Selasa, 18 Februari 2025

16. Suasana


Suasana dalam kotak samurai (Bus)tenang seperti kakus. Ini senin pagi yang kelabu. Hujan deras turun sejak malam. Subuh baru reda. Pedagang keliling yang biasa ku lihat, belum nampak satupun, mungkin masih meringkuk dalam sarungnya.

"Hai kak Ben," sapa Kiera, ia sudah tersenyum indah sepagi ini. Aku merasa tak nyaman ketika beberapa cowok di bus ini ikut menatap kami. Mungkin mereka para veteran korban cinta sebelah tangan. Beberapa dari terdengar berbisik, mungkin menyumpahi kami atau malah mendoakan kami.

"Hai Ki," Ku balas sapaannya.

Suasana tenang dalam bus berubah gaduh. Anak-anak STM dari desa Kembaran wetan naik bergerombol. Beberapa dari meraka kukenal. Satu sisi mereka bagai perisai dari tatapan cowok yang terasa dengkinya, sisi lain mereka berisik sekali. Keadaan ini menguntungkan, seperti mendapat bala bantuan. Anak-anak STM itu tak pernah membahas soal uban di kepalaku, ataupun nilai akademik. Mereka cukup peduli dengan teman yang di kenalnya, meski tak begitu dekat.

"Di sampingmu siapa, gebetan baru ya," tambahnya.

Aku tersenyum saja. Mau menjawab apa.

"Hei, nama kamu siapa," kata si Jeger.

Tiba-tiba Kiera memakai masker bergambar Doraemon. "Maaf saya mengantuk, saya mau tidur dulu, kau cari kenalan lain saja," jawab Kiera, aku tak mengira ia akan memberikan respon yang sama sekali tak lazim.

Anak STM itu kembali ke gengnya, tertawa tidak jelas dan syukurlah sampai sekarang mereka tetap tak mengusikku. Lalu mereka tampak kikuk sendiri setelah sang Jeger agak ganjil sikapnya.

"Mereka temanmu?" tanya Kiera.

"Ya."

"Dulu, kakak saya juga pernah berseragam STM. Tapi, ayah tak setuju. Lalu, terjadilah pertengkaran sengit diantara mereka. Hingga pada satu malam kakak kabur menuju bandara, menyusul bibinya di Jepang, sampai sekarang saya belum bertemu lagi."

"Kenapa ayahmu tak setuju?"

"Kata ayah, seorang perempuan tak pantas sekolah di STM, nanti jadi anak liar, dan bla-bla, dua-duanya tak ada yang mengalah."

Kami hening sejenak. Menikmati sisa hujan yang menyisakan gerimis kecil. Bus berjalan pelan, mungkin sekitar 20-40 km/jam. Kami memasuki desa Kalikajar, atau orang menyebutnya Trenggiling.

"Kak?"

"Ya."

"Kau percaya kematian."

"Tentu, ia bagian hidup yang tak bisa ditawar."

"Apa ada bagian takdir yang bisa diubah oleh manusia."

"Orang-orang yang tak sempurna fisiknya, tapi ia tidak menyerah. Mereka adalah para pengubah takdirnya sendiri. Para pemain basket dengan kursi rodanya, pendaki gunung dengan satu kaki palsu, para pelukis dengan jari jari kaki, dan ada jutaan orang yang menolak patah dan melawan takdirnya sendiri, hingga mereka dapat mensyukuri kehidupan dengan cara mereka sendiri."

Kiera bercerita kalau kankernya sudah stadium empat. Harus bolak-balik Purbalingga-Bandung untuk kemotherapi, menghajar sel "brengsek" yang terus menggerogoti sel beradab lainnya.

"Ini kemo yang ke tiga," ucapnya.

Aku terdiam lagi.

"Di panti jompo aku punya sahabat, namanya nenek Beky. Aku senang mendengarkan ia bercerita, tentang masa lalunya, buku-buku yang ia baca, dan juga kehidupan pribadinya." Kucoba alihkan suasana.

"Seperti apa nenek Beky itu" ujarnya

"Penuh teka-teki?"

Ia tersenyum.

Bus berhenti di Pasar Badhog Center. Aku turun, Kiera ikut turun.

"Kenapa kau ikut turun."

"Jalanan ini bukan milikmu."

Kami berbicara sepanjang trotoar. Udara sangat dingin. Ketika berbicara mulut kami mengepulkan asap. Pembicaraan kami sejenak terhenti. Hujan kembali turun sangat deras. Kami berdua terpaksa berlindung di emperan toko mainan. Kulihat gadis berkerudung dan berseragam yang sama dengan kami. Ia tengah menunggu seorang kasir.

"Kak Ben, itu Naura, sedang apa ia pagi-pagi begini," Ujar Kiera.

"Nggak tahu."

Kami harus merapatkan diri ke dinding kaca. Naura keluar dari Toko mainan dan berdiri di samping Kiera. Tatapannya dingin penuh selidik. Hujan telah menyita lima puluh persen kecerdasan rasa. Kugulung celana sampai dibawah lutut untuk agar tetap kering.

Sesaat kami beradu pandang. Aku diam membisu seperti terkena jab dari atlit MMA. Aku berdiri diantara dua putri titanium dari klan bidadari sekaligus. Syukurlah, itu hanya sebentar.

"Sejak ada kamu di sekolah, para perempuan di sekolah mulai kebat-kebit loh, mungkin takut diputusin sama kekasihnya. Para cowok mulai oleng kepalanya, kerap menoleh setiap melihatmu. Mungkin hanya Beni yang berleher beton, tak ingin menoleh ke arah manapun," kata Naura.

"Mungkin kita punya selera yang sama ya kak." Kata Kiera.

Jantungku berdegup keras. Gadis Jakarta ini memiliki keberaniaan untuk mengungkapkan sesuatu.

"Bisa jadi," ucapa Naura enteng.

Hujan mulai reda. Tak bebas rasanya terjebak dalam ambiguitas. Aku mencoba bertahan dalam kenyamanan yang tidak biasa. Aku mencoba mengais-ngais kata-kata yang bisa menghilangkan kecanggungan kami bertiga.

Rintik-rintik gerimis menjalar semua sisi, menimbulkan rasa dingin yang nyaman. Kesempatan ini tak bisa ku abaikan. Tatapan mata Naura sontak berubah menjadi dingin. Rasa yang kutumbuhkan untuk "menyayanginya" perlahan ku tekan sampai batas akhir kekuatanku. Meski harus kubayar nantinya dengan kekosongan yag terus menerus menghantui. Maunya apa gadis ini?.

Kami bertiga berjalan beriringan.



0 Comments:

Posting Komentar