Rabu, 05 Februari 2025

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 6

Cara Menghilangkan Perbedaan adalah Melenyapkan Tanpa Jejak 

Ini kesikian kali Elang melarikan diri dari kejaran serdadu yang bermata garang dan berhidung tajam. Berita tentang para koruptor yang disebut sebagai penyintas membuatnya tampak uring-uringan. Seolah ingin bersembunyi di balik tumpukan uang yang dijeratnya susah payah. Bila terus memikirkannya, mungkin Elang akan kehilangan selera hidup. Mau panjang atau pendek. KKN purwarupa prodak lama, tetapi ia masih efektif untuk mengubah wajah kalian jadi oren. Hanya senyum kalian seperti srigala yang berhasil menjebak musang dari buang hajat ditepi kali kumuh, pikirnya.

Ia keluar dari pondok tua milik orang yang telah berbaik hati mendermakan waktu dan tempatnya. Di depannya embun-embun menari riang menyambut pagi yang dinging. Bukit-bukit di kejauhan tumpah tindih dengan gugusan awan halimun.

Duduk mencangkung di bawah hangatnya mentari. Sinarnya bagus untuk kulit sekaligus menghalau virus yang sekarang melanda negeri ini.

“Negara kita memang butuh sekolah lagi,” ucap pemilik pondok.

“Meraka seperti perempuan datang bulan, cepat marah dan sensitif.”

“Aku malu pada orang-orang seperti Hoegeng, para penggali sumur lubang buaya, dan yang tersembunyikan. Mereka seharusnya dapat bintang pahlawan dan layak mendapatkan santunan setiap bulan. Di bawah tatapan sangar senjata teracung mereka tetap menggali dan menggali. Kehidupannya berhenti pada cara mereka mengeruk sampah dan ditarik kereka sederhana. Sejarah seringkali mengulangi kesalahan yang sama. Ketulusan mereka menjadi penyebab sebuah keadilan seringkali salah sasaran.”

“Sementara aku malu pada diri sendiri,” ucap ELang.

“Kau tak perlu mengenalku, tetapi aku mengenalmu dengan baik, ketenaranmu sebagai buron telah menyulitkan para birokrat untuk tidur siang. Mereka terpaksa menelan puluhan obat tidur untuk mengistirahatkan sebagai anggota tubuhhnya, sebagain lain tetap memberontak menuntuk keadilan.” Pemilik pondok berpamitan meninggalkan sepiring pisang goreng dan segelas kopi hitam. Elang menatapi punggung yang mulai bungkuk, ia penasaran pada ‘malaikat’ yang telah repot-repot melawan kantuk menghidangkan makanan lezat di pagi hari.

Apakah cukup hanya dengan rasa penasaran. Kebaikan hatinya membuat sejenak melupakan pelariannya yang melelahkan. Ia mendengar sekelebat bahwa pemilik pondok itu seorang dosen yang mengajar para professor atau bahkan menguji para profesor.

Tadi malam sebelum tidur Elang mengenang perbincangan yang menggetarkan pikirannya. Bagaimana tidak, menurut pemilik pondok, “deklarasi PBB 1992 tentang Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa menegaskan bahwa kejahatan kemanusiaan itu sifatnya berkelanjutan, atau tidak mengenal kedaluwarsa. Artinya kasus itu akan terus dibuka selama belum diungkap, dan pelakunya belum diusut dan dipidanakan.” Aku hanya membacanya ulang, agar kau tak terlalu risau dengan aneka penyudutanmu yang menyesakkan. Kata; lawan yang kau gaungkan membuatku malu atas pencapaianku selama ini. Semua seperti tak artinya. Aku terlalu pengecut untuk sekedar membunyikan gendang, agar mereka terjaga.”

Elang menulis sesuatu diatas kertas kerja pemilik pondok. Lalu melangkah keluar mencangklong tas slempangnya. Udara masih terlalu dingin, meski matahari sudah mulai menghangatkan kulit. Ia tidak melibatkan siapapun dalam pelariannya. Membolehkan tinggal sementara adalah cara mereka beterimakasih atas perjuangannya. Mungkin.

Titip Anak dan Istri
Salam Demokrasi

Ia meletakan pensil diatas kertas. 

Sekelompok perempuan pemetik daun teh begitu akrab dengan kegiatannya. Menarikan jari untuk mengelus dan memetik daun teh dengan kejelian seorang pianis yang lembut menekan tuts nada secara simultan. Tak peduli dengan matahari yang mulai memanaskan ubun-ubun.

Untuk siapa mereka berjuang. Begitu slogan yang menempel pada bak truk pengangkut kopra. Ia pun tidur di atas kopra dan menyerahkan sepenuhnya pada supir truk yang akan membawanya pada tempat-tempat yang terduga.

Pandangannya jatuh pada jilatan matahari yang membasuh keheningan diri sendiri. Di kanan kiri batang-batang pohon besar beserta cabangnya menari indah melakukan gerakan pantomime yang tersusun secara rumit. Mereka sedang berdoa pada seorang yang jauh dan berlari sendirian agar jaraknya bernafas setidaknya lebih lama. Ia tersenyum pada diri sendiri. Menemani udara pagi yang masuk pada sela-sela gigi yang makin jarang tersikap dengan baik. Ingatannya teruji pada perjuangan teman-teman yang lebih dulu kena ringkus dan mungkin sekarang sedang menerima ‘sarapan’ yang tidak hanya mengenyangkan tetapi juga mengurangi ingatan pada masa kanak-kanak.

Ia hanya membayangkan pada negeri yang indah ini, andai lepas dari taring-taring tirani yang selalu bersembunyi pada senyuman, lipatan baju tersetrika, harum semerbak minya wangi impor, dan kaos kutang yang tak pernah kuning barang sedikit. Ia hanya mengecap-ngecap lidahnya sendiri yang gamang untuk menyatakan bahwa negeri ini sedang dilanda wabah tirani, busung kepercayaan, dan miskin administrasi. Kacau balau yang terkonsep pada mata pelajaran sekolah, meski pakai pembuka halaman, pelantang suara, mereka tetap saja gegabah untuk memastikan sesuatu yang benar-benar benar. Modul tirani hanya perpindahan rezim agar tampak santun dan berwibawa di mata dunia internasional. Lalu menganggap pertumpahan darah adalah hal wajar bagi sebuah perjuangan, apakah perjuangan mesti disandingkan dengan darah yang mesti dikucurkan.

Di warung kopi pinggir jalan. Suasana hangat seketika berubah beku. Radio itu memancarkan suara yang menghilangkan kerinduan untuk pulang kampung. Jejak harus diperlebar, agar perjuangan bisa dilanjutkan dengan waktu yang semakin menipis. Bulu kuduk meremang meski hanya langkah anak kambing yang menginjak ranting kering. Ini sudah keterlalua, tetapi perjalanan harus ditempuh meski tak berujung. Yang paling mengerikan perjalanan itu mesti pupus ditengah pelarian. Borgol itu akan membuat ngilu atau senapan panjang yang melukai tiap rusuk demi rusuk.

Kali ini ia benar-benar merasakan kecemasan di atas rata-rata. Radio mini menguarkan suara rezim hitam pekat arang. Suara itu mulai bercerita meski kecil seperti hantu tetapi tetap terdengar. Suaranya seperti sang Jendral yang telah pernah marah-marah di televisi. Penyiar mengatakan hanya mirip. “Aku ditangkap bersama tujuh teman lainnya, di sekap dalam rumah yang seluruh dinding ruangnya telah dilapisi oleh kawat-kawat kuat. Di sudut dapur yang cukup luas juga di sekap seorang ibu beserta anak-anaknya. Ketika malam kami terbangun karena mendengar teriakan dari para tahanan yang disiksa begitu rupa. Kami hanya menebak-nebak saja, saking keras lolongan itu membuat anak-anak kecil yang juga tersekap bangun sambil mengucek-ngucek kedua matanya. Ia kira ayah minta tolong untuk dibukaka pintu. Seorang dari pimpinan kami juga ikut ditangkap dan ia menawarkan diri untuk jadi tumbal asal anak buahnya tak disentuh barang sedikitpun. Lalu ia membuka baju, kami terkesima melihat sekujur tubuhnya penuh bekas luka. Seorang serdadu yang melihatnya disiksa bercerita padaku; pemimpin kamu kuat sekali ketika distrum pun hanya menggigil, bahkan ketika pukulan ekor buaya berkali-kali menerpa tubuhnya. Ia tak bergeming, mengaduhpun tidak. Tak ada kesenangan bagi kami, ketika menyiksa para tahanan tak terdengar lolongan minta ampun, kesakitan, dan beraduh-aduh sampai berbuih.”

Penyiar radio brengsek itu terus saja memintanya bercerita. Ini soal kemanusiaan atau kebutuhan rating semata. Tragedi kemanusiaan dijadikan tontonan yang bisa mendatangkan banyak uang. “Matikan radio itu” kata Elang. Dan ia mulai menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara. Asapnya membentuk timbangan yang didekatnya ada orang yang kedua matanya ditutup.

“Kau kenal Bung dengan orang itu barusan,” tanya Pak Supir yang tengah sibuk mengunyah gemblong.

“Aku tak mengenalnya, aku hanya membenci ceritanya. Ia mungkin sedang menjual ceritanya untuk hal-hal buruk atau semacamnya. Aku tak ingin dia dijebak dalam ruang dengung yang menggema memantul-mantulkan ketidakpercayaan pada kebenaran yang tengah digaungkan oleh kaum miskin papa.” Papar Elang.

“Ia hanya bercerita, mungkin tak ada yang terganggu ketika mendengar cerita. Bahkan orang gilapun menyukai orang bercerita, semacam rehatlah. Kau setuju Bung.”

“Tak tahulah, tapi mungkin agak memaksakan. Orang itu mengatakan agar orang tua kita harus menjadi pemberani. Kalau ayah kalian pergi dan teman-temanmu bertanya kenapa ayahmu selalu berjalan tergesa-gesa, dan selalu blingsatan ketika langkah serdadu itu masih belum terdengar. Ya karena ayahku seorang pemberani. Kalau ibu kalian dan teman-temanmu bertanya tentang ibumu yang menutupi sebagian wajah dengan jarit lusuh padahal langkah serdadu itu masih berhenti di warung rokok. Ya karena ibuku pandai bersandiwara dengan tangisan pilu meluluh lantakan persendian hingga mengira ada pencuri yang masuk ke rumah. Dan membuat tetanggamu terjaga dari tidur nyenyak barang sejenak.” Tutur Elang.

Keneknya hanya diam. Ia tak berhenti untuk mengunyah kuaci. Bungkus-bungkusnya berserakan di depannya. Elang menatap ke bawah kaki kenek itu. Tak dipakainya sepatu serdadu seperti yang maklum ditemuinya ketika tak di sangka tak di nanya seorang pedagang escendol begitu rapi jali lupa bagaimana mestinya berbaur. Ia juga khawatir karena membuka pembicaraan terlalu banyak. Seorang pelarian tak semestinya berbicara terlalu banyak, tuturnya hampir tak terdengar. Apakah menjadi penting jika harus baku hantam soal menyembunyikan identitas atau blak-blakan saja.

“Langit masih menjadi atap, angin masih menjadi dinding, aku tak khawatir untuk sendirian. Terimakasih untuk tumpangannya.”

Mungkin hanya perasaan saja, apakah hembusan angin juga memberi tahu serdadu itu tentang perjalanan Elang. Mungkin pembaca tahu?

Elang berjalan menyelurusi rel kereta api. Sayup-sayup terdengar lenguhan lemah, tepatnya rintihan. Bulu kuduknya merinding, apakah ada yang tenang di alam sana. Ini saat-saat yang membuat bimbang. Semua mungkin merasakan jika sedang dalam kesendirian, melewati masa-masa sulit. Perutnya tiba-tiba merasa mual. Mungkin ia teringat dengan para koruptor yang punya lebel baru para koruptor: penyintas?

Bagi Elang ini perjalanan yang terasa menyebalkan. Penulis cerita ini mungkin agak berlebihan, atau ia sedang terkantuk-kantuk setelah bekerja seharian, sebuah alasan yang amat klise. Ia berhenti pada rumah penginapan yang sepi, teramat sepi. Mungkin pengunjungnya sudah terlelap memeluk bantal.

Ia menyapa penjaga penginapan yang terkantuk-kantuk. Televisi hitam putih sedang menyiarkan laporan khusus edisi khusus. Presiden yang punya senyuman bagus itu sedang memimpin klompen capir, satu edisi yang bagus pada zamannya. Tetapi tidak bagi sebagian lain, ada orang-orang yang tak sabar untuk menonton film malam. Mungkin Rhoma Irama, Barry Prima, atau Jackie Chan sebagai bintang film yang telah lama ditunggu-tunggu.

“Ini koncinya,” jawab penjaga sambil mengerjapkan matanya.

“Ada pintu lain nggak, selain pintu-pintu kamar.”

“Kau bisa bisa lewat jendela.” Tuturnya lirih.

Elang membeli sebuah Topi di pasar malam. Ia memilih warna gelap dengan ujung yang lebar. Tak puas ia juga membeli Topi Koboi seharga nanas muda yang banyak di pesan sebagai rujakan. Ia langsung memakainya, mungkin karena merasa merinding malam ketika melihat serdadu yang sedang membeli cimol. Tak tanggung-tanggung serdadu itu memborong seluruh cimol yang ada. Penjual terlihat gembira, tetapi ia harus sabar melayani berbagai macam pertanyaan.

Sambil menikmati semangkuk bakso, Elang menguping pembicaraan serdadu dan penjual cimol itu.

“Kau kenal orang ini,” tanya serdadu. Tangan kanannya menyodorkan sebuah foto.

“Tidak tahu Pak,” jawabnya.

“Kalau kau ketemu, Cimolmu akan laris manis,” Tuturnya. Ia menyelipkan foto itu ke saku belakang. Lengan yang kekar itu membawa sekantung penuh cimol. Ia berhenti sejenak, melihat ke arah penjual cimol yang sibuk berkemas. Tanpa basa-basi Serdadu itu memberikan Cimol kepada pengemis yang sedang duduk melamun. Pengemis itu memandang kaku dan mulai menikmati cimol yang tak bisa ia makan sendiri. Ia melambai kepada handai tolan yang tengah memandanginya sambil menelan air liur.

Elang lekas menghabiskan satu mangkuk bakso tanpa penjiwaan bahkan komentar konyol tentang daging atau kuahnya. Malamnya yang larut adalah perhentian yang abadi tentang nafas dan rasa lelah. Elang merapatkan jaketnya, angina malam seringkali menjadi kambing hitam atas kelemahan yang direkayasa banyak orang. Langkahnya tak goyah meratapi jalanan. Tak peduli pada persangkaan orang, sekarang adalah waktu yang nyata untuk merenungkan semua hal.

Jalan atau berhenti. Dua-duanya adalah perjalanan informasi tentang kebendaan yang akan mengungkung kreatifitas terdalam atau mungkin paling sakral. Para penguasa itu seringkali lebih buruk dari pada keledai; ia binatang yang menjadi simbol agar kesalahan tak lagi berulang. Mungkin saja telinganya berguna untuk mendengar, tetapi seringkali bisikan kanan kiri menggoyahkan apa yang sudah diintuisikan sejak lama. Mungkin sejak lama, sejak pencalonannya menjadi orang dengan banyak kepala. Sehingga kepalanya sendiri sering pening berdenyut-denyut, meski obat penenang telah melampuai tenggorokannya sejak lampu kamar dimatikan.

Elang tersenyum manakala sandal jepitnya menginjak Tai Anjing yang sering kali berak tak sopan. Jenis binatang ini perlu belajar etika pada seekor kucing. Kawan lamanya. Atau mungkin ada rasa cemburu berlebihan pada binatang ini, hingga ia merasa tak perlu mengajari apapun pada Anjing. Meski salah satu “bangsanya” telah didapuk menjadi penghuni surga.

“Siapa,” tanya istrinya bersuara malas.

“Ini aku Elang,” ungkapnya sambil celingukan menatap gelap. Meski ia menyukai kelam, tetapi mereka tak jujur ketika benderang menghampiri. “Apakah kamu hantu, suamiku sedang ditempat yang jauh. Itu bukan suara suamiku. Jangan ganggu aku,” tuturnya. “Ini aku ELang,” tuturnya sekali lagi. Dadaku mengembang penuh. Kutengok anakku yang terlelap tidur. Suara yang kedua itu telah membangungkan suara keraguan. Keyakinan itu menguap kuat. Kumatikan lampu kamar dan pelan-pelan kubuka jendela kamar perlahan-lahan. Sebuah kepala muncul dari bawah, ia menatapku dengan cara yang sama. Bau keringatnya juga belum berubah bahkan lebih asam.

“Sekarang aku boleh masuk,” tanya Elang.

“Ini rumahmu tak ada yang melarang,” jawabku gemetar, lelehan air mata begitu saja keluar tanpa aba-aba. Rasa tak lagi hangat. Ia dingin, apakah ini perpisahan yang akan menyulitkan. Tentu saja tidak, bila kalian mengizinkan. Aku jenis perempuan yang tidak begitu berani menghadapi kenyataan, mungki karena anakku masih kecil. Atau bayangan orang-orang yang telah berada di bawah tanah mengikis keberanian perlahan-lahan. Apakah itu salah, mungkin peguasa itu merasa akan aman di bawah tanah nantinya. Tak ada lagi riswah, yang ada hanyalah kemampuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan.

“Kau tahu aku ini aktor, kukeluarkan suara sesuka hati. Mau dari perut, rongga dada, leher, atau ubun-ubun,” jawab ELang.

“Panggungmu telah dirampas,” jawabku pelan.

Aku melihatnya masuk, mungkin beberapa hari ia tak sabun dan pencuci rambut. Aku pernah mencium aroma pekerja aspal yang baru berhenti ketika senja. Aroma tubuhnya sama dengan aroma suamiku, asem bercampur tengik. Tetapi ia lelaki yang tengik plus bajingan. Itu hanya terjadi pasa film-film pendekar. Aku pernah menonton film kependakaran itu dalam dekapan suami yang masih beraroma bayi.

Kunyalakan lilin setelah ia memberikan korek gas. Aku tahu ia tersenyum, giginya lebih putih ketika dalam kegelapan. Syukurlah ia masih satu suku denganku. Sehingga masalah gigi tak jadi soal yang menakutkan, ini hanyalah masalah sudut pandang.

“Selama ini kau kemana, kukira kau sudah di Jakarta,” bisikku ditelinganya.

“Maaf, aku masih di sekitar sini. Aku ingin melihat lomba agustusan, kau keberatan.” Bisiknya pelan, suaranya terasa hangat ditelingaku. Ia memang benar suamiku.

Mungkin hanya alasannya saja, aku tak ingin mendebatnya. Ia sudah pulang tak perlu mengintrograsi dengan ragam pertanyaan. Kata orang bijak; salah satu penyebab suami tak betah di rumah. Tangannya yang ringkih itu tengah mengelus-elus anaknya. Tak jelas menggumam apa pada anak yang tak sempat di lihatnya pada pertama kali. Aku tak ingin mencegahnya untuk sekedar cuci tangan. Ini masa di mana orang-orang harus “terlihat” bersih dari segala aspek. Tujuannya agar suaranya lebih jelas dan mudah menarik masa.

“Masih ada makanan,” tanya Elang.

“Sebentar kusiapkan.”

Ia tak dapat melihatku meneteskan mata, tepatnya mengucurkan air mata. Jika kalian menganggapku berlebihan, mungkin kalian harus belajar untuk bersimpati. Suami kalian dalam keadaan baik-baik saja, tak dikejar-kejar penguasa, bahkan bisa berdekatan sekaligus bersenda gurau secara akrab. Baru satu kali tarikan nafas ia sudah mendendangkan sebuah lagu pengantar tidur yang sudah lama kudengar. Baik sebelum atau sesudah aku tertidur. Kuharap ini akan berlanjut sampai tua renta, setidaknya ini doa dari istri dari suami yang jadi buron sekarang.

Menjelang Subuh bayi itu menangis. Elang terjaga, memijit tengkuknya. Ia tertidur di dekat anakya. Tak jauh dari jangkaunnya sepiring nasi dengan lauk telur dadar berisi cabe dan bawang merah telah lama membisu. Ia bangkit menyantap makanan itu pelan-pelan. Ia tak ingin membangunkan siapapun karena suara kecapan yang terus menerus.

Istrinya tidur sambil memeluk bantal dan membiarkan bayinya tidur dengan nyaman. Bayi yang nyenyak seringkali menggemaskan. Ia ingin mengelus kulitnya, tetapi tangannya terlalalu kotor dan berdebu. Sendok yang digunakan sama dinginnya dengan nasi yang tengah dikunyah.

Elang menyambar handuk yang dijemur diatas pintu kamar. Ia menciumnya berungkali dan beberapa kali mengecap kagum pada daya ciumnya yang masih berfungsi dengan baik.

Aku terbangun mendengar air yang ditumpah-tumpahkan secara tak teratur. Awalnya aku kaget, kukira ada hantu yang sedang mandi terlalu pagi. Pikiranku agak tenang setelah ingatan jangka pendek mengkonfirmasi ulang tentang kepulanga suamiku. Kekagetanku agak konyol, kesendirianku akhir-akhir ini menyulitkanku untuk mengingat sesuatu secara permanen.

Mentari pagi masih sehangat kuku. Anak-anak sudah berlarian kesana kemari memutuskan untuk mengikuti upacara HUT kemerdekaan RI yang ke-51. Mereka sudah berseragam merah putih, sepatu hitam berkaos kaki putih, dan topi merah lengkap dengan logo nasionalisme.

Melalui lubang kunci Elang menelan ludah berkali-kali. Matanya memerah melihat orang-orang dewasa dibantu anak-anak memasang bendera menyembut 17 Agustusan. Momen sakral yang tak bisa terlewatkan. Pengerakan bendera merah putih sekaligus penurunan bendera pada waktu yang telah disepakati. Sang saka merah putih itu akan disimpan di tempat terbaik untuk kemudian akan dikerek kembali pada tahun-tahun mendatang.

Dikeja-kejar penguasa rasanya nano-nano. Puluhan hari Elang berteman dengan atap-atap malam. Pandangannya serasa tak tepat sasaran. Yang terdengar dari lubang kunci itu hanyalah deru tawa anak-anak dan orang-orang dewasa yang sedang mempersiapkan beragam jenis lomba. Semuanya tampak larut dalam kegembiraan. Mungkin taka dan hari esok baginnya. Kesilapan seringkali menghabiskan seluruh kemewahan pada saat yang sama.

Yang terlihat dari mereka adalah suara yang jelas, mengambang, atau salah satu dari mereka adalah penyamar yang sedang menjalankan tugusnya dari pengusa tanpa sepatu biasanya. Salah satu dari mereka betul-betul mungkin meyamar memakaki kostum pendekar.

Seorang bisa mengatakan bawa ayah hanya menitipkan rezekinya masing-masing pada anaknya. Rezeki anak sudah ada masing sesua dengan keindahan hati yang memilikinya. Bahwa penjara adalah satu-satunya tempat terbaik untuk menjungkalka semua kesombongan yang telah bercokol pada sarangnya masing-masing.

Sudah puluhan malam hanya menatap gelap yang ditingkahi bau nafas tikus-tikus tanah. Bagaimana detak jantungnya sendiri dirasakan begitu teratur dan indah. Ketika langkah serdadu bercelana pendek berbaju petani mencari Elang yang tengah melipat tubuh seumpama trenggiling. Elang abai dengan bau bacin yang menyergap seluruh pernafasannya. Kotak kayu telah memenjarakan sejenak dalam pelariannya menyambut Agustusan. Meski retak seluruh badannya, ia menyeringai ketika melihat serdadu berbaju petani itu tengah memaki tak karuan. Ilmu menyamar dan bersembunyi membuatnya berjarak dengan para serdadu.

Sekarang gelak tawa dari anak-anak remaja yang sedang bergumul dengan pohon pinang hitam yang licin. Melalui lubang kunci wujud dan wajah yang sulit tergambar ketika didalam petika ikan asin kini terlihat lebih jernih. Bahkan wajah para jendral yang marah-marah pada dirinya pun kalah ceria dan tampan. Wajah para jendral itu tak menyisakan lagi wajah kanak-kanak. Sama sekali tak berbekas. Yang terlihat kerutan tegas yang diperoleh dari ketegasan-ketegasan sebelum ia dilantik dan disumpah pada perkara kemanusiaan. Jendral yang marah-marah di televisi baru menyadari betapi licinnya belut meski sudah di atas tanah coklat.

Meski sudah sampai di rumahnya sendiri. Tak ada tanda-tanda pintu rumahnya dibuka. Elang tinggal sendiri di rumah menemani putrinya yang masih terelap meski matahari tak tak lagi terasa hangat. Ia bergegas ke kamar manakala saah satu anak remaja berhasi membetot ember besar. “Kamu lapar ya, sebentar ayah akan buatkan sesuatu untuk perutmu yang keroncongan,” tutur Elang jenaka pada bayinya yang tampak tak peduli dengan bujukannya. Mungkin susu lezat yang lebih penting dari bujuk rayu omong kosong.

Ia kembali dari dapur dengan botol susu yang sesekali dikocok dengan tangan kiri. Lalu meneteskan air susu itu ke punggung tangannya.

Elang mengangguk tiga kali memastikan semuanya aga berjalan normal.

“Ini susunya, minum dan tumbuhlah menjadi besar. Seorang yang pemberani. Tak pengecut menggendong tangan dibelakang. Seorang yang teguh melawan ombak meski hanya riaknya saja,” tutur Elang sambil menepuk pelan kaki anaknya.

Istrinya pulang menenteng payung. Hujan tak terdengar menjerit diatas genteng. Wajahnya terlalu serius di hari di mana orang-orang sedangmerayakan 17 agustus secara sadar.

“Kau tak keluarkan pagi tadi,” ucap istri Elang.

“Tidak, aku hanya mengintip anak-anak lomba dari lubang kunci, kenapa.”

“Meraka ada di semua sudut jalan, apakah kau tak takut.”

“Tentu saja aku takut, tetapi akalku mampu mentralisir itu semua.”

“Aku takut, anakmu tak sempat melihatmu ketika besar nanti.”

Elang menyelesaikan suapan terakhir. Ia mengelap mulutnya dari serbet kotak-kotak yang dibeli istrinya beberapa hari menjelang kepulangannya. Masih ada sisa bau baru yang sempat terhidu. Sayur sawi putih dengan ikan asin sebagai penggugah seleranya, tak ada kudapan ataupun makanan penutup. Yang ada segeles teh yang masih berasap pada gelas belang bertangkai.

Bayinya menggeliat mencari sensasi, mungkin ia perlu peregangan. Ia akan terus tumbuh menyongsong sekelumit cerita tentang hidup yang makin menua, makin jelas letak sebuah kesalahan. Manusia seringkali lebih berbahaya dari gejolak alam paling menyeramkan sekalipun.

“Aku takut…, suatu saat mesti ada akhirnya. Tak terkecuali sebuah pelarian. Mungkin semakin hari semakin banyak mata yang mengawasimu,” ucap istrinya.

“Justru pertanyaanmu membuatku semakin genah untuk melakukan hal ini; bersuara melawan rezim pembungkam, kugunakan semua perangkat yang nantinya bisa membebaskan, setidaknya bisa dikenang sebagai orang yang pernah melawan. Bila nanti aku ditahan maka ada kebanggan di sana, sebab penjara tak bisa melemahkan apa-apa. Jika nanti aku disel maka ada keromantisan di sana, sebab bui tak bisa mengucurkan apa-apa. Kau aka tahu nanti bahwa hidup sehari-hari yang sudah dijalani puluhan tahun oleh orang-orang yang selalu menajamkan mata pisaunya adalah penjara yang paling nyata.”

“Bagaimana aku menceritakan ini semua pada anak-anak nanti?”

“Ceritakanlah setelah semuanya terang, agar anak-anak kita bisa bersikap. Setidaknya untuk mereka sendiri. Jalan mereka haruslah diperpanjang sampai anak-anak kita tahu betul bagaimana menjaga semangat bapaknya yang pemberani. Apakah kau menyesal?”

“Kenapa perjuangan selalu menuntut tumbal pengorbanan. Maksud mereka apa. Apakah sekedar memperlihatkan taring mereka yang sengaja dipanjangkan. Apakah mereka ingin menunjukkan baju pulkadot baru beraroma kanji?”

Negeri ini semakin sendu oleh tingkah polah badut yang tak pernah merias wajahnya. Apalagi untuk meletakan setengah bulatan bola merah pada hidung mereka yang selalu mancung setelah berhasil menggunting dalam lipatan. Menyulap angka-angka menjadi lebih seimbang dari grafik yang sulit dimengerti kaum intelektul sekalipun.

Menjelang senja Elang keluar dari rumah. Ia menoleh sebentar pada jendela kamar. Istrinya menyibak sepotong penutup kamar. Elang terhenti sejenak, mata istrinya memerah. Mata yang dimiliki oleh orang-orang yang sedang emosional. Tetapi untuk apa, ia sedang menimang bayi yang selalu terlelap menjelang senja sampai tengah malam. Setelanya ia akan bergadang sampai kokok ayam berteriak memanggil manusia agar bangun.

Ketika azan maghrib berkumandang, langkah Elang  sudah semakin jauh dari rumah. Bau tubuh istri belum hilang dari ingatannya. Apalagi mulut bayi anaknya yang berbau mulia. Satu ciri bahwa bayi itu masih terlindungi dari dosa-dosa sampai ia terbebani oleh tanggung jawabnya sendiri. Bisa mengecam yang terlihat buruk dan bisa mencecap semua jenis kebaikan.

Elang berhenti di emperan mushola. Ia melanjutkan pelariannya setelah sang imam mushola menyelesaikan zikir setelah sholat. Menghitung puluhan sandal jepit, bakyak, slop, dan sandal aroma terapi.

Di depan mushola terdapat sebuah gazebo. Ia meluruskan kedua kakinya, sejak tadi terasa kaku. Patung kayu saja banyak mengalami perubahan yang terkadang menggunakan per untuk melenturkan beberapa titik agar bisa semakin cakap menilai siapa yang benar dan salah. Memang terlalu klise tetapi kehidupan ini menyajikan beragam kisah yang menuntu pembaca agar pandai-pandai memilih suatu bacaan. Agar berguna di masa depan.

“Orang baik di saat yang baik, itu sudah biasa. Tetapi orang baik di saat tidak baik, itu baru luar biasa. Maka jamaah yang di muliakan Allah, pilihan selalu di tangan kalian.” Tutur kyai yang sedang memberi santapan rohani kepada jamaah selepas maghrib. Penggalan kalimat yang berhasil mengusik rebahan Lukman. Ia duduk dan mulai menyimak kembali apa yang akan diucapkan oleh kyai itu. "Manusia itu tak perlu sombong, jika dia seorang ayah maka dia sedang “numpang” makan pada anak-anaknya. Karena sejatinya rezeki yang paling banyak “milik” anak-anak yang sedang dititipkan. Jika dia seorang Ibu yang melahirkan, maka berilah tempat bagi seorang ayah agar memiliki juga surga di telapak kaki ayah.” Elang tersenyum mendengar kyai itu menuturkan petuah kalimat demi kalimat.

Malam menunaikan tugasnya. Elang tertidur di Gazebo, dengkuran sampai terdengar sampai ke ruang marbot. Satu sebelumnya ia makan malam bersama sejumlah jamaah dan para marbot, hingga sulit beranjak. Segala jenis kudapan ia paksa telan serta habiskan. Suasana sejenak hangat, tak ada satupun dari mereka yang mengorek apa keyakinannya. Elang pun menikmati betul suguhan dari orang-orang tulus.

Ia ingin mengatakan pada para serdadu itu bahwa meraka tak bisa mencegat makanannya agar tak melewati kerongkongan. Mereka salah, kesalahan ada pada mereka, terlalu sensitife, praduga bersalah, tangkap dulu baru intograsi. Mereka melayani semua jenis permintaan yang tak masuk akal, melacurkan janji setia dan menjual harga diri secara grosir. Pedang pora menjadi lebih tumpul lebih awal, perang juga belum mulai tetapi mata pedangnya telah mengikis secara simultan.

Serdadu itu terus saja memenuhi permintaan tugasnya. Janji yang mulia; hanya menjalanka kewajiban. Mungkin mereka lebih logis dari pada orang awan (sipil) dengan mengataka; “istri dan anaknya sedang menunggu di rumah”, sebagian dari mereka mempertaruhkan nyawa agar nyawa-nyawa lain masih kembali setelah tidur malam panjang. Tuhan masih memberikan waktu agar manusia itu lekas-lekas kembali. Tidak hanya fisik tetapi juga mental. Serdadu itu mungkin perlu rehat atas semua yang telah terjadi. Atau jangan-jangan mereka perlu teman sekadar diskusi setelah hari yang berat. Siapa tahu jarinya semakin gemetar ketika ingin membidik sasaran dari darah yang sama. Cepat-cepat menyadari kesalahan lalu kembali pada sang pencipta.

Elang terbangun tengah malam ketika bentol-bentol sebesar kedelai hitam menerpa kulitnya. Nyamuk-nyamuk itu tak perlu etika untuk menjalankan tugasnya sebagai dasar agar kita memliki ruang yang lebih luas. Ruang etika dizaman sekarang semakin mahal, manusia adalah mahluk paling buas di antara singa paling abg sekalian alam. Ia mencari warung yang masih buka, sekadar untuk membeli obat nyamuk bakar dan sebungkus dua bungkus kuaci. Ia kembali tidur dan mengabaikan tatapan nanar serdadu yang ditempat lain sedang melangkah mengukur jalanan. Tak bosankah ia menderu dan mendesak segala keberanian untuk meringkus lelaki ringkih bersuara burung nuri, berbetis kurus, dan bermata tak berpengharapan. Tak relakah mereka membiarkannya melenggang kankung di pematang sawah seharian, biarkan.

0 Comments:

Posting Komentar