Minggu, 09 Februari 2025

8. Sebatang Coklat


Aku mendekam sejenak di toilet. Membersihkan tangan dari bau bribil hitam mengkilat. Ku lihat dinding toilet penuh coretan. Tangan-tangan jahil menulis seenaknya. Vandalisme kah? kurasa tidak, anggap saja ungkapan jujur yang sulit terucap. Gadis baru dari kota-jakarta, mungkin sedang tersenyum dikelas setelah sesi perkenalan yang membosankan. Kenapa perkenalan selalu hirarki dan primodialis. Satu kebiasaan yang membosankan.

Kutenggelamkan wajahku dalam sebuah cermin kecil. Ingin rasanya aku masuk ke sana. Dan tak ingin kembali lagi.

Bau bribil tak terendus. Kuputuskan untuk keluar dari toilet. Tak baik terlalu lama ngendon di dalamnya. Katanya, aura buruk bisa mencengkrammu erat-erat. Ujung celana gombrongku basah. Kupastikan bukan urin. Kugulung lengan baju beberapa lipatan untuk menutupi warna jelaga. Rambutku yang gondrong sebahu, kubasuh dengan air agar tampak klimis. Menutupi ratusan uban yang bersembunyi di bawah rambut hitamku.

Di depan pintu kelas yang berjendela. Suara Bu Nurma terdengar nyaring sampai keluar. Kakiku terasa berat melangkat, seperti ada yang menggelayuti manja. Kuketuk pintu kelas dan membukanya. Muka ini langsung kebas. Segala sesuatu bisa saja menjadi tak terkendali. Bu Nurma lulusan sekolah bonafit dan mantan karyawan bank swasta yang beken itu berhenti bicara dan menatapku.

Beberapa detik selanjutnya.

"Silahkan masuk," ucapnya. Belum genap dua bulan, guru baru ini sudah 'memukulku' bertubi-tubi. Ia pandai sekali "menikam" dari semua penjuru.

"Maaf terlambat," suaraku tersangkut di tenggorokan, adakah kedondong didalamnya.

"Dasar pencuri," katanya dengan menurunkan kacamatanya kebawah. Melihat sambil mengintip. Hidungnya yang terawat itu tampak licin. Ini menyebalkan, kau tahu.

Ia menganggapku sebagai pencuri, kenapa kata-katanya terlalu tinggi untuk otakku yang mungkin menciut kekurangan daging di akhir pekan. Kau tahu suweg, salah satu kudapan musim kemarau yang sering kumakan. Taburan kelapa parut, garam, membuat makanan jelata itu menjadi sedikit borjuis. Pilihan lain ada gadung salah satu jenis umbi yang bisa dinikmati setelah proses yang panjang.Hati-hati, kalian bisa 'mabuk' loh...

"Sekarang kau bernyanyi balonku ada lima versi arab." Perintah Bu Nurma.

Seperti terdengar gemuruh badai, petir bersahutan, disusul lolongan serigala. Teman-teman, kalian mendengar tidak, suara-suara menyeramkan itu?

"Ayo?" Ia memberi instruksi.

Sekilas ku tatap wajah-wajah menunggu, semuanya menatapku tegang. Hanya Naura yang menyembunyikan kepala di balik buku tulis akuntansi. Sementara kursi milik Ares kosong. Mungkin ia sedang menonton final basket tim kesayangannya.

"Ayo nyanyi," ucapnya sekali lagi mendapatiku diam. Tepatnya kaget berdiri mau kejang.

Balonku ada lima... Temanku yang duduk paling pojok langsung diam menahan tawa. Aku menyanyikan dengan langgam ngaji dan bertajwid. Kulirik Bu Nurma menunduk, mencatat sesuatu. Tunggu-tunggu, ia tidak sedang mencatat, tapi corat-coret. Bibirnya gemetar. Apakah perutnya keram?

Rupa-rupa warnanya... Ku tambahkan cengkok arab lebih medok lagi, sebisa mungkin. Ku atur lidahku agar sefasih orang-orang arab, meski itu sulit. Tanganku mulai mengayun menirukan seorang komposer. Teman-teman yang duduk paling depan tak bisa mengendalikan diri, mereka sudah terbahak-bahak. Ku lirik Bu Nurma yang mulai membekap mulutnya dan rahangnya mengeras.

Hijau, kuning, kelabu... Efeknya ku tambah lagi. Aku sedikit menguasai kelas. Bu Nurma mulai melepas tangan dari mulutnya. Ia menggeleng-gelangkan kepalanya. Bibirnya membentuk sudut yang kaku.

Merah muda dan biru...Naura menunduk makin dalam. Ingin sekali kulihat ia tertawa seperti teman-teman. Bu Nurma tak bisa lagi mengendalikan dirinya. Mulutnya terbuka, sebaris gigi putih terawat terlihat. Lalu mulai tertawa tanpa suara.

Meletus balon hijau DOR! ...Seisi kelas sudah tak terkendali. Kutambah lagi efeknya (malu-malu dah). Barisan tengah sudah terpingkal-pingkal. Memegang-megang perutnya. Kali ini aku jadi badut tanpa tepukan tangan. Setelah ini kalian tidak tahu nasib seseorang.

Hatiku sangat kacau... Aku merasa kehausan di padang pasir. Kesepian dan kerinduan akan oase yang sejuk dan segar. Ku bayangkan aku ada di sana. Kini se isi kelas pecah, tawa yang tumpah ruah di dalam kelas. Sebuah lawakan gratis di pagi hari.

Balonku tinggal empat... Mereka masih tertawa dan mulai bosan dengan tawanya sendiri. Mungkin rahangnya mulai kaku.

Kupegang erat-erat... Tangangku mendekap erat di atas dada. Lututku masih gemetar menjelang nada terakhir. Jakunku naik turun menelan ludah yang sulit tertelan. Ada hawa panas yang barusan mengendusi bagian ubun-ubunku.

Ku selesaikan lagu ini dengan perasaan amburadul seperti makan lima mangkuk mie tanpa bumbu. (Mana tali jemuran!, mana!)

Naura mengangkat wajahnya. Dari tadi ia bergeming. Apakah ia tertawa sambil menunduk. Aku tak tak melihatnya jelas. Bisa jadi ia tersenyum dalam sembunyi.

"Kau tidak kongkow dulu di tepi jalan?"

"Nggak Bu."

"Siapa nama kau tadi."

"Beni."

"Nama yang keren."

Beberapa kaum hawa masih bermuka merah. Mungkin ambeyennya kambuh setelah mendengar nyanyianku.

"Beni?" panggil Bu Nurma.

"Ya Bu."

"Kumis mu perlu dicukur," ucap Bu Nurma sambil memiringkan kepalanya. "Gubrak," terdengar suara berdebam. Aku kaget bukan main. Beberapa teman menjatuhkan kepalanya. Bu Nurma tersenyum menang. Hingga gigi putih rata terawatnya makin bercahaya. Gawat...

Kelas 3 IPS 4 kembali ricuh. Hiruk pikuk layaknya pasar kaget. Naura, putri titanium dari klan bidadari kembali menunduk menatap buku tulisnya. Aku masih berdiri sekaku kanebo kering. Naura menenggelamkan wajahnya terlalu lama. Mungkin ia simpati atau malu temannya terlambat. Mungkin juga ada alasan lain yang ia sembunyikan.

Aku berjalan menuju tempat dudukku. Sebuah kursi kayu yang penuh coretan pulpen. Ketika duduk pantat terasa sedingin es batu. Ku masukan tas ke dalam laci meja. Banyak keajaiban di dalam laci meja sekolah. Mungkin kalian akan tersenyum bila mengenangnya untuk sesaat.

Sejak kedatangan Bu Nurma aura gelisah menerpa ruang otak yang terseok-seok pelajaran berhitung. Kukuatkan diri pada detik-detik terburuk. Bully makin kentara kurasakan. Jika kalian dianggap ber IQ jongkok, maka efeknya pada kepopuleran kalian di sekolah. Yang paling parah nama kalian tak pernah diingat pada level manapun. Apakah jenis sekolah ini yang bisa merubah peradaban. Pengetahuanku tentang pernyataan barusan.

"Kau dari mana saja." bisik Naura.

"Ketiduran Ra."

"Dasar kau..."

"Bisa dimulai Beni dan Naura."

"Bisa Bu." Serentak kami menjawab.

"Cieee, kompak banget." Ledek teman-teman.

Satu ketukan pintu cukup membuat kami membisu. Bu Nurma paling sok, ia seperti melihat hantu. Antara marah tetapi tampak kaku. Langkah anak jakarta mengetuki lantai. Ia maju elegan mengahadapi Bu Nurma.

"Mau ketemu Beni Bu, Boleh?"

"Jangan lama-lama, ini bukan kafe, ini kelas!" jawabnya ketus.

Aku bukan anak kecil lagi, jadi jangan ceramahi aku terus, jaga saja moral Ibu!" kata Kiera tak kalah sengit. Kami membisu, tepatnya membantu. Hari yang aneh, tak ada satupun murid di sekolah ini yang memiliki nyali sebesar itu. Kami hanya berani di belakang.

Gadis itu berjalan ke arahku. Mengulurkan sesuatu. "Selamat ulang tahun?" katanya gembira. Ada lesung pipit dikedua pipinya. Noura yang duduk tepat dibelakangku memberi kode. Tetapi situasi sulit kukendalikan.

"Kau tak mau."

"Aku jarang makan coklat."

"Kau tak mengerti cara memperlakukan perempuan ya, Aku bikin sendiri tadi malam."

Aku mengambil coklat itu. Ia balik kanan. Tak ada senyuman. Kelas kami hening. Bel ganti pelajaran yang menyelamatkan kami. Kuletekan batang coklat itu.

Saat istirahat aku membagikan coklat itu. Teman-teman menikmatinya. Noura sudah tak ada dikelas sejak detik pertama bel istirahat. Aku mengira-ngira kemana dia sekarang. Apakah di kantin? rasanya tidak mungkin.


0 Comments:

Posting Komentar