Sabtu, 08 Februari 2025

7. Anak Baru Dari Kota


 

Mini bus berhenti, supirnya kukenal. Ia memberi isyarat agar lekas naik. Aku menyebutnya samurai kotak. Ia berhenti tanpa mematikan mesinnya. Bau solar segera menyergap. Tak ada tempat duduk yang tersisa. Penuh.

Samurai kotak melaju meninggalkan halte Kaligondang. Aku duduk di atas kursi kecil, persis di samping Bang Zoro. Kedua matanya tampak fokus menatap ke jalananan, sementara tangan kanannya mencengkram batang setir.

Ketika kutengok ke samping kanan, mataku menatap mata gadis berseragam putih abu-abu yang tertangkap sedang menatapku. Cepat-cepat ia berpaling. Ia memakai masker bergambar Doraemon. Kedua alisnya yang tebal hampir bertemu. Pada detik berikutnya kedua alisnya kembali. Matanya yang sipit terlihat terpejam. Dengan rambut yang tergerai hitam panjang, ia akan mudah menjadi pusat perhatian. Apakah ia bisa merasakan hal itu?

"Bangun jam berapa kau," tanya bang Zoro.

Aku tersenyum.

Bang Zoro menggelengkan kepala. Terdengar ia menghela nafas panjang. Entah apa maknanya.

"Bagaimana kabar Intan."

"Masih sama bang."

Samurai kotak berhenti persis di depan sekolah MAN I Idolaku.

"Tunggu Ben!

"

Bang Zoro memberikanku sebuah kalung unik berbahan kayu. Ia bilang kalau kalung tersebut tergantung di dinding gudang rumahnya sejak ia masih kecil. Kedua orang tuanya telah lupa asal muasal kalung itu.

"Jaga baik-baik ya."

Ku anggukan kepala, lalu melangkah turun dari samurai kotak.

"Salam buat pamanmu ya?"

"OK bang?"

"Halo?" sebuah sapaan mengagetkanku. Ternyata gadis bermasker Doraemon itu. Mimpi apa semalam.

"Ya." Ia bertanya sambil menggerakan rambutnya yang hitam arang itu, kuharap ia tak sering-sering melakukannya. Kiamat sudah dekat, kau tahu. Syukurlah hanya sekali.

"Kelas Dua E mana ya."

"Depan perpustakaan."

"Terimakasih ya," Ia masih berdiri menatapku.

"Apa lagi?"

"Sepertinya kau salah seragam?"

"Memang."

"Lihat saja sendiri."

Tubuhku meredup dan terasa dingin. Gerbang utama sekolah terkunci rapat. Pak Taro berdiri menantang. Tangannya kebelakang menelangkup. Seperti menggendong mahluk ganjil. Senyumnya tak enak dilihat. Tatapannya tajam menusuk. Melingkar di jari tengahnya cincin batu akik asli bandar klawing Purbalingga. Jari jempolnya besar berlemak.

"Sampai kapan kau akan begini Ben!, terlambat terus."

"Maaf Pak."

"Bukan waktu yang tepat untuk minta maaf, lebaran masih lama. Kenapa kau pakai pramuka, ini hari senin, kau lupa ya!"

"Kupikir hari kamis, maaf Pak."

"Lebaran masih jauh Ben, kenapa minta maaf lagi. Sekarang masuk dan tunggu di halaman sekolah."

Memang minta maaf harus nunggu lebaran. Lama sekali keburu numpuk dosanya.

Sambil membetulkan tas gendongnya, gadis itu tersenyum lagi. Gerak-geriknya terlihat berbeda. Atau terlalu pede. Sepatunya keren berlogo terkenal. Terlalu bersih untuk ukuran umum anak MAN Idolaku. Dan kulitnya sepertinya tak pernah tergarang matahari.

Aku berdiri di halaman sekolah. Bendera merah putih berkibar sambil memeluk tiang. Kami berdua menaikkan tangan setinggi telinga (memberi hormat). Diam-diam ku kenakan kalung pemberian bang Zoro dan menyembunyikannya di balik kerah baju. Razia kelas bisa merebut paksa dari kalian.

"Saya Kiera, kamu namanya siapa?"

"Beni, IPS 4."

"Saya pikir kita seumuran," ucapnya tersenyum. Anak itu bahasa Indonesia terdengar enak, bukan logat banyumasan. Ini mengingatkanku pada penyiar SBS, radionya wong Purbalingga, Tias Amalia.

Pekan lalu Pak Taro memberiku hukuman menyiram tinja bekas murid yang belum lulus toilet training. Mereka meninggalkan tumpukan tinja menggunung di atas kloset jongkok. Sungguh biada, jebakan sempurna.

Pagi ini ku harap tak ada kloset jongkok penuh gunungan tai yang diendapnya berhari-hari dalam perut mereka. Mungkin itulah awal mula kenapa kentut mereka bisa sebusuk bangkai. Gas yang menyerempet tai hitam itu bisa membuat kepala kalian pusing disertai perut mual-mual.

"Tugas kamu sekarang, bersihkan toilet kelas dua, setelah itu masukan kotoran kambing kedalam karung."

Kuanggukan kepala ke atas dan ke bawah.

"Kau anak baru, siapa namanya."

"Kiera Pak."

"Pindahan dari mana?" ucapnya terdengar ramah.

"SMA 108 Jakarta."

"Ok, silahkan masuk, kepala sekolah sudah menunggu."

Kiera menurunkan tangannya.

"Siapa suruh turunkan tanganmu. Naikkan lagi setinggi telinga Ben!," Menelan khotbah pagi bukan perkara mudah.

Aku masih berdiri kaku menatap rumput halaman sekolah yang mulai bau asem. Menanti putusan waktu. Sempat ku berpikir membenturkan kepala ke dinding lalu terbangun di hutan terlarang sabuk yang berisi tali-tali bekas bunuh diri. Apakah itu mungkin? Rasanya sulit untuk kulaksanakan, aku tak bisa membayangkan wajah kedua orang tua ketika melihatku terbujur kaku di pembaringan.

Suara kambing mengembik keras menyambut kedatanganku. Ia seperti menertawakan atas hukuman yang ku terima. Kucari tempat aman untuk meletakkan pakaian dan sepatu. Berganti dengan celana pendek dan kaos oblong gelap. Aku hanya bersikap waspada pada anak yang terobsesi pada film Jaka Tarub. Bisa saja aku mencari baju seragam dari kelas ke kelas dengan kostum petani.

Kotoran-kotoran kambing yang telah menggunung itu selesai ku masukan ke sebuah karung besar, yang nantinya berakhir sebagai pupuk kandang. Masker yang membekap mulutku tak mempan mengusir bau kotoran kambing yang menyengat dan lembek karena tak kebagian sinar matahari.

Seperti Ninja, Pak Taro muncul tanpa suara. Aku sudah kembali rapih, baju atas ku masukan ke dalam celana dan membiarkannya tanpa ikat pinggang. Ia menatap kesal.

"Duduklah," ucapnya.

"Ben."

"Ya Pak."

Ia terdiam, matanya menombak tanah tak berkedip. Berkali-kali ia meremas jemarinya. Rambutnya yang tebal bergelombang ia usap secara perlahan-lahan. Ini pemandangan ganjil dari seorang punggawa sekolah yang paling ditakuti oleh seluruh murid MAN Idolaku.

"Bapak mendapatkan tugas dari kepala sekolah untuk mengantarkan undangan Pensi ke ponpes Candi Nata, kau bisa menggantikan Bapak," ucapanya pelan.

"Kenapa hanya aku pak, yang lain juga terlambat."

"Jumlah terlambatmu lebih banyak. Tiga ratus kali. Ini jenis hukuman yang tepat untukmu. Kau mau ibu atau ayahmu dipanggil ke sekolah?"

"Nggak Pak."

Pak Taro memberikanku kertas sakti yang dapat membantumu masuk kelas. Tanpa kertas sakti itu, anak-anak yang terlambat sekolah haram masuk kelas. Mungkin sampai beruban.

0 Comments:

Posting Komentar