"Ben ada Pamanmu!, ucap bang Zoro. Bus berhenti, aku melangkah keluar, mendekati Paman yang nampak murung.
"Saya mencemaskan keadaan ibumu Ben," Kata Paman.
Kotak samurai berjalan.
"Ibuku kenapa Paman?"
"Jatuh di kamar mandi." Mendengar jawabannya. Tubuhku seperti melayang.
Sampai di rumah, ku dapati Ibu terbaring lemah di kamarnya. Aroma pesing menyeruak berbaur uap tinja. Tangan kananku memegang segelas air putih hangat. Ibuku menunjuk gelas yang ku bawa. Aku menyerahkannya hati-hati. Aku mulai curiga, ibu minum dengan tangan kiri, tangan kanannya lemas dan jari-jemarinya terlihat kaku.
"Lho... kok nangis, ada apa." Ibu bertanya, wajahnya sedatar piringan hitam. Ku beranikan memeriksa. Ya Allah, kakinya mulai tak solid, kaki kanan tampak mulai tak bertenaga. Aku menangis bombai, karena ia tak merespon tangisanku. Kupeluk erat tubuhnya, abai dengan semua aroma yang bikin mual.
Paman disampingku terlihat gelisah. Mental kuruntuh melihat pisang emas yang ku berikan jatuh ke lantai. Jemari ibu mulai tak merespon, mungkin ada saraf yang tidak berfungsi.
Kami berdua menatap wajah ibu yang mulai tak presisi. Tatapannya kosong, seperti kebon pisang. Ibuku yang kuat dan tegar kini mulai kehilangan kekuatan. Terbaring tak berdaya di atas pembaringan. Mungkinkah malaikat sudah menyapanya lebih dini.
"Beni sudah pulang, kok lama banget." Kata Ibuku. Aku yang sedang duduk di dekatnya tak dianggap sama sekali.
"Ini Beni Bu?" ucapaku gemetar, saat yang sama ibuku menatap jauh, pandangannya menembus mataku.
"Lah itu siapa, saya kok ibu nggak kenal." Aku berpikir keras agar logika waras tetap ada.
"Ini Paman Erik Bu?"
Ibu tertawa sepenuh kerongkongan. Tampak mengerikan seperti mahluk yang berbeda. Ia seperti di tempat yang jauh. Tatapannya seganjil penyembah tempat-tempat purba. Tempat paling mistis yang didiami Jin mungkar. Tangannya seperti menggapai sesuatu yang jauh dan kesulitan meraihnya.
"Paman susul ayahmu di pasar."
Aku mengangguk.
Lima belas menit kemudian. Paman pulang bersama ayah. Kaos oblongnya tampak lepek. Ini mengingatkanku pada peristiwa serangan lebah yang membuatku babak belur. Sambil menggendongku paman berlari menuruni bukit menuju ke puskesmas sambil mengutuki lebah-lebah sialan itu.
Para tetangga mulai berdatangan menjenguk.
"Ben, tolong kau ke rumah Kak Egi, minta ia memeriksanya."
"Baik Yah."
"Ibumu jatuh di kamar mandi!" ucap kak Egi, tangan kanannya mengusap keningnya yang tak berkeringat.
"Iya kak."
"Baik, tunggu sebentar." Ia masuk ke kamar dan keluar dengan celana bahan lebar, kemeja longgar, dan menyelusupkan gagang kacamata di balik kerudung hitamnya.
"Ma!, saya ke rumah bapak Marko, istriya sakit."
Tak lama seorang ibu datang dari dalam. Di belakangnya ada Kekey. Gadis SMP yang pernah menggegerkan seluruh kampung. Mengejar kelinci peliharaannya yang lepas sampai masuk ke dalam hutan sabuk. Hutan yang terlarang bagi kami, anak remaja yang masih grasak-grusuk tak sabaran. Dua hari kemudian, ditemukan oleh Paman Erik sedang duduk manis di dalam gubuk reot, sambil menggendong kelinci kesayangannya. Sejak saat itu ia mampu bercerita tentang hal-hal yang di luar nalar.
"Tunggu," kata Kekey.
Suaranya membuat langkah kami terhenti. "Kak saya punya sesuatu buat kakak." Ia mengulurkan dua batang coklat silverqueen.
"Satu untuk Uncle Erik, satu untuk kak Ben."
"Terimakasih Key."
"Sama-sama."
Kekey mengangguk lucu. Mencoba memperdaya kakaknya. Tatapan kak Egi lebih dominan. Kekey mundur teratur dan masuk ke dalam rumah. Tertawanya terdengar sampai luar. Kami bergegas kembali ke rumah melalui jalanan setapak. Rumah kak Egi berada di lembah kecil yang banyak di tumbuhi pepohonan. Satu tempat yang cukup nyaman untuk berkontemplasi.
Suara gemuruh terdengar di kejauhan. Atap-atap rumah yang terbuat dari seng terdengar berisik. Hujan mulai mendekat, kak Egi mengeluarkan payung besar. Aku berlindung satu payung dengannya. Tak tercium aroma apapun dari balik tubunya. Hanya udara siang yang berhasil ku endus. Bukan pula aroma menyengat bawang merah yang pernah di miliki oleh perempuan yang berhasil mencuri banyak perhatian para lelaki, kecuali aku. Anak bau kencur dilarang keras ikut-ikutan perkara orang dewasa. Aku, tepatnya kami hanya melihatnya dari jauh. Itu saja sudah cukup, sebagai modal untuk tak norak berseragam putih abu-abu.
Butiran-butiran hujan seperti kecepatan peluru yang sudah memiliki alamat. Mengguyur deras si kaya atau si miskin. Hujan juga mampu memanipulasi situasi, tepatnya perasaan. Ia kerap mengingatkanku pada Kiera dan Naura yang jujur mengartikan pertemanan. Ia bisa jadi senjata untuk membunuh kenangan tentang Intan, sahabat sewaktu SMP. Jiwanya sedang di rundung trauma tak berujung.
"Coba julurkan lidahnya?" kak Egi memberi instruksi.
Serbuk putih menghujam ke bawah lidahnya. "Tensi ibu kamu tinggi sekali, saya beri obat untuk menurunkan tensinya."
Aku sedikit lega, ibu masih memahami instruksi dari kak Egi, meski perlu berungkali. Paman Erik duduk disamping Ayah.
"Nama Ibu siapa." Kak Egi mencoba memanggil ingatannya. Setelah beberapa menit berlalu, kak Egi mengulangi.
"Nama saya." Ibu diam sebentar, dan mengucapkan sesuatu yang sulit kami pahami.
"Ibu Gina." Kak Egi membantu ingatannya.
"Kalau ini siapa," kak Egi menunjuk ke arahku. Aku ingin melihat reaksinya. Rasa takutku makin memuncak ketika bola mata ibu masih memandang tembus ke arahku. Tak terasa air mata ku meleleh. Ayah dan Paman memegang erat bahuku.
"Saya lupa," jawab Ibu, senyumnya tampak ganjil. Rasa nyeri menerkam dada. Kak Egi belum menyerah, bertanya tentang Ayah, Paman, tetangga yang di kenal, serta peristiwa penting lainnya. Hasilnya mengecewakan.
"Ibu Gina amnesia," Ucap Kak Egi. "Kalian bersabar ya."
Ini mimpikah, tapi aku bisa merasakan hembusan nafas, jantung yang berdegup, serta aroma tubuh ayah dan paman. Logika sehat menakar sekaligus menalar sebuah kenyataan. Ajaran guru ngaji agar memandang satu hal dengan dua sudut pandang yang berbeda, agar logika terbalik mencapai sasaran. Rasanya sulit kuterima dalam kondisi sepert ini.
"Pak Marko, sebaiknya Bu Gina di bawa ke Rumah Sakit, mungkin perlu di lakukan CT scan agar kita tahu apa ada yang terluka."
Ayah mengangguk.
"Yah, aku ke rumah Ares dulu ya."
Hujan menyisakan gerimis. Jalan raya tampak sepi, orang malas keluar setelah hujan deras turun. Pertanyaan-pertanyaan tentang CT scan mulai mengangguku. Apakah ibu bisa sembuh kembali?. Bayangan hal buruk berkelebat memenuhi pikiran. Aku tak mau Ibu berkeliling desa tanpa sehelai baju ditubuhnya.
Sepeda kukayuh cepat-cepat. Menghantam genangan air dan menerobos udara dingin. Sepedaku sempat oleng, kuseimbangkan cepat-cepat. Seekor ular menegakkan kepalanya diam-diam. Ia mungkin marah, ingin menyebrang jalan tapi terhalang oleh laju sepedaku.
Sampai di rumah Ares, ku jumpai ia sedang bermain basket di lapangan samping rumahnya. Angkot antik yang keren tampak terpakir gagah dibawah pohon mangga. Ares rupanya tampak berusaha keras untuk menguras lemak yang menggelayut manja pada lingkaran tubuhnya. Bola basket yang didriblennya berkali-kali membuat suara gaduh.
Ku tunggu sampai ia selesai berolahraga. Ada banyak kursi-kursi malas terbuat dari akar bangkotan terpaku di tepi lapangan. Ku sapa kedua orang tuanya. Mereka sedang duduk santai menikmati siswa waktu siang.
"Wajahmu seperti remah-remah, ada apa?"
"Ibuku sakit, kau bisa antar untuk berobat."
"Sakit?."
"Ibu jatuh di kamar mandi."
Ares terdiam. Ia beranjak kedalam rumah, berbincang sebentar dengan kedua orang tuanya. Lalu keluar tergopoh-gopoh. "Ben ayo berangkat," ucap Ares. Aku berpamitan pulang. Mereka melambaikan tangan. Ares membawa angkot kesetanan. Ia tidak ingat kalau membawa seorang teman yang sedang panik. Remnya tak ia injak secara penuh, bahkan ia melakukan drift ketika di tikungan tajam.
"Kau naik ke atas kap angkot!, kita terbang lagi!"
"Kau sudah gila ya!" protesku.
"Justru aku tak mau kau gila, ayo cepat!" Ia memerintah lagi.
"Kenapa tak lewat jalan biasa saja?"
"Sudah, jangan protes?"
Ares telah jadi korban sains. Atau sains telah menemukan bakatnya. Ku tekan kuat-kuat tombol kuning. Parasut keluar dan mengembang secara cepat. Membumbung ke tinggi melewati pepohonan. Aku kembali duduk di samping Ares. Ia mengemudikan paramobil dengan tuas otomatis yang ada di dekat setir.
Langit sore tampak indah, matahari berwarna keemasan. Angkot terbang jadi pusat perhatian di sore hari. Para petani dan warga yang sempat melihatnya berteriak. Antara takut dan senang. Mereka berungkali melambaikan tangannya. Kami mengudara selama lima belas menit di atas kota Purbalingga.
Kami sampai di sebuah Rumah Sakit yang mentereng. Lantai licin memantulkan cahaya. Bersih dan nyaman. Ada satu hal yang mungkin kami ragukan, rumah sakit ini terlalu mewah bagi kami. Ruang penerima tamu saja dikerumuni karyawan dengan baju tanpa lipatan, berdasi dan tampak bersih.
Ayah melangkah tegap, dada membusung, dan kepala tegak menghampiri meja informasi. Aku menguntitnya di belakang, memandang punggungnya yang mulai bungkuk. Aroma teh rosela selalu melekat menyatu dengan keringatnya. Aku cemas pada mimik pegawai yang terlampau ramah.
"Bapak ada uang deposit lima juta?" Ucap salah karyawan RS itu. Wajahnya memang menarik tapi tak kompromi soal kemiskinan.
"Maaf Pak, kami belum ada, permisi kalau begitu," kata ayah.
Ayah membungkuk sedikit, memberi hormat pada mereka. Sambil berlalu ayah membelai kumis dan jenggotnya yang lebat. Menimbang, memeriksa, dan memutuskan sesuatu.
"Ben kita pulang, tak perlu berkecil hati, pasti ada jalan."
Aku mengangguk. Sudut mataku mulai berair.
0 Comments:
Posting Komentar