Jumat, 14 Februari 2025

12. Hasil CT Scan

Seorang perawat memanggil ayah. Aku bersama paman Erik dan bang Zoro. Mereka menguntit ayah dari belakang. Hasil CT Scan menyebutkan ada pendarahan di bagian kepalanya sebanyak 40 cc, mendengar informasi itu lututku seperti terkena peluru nyasar. Paman menepuk-nepuk bahuku. Ayah berkali-kali mengelap wajahnya yang tak berkeringat.

Biaya untuk CT Scan cukup mahal. Pihak rumah sakit berkenan memberi tenggang waktu. Kuanggap sebagai mukjizat, di saat kondisi keuangan ayah dan paman sedang tidak baik.

Aku duduk termenung di halte Kaligondang. Lima menit kemudian Bus bergambar samurai berhenti. Aku duduk di samping bang Zoro. "Gimana kabar ibumu," tanya bang Zoro.

"Masih sama bang."

Jalanan masih terlalu sepi. Samurai kotak berjalan lebih lambat dari biasanya. Aku tak keberatan, ini masih setengah enam pagi.

"Soal kalung yang pernah abang berikan padaku, ternyata benda yang mengerikan."

"Mengerikan bagaimana." Ujar bang Zoro, alisnya yang hitam hampir bertemu.

"Kalung itu namanya kalabubu, hadiah bagi prajurit muda yang berhasil membawa kepala manusia yang dibunuh dengan tangannya sendiri," begitu bang.

"Bang, kok malah bengong?"

"Seram juga ya."

Kotak samurai berhenti di Pasar Badhog Center. Aku turun dan berjalan kaki di sepanjang trotoar menuju sekolah. Trotoar masih ramah bagi pejalan kaki. Udara masih menyengat tulang. Ku kenakan sweater pemberian Naura. Nafasku mengepulkan asap.

Jari-jari sepede terdengar mengiringi langkahku. Sepagi ini siapa yang rajin bersepeda. Aku tak menoleh ke samping. Tak ingin cari masalah. Terdengar bunyi lonceng sepeda. Seperti memberi kode.

"Ben, kemana saja kau." Ku toleh ke samping. Naura tersenyum. Kedua kakinya mengayuh sepeda Evergreen-Citybike coklat muda dengan keranjang diatas roda depannya. Ia berhenti dan menepikan sepedanya. Menurunkan standar satu.

"Ibuku kena stroke, jatuh di kamar mandi."

Kami terdiam sejenak. Suasana masih lengang, kami berbicara sambil mengeluarkan asap dari dalam mulut. Wajah Naura terlihat memucat menahan dingin.

"Bareng Yuks"

"Dulun Ra."

Naura tersenyum geli melihat tingkahku yang kacau. Ia membaca jelas gerak-gerikku yang tampak kikuk. Ia duduk diboncengan dan memegang erat besi yang ada di bawah sadel. Kucoba seimbangkan sepeda, kapan terakhir aku naik sepeda.

"Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Biarkan mereka iri melihat kita. Junior Italia itu yang membuatmu tak enak hati kan."

"Bukan."

"Lantas."

Aku diam.

"Atau kau tak nyaman memboncengkan gadis seperti saya."

"Bukan itu, aku tak ingin membingungkan malaikat."

"Tak ada sejarahnya malaikat gamang mencatat. Mahluk ciptaan dari cahaya tak pernah mangkir dari tugas mulianya. Tak pernah melenceng, backstreet, atau bersikap acuh, kau ada-ada saja Ben."

"Siapa tahu, kita nggak pernah tahu, aku hanya membayangkan, apakah malaikat tersenyum atau bermuram durja. Ketika ada seorang laki-laki memboncengkan seorang putri titanium dari klan bidadari."

"Kalau kau tak ingin membuat malaikat gamang menulis, halalin saja. Kau tak takut nikah muda kan?"

Aku kembali tersudut. Enteng sekali Naura berucap, ia serius atau hanya iseng saja. Memainkan sebuah perasaan saja, ia tak peduli kata-katanya meneror atau tidak. Kata-katanya barusan masih mendengung-dengung: "Kau tak takut nikah muda kan?" kalimat ini begitu menikam mentalku. Apakah malaikat tersenyum atau tidak, aku tidak tahu.

Sekilas mungkin aku berhasil mengacaukan pedekate yang dilakukan oleh sebagian anak-anak lelaki. Walau hanya memboncengkan Naura dengan sepeda Evergreen-Citybike miliknya sendiri sampai halaman sekolah. Tapi cara ini seperti membuat gledek siang bolong. Mengejutkan sekaligus meruntuhkan anak-anak MAN Idolaku yang tekun untuk mendekatinya.

Kucoba menghindari aura buruk yang mulai gentanyangan. Semua mata tampak awas melihat kami berdua masuk halaman sekolah. Melenggang kangkung anggun menuju parkiran sepeda.

Terdengar teriakan, suara meja yang dipukul keras, sebagian malah bertepuk tangan. Aku tak berani menengok dan menebak suara itu. Iblis di pagi hari sedang memuntahkan sarapannya. Siapa tahu?

Di pintu gerbang tadi aku berpapasan dengan Pak Taro. Berhenti sebentar dan memberi tanda hormat. Menaikkan tangan setinggi telinga. Naura tetap anggun duduk di boncengan. Tatapan Pak Taro lebih hangat. Keberhasilan misi kami mengantarkan undangan Pensi ke Ponpes Cendrawasih membuat hubungan kami dengan Pak Taro terlihat harmonis.

Aku masuk kelas dan menghampiri kursi yang kurindukan. Mereka tampak kaget melihatku tampangku yang makin tirus. Ares tak kelihatan batang lehernya. Mungkin ia sedang berjingkrak-jingkrank melihat tim basket favoritnya menang telak. Naura menawarkan segelas jus tomat yang di belinya dari kantin Pak Badrun. Aku tak bisa menolak soal jus, atau menolak pemberiannya. Aku kadang agak sulit membedakan.

Bel listrik melengking panjang sebanyak tiga kali lengkingan. Kami berkemas-kemas dan bergegas pulang. Ruangan kelas kembali berdengung seperti kerumunan lebah. Mereka mengeluarkan isi kepala dan rencana-rencana setelah pulang sekolah.

Aku selalu memberi jarak pada diriku sendiri. Hingga tak ingin terbawa euphoria teman-teman setelah pulang sekolah. Lagi pula aku tak begitu suka keramaian. Kuputuskan duduk sentimental di pinggir trotoar menemani pohon waru yang banyak tumbuh di sepanjang trotoar.

"Bengong terus, para bidadari pada nangis nanti?"

Aku terdiam.

"Kau kenapa?"

"Besok sore terakhir untuk melunasi pembayaran CT Scan Ibuku, jadi aku harus mencari tambahan uang."

"Kau sedang tak buru-buru kan?"

"Ya, kenapa."

"Kemana saja kau kak, seperti di telan bumi." Tanya Kiera.

0 Comments:

Posting Komentar