Selasa, 25 Februari 2025

23. Janji Seorang Lelaki

Hujan deras mengguyur alun-alun Purbalingga. Resto 54 tutup lebih awal. Gelas-gelas berisi coklat panas mengepul di hadapan kami. Ibu Mona duduk di sisi Naura.

Ares dan Kiera duduk di sisi yang lain. Keduanya asik menyeruput coklat panas. Naura menatapku dengan mata sipitnya.

"Ayo Ra, bicaralah," kata Bu Mona.

"Ben, besok pagi saya ke Jakarta, mau daftar kuliah disana?"

Naura tersenyum matanya mulai basah.

"Kau tak memberiku semacam janji seperti layaknya laki-laki." tambahnya.

"Aku tak ingin membuatmu terkungkung."

"Janji seorang laki-laki, apa kau tak punya." Naura mempertajam tatapannya.

"Jangan pernah berhianat dengan perasaanmu sendiri. Meski itu sulit. Perasaan yang jujur tak mesti diungkapkan, walau menyakitkan."

"Itu bukan janji," Kata Naura. Ia tampak tak senang dengan jawabanku.

Ini interval yang sulit kujalani. Berbicara serius dihadapan seorang gadis yang sedang mencari dermaga merupakan perkara berat.

"Bagaimana cara meletakkan sebuah perasaan yang tulus itu," Naura kembali memberikan tekanan.

"Letakkanlah hati-hati seperti kau menyebrang jalan."

"Perasaanmu bagaimana."

"Untuk saat ini, aku tak ingin menyulitkanmu dengan perasaanku. Biarlah sang waktu yang memahatnya menjadi apa. Semuanya agar kau tenang menjalani hidupmu."

Aku diam menatap lantai. Mengumpulkan makna yang tersirat. Siapa tahu akan muncul logika baru yang lebih jernih. Tidak mengambang seperti kerupuk disiram sup ayam. Tidak juga jumawa menganggap perasaan adalah sesat untuk sesaat. Aku belum menemukan jawaban. Rasanya seperti tertuduh. Janji sebagai seorang laki-lakipun tak punya. Putri titanium dari klan bidadari sedang menatapku seakan ku pangeran yang tampan dari negeri impian. Kenyataannya aku hanya pangeran kesiangan.

"Saya titip Beni ya Kie," pinta Naura.

Hal-hal yang membuat perempuan kadang tak logis tentang waktu yang teramat canggung ini. Mungkin semua wanita punya caranya sendiri untuk mengungkapkan sesuatu.

"Setelah lulus kau punya rencan Ben."

"Kerja?"

"Dimana?"

"Resto 54." Jawabku pendek. Ia sontak merekah, segar seperti acar martabak telor. Mungkin hanya ini jawaban seorang laki-laki bukan janji. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk sebuah ikatan. Ada binar di balik tatapan Naura. Coklat panas sekarang berubah lebih nikmat.

Hujan selalu punya cerita agar melengkapi perasaan manusia yang tertunda. Atau sebuah pertanda akan berlangsungnya peristiwa lain di muka bumi.

Kalian akan menganggap ini hanya omong kosong, aku terima itu.

0 Comments:

Posting Komentar