Sabtu, 15 Februari 2025

13. Merawat Ibu

Ibu Mona menutup restorannya lebih awal. Ia tersenyum pada Naura, Putrinya. Kami duduk di ruang istirahat, ada terasa di belakang restoran. Naura memeluk celengan besar berbentuk ayam jago. Ia membantingnya kuat-kuat ke atas lantai. Terkuak tumpukan uang kertas dan koin yang tak beraturan. "Kau bisa bantu saya Sel," pinta Naura. Kiera mengangkat jempolnya melampaui kepalanya. Aku ikut membantu mereka berdua.

"Akan kukembalikan nanti?" ucapku.

"Saya tak meminta," kata Naura.

"Kak, terimalah, walau nggak banyak." Kiera ikut memberikan amplop merah gendut.

Aku reflek menatap mereka berdua. Apakah mereka sedang bersaing, rasanya tidak mungkin. Kuucapkan terimakasih kepada mereka berdua sebelum pamit pulang. Mereka memberiku senyuman di sore hari. Mimipi apa semalam?

Dari balik kaca tembus pandang, Ibu Mona mengacungkan dua jempolnya melampau kepalanya. Aroma keyakinan muncul begitu saja. Kegelapan seolah meredup berganti pelita.

Tabib yang diceritakan bang Zoro keluar dari ruang prakteknya. Ia tampak terjaga dengan balutan jilbab panjang dan gamis longgar merah marun. Separuh wajahnya tertutup cadar, menyisakan dua bola mata yang tajam. Ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kami mendengarkan seksama dalam tempo yang lama.

Ia kembali ke ruang praktek dan memapah ibu ke ruang tamu. Kami menanti cemas tentang terapi apa yang ia berikan.

"Nama Ibu siapa,"

kata tabib bercadar. Ia memberi pertanyaan ketika sudah duduk diantara kami. Persis yang dilakukan oleh kak Egi beberapa waktu yang lalu.

"Hah, apa," Ibuku meminta pengulangan.

"Nama Ibu siapa." Tanya tabib bercadar.

"Gina." Ibu menjawab dengan suara gagap. Ia kesulitan mengingat namanya sendiri.

"Di depan ibu siapa?" Kali ini aku yang tegang.

Ibu diam dan memandangku dengan ragu. Tetapi tidak mengerikan seperti malam-malam yang lalu.

"Emm, siapa ya." Aku makin tegang, ibuku masih belum ingat juga.

"Coba diingat lagi," ungkap sang tabib.

"Nggak tahu," jawab ibu. Kepalanya di gelengkan beberapa kali.

Tatapan ibu tidak sekosong dan menyeramkan seperti sebelumnya. Benturan keras di kepalanya membuat syaraf-syarafnya terganggu. Syukurlah bukan mengarah Skizofrenia." ucap tabib. Ia menjelaskan kalau gejala paling khas dari skizofrenia paranoid yang sering mengalami delusi (waham) dan halusinasi. Penderita skizofrenia paranoid cenderung mendengar suara-suara di dalam pikiran mereka dan melihat sesuatu yang tidak nyata.

Tabib bercadar lalu memeriksa bagian benturan. "Kau lihat ini, bagian kulit kepala yang terbentur terlihat gembur. Ini sumber masalahnya. Mulai malam nanti kau oleskan zambuk di area jatuh, saya sudah cukur rambutnya, itu memudahkan kau mengoles. Ketika mengoleskan zambuk kau harus hati-hati. Saraf lain bisa terkena. Ingat tiga jam sekali. Obat ini mudah didapatkan." Tuturnya.

Keluar dari pintu rumah tabib. Ibuku masih menggeram seperti menahan beban. Meracau tidak jelas. Susunan katanya kabur. Wajahnya masih memucat. Tetapi ekspresinya mulai bersahabat.

0 Comments:

Posting Komentar