Selasa, 04 Februari 2025

KAKEK DALANG

Siti melotot melihat kakek Dalang datang menghampiri Ibunya yang sedang mengangkat jemuran di halaman rumah. Senja mulai turun merayap. Mungkin Ibu lupa, tadi siang ia membantu kendurian di rumah Pak Nasir. Dan buru-buru ia pulang menggandengku melipir sebentar dari hiruk pikuk hajatan sang empu rumah.

“Kenapa Ti?” tanya Ibunya.

Siti Menggeleng, ia cepat-cepat bersembunyi dibelakang Ibunya. Tanganya mencengkram lengan ibu kuat-kuat.

“Aduh sakit Ti, kau kenapa?”

“Eh, kek Dalang ada apa?”

“Pete ini tak habis kumakan, ini ada sisanya, untuk Siti?” kata Kek Dalang. Ia menyodorkan dua keris pete yang sudah berwarna hitam.

“Siti,” tutur Ibunya.

“Nggak mau, buat Ibu saja,” kataku. Kusembunyikan wajahku dibelakang punggung Ibu. Badanku terasa berat, aku ingin lari, tapi seperti ada tangan kekar yang mencengkram kedua kakiku.

“Nduk?” bujuk ibuku.

Aku diam saja. Kupejamkan mataku erat-erat melihat Kek Dalang.

“Emm” kututup Hidungku kuat-kuat.

“Siti,” ucap ibu, tangannya yang masih beraroma lodeh menyentuh tanganku.

Aroma busuk tiba-tiba menguar kemana-mana. Tetapi kulihat ia tetap tenang saja, tanpa pernah memencet hidungnya sendiri.

“Apakah hanya aku yang bisa merasakannya,” batinku.

“Dikasih pete malah merem, ora ilok-nggak sopan!” ketus Kek Dalang. Ia memberikannya pada Ibu. Tangan Ibu seperti kena lumpuh-akibat stroke ringan-menerima dua keris pete. Nurut saja. Kek Dalang pamit pulang ke rumah, jaraknya dari rumahku hanya tujuh kali kedipan mata. Tangan kanannya memagangi tongkat sebagai panduan berjalan.

Kubuka mata dan mengintip dari belakang Ibu. Cepat-cepat kupejamkan mata untuk kesekian kali. Punggung Kek Dalang ada lelehan darah mirip caramel, apakah itu benar caramel?

“Siti, kau kenapa, aduh sakit Ti, ayo lepaskan Ibu?”

Kulepas pelukanku. Ibu jongkok menatapku. Gigiku saling beradu. Mataku beradu dengan mata indah milik ibu.

“Wajahmu pucat Nduk, ada apa, Istighfar nduk!” aku langsung digendong oleh Ibu, meski ibu agak sempoyongan. Aku makin berisi dan tinggiku hampir sampir sama dengannya.

“Kek Dalang Bu?” kataku lemas.

“Kenapa Kek Dalang, ia baik kok, kasih pete?” jawab Ibu sambil mengacungkan dua keris pete yang agak loyo ke depan wajaku.

“Kek Dalang tadi nggak ada kepalanya, kayak ada ususnya, dan baju belakangnya banyak darah Bu?” ucapku pelan sekali. Dan tiba-tiba pandanganku gelap.

Dua keris pete yang makin loyo jatuh mencium tanah.

“Oalah gusti pangeran (Ya Allah)! Innalillah...” Begitu kata-kata ibu yang sempat kudengar dan pelukannya makin erat. Bersamaan itu pula gema azan maghrib berkumandang dari Mushola Baitul Mustaqim.

0 Comments:

Posting Komentar