mata juga nampak malu-malu tumpah. Ia hanya senyum sedikit ketika ketiga pilar itu selalu menggodanya, malulah jika ia menangis. Padahal mereka sedang melakukan perjalanan untuk dibuang oleh pemerintahnya sendiri. Sebuah pemerintah yang kerap mual pada kata-kata mentah seperti ibu muda menginginkan sesuatu. Sehingga makin jelas, kutukan itu benar-benar nyata. Kepalanya telah disetubuhi penyakit ganas bernama tamak, rakus, sombong, kikir, dan tentu saja pengagum firaun.

Ia membuat garis-garis lurus di sekitar jendela kereta, sebuah peta perjalanan yang tampak jelas, dan ia sendiri yang menghitung jaraknya. Ia tersenyum kecut, jika ia pulang orang-orang itu akan pulang membawa petaka karena tak dapat pangkat. Mestinya mereka dapat mengikat tangannya lalu berkoar pada surat kabar buruannya telah tertangkap sedang ngopi di pinggir rel kereta bersama para penghuni de gull yang sedang istirahat. Kereta berhenti, Elang turun. Ketiga pilar menjulurkan kepala, seperti bocah SD yang sedang membeli kuaci dari pedagang tua.

“Kenapa,” tanya seorang pilar berwajah putih. Ia lelaki keturunan dari negeri jauh. Sebuah negeri yang dipimpin seorang raja.

“Kita punya kehidupan yang berbeda, aku tak ingin mengusik akhir cerita kalian. Selamat tinggal,” ujar Elang.

Kereta pelan-pelan berangkat.

“Kita bisa bicara banyak di alam baka, tentang penyakit menular para pejabat!” teriak seorang pilar memakai blangkon.

Elang mengepalkan tangan. Membusungkan dada. Berteriak lantang.

“Merdeka!” teriaknya.

Berkali-kali mereka saling memekik dan mengepalkan tangan.

Sore hari ia duduk di pematang sawah mengagumi sawah setelah panen. Angin sangat bersahabat. Burung bul-bul ramai berpindah-pindah mengais sisa padi. Ia menerima bisono rebus dari seorang yang menggendong jerami untuk pakan ternaknya.

“Gubuk itu ada penghuninya,” tanya Elang.

“Kosong Den, setelah panen gubuk itu akan ditinggalkan sampai roboh dan para petani akan membangun yang baru ketika padi punya banyak musuh,” jawabnya.

“Terimakasih.”

Setelah jauh, pemikul jerami sesekali menoleh ke arah Elang yang tetap duduk manis di pematang sawah. Mungkin dianggapnya sebagai dedemit yang muncul menjelang senja. Ia seperti mengutuki sepanjang perjalanan. Ia meludah ke kanan kiri sebagai bentuk tolak bala. Bentuk kedunguan yang mengakar bahar, sulit sekali mengikisnya.

Senja telah membuatnya semakin muram. Ia menanggalkan bajunya. Menceburkan pada belik setinggi ketiaknya, airnya terus saja meluber. Menenggelamkan kepalanya, ia tak ingin muncul-muncul. Biarlah ia ditemukan mati dalam belik dalam badan yang telanjang. Tetapi ia muncul, suara adzan yang sering ia dengar selalu mengusiknya dan kadang lebih banyak menenangkan.

Ia mentas dan berdiri di depan belik. Memakai baju yang sama, tetapi ia membukanya dan mencelupkan berkali-kali membanting-banting tak karuan. Belik itu sekali lagi dibuat kocar-kacir airnya. Burung kuntul yang ingin minum sebelum pulang ke peraduan pun enggan turun. Memilh terbang lagi dan mengencingi kepala Elang dengan kotorannya. Elang terbahak-bahak. Orang-orang yang mendengar sayup ketawanya menciptakan tokoh hantu baru diantara banyak nama-nama hantu. Elang akan menerimanya begitu saja, seperti sajak baru yang sering digubahnya menjelang tidur. Malam harinya setelah memakai baju yang masih basah. Ia mengamati langit yang bersih. Ia tak memedulikan rayuan kodok, jangkrik, bahkan suara aneh dari seberang hutan bambu. Matanya tak berkedip, karena langit begitu indah ketika jarinya berusaha melukis dengan cat yang berbeda. Ia tersenyum kecut, menertawakan angan-angannya. Matanya beradu pada dinding bambu yang banyak angin disana. Sekali lagi ia ingin mengubah susunan benda yang hidup di kepalanya. Meski itu sulit, karena penguasa selalu saja buruk sangka padanya. Padahal ia hanya ia meluruskan, agar mereka selamat dalam panggang neraka.

Dini hari ia terbangun. Meski ia tak sempat tidur panjang. Jantungnya berdegup lebih kencang. Suara-suara itu membuatnya cemas. Ia merasa lega, lalu melangkah keluar dan mendapati para pengobor malam. Diantara mereka membawa kandang jinjing, banyak sekali burung puyuh yang terlihat cemas akan nasib anak-anaknya yang masih kecil.

Ia kembali ke gubuk setelah para pengobor itu kocar-kacir menanggapi satu pertanyaan dari Elang.

Berbaring diantara bale kecil dan suara pengobor itu mulai berubah menjadi derap-derap yang teratur, ia mulai gundah dan menekan kelopak matanya lebih dalam. Bukan pada satu kelemahan, tetapi lebih kepada kekuatan yang nantinya dapat ia gunakan sewaktu-waktu. Ia ingin merasakan gelap lebih lama agar terang dapat ia reguk selama mungkin. Meski hanya membuka sesaat setelah semua kemarahan itu meluap serta mendarat.

Derap kaki itu perlahan memudar. Elang tampak tenang, ia mulai menyadari sesuatu itu pelan-pelan menghampirinya dalam jarak yang tak terduga. Telapak kakinya kini lebih peka terhadap bunyi-bunyi, bahkan kebijakan semu itu kerap terasa lebih pedas dari yang dibayangkan. Bahkan punggung dan jemarinya selalu saja mengajaknya waspada dari mata-mata dengki yang kata-katanya selalu saja menyengsarakan kehidupan.

Ketika malam pekat, Ia terbaring memunggungi gelapnya sawah. Hanya desir angin yang bisa dirasakannya. Mengimbangi detak jantung, tulang belulang, dan hembusan nafas diantara banyak dengkuran. Suara kodok, jangkrik, belalang kerik sedang berada dipihaknya.

Ia harus pergi dari kesunyian itu, meski kodok, burung malam memberinya semangat agar tetap saja nyenyak. Penguasa itu telah merenggut sebagian kehidupan nyaman, meski rumpang masih Roky sukai. Ini semacam latihan, karena penguasa itu lambat laun akan merenggutnya kejam.

0 Comments:

Posting Komentar